Konsep Keadilan dalam Islam, Perlindungan Terhadap Kaum Minoritas, dan Negara Hukum Pancasila
B. Minoritas dan Masalah Diskriminasi
Helen O’Nions memberikan beberapa kriteria bagi apa yang disebut sebagai minoritas. oritas ialah (O’Nions, 2007: 180): Menurut O’Nions, ciri‐ciri atau kriteria umum dari min 1. Merupakan kelompok nondominan yang berbeda; 2. Berasal dari atau memiliki hubungan yang erat dengan wilayah tertentu yang menjadi daerah asal (tanah air) kelompok yang bersangkutan; 3. Secara kuantitas jumlah anggota kelompoknya relatif sedikit;
4. Merupakan kelompok‐kelompok yang dikecualikan, seperti pengungsi (refugee), orang suatu negara; asing, dan buruh migran yang ada di 5. Memiliki loyalitas terhadap sesuatu; 6. Adanya ikatan kesatuan yang kuat di antara anggota kelompok yang bersangkutan. Namun, harus diakui juga bahwa kriteria mengenai apa yang dapat disebut sebagai minoritas tersebut masih sangat longgar dan mengandung kelemahan. Sebagai salah satu contohnya, menurut O’nions, dapat dilihat pada unsur memiliki loyalitas terhadap sesuatu (O’Nions, 2007: 183‐184). Ialah tidak mungkin bahwa di dalam suatu kelompok itu semua anggotanya loyal sepenuhnya. Pada kenyataannya, dalam setiap kelompok, baik itu mayoritas maupun minoritas akan selalu ada pihak yang tidak loyal, dan apabila pihak yang tidak loyal ini ada di dalam kelompok minoritas, lantas bagaimanakah status minoritas dari kelompok tersebut? Inilah salah satu contoh kesulitannya apabila menggunakan ukuran loyalita
hak‐hak penuh dalam masyarakat politis karena identitas agama, ras, bahasa, dan etnisnya berbeda den
pernah dilakukan Gerakan Aceh Merdeka beberapa tahun yang lalu.
3. Pemisahan yang tidak selalu harus berarti negatif, yaitu yang tampil dalam bentuk pendirian lembaga‐lembaga atau praktik‐praktik yang secara khusus ditujukan untuk membantu kelompok sosial tertentu.
gan identitas publik (Susamto, 2009: 102).
Lebih lanjut menurut Preece, minoritas agama terjadi ketika ada intervensi terhadap keyakinan beragama seseorang, minoritas ras terjadi ketika tidak ada kesempatan yang sama untuk mendapatkan hak‐hak hidup pada ras yang berbeda, minoritas bahasa menjelaskan ketersingkiran bahasa‐bahasa etnis karena ditentukannya bahasa resmi pada suatu negara yang penggunaannya tidak seimbang dalam kehidupan sehari‐hari, dan minoritas etnis dialami ketika masyarakat internasional dan kewarganegaraan negara‐ bangsa cenderung menganggap etnis sebagai wilayah privat, sehingga keberadaannya sering dikalahkan dalam pengakuan dan kebijakan publik terutama pada negara‐negara yang lebih mementingkan kohesi sosial (Susamto, 2009: 102).
Yang perlu juga dipahami ialah bahwa konsep minoritas dapat pula terkait dengan praktik memarjinalkan kelompok tertentu sehingga mereka ini tidak memiliki lagi “posisi tawar” (lemah) dalam ma yarak t. s a
Oleh karena itu, maka definisi minoritas ada kalanya juga dirumuskan dengan menghubungkannya dengan tindakan atau perlakuan diskriminatif yang dialami oleh kelompok tertentu. Berkaitan dengan hal itu, kelompok minoritas (minority group) dapat pula didefinisikan sebagai kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama atau suku bangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka (prejudice) atau dikriminasi. Diskriminasi tersebut mengandung makna adanya perlakuan yang tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakikatnya sama dengan kelompok pelaku dikriminasi (Theodorson dan Theodorson, 1979: 258‐259).
Menurut Preece, pada praktiknya, perbedaan agama, ras, bahasa, dan etnis bisa menyebabkan adanya diskriminasi, penganiayaan dalam tingkatan verbal maupun tindakan yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat mayoritas atau bahkan melalui kebijakan di suatu negara. Demi menjaga stabilitas politik, suatu negara dapat melakukan pemaksaan pada kelompok minoritas, yang selain dengan cara‐cara tadi, dapat pula melalui asimilasi dan pemisahan (Susamto, 2009: 102).
Asimilasi merupakan upaya menyerap minoritas dalam masyarakat yang lebih besar, yang bisa jadi merupakan hasil dari tekanan sosial terhadap kelompok minoritas untuk menyesuaikan diri. Sedangkan pemisahan ditempuh dengan cara menjauhkan mereka dari masyarakat kebanyaka (Susamto, 2009: 102). n
Secara konsep dan praktik, pemisahan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu (Budiman, 2009: 15):
1. Pemisahan yang didasari asumsi bahwa perbedaan‐perbedaan antarkelompok sama sekali tidak bisa dicarikan jalan keluar selain dengan secara kaku melakukan segregasi antarkelompok. Contohnya ialah pada politik segregasi yang pernah dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap warga Hindia Belanda.
2. Pemisahan dalam bentuk tuntutan‐tuntutan bagi otonomi politik, ekonomi, dan sosial yang berujung pada tuntutan pendirian sebuah negara yang berdiri sendiri, seperti yang
satu sama lain (Tim Redaksi IBVH, 2000: 25).
Secara etimologis, Islam mempunyai akar kata yang menyimpan makna perdamaian, keselamatan, kemaslahatan, dan keadilan. Secara kebahasaan, Islam sebenarnya mempunyai perhatian mendasar terhadap perdamaian, keadilan dan kemaslahatan. Oleh karena itu, banyak sekali ayat yang mendukung terjadinya perdamaian dan keadilan, serta memberi kebebasan manusia untuk memilih jalannya, sehingga Allah berfirman melalui Al‐Qur’an Bentuk pemisahan yang pertama dan ke dua akan cenderung mengarah kepada praktik diskriminasi negatif, sedangkan yang ke tiga akan mengarah kepada praktik diskriminasi pos tif. i
McKean mendefinisikan diskriminasi sebagai setiap tindakan atau sikap yang menyangkal (tidak mau mengakui) adanya perlakuan yang sama bagi setiap individu, karena alasan individu tersebut merupakan bagian dari kelompok tertentu di masyarakat (O’Nions, 2007: 69).
Sedangkan menurut Undang‐Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 angka 3, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek ke idupan ainnya. h l
Dalam perkembangannya, seperti halnya yang terjadi dalam bidang hukum internasional, tidak semua bentuk diskriminasi menjadi sesuatu yang dilarang. Diskriminasi dalam pengertian perbedaan penanganan terhadap kelompok‐kelompok tertentu dalam masyarakat, yaitu yang berbeda karena keadaan jenis kelamin mereka, ras, agama, dan bahasa, tetap diperlukan selama untuk kepentingan menjamin dan melindungi hak‐hak mereka yang rentan untuk dilanggar oleh pihak lain (O’Nions, 2007: 69). Kini, perlindungan yang diberikan tersebut tidak lagi hanya berdasarkan jenis kelamin mereka, ras, agama, dan bahasa, tetapi juga telah diperluas hingga meliputi berdasarkan pendapat atau pandangan politik, asal kebangsaan atau asal‐muasal sosial, hak milik, kelahiran, dan status lainnya (O’Nions, 2007: 69).
Konsep perlindungan seperti itulah yang dimaksud sebagai diskriminasi positif, dan hal ini telah dimuat, antara lain, di dalam berbagai kovenan internasional, The Universal Declaration of Human Rights, dan juga The European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms (O’Nions, 2007: 69). Konsep seperti ini tentunya juga dapat dimanfaatkan sebagai solusi dalam menangani permasalahan diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok minoritas.
C. Kead dalam Islam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “keadilan” merupakan kata sifat yang artinya perbuatan yang adil. “Adil” artinya tidak berat sebelah, tidak memihak (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990: 6‐7). Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, kata “adil” secara terminologi berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda
Surat Al‐Baqarah: 256 yang berbunyi: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang inkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Menden a
Dari ayat tersebut dapat dikatakan bahwa ada signifikansi moral dalam Al‐Qur’an yang penekanannya adalah pada konsep keadilan. Terhadap perintah berkeadilan, Allah telah banyak menurunkan ayat‐Nya, antara lain, dalam Al‐Qur’an Surat An‐Nisa: 135 yang berbunyi: “Wahai orang‐orang yang beriman, jadilah kamu orang‐orang yang benar‐benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (yang terdakwa) kaya atau miskin maka Allah lebih tahu
gar l gi Maha Mengetahui.”
Dari ayat tersebut jelas terlihat bahwa Islam diposisikan sebagai agama rahmatan lillalamin, rahmat bagi sekalian alam (agama yang mengayomi seluruh alam). Melalui ayat tersebut pesan yang diusung ialah kebebasan dalam melakukan pilihan berkeyakinan, karena Allah telah memberikan piranti berfikir akan kebenaran, yaitu akal manusia. Dan juga dalam Al‐Qur’an Surat An‐Nahl: 125, Allah berfirman: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari Jalan‐ Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang‐orang yang mendapat petunjuk.”
Ayat serupa juga ditemui dalam Al‐Qur’an Surat An‐Najm: 30 yang berbunyi: “… Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan‐Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat etunjuk.” p
Bahkan dalam Al‐Qur’an Surat Al‐Kahf: 29 Allah berfirman: “Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir …”
Akibat logis dari kebebasan memilih tersebut ialah timbulnya pluralitas di dalam segala bidang (dimensi) berkehidupan, termasuk memilih keyakinan. Pluralitas dalam berbagai dimensi ini sejatinya kehendak Tuhan (sunnatullah) karena dengannya manusia bisa saling melengkapi, oleh sebab itu, perbedaan yang ada patut dijaga dalam keadilan dan keseimbangan selama tidak menimbulkan kezaliman pada manusia lain.
Untuk bisa memahami pesan‐pesan Tuhan harus pula dilandasi dengan moral yang baik. Ketika Rasul masih berada di Makkah35 turunlah Al‐Qur’an Surat An‐Nahl: 90 yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Ayat tersebut menanamkan nilai kemanusiaan dan keadilan yang universal. Universalime keadilan dalam Islam tidak mengenal batas‐batas (boundaries) naionalisme, kesukuan, etnis, bahasa, warna kulit, status sosial ekonomi, dan bahkan batasan agama. Terhadap ayat itu Sayyidina Ali berkomentar: “Ikutilah perintah itu niscaya kamu akan beruntung. Demi Allah, sesungguhnya Allah mengutus Rasul‐Nya untuk mengajarkan budi pekerti yang mulia.” Tidak sampai di situ, Abu Thalib, paman Rasulullah, ayah dari Ali ra., yang tidak pernah menyatakan iman secara terbuka mengatakan: “Ikutilah anak saudaraku itu, demi Allah, sesungguhnya dia tidak akan menyuruhmu kecuali terhadap akhlak yang baik.”
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikan kata‐kata atau enggan menjadi saksi maka seungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu rjakan.” ke
Berdasarkan adanya ayat tersebut, Abou El Fadl Khaled berpendapat bahwa Al‐ Qur’an ialah sebuah kitab suci yang memberontak, dalam arti memberontak dari otoritarianisme, kekuasaan yang tidak adil, dan membela mereka yang lemah (Khaled, 2004).
Keadilan, menurut Quraisy Syihab, adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya (Shihab, 2008: 238). Sedangkan menurut Miskawaihi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Azhar Basyir, keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan hikmah (wisdom), iffah (kesucian) dan syajaah (keberanian) (Basyir, 1993: 102).
Masih dalam kaitannya dengan Al‐Qur’an Surat An‐Nahl: 90, Ibn ’Araby mengartikan keadilan sebagai sikap mengambil posisi di tengah antara 2 (dua) kutub yang ekstrim baik dalam hubungan dengan Allah, hubungan dengan manusia lain maupun dengan diri sendiri (Abd Karim, 1960: 23‐25).
Konsep keadilan dalam Al‐Qur’an bukan hanya norma hukum melainkan menempatkannya pula sebagai bagian integral dari takwa. Demikian juga halnya takwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep ritual, namun secara integral terkait pula dengan keadilan sosial dan ekonomi (Engineer, 1999: 58).
Istilah keadilan sosial dalam Islam telah digunakan oleh Sayyid Qutb dalam bukunya Al’adalah alIjtimaiyyah (Keadilan Sosial dalam Islam). Dalam buku itu, Qutb menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keadilan adalah persamaan kemanusiaan (Qutb, 1984: 37). Keadilan sosial merupakan keadilan kemanusiaan yang tidak berhenti pada masalah materi dan ekonomi tetapi mencakup hal‐hal yang imateriel (Qutb, 1984: 41).36 Ada 3 (tiga) asas dasar dalam menegakkan keadilan, yaitu: kebebasan jiwa yang mutlak, persamaan kemanusiaan yang sempurna, dan jaminan sosial yang kuat.
Kebebasan jiwa yang mutlak dimaksud adalah keadilan sosial tidak mungkin dicapai hanya dari hal‐hal yang bersifat materiel tetapi justru dimulai dari persoalan‐persoalan jiwa. Jadi ada keseimbangan antara hal‐hal yang materiel dan imateriel, memadukan tuntutan jasmani dan dorongan jiwa dalam suatu aturan. Persamaan kemanusiaan memberi jaminan bahwa manusia adalah sederajat walaupun berbeda suku, bangsa, maupun jenis kelamin (laki‐laki dan perempuan). Persamaan kemanusiaan tersebut ada di segala bidang termasuk dalam kepemilikan harta. Sedangkan jaminan sosial dimaksudkan agar kebebasan manusia ada batasnya sehingga tidak mengganggu manusia lain. Prinsip jaminan dalam Islam banyak bentuknya, mulai dari jaminan individu atas dirinya sendiri sampai kepada jaminan dari satu lapisan masyarakat kepada lapisan masyarakat lain secara timbal balik.
Berdasarkan penjelasan dari Qutb tersebut, dapat terlihat betapa sebenarnya Islam benar‐benar menginginkan adanya persamaan kedudukan setiap manusia (tegaknya prinsip egaliter), dan prinsip egaliter ini merupakan pilar dalam proses penegakan keadilan.37 Singkatnya, ada keterkaitan yang sangat erat antara prinsip egalier dan prinsip keadilan dalam Islam. Sejalan dengan hal itu, Asghar Ali Engineer menjelaskan bahwa: “… komitmen kepada tatanan sosial yang adil, nir eksploitasi dan egaliter adalah semangat Islam yang sejati” (Engineer, 1999: 234).
Selanjutnya Engineer berpendapat bahwa Islam menekankan 4 (empat) sifat untuk bisa mencapai keadilan, yaitu: kesatuan (unity atau tauhid), keseimbangan atau kesejajaran (equilibrium atau aladl wal ihsan), kebebasan (free will atau ikhtiar) dan tanggung jawab (responsibility atau fardh). Ini secara tidak langsung tentunya juga mengisyaratkan bahwa Islam melarang adanya praktik diskriminasi yang menempatkan kelompok tertentu dalam posisi subordinat (minoritas) ketika ia berhadapan dengan kelompok yang lain (mayoritas).