• Tidak ada hasil yang ditemukan

Minoritas dan Masalah Diskriminasi

Dalam dokumen Prosiding Konferensi Negara Hukum 2012 (Halaman 150-155)

Konsep Keadilan dalam Islam, Perlindungan Terhadap Kaum Minoritas, dan Negara Hukum Pancasila

B. Minoritas dan Masalah Diskriminasi

Helen  O’Nions  memberikan  beberapa  kriteria  bagi  apa  yang  disebut  sebagai  minoritas.  oritas ialah (O’Nions, 2007: 180):  Menurut O’Nions, ciri‐ciri atau kriteria umum dari min 1. Merupakan kelompok nondominan yang berbeda;  2. Berasal dari atau memiliki hubungan yang erat dengan wilayah tertentu yang menjadi  daerah asal (tanah air) kelompok yang bersangkutan;  3. Secara kuantitas jumlah anggota kelompoknya relatif sedikit; 

4. Merupakan  kelompok‐kelompok  yang  dikecualikan,  seperti  pengungsi  (refugee),  orang  suatu negara;  asing, dan buruh migran yang ada di  5. Memiliki loyalitas terhadap sesuatu;  6. Adanya ikatan kesatuan yang kuat di antara anggota kelompok yang bersangkutan.    Namun, harus diakui juga bahwa kriteria mengenai apa yang dapat disebut sebagai  minoritas  tersebut  masih  sangat  longgar  dan  mengandung  kelemahan.  Sebagai  salah  satu  contohnya, menurut O’nions, dapat dilihat pada unsur memiliki loyalitas terhadap sesuatu  (O’Nions, 2007: 183‐184). Ialah tidak mungkin bahwa di dalam suatu kelompok itu semua  anggotanya  loyal  sepenuhnya.  Pada  kenyataannya,  dalam  setiap  kelompok,  baik  itu  mayoritas maupun minoritas akan selalu ada pihak yang tidak loyal, dan apabila pihak yang  tidak loyal ini ada di dalam kelompok minoritas, lantas bagaimanakah status minoritas dari  kelompok  tersebut?  Inilah  salah  satu  contoh  kesulitannya  apabila  menggunakan  ukuran  loyalita

hak‐hak penuh dalam masyarakat politis karena identitas agama, ras, bahasa, dan etnisnya  berbeda den

pernah dilakukan  Gerakan Aceh Merdeka beberapa tahun yang lalu. 

3. Pemisahan  yang  tidak  selalu  harus  berarti  negatif,  yaitu  yang  tampil  dalam  bentuk  pendirian  lembaga‐lembaga  atau  praktik‐praktik  yang  secara  khusus  ditujukan  untuk  membantu kelompok sosial tertentu. 

gan identitas publik (Susamto, 2009: 102). 

Lebih lanjut menurut Preece, minoritas agama terjadi ketika ada intervensi terhadap  keyakinan  beragama  seseorang,  minoritas  ras  terjadi  ketika  tidak  ada  kesempatan  yang  sama  untuk  mendapatkan  hak‐hak  hidup  pada  ras  yang  berbeda,  minoritas  bahasa  menjelaskan ketersingkiran bahasa‐bahasa etnis karena ditentukannya  bahasa resmi  pada  suatu  negara  yang  penggunaannya  tidak  seimbang  dalam  kehidupan  sehari‐hari,  dan  minoritas  etnis  dialami  ketika  masyarakat  internasional  dan  kewarganegaraan  negara‐ bangsa cenderung menganggap etnis sebagai wilayah privat, sehingga keberadaannya sering  dikalahkan dalam pengakuan dan kebijakan publik terutama pada negara‐negara yang lebih  mementingkan kohesi sosial (Susamto, 2009: 102). 

Yang perlu juga dipahami ialah bahwa konsep minoritas dapat pula terkait dengan  praktik  memarjinalkan  kelompok  tertentu  sehingga  mereka  ini  tidak  memiliki  lagi  “posisi  tawar” (lemah) dalam ma yarak t. s a

Oleh  karena  itu,  maka  definisi  minoritas  ada  kalanya  juga  dirumuskan  dengan  menghubungkannya  dengan  tindakan  atau  perlakuan  diskriminatif  yang  dialami  oleh  kelompok  tertentu.  Berkaitan  dengan  hal  itu,  kelompok  minoritas  (minority group)  dapat  pula  didefinisikan  sebagai  kelompok  yang  diakui  berdasarkan  perbedaan  ras,  agama  atau  suku  bangsa,  yang  mengalami  kerugian  sebagai  akibat  prasangka  (prejudice)  atau  dikriminasi.  Diskriminasi  tersebut  mengandung  makna  adanya  perlakuan  yang  tidak  seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakikatnya sama dengan kelompok pelaku  dikriminasi (Theodorson dan Theodorson, 1979: 258‐259). 

Menurut  Preece,  pada  praktiknya,  perbedaan  agama,  ras,  bahasa,  dan  etnis  bisa  menyebabkan adanya diskriminasi, penganiayaan dalam tingkatan verbal maupun tindakan  yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat  mayoritas atau bahkan  melalui  kebijakan  di  suatu  negara.  Demi  menjaga  stabilitas  politik,  suatu  negara  dapat  melakukan pemaksaan pada kelompok minoritas, yang selain dengan cara‐cara tadi, dapat  pula melalui asimilasi dan pemisahan (Susamto, 2009: 102). 

Asimilasi merupakan upaya menyerap minoritas dalam masyarakat yang lebih besar,  yang  bisa  jadi  merupakan  hasil  dari  tekanan  sosial  terhadap  kelompok  minoritas  untuk  menyesuaikan diri. Sedangkan pemisahan ditempuh dengan cara menjauhkan mereka dari  masyarakat kebanyaka  (Susamto, 2009: 102). n

Secara  konsep  dan  praktik,  pemisahan  dapat  dibedakan  menjadi  3  (tiga)  bentuk,  yaitu (Budiman, 2009: 15): 

1. Pemisahan  yang  didasari  asumsi  bahwa  perbedaan‐perbedaan  antarkelompok  sama  sekali tidak bisa dicarikan jalan keluar selain dengan secara kaku melakukan segregasi  antarkelompok.  Contohnya  ialah  pada  politik  segregasi  yang  pernah  dilakukan  Pemerintah Kolonial Belanda terhadap warga Hindia Belanda. 

2. Pemisahan  dalam  bentuk  tuntutan‐tuntutan  bagi  otonomi  politik,  ekonomi,  dan  sosial  yang berujung pada tuntutan pendirian sebuah negara yang berdiri sendiri, seperti yang 

 satu sama lain (Tim Redaksi IBVH, 2000: 25). 

Secara etimologis, Islam mempunyai akar kata yang menyimpan makna perdamaian,  keselamatan, kemaslahatan, dan keadilan. Secara kebahasaan, Islam sebenarnya mempunyai  perhatian  mendasar  terhadap  perdamaian,  keadilan  dan  kemaslahatan.  Oleh  karena  itu,  banyak  sekali  ayat  yang  mendukung  terjadinya  perdamaian  dan  keadilan,  serta  memberi  kebebasan  manusia  untuk  memilih  jalannya,  sehingga  Allah  berfirman  melalui  Al‐Qur’an  Bentuk  pemisahan  yang  pertama  dan  ke  dua  akan  cenderung  mengarah  kepada  praktik  diskriminasi  negatif,  sedangkan  yang  ke  tiga  akan  mengarah  kepada  praktik  diskriminasi pos tif. i

McKean  mendefinisikan  diskriminasi  sebagai  setiap  tindakan  atau  sikap  yang  menyangkal (tidak mau mengakui) adanya perlakuan yang sama bagi setiap individu, karena  alasan individu tersebut merupakan bagian dari kelompok tertentu di masyarakat (O’Nions,  2007: 69). 

Sedangkan  menurut  Undang‐Undang  Nomor  39  Tahun  1999  tentang  Hak  Asasi  Manusia,  Pasal  1  angka  3,  diskriminasi  adalah  setiap  pembatasan,  pelecehan,  atau  pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas  dasar  agama,  suku,  ras,  etnik,  kelompok,  golongan,  status  sosial,  status  ekonomi,  jenis  kelamin,  bahasa,  keyakinan  politik,  yang  berakibat  pengurangan,  penyimpangan  atau  penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan  dasar  dalam  kehidupan  baik  individual  maupun  kolektif  dalam  bidang  politik,  ekonomi,  hukum, sosial, budaya, dan aspek ke idupan ainnya. h  l

Dalam  perkembangannya,  seperti  halnya  yang  terjadi  dalam  bidang  hukum  internasional, tidak semua bentuk diskriminasi menjadi sesuatu yang dilarang. Diskriminasi  dalam  pengertian  perbedaan  penanganan  terhadap  kelompok‐kelompok  tertentu  dalam  masyarakat,  yaitu  yang  berbeda  karena  keadaan  jenis  kelamin  mereka,  ras,  agama,  dan  bahasa,  tetap  diperlukan  selama  untuk  kepentingan  menjamin  dan  melindungi  hak‐hak  mereka yang rentan untuk dilanggar oleh pihak lain (O’Nions, 2007: 69). Kini, perlindungan  yang diberikan tersebut tidak lagi hanya berdasarkan jenis kelamin mereka, ras, agama, dan  bahasa, tetapi juga telah diperluas hingga meliputi berdasarkan pendapat atau pandangan  politik,  asal  kebangsaan  atau  asal‐muasal  sosial,  hak  milik,  kelahiran,  dan  status  lainnya  (O’Nions, 2007: 69). 

Konsep perlindungan seperti itulah yang dimaksud sebagai diskriminasi positif, dan  hal  ini  telah  dimuat,  antara  lain,  di  dalam  berbagai  kovenan  internasional, The Universal  Declaration of Human Rights,  dan  juga The European Convention on Human Rights and  Fundamental  Freedoms  (O’Nions,  2007:  69).  Konsep  seperti  ini  tentunya  juga  dapat  dimanfaatkan  sebagai  solusi  dalam  menangani  permasalahan  diskriminasi  yang  dihadapi  oleh kelompok minoritas. 

 

C. Kead  dalam Islam 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,  “keadilan”  merupakan  kata  sifat  yang  artinya  perbuatan  yang  adil.  “Adil”  artinya  tidak  berat  sebelah,  tidak  memihak  (Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan,  1990:  6‐7).  Menurut Ensiklopedi Hukum Islam,  kata  “adil”  secara  terminologi  berarti  mempersamakan  sesuatu  dengan  yang  lain,  baik  dari  segi  nilai  maupun  dari  segi  ukuran,  sehingga  sesuatu  itu  menjadi  tidak  berat  sebelah  dan  tidak  berbeda

Surat Al‐Baqarah: 256 yang berbunyi: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),  sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa  yang  inkar  kepada  Thaghut  dan  beriman  kepada  Allah,  maka  sesungguhnya  ia  telah  berpegang  teguh  kepada  tali  yang  sangat  kuat  yang  tidak  akan  putus.  Dan  Allah  Maha  Menden a

Dari  ayat  tersebut  dapat  dikatakan  bahwa  ada  signifikansi  moral  dalam  Al‐Qur’an  yang  penekanannya  adalah  pada  konsep  keadilan.  Terhadap  perintah  berkeadilan,  Allah  telah banyak menurunkan ayat‐Nya, antara lain, dalam Al‐Qur’an  Surat An‐Nisa: 135 yang  berbunyi: “Wahai  orang‐orang yang  beriman, jadilah kamu  orang‐orang  yang  benar‐benar  penegak  keadilan,  menjadi  saksi  karena  Allah  biarpun  terhadap  dirimu  sendiri  atau  ibu  bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (yang terdakwa) kaya atau miskin maka Allah lebih tahu 

gar l gi Maha Mengetahui.” 

Dari  ayat  tersebut  jelas  terlihat  bahwa  Islam  diposisikan  sebagai  agama rahmatan  lillalamin, rahmat bagi sekalian alam (agama yang mengayomi seluruh alam). Melalui ayat  tersebut  pesan  yang  diusung  ialah  kebebasan  dalam  melakukan  pilihan  berkeyakinan,  karena  Allah  telah  memberikan  piranti  berfikir  akan  kebenaran,  yaitu  akal  manusia.  Dan  juga  dalam  Al‐Qur’an  Surat  An‐Nahl:  125,  Allah  berfirman:  “Serulah manusia kepada  jalan  Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang  baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari Jalan‐ Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang‐orang yang mendapat petunjuk.” 

Ayat  serupa  juga  ditemui  dalam  Al‐Qur’an  Surat  An‐Najm:  30  yang  berbunyi:  “…  Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan‐Nya  dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat etunjuk.”  p

Bahkan  dalam  Al‐Qur’an  Surat  Al‐Kahf:  29  Allah  berfirman:  “Dan  katakanlah:  kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia  beriman dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir …” 

Akibat  logis  dari  kebebasan  memilih  tersebut  ialah  timbulnya  pluralitas  di  dalam  segala  bidang  (dimensi)  berkehidupan,  termasuk  memilih  keyakinan.  Pluralitas  dalam  berbagai  dimensi  ini  sejatinya  kehendak  Tuhan  (sunnatullah)  karena  dengannya  manusia  bisa saling melengkapi, oleh sebab itu, perbedaan yang ada patut dijaga dalam keadilan dan  keseimbangan selama tidak menimbulkan kezaliman pada manusia lain.  

Untuk bisa memahami pesan‐pesan Tuhan harus pula dilandasi dengan moral yang  baik.  Ketika  Rasul  masih  berada  di  Makkah35  turunlah  Al‐Qur’an  Surat  An‐Nahl:  90  yang  berbunyi:  “Sesungguhnya  Allah  menyuruh  kamu  berlaku  adil  dan  berbuat  kebajikan,  memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan  permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” 

Ayat  tersebut  menanamkan  nilai  kemanusiaan  dan  keadilan  yang  universal.  Universalime  keadilan  dalam  Islam  tidak  mengenal  batas‐batas  (boundaries)  naionalisme,  kesukuan,  etnis,  bahasa,  warna  kulit,  status  sosial  ekonomi,  dan  bahkan  batasan  agama.  Terhadap  ayat  itu  Sayyidina  Ali  berkomentar:  “Ikutilah  perintah  itu  niscaya  kamu  akan  beruntung.  Demi  Allah,  sesungguhnya  Allah  mengutus  Rasul‐Nya  untuk  mengajarkan  budi  pekerti yang mulia.” Tidak sampai di situ, Abu Thalib, paman Rasulullah, ayah dari Ali ra.,  yang tidak pernah menyatakan iman secara terbuka mengatakan: “Ikutilah anak saudaraku  itu,  demi  Allah,  sesungguhnya  dia  tidak  akan  menyuruhmu  kecuali  terhadap  akhlak  yang  baik.” 

kemaslahatannya.  Maka  janganlah  kamu  mengikuti  hawa  nafsu  karena  ingin  menyimpang  dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikan kata‐kata atau enggan menjadi saksi maka  seungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu rjakan.”  ke

Berdasarkan  adanya  ayat  tersebut,  Abou  El  Fadl  Khaled  berpendapat  bahwa  Al‐ Qur’an  ialah  sebuah  kitab  suci  yang  memberontak,  dalam  arti  memberontak  dari  otoritarianisme,  kekuasaan  yang  tidak  adil,  dan  membela  mereka  yang  lemah  (Khaled,  2004). 

Keadilan,  menurut  Quraisy  Syihab,  adalah  menempatkan  sesuatu  pada  tempatnya  (Shihab,  2008:  238).  Sedangkan  menurut  Miskawaihi,  sebagaimana  dikutip  oleh  Ahmad  Azhar Basyir, keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan hikmah (wisdom),  iffah (kesucian) dan syajaah (keberanian) (Basyir, 1993: 102). 

Masih dalam kaitannya dengan Al‐Qur’an Surat An‐Nahl: 90, Ibn ’Araby mengartikan  keadilan sebagai sikap mengambil posisi di tengah antara 2 (dua) kutub yang ekstrim baik  dalam hubungan dengan Allah, hubungan dengan manusia lain maupun dengan diri sendiri  (Abd Karim, 1960: 23‐25). 

Konsep  keadilan  dalam  Al‐Qur’an  bukan  hanya  norma  hukum  melainkan  menempatkannya pula sebagai bagian integral dari takwa. Demikian juga halnya takwa di  dalam Islam bukan hanya sebuah konsep ritual, namun secara integral terkait pula dengan  keadilan sosial dan ekonomi (Engineer, 1999: 58). 

Istilah keadilan sosial dalam Islam telah digunakan oleh Sayyid Qutb dalam bukunya  Al’adalah al­Ijtimaiyyah (Keadilan Sosial dalam Islam).  Dalam  buku  itu,  Qutb  menjelaskan  bahwa yang dimaksud dengan keadilan  adalah persamaan kemanusiaan (Qutb, 1984:  37).  Keadilan sosial merupakan keadilan kemanusiaan yang tidak berhenti pada masalah materi  dan ekonomi tetapi mencakup hal‐hal yang imateriel (Qutb, 1984: 41).36 Ada 3 (tiga) asas  dasar  dalam  menegakkan  keadilan,  yaitu:  kebebasan  jiwa  yang  mutlak,  persamaan  kemanusiaan yang sempurna, dan jaminan sosial yang kuat. 

Kebebasan jiwa yang mutlak dimaksud adalah keadilan sosial tidak mungkin dicapai  hanya dari hal‐hal yang bersifat materiel tetapi justru dimulai dari persoalan‐persoalan jiwa.  Jadi  ada  keseimbangan  antara  hal‐hal  yang  materiel  dan  imateriel,  memadukan  tuntutan  jasmani dan dorongan jiwa dalam suatu aturan. Persamaan kemanusiaan memberi jaminan  bahwa  manusia  adalah  sederajat  walaupun  berbeda  suku,  bangsa,  maupun  jenis  kelamin  (laki‐laki dan perempuan). Persamaan kemanusiaan tersebut ada di segala bidang termasuk  dalam kepemilikan harta. Sedangkan jaminan sosial dimaksudkan agar kebebasan manusia  ada batasnya sehingga tidak mengganggu manusia lain. Prinsip jaminan dalam Islam banyak  bentuknya,  mulai  dari  jaminan  individu  atas  dirinya  sendiri  sampai  kepada  jaminan  dari  satu lapisan masyarakat kepada lapisan masyarakat lain secara timbal balik. 

Berdasarkan penjelasan dari Qutb tersebut, dapat terlihat betapa sebenarnya Islam  benar‐benar menginginkan adanya persamaan kedudukan setiap manusia (tegaknya prinsip  egaliter),  dan  prinsip  egaliter  ini  merupakan  pilar  dalam  proses  penegakan  keadilan.37  Singkatnya,  ada  keterkaitan  yang  sangat  erat  antara  prinsip  egalier  dan  prinsip  keadilan  dalam Islam. Sejalan dengan hal itu, Asghar Ali Engineer menjelaskan bahwa: “… komitmen  kepada  tatanan  sosial  yang  adil,  nir  eksploitasi  dan  egaliter  adalah  semangat  Islam  yang  sejati” (Engineer, 1999: 234). 

Selanjutnya Engineer berpendapat bahwa Islam menekankan 4 (empat) sifat untuk  bisa mencapai keadilan, yaitu: kesatuan (unity atau tauhid), keseimbangan atau kesejajaran  (equilibrium  atau al­adl wal ihsan),  kebebasan  (free will atau ikhtiar)  dan  tanggung  jawab  (responsibility atau fardh). Ini secara  tidak langsung  tentunya  juga mengisyaratkan  bahwa  Islam melarang adanya praktik diskriminasi yang menempatkan kelompok tertentu dalam  posisi subordinat (minoritas) ketika ia berhadapan dengan kelompok yang lain (mayoritas). 

 

Dalam dokumen Prosiding Konferensi Negara Hukum 2012 (Halaman 150-155)