• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seng (Zn) terdapat dalam jaringan manusia/hewan dan diperlukan untuk aktivitas lebih dari 90 macam enzim yang ada hubungannya dengan proses metabolisme karbohidrat dan energi, degradasi dan sintesis protein, sintesis asam nukleat, biosintesis heme, transpor CO2 dan reaksi-reaksi lain. Beberapa enzim

yang membutuhkan Zn sebagai kofaktor adalah karbonik anhidrase, alkohol dehidrogenase, karboksipeptidase, glutamat dehidrogenase, laktat dehidrogenase, Cu,Zn-superoksida dismutase dan alkalin fosfatase. Karena Zn berperan dalam reaksi-reaksi yang luas, kekurangan Zn akan berpengaruh banyak terhadap jaringan tubuh terutama pada saat pertumbuhan (Linder 2006).

Pada sistem hormon, Zn berfungsi pada proses produksi, penyimpanan dan sekresi hormon. Dalam menjalankan fungsinya, hormon timulin, testosteron dan prolaktin memerlukan Zn. Zn dilaporkan juga mampu mempertahankan integritas sel karena Zn berperan dalam sistem imun (Corah 1996) dan memainkan peran penting dalam stabilisasi biomembran (Taylor et al. 1988). Menurut Oteiza et al. (1995), peran Zn dalam sistem pertahanan terhadap oksidan adalah sebagai salah satu komponen esensial atau kofaktor dalam metaloenzim Cu,Zn-superoksida

dismutase (Cu,Zn-SOD) yang merupakan garis pertahanan pertama terhadap aktivasi senyawa spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species, ROS) melalui dismutasi radikal anion superoksida. Klotz et al. (2003) menyatakan bahwa Cu dan Zn secara bersama-sama terlibat sebagai sistem pertahanan antioksidan dalam sitosol terhadap aksi oksidan. Berdasarkan aksi Zn tersebut, defisiensi Zn diduga dapat meningkatkan terjadinya kerusakan oksidatif pada jaringan. Defisiensi Zn dilaporkan juga mampu meningkatkan peroksidasi lipid pada mikrosom hati yang diukur melalui peningkatan produksi malonaldehida (Taylor et al. 1988).

Pengaruh Zn yang paling nyata adalah dalam metabolisme, fungsi dan pemeliharaan kulit, pankreas dan organ-organ reproduksi pria (Linder 2006). Selain ketersediaan ion an organik Cu dan Mn, Zn merupakan faktor eksogen dari nutrisi yang dilaporkan mempengaruhi motilitas spermatozoa (Hafez & Hafez 2000). Kualitas spermatozoa dihubungkan dengan motilitas serta tergantung pada ketersediaan Zn. Bukti temuan beberapa kasus infertilitas pada pria memperlihatkan bahwa suplementasi Zn mampu menekan kasus ini (Chesters 1997). Suplementasi Zn secara oral dilaporkan mampu meningkatkan motilitas spermatozoa pasien astenozoospermia atau oligozoospermia (Hunt et al. 1992). Terjadinya peningkatan jumlah spermatozoa dan motilitas dilaporkan sebagai akibat suplementasi Zn secara oral pada pasien infertil (Oteiza et al. 1995).

Spermatozoa membutuhkan Zn dari seminal plasma selama terjadi ejakulasi (Chesters 1997). Sekresi semen merupakan salah satu sumber kehilangan Zn, di mana ejakulasi semen mengandung sampai 1 mg Zn (Shils et al. 1994). Menurut Vernet et al. (2001), Zn merupakan salah satu unsur utama dalam seminal plasma dan spermatozoa. Dilaporkan bahwa ejakulat spermatozoa tikus mengandung sekitar 1.055µg Zn/satu juta sel.

Menurut Prasad (1991), defisiensi Zn mengakibatkan selera makan menurun, pertumbuhan terhambat, konsumsi pangan menurun, kelainan pada kulit, serta menurunnya status kesehatan dan sistem kekebalan tubuh. Defisiensi Zn juga akan mempengaruhi produksi dan sekresi testosteron, insulin dan kortikosteroid (Corah 1996); hipogonadisme, menurunnya konversi testosteron ke DHT, serta terhambatnya kematangan seksual (dewasa kelamin) pada pria (Prasad 1991; Oteiza et al. 1995).

Agget dan Harries (1979) diacu dalam Linder (2006) menyatakan bahwa Zn diperlukan untuk perkembangan fungsi reproduksi pria dan spermatogenesis, terutama perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron yang dikatalis oleh enzim 5 α-reduktase. Ae-son dan Chung (1996) melaporkan bahwa defisiensi Zn mempengaruhi sirkulasi hormon reproduksi yang diperlihatkan dengan menurunnya konsentrasi LH, estradiol dan testosteron serum tikus jantan sehingga

mengakibatkan hipogonadisme, yaitu suatu respon terhadap defisiensi Zn yang ditunjukkan dengan menurunnya konsentrasi testosteron pada serum; serta berkontribusi terhadap disfungsi organ reproduksi pejantan seperti terjadinya infertilitas.

Kegagalan fungsi testis akibat defisiensi Zn dalam jangka waktu yang lama dilaporkan terjadi pada manusia, rodensia, babi dan ruminansia (Chesters 1997). Menurut Taneja et al. (1995), perubahan patologis akibat defisiensi Zn pada mamalia akan mengakibatkan testis mengecil, menghambat perkembangan spermatozoa dan penipisan sel Leydig yang memproduksi hormon testosteron. Sintesis testosteron oleh sel Leydig dihubungkan dengan kecukupan Zn dalam diet pria dewasa (Prasad 1991). Prasad et al. (1967) diacu dalam Halsted et al. (1974) melaporkan bahwa konsentrasi Zn dalam jaringan testis tikus yang mendapat ransum normal sebesar 176 mg/kg (bk), sedangkan tikus yang mendapat ransum defisien Zn sebesar 132 mg/kg (bk). Defisiensi Zn pada tikus jantan dilaporkan Rogers (1979) berpengaruh terhadap gagalnya fungsi reproduksi, atropi testis dan hipoplasia prostat. Perubahan degeneratif ini berkorelasi dengan metabolisme asam nukleat dan kelainan hormonal termasuk testosteron (Taneja et al. 1995).

Defisiensi Zn dilaporkan mengganggu perkembangan testis dan menghentikan proses spermatogenesis. Hal ini dihubungkan dengan penyusutan tubuli seminiferi dan reduksi sel Leydig (Chesters 1997). Menurut Shils et al. (1994), defisiensi Zn menyebabkan reduksi ukuran testis dan atropi pada epitel seminiferi. Akibat disfungsi testis tersebut akan menganggu proses spermatogenesis dan produksi testosteron. Kerusakan utama yang mendasari disfungsi testis diduga merupakan gangguan sel Leydig (Hunt et al. 1992).

Zn adalah mikromineral yang relatif kurang beracun (non toksik) di antara mineral lain (Halsted et al. 1974; Chesters 1997). Tidak ada pengaruh negatif yang pernah ditemukan setelah seseorang berminggu-minggu mengkonsumsi lebih dari 10 kali anjuran kecukupan gizi. Namun, konsumsi tablet ZnSO4 atau suplemen Zn

lain dapat menyebabkan rasa tidak enak bila dikonsumsi tidak bersamaan dengan waktu makan. Defisiensi Zn dapat terjadi karena kurangnya konsumsi atau dayaguna yang rendah, penyerapan yang kurang baik atau tingkat pengeluaran dari tubuh yang meningkat (Linder 2006).

Tikus yang dikandangkan dalam kandang galvanized membutuhkan Zn sebesar 2 sampai 4 mg/kg diet, tetapi tikus yang dikandangkan dalam kandang stainless steel membutuhkan 12 mg/kg diet untuk mencapai berat maksimum. Jika kedelai digunakan sebagai sumber protein, kebutuhan Zn adalah 18 mg/kg diet karena penyerapan Zn dalam saluran usus akan mengalami penurunan oleh asam

fitat. Namun, pertumbuhan maksimal akan dicapai pada intake Zn sekitar 10 sampai 20 mg/kg diet. Kandungan Zn terendah ditemukan pada kulit, sedangkan kandungan tertinggi terdapat pada testis (Rogers 1979). Konsentrasi Zn dalam ransum hewan sebesar 20 mg/kg diet memperlihatkan kecukupan Zn untuk diabsorbsi (Chesters 1997).

Taneja et al. (1995) melakukan suplementasi Zn sulfat pada konsentrasi 20

μg ZnSO4.7H2O/g diet dalam ransum rendah lemak dan tinggi lemak untuk melihat

pengaruhnya terhadap testis mencit. Ae-son & Chung (1996) melakukan suplementasi Zn sulfat sebesar 22 mg/kg diet dalam ransum kontrol tikus jantan, serta ransum yang defisien Zn untuk mengetahui metabolisme steroid, serta reseptor androgen dan estrogen pada hati tikus. Suplementasi Zn sulfat pada konsentrasi 25 μg ZnSO4.7H2O/g diet dalam ransum tikus yang diberikan secara ad

libitum, serta ransum yang defisien Zn dengan konsentrasi Zn sebesar 0.5 μg ZnSO4.7H2O/g diet juga telah dilakukan oleh Oteiza et al. (1995) untuk melihat

pengaruh Zn terhadap kerusakan oksidatif pada protein, lipid dan DNA testis tikus. Kynaston et al. (1988) diacu dalam Arsyad (2001) melaporkan adanya perubahan yang bermakna terhadap motilitas spermatozoa pasien dengan asthenozoospermia dan/atau oligozoospermia setelah pemberian Zn sulfat 2x220 mg/hari selama 3 bulan.

Vitamin E

Menurut Landvik et al. (2002), α-tokoferol memiliki aktivitas biologis paling tinggi dan paling efektif dari komponen vitamin E karena melindungi asam lemak tidak jenuh dalam membran sel yang berperan penting terhadap fungsi dan struktur membran sel. Aktifitas α-tokoferol berhubungan dengan sifatnya sebagai antioksidan alami yaitu dapat mencegah oksidasi bagian sel penting atau mencegah terbentuknya hasil oksidasi peroksida asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel (Linder 2006). Vitamin E diperkirakan mempunyai fungsi dasar yang penting dalam pemeliharaan integritas membran pada seluruh sel tubuh. Vitamin E merupakan antioksidan larut lemak utama sebagai antioksidan pemutus rantai (Langseth 2000; Clarkson & Thompson 2000), ditemukan di plasma, sel darah merah dan jaringan, serta memainkan peran yang sangat esensial dalam memelihara integritas membran biologis (Chow 2001). Vitamin E memberikan perlindungan terhadap peroksidasi lipid akibat aksi secara langsung beberapa senyawa radikal seperti singlet oksigen dan radikal superoksida menjadi suatu bentuk radikal tokoferol yang relatif tidak merusak (Clarkson & Thompson 2000).

Fungsi vitamin E yang utama adalah sebagai antioksidan di dalam tubuh, di mana vitamin E dapat bertindak sebagai penangkap radikal bebas dalam membran. Vitamin E mempunyai kemampuan melindungi asam lemak tidak jenuh ganda dengan cara mencegah terjadinya reaksi oleh radikal bebas yang menyebabkan kerusakan membran dalam organel subseluler (Shils et al. 1994) atau merusak struktur dan fungsi membran sel (Landvik et al. 2002). Sebagai antioksidan pemutus rantai utama dalam jaringan tubuh, vitamin E merupakan garis pertahanan pertama terhadap peroksidasi lipid dan melindungi membran sel pada tahap awal dari serangan radikal bebas (Landvik et al. 2002). Peran biologik utama vitamin E adalah memutuskan rantai proses peroksidasi lipid dengan menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak (Almatsier 2002).

Menurut Mayes (1995), vitamin E tampaknya merupakan baris pertama pertahanan terhadap proses peroksidasi asam-asam lemak tidak jenuh ganda yang terdapat dalam fosfolipid membran seluler dan subseluler. Tokoferol bertindak sebagai antioksidan dengan memutuskan berbagai reaksi rantai radikal bebas sebagai akibat kemampuannya untuk memindahkan hidrogen fenolat kepada radikal bebas peroksil dari asam lemak tak jenuh ganda yang telah mengalami peroksidasi. Radikal bebas fenoksi yang terbentuk kemudian bereaksi dengan radikal bebas peroksil selanjutnya.

Kekurangan vitamin E pada tikus dilaporkan menyebabkan gangguan reproduksi, yaitu degenerasi ovarium pada tikus betina dan penghambatan spermatogenesis pada tikus jantan, sehingga vitamin E disebut sebagai vitamin antisterilitas (Schunack et al. 1990). Linder (2006) menyatakan bahwa vitamin E dibutuhkan dalam produksi spermatozoa. Defisiensi vitamin E pada monyet, kelinci dan tikus dilaporkan menyebabkan degenerasi epitel tubuli seminiferi sehingga produksi spermatozoa berhenti (Machlin 1991; Regina & Traber 1999), serta menghambat spermatogenesis dan menyebabkan degenerasi sel germinal (Bensoussan et al. 1998).

Menurut Therond (1996), persentase motilitas spermatozoa secara signifikan berhubungan dengan kandungan α-tokoferol. α-tokoferol dilaporkan memainkan peran terhadap aktivitas enzim antioksidan superoksida dismutase dan gluthation peroksidase untuk mempertahankan kemampuan fungsional spermatozoa terhadap serangan radikal bebas. Suplementasi vitamin E secara oral terhadap pasien infertil akan meningkatkan kadar vitamin E dalam serum darah (Kessopoulou et al. 1995); suplementasi dengan vitamin E akan mereduksi senyawa spesies oksigen reaktif dan melindungi spermatozoa terhadap penurunan motilitas (Hsu et al. 1998); vitamin E memberikan perlindungan yang signifikan

terhadap spermatozoa dari kerusakan peroksidatif dan penurunan motilitas (Iwasaki & Gagnon 1992; Kessopoulou et al. 1995; Taylor 2001). Pada pasien astenospermia, pemberian vitamin E secara oral secara signifikan menurunkan konsentrasi MDA dalam spermatozoa dan meningkatkan motilitas spermatozoa (Suleiman et al. 1996). Studi secara in vitro memperlihatkan bahwa suplementasi vitamin E mampu menetralisir penurunan motilitas yang disebabkan oleh spermatozoa yang tidak sempurna, serta mampu meningkatkan fusi spermatozoa dengan oosit (Taylor 2001). Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut memperkuat dugaan bahwa vitamin E melindungi membran terhadap senyawa spesies oksigen reaktif dan peroksidasi lipid.

Kebutuhan vitamin E dalam ransum tikus/hari sebesar 30 IU/kg ransum Satuan internasional unit (IU) setara dengan 1 mg α-tokoferol asetat yang digunakan untuk pengukuran aktivitas biologis dari vitamin E (Machlin 1991). Corwin dan Gordon (1982) melaporkan bahwa pemberian vitamin E sebesar 5 mg/100 g ransum dapat meningkatkan respon imun limfosit terhadap mitogen sebanyak 2.5 kali, sedangkan pada pemberian 50 mg/100 g ransum terjadi peningkatan sebanyak 8 kali. Huang & Fwu (1993) melakukan pemberian vitamin E sebesar 50 mg/kg ransum dengan kadar protein ransum bervariasi, yaitu sebesar 6 %, 8 %, 12 % dan 20 %. Defisiensi protein dalam ransum akan menurunkan aktivitas gluthation peroksidase dan superoksida dismutase hati dan sel darah merah tikus, serta meningkatkan kadar peroksidasi lipid hati, limpa, jantung, ginjal, dan paru-paru tikus.