Sistem Hukum Sebagai Kunci Supremasi Hukum Indonesia Any Andjarwati
B. Tujuan Negara Dan Hak Mengembangankan Diri Untuk Setiap Orang Dalam Hukum
Pembentukan sistem Hukum Pertanian suatu Konsep (Any, 2012), yang merupakan kristalisasi dari kajian‐kajian tentang kompleksitas permasalahan hukum agraria (bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang ada didalamnya), khususnya hukum pertanian, yang didukung dan/ atau dipadukan dengan kajian dan perenungan terutama dengan sistem pembelajaran Teori Hukum, sehingga menghasilkan keyakinan bahwa hanya dengan berpegang prinsip pada dan menjalankan Teori Sistem Hukum saja bangsa Indonesia dapat mengatasi kemelut kompleksitas permasalahan yang ada, dan ini merupakan proyek supremasi hukum Indonesia, dimana logika hukum ada pada substansinya, penghormatan manusia yang plural sebagai pusat hukum, yang menuntut politik hukum berkonsentrasi pada ketidak samaan, yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan dan kecerdasan
ehidupan bangsa Indonesia dalam pergaulan dengan bangsa‐bangsa lain. k
B. Tujuan Negara Dan Hak Mengembangankan Diri Untuk Setiap Orang Dalam Hukum
Bangsa Indonesia memproklamirkan diri sebagai Negara Kesejahteraan dan Negara Hukum, yang berdasarkan Konstitusi (Pembukaan Alinea ke IV Undang‐Undang Dasar Tahun 1945) mempunyai tujuan untuk:
...membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang mendasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemeerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan berdab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan , serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut salah satunya diperkuat dengan landasan isi yang dituangkan dalam pasal 28C ayat 1 UUD 1945, yang menegaskan:
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia
Hukum harus dapat menjaga hak‐hak pribadi manusia.6 Jika tata hukum tidak memenuhi syarat prinsip‐prinsip keadilan, maka hukum tidak dapat dibedakan lagi dari kekuasaan.7 Kebutuhan dasar manusia berkaitan dengan kebenaran dalam hidupnya, yang bertransformasi dari masa lalu dan yang akan datang (termasuk talentanya8). Ini yang dituntut dari Negara, c.q. Pemerintah, oleh rakyatnya, untuk dapat bertindak adil (masing‐ masing mendapatkan haknya berdasarkan kebenarannya), dengan berkonsentrasi pada ketidak samaan (pluralisme dalam kesatuan). Tidak dipenuhi hak‐hak manusia adalah kemiskinan, yang berarti bukan semata‐mata materi, tapi juga ketidakberdayaan, terlucutinya ketidakberdayaan yang mendasar dan kebebasan untuk memilih (Amartya Sen).9 Kebebasan untuk memilih merupakan ciri‐ciri manusia yang mempunyai akal (Gedanken) dan budi (Geist) sebagai mahkluk tidak sempurna, sehingga dapat memutuskan keinginannya. Hal ini yang membedakan dengan binatang sebagai mahkluk sempurna (begitu adanya), sehingga tidak punya pilihan, kebebasan, dan keputusan. Masalah pemenuhan materi berkaitan erat dengan kapital. Adalah suatu kenyataan, bahwa melalui penyebaran demokrasi dan kapitalisme, persoalan kemiskinan dunia telah berhasil dikurangi secara dramatis, dengan kata lain keyakinan kapitalisme adalah keyakinan terhadap kemanusiaan.10 Hal ini logis, karena bicara masalah kapitalisme, berarti bicara
asalah
m system, yang bersifat tertentu, otonom, selfsregulation, terbuka, dan berkelanjutan. Berkaitan dengan pluralisme dalam kesatuan, penting memperhatikan diskusi para filsof dunia yang dituangkan dalam buku wolfgang Welsch11, a.l. adanya tanda berlakunya pergantian politik dalam pemikiran negara nasionalis ke interaksi global (Arnold Toynbees, 1947), dalam tulisan Jean‐Franqois Lyotard dalam buku La Condition postmodern (Inti Postmodern, 1979), yang mendefinisikan “postmodern” sebagai “Ende der Meta Erzaehlungen” (Akhir dari Cerita‐cerita Besar), semua kebersitegangan inti dan praktek kehidupan suatu waktu berkumpul menyatu dan pada satu tujuan: Emansipasi manusia dalam jaman pencerahan (Aufklaerung), roh teologi dalam idealismus, keberuntungan semua orang melalui kekayaan dalam kapitalismus, pembebasan manusia ke otonomi dalam marxismus, dll. Bagaimanapun juga Ceritacerita Besar kadang‐kadang menghasilkan pengalaman yang menyakitkan, dengan itu orang menjadi tidak percaya. “Kehilangan” ini orang bereaksi tidak lagi berkabung dan melankolie, karena kehilangan ini merupakan suatu kemenangan. Karena orang mengenali pada sisi lain dari kesatuan seperti itu, yang menggemakan pemaksaan dan teror, kehilangannya membawa kemenangannya pada otonomi dan suatu pembebasan dari berbagai hal yang berkaitan. Perubahan ini menentukan. Penalaran perbedaan dan heterogenitas menentukan orientasi. Filsafat postmodern secara bebas sebagai pengacara pluralitas tidak hanya dalam tujuan, bahwa dia aturan dasarnya memungkinkan radikal konfrontasi dan pembelaan, tetapi ia harus juga – walau secara terbuka mengandung tingkat konfliknya yang tinggi ‐ dikaitkan dengan masalah pluralitas dan kemungkinan‐kemungkinan pemecahan yang baru tetap kelihatan. Ini menandakan diri – sisi semua yang klise – duduk tegar berhadapan dengan wakil posisi‐ posisi “modern”. Bagi Lyod post modern menandakan untuk “suatu Gemuetszustand” (inti perasaan hati) atau lebih dari itu suatu Geisteszustand ( Inti Roh atau budi atau jiwa), yang mana itu sebagai suatu tanggungan obsesi kesatuan dari keanekaragaman yang tidak dapat
a, pikiran dan bentuk ke
dipungkiri, seperti bentuk bahas hidupan.
Berdasarkan itu Ketuhanan Yang Maha Esa seyogyanya diterjemahkan sebagai sesuatu yang tidak dapat dijangkau (oleh akal dan budi), Kemanusiaan yang adil dan berdab seyogyanya memenuhi hak‐hak setiap orang berdasarkan kebenarnannya, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan seyogyanya menyuarakan ketidak sepakatan, Keadilan sosial
agi sel ra seyo y
b uruh kyat Indonesia g anya merupakan toleransi maksimal dalam pluralisme. Kata ”seyogyanya” pada dasarnya sebagai suatu norma atau kaidah yang ditempatkan dalam wadah yang memandang manusia sebagai pusat hukum, yang diterjemahkan sebagai hukum berlapis, yang melingkupi hukum positif dan praktek hukum, ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum sebagai kesatuan dalam pengembaraan dan pengembanan keadilan sampai keakar‐akarnya.