• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

F. MINUMAN RINGAN

Minuman ringan didefinisikan sebagai minuman tak beralkohol yang mengandung sirup, esens, atau konsentrat buah yang dicampur dengan air atau air berkarbonasi (carbonated water) dengan proporsi tertentu (Thorner dan Herzberg, 1978). CODEX General Standard for

Food Additives Online Database (2009) menggolongkan minuman ringan

menjadi beberapa kategori, yaitu: (1) air minum, (2) jus buah dan sayur, (3) nektar buah dan sayur, (4) minuman bercita rasa, termasuk minuman berenegi dan minuman berelektrolit, serta (5) kopi, teh, minuman herbal, minuman sereal dan minuman dari biji-bijian termasuk biji coklat.

Persyaratan minuman ringan menurut Green (1981), antara lain: 1. Campuran minuman tidak menimbulkan after taste yang kurang

disukai.

2. Menggunakan air yang memenuhi standar. 3. Disuguhkan dalam keadaan yang cukup dingin.

4. Jika digunakan es sebagai pendingin maka digunakan es yang tidak mudah mencair.

5. Karbonasi yang cukup memberikan efek yang menyegarkan. 6. Wadah yang jernih dan bersih.

19  

Bahan-bahan penyusun minuman ringan antara lain air, pemanis, asam, pewarna, dan pengawet. Air merupakan komponen terbesar dari minuman ringan. Persentase air dalam minuman ringan bisa mencapai 90% sehingga kualitas air yang digunakan dalam industri minuman ringan harus benar-benar terkontrol (Hougton dan Mc Donald, 1978). Air yang digunakan untuk minuman ringan harus melalui test potability sehingga dapat diminum dan bebas dari kontaminan. Di samping itu untuk mendapatkan produk akhir yang jernih dan menarik, air harus memiliki kekeruhan yang rendah (Thorner dan Herzberg, 1978). Air yang digunakan dalam industri minuman ringan telah melalui tahapan penghilangan kesadahan, penghilangan koloid dan padatan terendap, penghilangan warna, rasa, dan bau menyimpang, serta pengurangan alkalinitas, dan telah mengalami sterilisasi (Hougton dan Mc Donald, 1978).

Pemanis yang digunakan untuk minuman ringan bisa berupa gula atau pemanis buatan. Gula yang digunakan untuk minuman ringan antara lain gula kristal, gula invert, maupun gula cair (Woodroof dan Philips, 1981). Pemanis alami yang paling banyak digunakan dalam industri minuman ringan adalah sukrosa yang biasanya berupa sirup dengan konsentrasi tinggi. Konsentrasi sukrosa yang biasa ditambahkan pada minuman ringan berkisar antara 10-13% (Woodroof dan Philips, 1981).

Asam merupakan komponen penting ketiga setelah air dan gula dalam pembuatan minuman ringan. Jenis asam yang biasa digunakan dalam pembuatan minuman ringan antara lain asam sitrat. Konsentrasi asam sitrat yang biasa digunakan dalam minuman ringan adalah 1.285g/l (Woodroof dan Philips, 1981).

Pewarna digunakan dalam pembuatan minuman ringan untuk meningkatkan daya tarik konsumen. Pewarna yang ditambahkan dalam minuman ringan sebaiknya memiliki stablitas yang baik terhadap pengaruh komponen seperti gula, asam, dan flavor. Pewarna alami cendrung lebih aman bila dibandingkan pewarna sintetik (Jackman dan Smith, 1996). Namun demikian harga pewarna sintetik cendrung lebih ekonomis dibandingkan pewarna alami. Beberapa pewarna alami yang sering

digunakan adalah antosianin, karoten, dan krolofil, sedangakan pewarna sintetik yang digunakan misalnya FD&C (Food and Drugs Colorant) dalam berbagai jenis warna (Winarno, 1997).

G. SPEKTROSKOPI

Prinsip spektroskopi didasarkan pada adanya interaksi dari energi radiasi elektromagnetik dengan zat kimia. Hasil interaksi tersebut dapat menimbulkan satu atau lebih peristiwa, seperti pemantulan (refleksi), pembiasan (refraksi), interferensi, difraksi, penyerapan (absorpsi), flouresensi, fosforesensi, dan ionisasi. Dalam analisis kimia, peristiwa absorpsi merupakan dasar dari cara spektroskopi.

Spektroskopi dapat digunakan dalam aplikasi kualitatif, karena proses absorpsi tersebut bersifat unik/spesifik untuk setiap zat kimia atau segolongan zat kimia. Spektroskopi juga dapat digunakan dalam aplikasi kuantitatif, karena banyaknya absorpsi berbanding lurus dengan banyaknya zat kimia. Instrumen yang digunakan dalam metode analisis dengan prinsip spektroskopi ini disebut dengan spektrofotometri.

Spektroskopi absorpsi memiliki prinsip dasar apabila suatu cahaya putih atau radiasi dilewatkan melalui larutan berwarna maka radiasi melalui larutan berwarna akan diserap secara selektif dan radiasi lainnya akan diteruskan. Absorbansi maksimum larutan berwarna terjadi pada daerah yang berlawanan. Karena warna yang diserap adalah warna komplementer dari warna yang diamati. Contohnya larutan yang berwarna merah akan menyerap radiasi maksimum warna hijau.

H. KROMAMETER

Kromameter merupakan alat analisis warna secara tristimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Prinsip kerja alat ini adalah mengukur perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel (Hutching, 1999).

Sistem notasi warna adalah cara sistematik dan obyektif dalam menyatakan dan mendeskripsikan suatu jenis warna. Di antara sistem warna terdapat tiga macam notasi warna, yaitu ICI, Munsell, dan Hunter.

21  

Sistem ICI (International Comission on Ilumination) didasarkan pada semua warna dapat dibentuk tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru. Masing-masing warna dinyatakan sebagai X untuk warna merah, Y untuk hijau, dan Z untuk biru (Soekarto,1997).

Sistem notasi warna yang paling banyak digunakan adalah sistem Hunter yang memiliki tiga parameter untuk mendeskripsikan warna, yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan cerah atau gelapnya sampel dan memiliki skala dari 0 sampai 100. Nilai 0 menyatakan sampel sangat gelap (warna hitam) dan 100 menyatakan sampel sangat cerah (warna putih) untuk menyatakan kecerahan yang memiliki nilai 0-100. Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, dengan a positif menunjukkan warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki skala dari -80 sampai 100. Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru, dengan b positif menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna biru. Nilai b memiliki skala dari -70 sampai 70 (Francis, 1996).

Gambar 5. Diagram warna Hunter L, a, b

Pengukuran warna dengan sistem Munsell didasarkan pada tiga atribut subyektif warna, yaitu warna kromatik (hue), kecerahan (value), dan intensitas warna (chroma atau saturation). Warna kromatik (hue) meliputi warna monokromatik yang terdiri dari warna-warna pelangi dan warna campurannya. Kecerahan (value) menyatakan warna akromatik (gelap dan terangnya warna) yang berkisar dari warna hitam pekat sampai

putih bersih. Nilai intensitas warna (chroma) berkisar dari nilai tidak berwarna sampai warna penuh.

Nilai chroma (C) merupakan resultan dari nilai a dan b yang dihitung berdasarkan rumus C = √a2+b2. Semakin tinggi nilai C maka warna akan terlihat semakin tua karena intensitasnya yang meningkat. Nilai hue menunjukkan posisi warna sampel dalam diagram warna. Nilai hue menyatakan panjang gelombang dominan yang menentukan apakah warna tersebut merah, kuning, atau hijau. Nilai hue dihitung dengan rumus hue = (arctan (b/a)).

Nilai hue yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan nilai hue yang ada pada bola imajiner Munsell (Gambar 6), sehingga diperoleh data warna secara obyektif yang merupakan kisaran warna yang mendekati warna sampel sebenarnya. Nilai hue yang diperoleh harus berada dalam bentuk nilai derajat radian agar dapat diinterpretasikan ke dalam bola imajiner Munsell, setiap derajat radian tertentu menyatakan warna visual yang dilihat.

Gambar 6. Bola imajiner Munsell

Di dalam bola imajiner Munsell telah terdapat pembagian wilayah warna pada sudut-sudut tertentu. Wana merah (R) berada pada wilayah 210 sampai 520 pada kuadran satu, warna kuning-merah (YR) berada pada wilayah 530 sampai 840 pada kuadran satu, warna kuning (Y) berada pada wilayah 850 pada kuadran satu sampai 210 pada kuadran dua, warna hijau- kuning (GY) berada pada wilayah 220 sampai 610 pada kuadran dua, warna hijau (G) berada pada wilayah 620 pada kuadran dua sampai 00 pada

23  

kuadran tiga, warna biru-hijau (BG) berada pada wilayah 10 pada kuadran tigasampai 350 pada kuadran tiga, warna biru (B) berada pada wilayah 360 sampai 810 pada kuadran tiga, warna ungu-biru (PB) berada pada wilayah 820 pada kuadran tiga sampai 36 0 pada kuadran empat, warna ungu (P) berada pada wilayah 370 sampai 710 pada kuadran empat, dan warna merah-ungu (RP) berada pada wilayah 720 pada kuadran empat sampai 200 pada kuadran satu.

Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell juga dipengaruhi oleh nilai a dan b-nya. Jika nilai hue yang diperoleh pada metode Hunter bernilai negatif maka untuk menginterpretasikan warnannya pada diagram Munsell, nilai negatifnya dihilangkan terlebih dahulu, kemudian diukur pada kuadran yang paling tepat atau sesuai dengan nilai a dan b-nya. Pada kuadaran satu, a dan b bernilai positif. Pada kuadran dua, a bernilai negatif dan b bernilai positif. Pada kuadran tiga, a dan b bernilai negatif. Pada kuadran empat, a bernilai positif dan b bernilai negatif. Setelah didapatkan interpretasi warna pada diagram Munsell maka data ini dapat dibandingkan dengan penampakan visual yang ada.

Tabel 2. Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell

Hue (⁰) Warna

21 (kuadran I) - 52 (kuadran I) Merah 53 (kuadran I) – 84 (kuadran I) Merah-Kuning 85 (kuadran I) – 21 (kuadran II) Kuning 22 (kuadran II) – 61 (kuadran II) Hijau-Kuning 62 (kuadran II) – 0 (kuadran III) Hijau 1 (kuadran III) – 35 (kuadran III) Biru-Hijau 36 (kuadran III) – 81 (kuadran III) Biru 82 (kuadran III) – 36 (kuadran IV) Ungu-Biru 37 (kuadran IV) – 71 (kuadran IV) Ungu

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan baku yang digunakan adalah kelopak bunga rosela kering

(Hibiscus sabdariffa L.) sebagai sumber antosianin dan rosmarinic acid

sebagai senyawa kopigmen. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat model minuman ringan adalah air minum dalam kemasan dan sukrosa. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk ekstraksi antosianin dan analisis adalah akuades, etanol 95%, metanol 26.4M, HCl 1N, kertas Whatman No. 1, dan alumunium foil.

2. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, blender, saringan, kain saring, wadah pencampur, penyaring vakum, evaporator vakum, sendok pengaduk, pH meter, penangas air, lampu/sinar UV, spektrofotometer, kromameter, refrigerator, oven, botol berwarna (gelap), botol tidak berwarna, cawan alumunium, gelas ukur, gelas piala, labu ukur, tabung reaksi, pipet tetes, pipet mohr/volumetrik, gelas arloji, sudip, dan gelas pengaduk.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap penelitian: persiapan sampel, pembuatan model minuman ringan dengan aplikasi zat warna antosianin tunggal (tunggal) dan zat warna kopigmentasi antosianin-

rosmarinic acid, serta pengujian stabilitas warna terhadap suhu pemanasan

dan sinar UV.

1. Persiapan Sampel

Tujuan penelitian tahap ini adalah mendapatkan senyawa antosianin dari kelopak bunga rosela kering melalui metode ekstraksi secara maserasi. Senyawa yang dihasilkan merupakan bahan utama

25  

yang dijadikan sebagai subyek pada proses pencampuran pada tahap selanjutnya.

Ekstraksi antosianin dilakukan menggunakan modifikasi metode Kristie (2008) (Lampiran 1). Sebanyak 50g kelopak kering bunga rosela ditimbang, kemudian dihancurkan menggunakan blender dengan menambahkan 250ml akuades. Setelah itu, hancuran rosela dipindahkan ke dalam gelas piala dan kembali ditambahkan dengan 250ml akuades. Kemudian dilakukan proses maserasi pada suhu ruang selama 24 jam. Hasil yang diperoleh selanjutnya disaring dengan menggunakan saringan dan kain saring, untuk memisahkan hancuran bunga rosela dan ekstrak antosianin. Filtrat (ekstrak cair antosianin) yang diperoleh, kemudian ditambahkan dengan etanol 95% sebanyak ½ bagian dari volume total filtrat/ekstrak cair antosianin, untuk mengendapkan gum. Setelah disaring dengan penyaring vakum, ekstrak antosianin yang sudah tidak mengandung gum dipekatkan dengan evaporator vakum hingga diperoleh ekstrak pekat antosianin rosela. Ekstrak antosianin yang diperoleh kemudian diaplikasikan pada model minuman ringan. 2. Pembuatan Model Minuman Ringan dan Reaksi Kopigmentasi

Antosianin-Rosmarinic Acid

Pada tahap ini dibuat dua buah model minuman ringan, yaitu model minuman kontrol (antosianin tunggal/tanpa kopigmen) dan model minuman kopigmentasi (antosianin-rosmarinic acid). Model minuman ringan dibuat dengan mencampurkan sukrosa 10% (b/v) dan ekstrak antosianin ke dalam 100ml air minum dalam kemasan.

Untuk model minuman kopigmentasi, selain antosianin, ke dalam model minuman juga ditambahkan rosmarinic acid dengan perbandingan konsentrasi 1:20, 1:40, 1:60, 1:80, dan 1:100 terhadap konsentrasi antosianin. Model minuman ringan yang diperoleh selanjutnya dianalisis stabilitas warna terhadap suhu pemanasan dan penyinaran sinar ultraviolet (UV).

3. Uji Stabilitas Warna

Stabilitas warna model minuman ringan diukur menggunakan spektrofotometer UV-VIS melalui paramter A atau absorbansi pada λmax dan kromameter melalui parameter intensitas warna dengan sistem notasi warna L, a, b. Pengamatan dengan spektrofotometer menggambarkan degradasi antosianin dari segi konsentrasi kation flavilium yang terkandung di dalam model minuman ringan, sedangkan pengamatan dengan kromameter mengambarkan degradasi antosianin dari segi penampakan warna model minuman ringan. Pengujian stabilitas warna model minuman ringan ini dilakukan untuk mengetahui kinetika degradasi zat warna antosianin tunggal dan zat warna kopigmentasi antosianain-rosmarinic acid.

a. Analisis stabilitas warna terhadap suhu pemanasan

Model minuman ringan dimasukkan ke dalam botol gelap/berwarna kemudian dipanaskan pada suhu 40°C, 50ºC, 60ºC, 70ºC, dan 80°C. Kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dan intensitas warna L, a, b setiap 75 menit selama 525 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 40ºC, setiap 60 menit selama 420 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 50°C, setiap 45 menit selama 315 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 60ºC, setiap 30 menit selama 210 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 70ºC, dan setiap 15 menit selama 105 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 80°C.

b. Analisis stabilitas warna terhadap penyinaran ultraviolet

Model minuman ringan dimasukkan ke dalam botol tidak berwarna (botol terang) kemudian ditempatkan di bawah cahaya/sinar dengan panjang gelombang pendek (UV) selama 5 hari. Pengukuran absorbansi dan intensitas warna L, a, b dilakukan setiap hari (24 jam).

27  

Pengukuran kinetika degradasi zat warna antosianin tunggal dan zat warna kopigmentasi antosianain-rosmarinic acid dapat dilakukan dengan melakukan pengujian estimasi terhadap kurva regresi linear yang menggambarkan hubungan antara retensi warna dengan lama pemanasan atau penyinaran UV. Kinetika degradasi antosianin secara umum berlangsung pada ordo ke-1 (Calvi dan Francis, 1978; Ahmed et al., 2000; Ozkan et al., 2002; dan Rein, 2005). Persamaan reaksi pada ordo ke-1 dapat dilihat pada persamaan berikut:

dA dt kA

Penentuan variabel kuantitatif degradasi antosianin dilakukan melalui integrasi terhadap persamaan tersebut sehingga diperoleh persamaan matematis. Melalui persamaan matematis tersebut dapat diinterpretasikan nilai konstanta degradasi antosianin (Singh, 1994). Persamaan matematis tersebut adalah:

dA A A A k dt lnAo kt CAt ln retensi warna kt C keterangan:

At = absorbansi zat warna setelah pemanasan/penyinaran UV Ao = absorbansi zat warna sebelum pemanasan/penyinaran UV k = konstanta degradasi antosianin

t = waktu pemanasan/penyinaran UV

Konstanta laju reaksi degradasi antosianin yang diperloleh dari nilai slope hasil plot hubungan antara retensi warna dengan lama pemanasan atau penyinaran UV tersebut digunakan untuk menentukan waktu paruh degradasi (t1/2) :

Parameter besarnya ketergantungan laju reaksi degradasi warna terhadap suhu dan UV dapat dilihat dalam persamaan Arrhenius:

k ko . e R.T ln k ln ko EaR T Keterangan:

k = konstanta laju reaksi ko = faktor frekuensi Ea = energi aktivasi

R = tetapan gas (1.987 kal/mol.K atau 8.314 J/mol.K) T = suhu mutlak (K)

Peningkatan kestabilan atau penghambatan degradasi warna antosianin akibat reaksi kopigmentasi dapat diamati melalui perbandingan nilai energi aktivasi (Ea) reaksi degradasi antosianin tanpa penambahan kopigmen dan antosianin dengan penambahan kopigmen rosmarinic acid. Semakin rendah energi aktivasi maka semakin mudah antosianin terdegradasi. Penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen diharapkan mampu meningkatkan energi aktivasi reaksi degradasi warna pigmen antosianin.

4. Metode Analisis

a. Penentuan rendemen ekstrak

Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen ekstrak dapat dilihat pada rumus di bawah ini:

Rendemen ekstrak Berat bahan awal g x Berat ekstrak g % b. Penentuan total padatan (AOAC, 1995)

Sebanyak 1-2g sampel ditimbang dan diletakkan di dalam cawan petri kemudian diuapkan menggunakan penangas selama 30 menit. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100- 105°C selama 3.5 jam. Selanjutnya cawan didinginkan dalam desikator.

29  

Setelah dingin cawan ditimbang dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven selama beberapa menit. Kemudian cawan dimasukan ke dalam desikator kembali untuk didinginkan dan ditimbang. Tahap ini dilakukan berulang sampai diperoleh berat yang konstan dari sampel. Total padatan terlarut Berat sampel setelah pengeringanBerat awal sampel % c. Penentuan total antosianin (modifikasi Iglesias et al., 2008)

Sebanyak 0.2g sampel ekstrak antosianin dicampurkan dengan larutan pengekstrak metanol (26.4M) + HCl (1N) = 98 + 2 hingga diperoleh campuran larutan dengan volume 10ml. Larutan dibiarkan selama 24 jam pada suhu 4ºC di ruang gelap. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi larutan pada panjang gekombang 543nm.

Konsentrasi antosianin dihitung sebagai delfinidin 3-glukosida dengan bobot molekul 501g/mol dan koefiien ekstingsi molar pada 543nm sebesar 2.94x104l/mol.cm dengan menggunakan rumus:

A = ε . b. c Keterangan:

A = absorbansi antosianin pada λ 543nm

ε = koefisien ekstingsi molar = 2.94x104l/mol.cm b = lebar kuvet (cm)

c = konsentrasi antosianin (M = mol/l)

Total antosianin sampel dihitung dengan rumus: Jumlah antosainin (mg/g) = M V P Keterangan:

c = konsentrasi antosianin (mol/l)

BM = berat molekul antosianin pada rosela (delfinidin 3-glukosida, BM = 501g/mol)

V = volume larutan FP = faktor pengenceran

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. EKSTRAKSI ANTOSIANIN DARI ROSELA

Menurut Harbone (1987), ekstraksi adalah proses penarikan komponen/zat aktif suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan metode ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif, serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar.

Ekstraksi antosianin biasanya dilakukan dengan menggunakan air, air yang mengandung SO2, dan alkohol yang diasamkan (Markakis, 1982). Esselen dan Sammy (1973) menggunakan air panas untuk mengekstrak delfinidin dan sianidin mono dan biosida dari Hibiscus sabdariffa. Ekstraksi antosianin dari kelopak kering bunga rosela pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pelarut air, karena air bersifat polar dan tidak bersifat toksik sama sekali.

Polaritas merupakan hal yang penting diperhatikan dalam proses ekstraksi. Polaritas antara bahan pengekstrak harus sama dengan polaritas bahan yang diekstraknya. Senyawa yang polar hanya dapat larut dalam pelarut yang polar, demikian pula senyawa yang bersifat non-polar hanya dapat larut pada pelarut non-polar juga. Menurut Timberlake dan Bridle (1966), antosianin merupakan komponen yang bersifat polar sehingga akan lebih mudah larut dalam pelarut yang bersifat polar juga.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kristie (2008), ekstrak rosela yang diperoleh melalui proses ekstraksi secara maserasi dengan pelarut air, diduga masih banyak mengandung gum dan gula. Hal tersebut menyebabkan ekstrak memiliki tekstur yang padat dan lengket. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan modifikasi tahapan ekstraksi dengan penambahan etanol 95%, untuk mengikat gum dan gula yang masih terekstrak. Filtrat (ekstrak cair antosianin) yang diperoleh dari proses maserasi ditambahkan dengan etanol 95% sebanyak ½ bagian dari

31  

volume total filtrat, kemudian untuk memisahkan gum dari ekstrak cair antosianin, dilakukan penyaringan secara vakum.

Proses pemekatan atau penguapan pelarut dilakukan dengan evaporator vakum pada suhu 40°C. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan pigmen antosianin terhadap panas yang berlebihan. Penguapan terjadi pada ruangan vakum yang memiliki tekanan rendah sehingga dibutuhkan suhu yang relatif rendah. Pada akhir proses pemekatan, ekstrak antosianin rosela yang didapat masih memiliki tekstur padat, keras, dan lengket. Hal ini diduga karena masih banyak gum dan gula yang ikut terkstrak bersama dengan ekstrak antosianin rosela tersebut.

Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen ekstrak antosianin rosela yang diperoleh adalah sebesar 30.84% (b/b) (Lampiran 2).

Gambar 7. Ekstrak antosianin dari rosela

B. KARAKTERISTIK EKSTRAK ANTOSIANIN DARI ROSELA

Setelah diperoleh ekstrak antosianin dari rosela, selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap ekstrak antosianin yang diperoleh, yaitu perhitungan total padatan ekstrak, perhitungan total antosianin ekstrak, pengukuran pH ekstrak saat dilarutkan dalam akuades, dan pengukuran intensitas warna. Karakteristik ekstrak antosianin dari rosela dapat dilihat pada Tabel 3.

Perhitungan total padatan ekstrak dilakukan untuk mengetahui berat ekstrak kering yang diperoleh. Perhitungan total padatan ini didasarkan pada metode AOAC (1995). Total padatan ekstrak antosianin rosela yang diperoleh adalah sebesar (72.22 ± 0,007)% (Lampiran 3).

Perhitungan total antosianin ekstrak dilakukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 543nm. Total antosianin yang terdapat dalam ekstrak antosianin rosela adalah sebesar (2.7886 ± 0.0771) mg/g ekstrak dan dinyatakan sebagai delfinidin 3-glukosida (Lampiran 4).

Pengukuran pH ekstrak digunakan untuk mengetahui nilai pH ekstrak antosianin rosela saat dilarutkan dalam akuades. Pengukuran pH ini dilakukan dengan menggunakan alat pHmeter. Nilai pH ekstrak antosianin rosela ketika dilarutkan di dalam akuades adalah sebesar (2.54 ± 0.02) (Lampiran 5).

Intensitas warna ekstrak antosianin rosela dilakukan untuk mengetahui kisaran warna ekstrak antosianin rosela yang diperoleh. Pengukuran intensitas warna ekstrak antosianin rosela ini dilakukan menggunakan kromameter dengan sistem notasi warna Hunter (L, a, b). Ekstrak antosianin rosela yang diperoleh berwarna merah gelap (merah pekat) dengan nilai L (derajat kecerahan) sebesar 22.16, nilai a (derajat kemerahan) sebesar 1.71, dan nilai b (derajat kekuningan) sebesar -1.04. Nilai ⁰hue ekstrak antosianin rosela yang diperoleh adalah sebesar -31.31. Berdasarkan diagram Munsell, nilai ⁰hue ini berada pada kisaran warna ungu-biru (PB).

Tabel 3. Karakteristik ekstrak antosianin rosela

Karakteristik ekstrak Nilai Total padatan (%) 72.22 ± 0.007 Total antosianin (mg/g ekstrak) 2.7886 ± 0.0771

pH 2.54 ± 0.02 Intensitas warna L = 22.16 a = + 1.71 b = - 1.04 ⁰hue = -31.31 (PB)

33  

C. PEMBUATAN MODEL MINUMAN RINGAN DAN REAKSI KOPIGMENTASI ANTOSIANIN-ROSMARINIC ACID

Model minuman ringan dibuat dengan mencampurkan 100ml air minum dalam kemasan dan sukrosa 10% (b/v). Setelah itu ekstrak antosianin rosela diaplikasikan ke dalam model minuman ringan. Antosianin dilarutkan dalam model minuman ringan dengan konsentrasi 3x10-5M. Untuk model minuman kopigmentasi, selain antosianin, ke dalam model minuman juga ditambahkan rosmarinic acid dengan perbandingan konsentrasi 1:20, 1:40, 1:60, 1:80, dan 1:100 terhadap konsentrasi antosianin (Lampiran 6).

Mengingat ekstrak antosianin rosela yang diperoleh memiliki tekstur yang padat, keras, dan lengket, maka untuk mempermudah pengaplikasian ke dalam model minuman ringan, ekstrak antosianin rosela tersebut terlebih dahulu dilarutkan dalam air minum dalam kemasan, sehingga diperoleh larutan stok ekstrak antosianin rosela, yang kemudian diaplikasikan ke dalam model minuman ringan. Sebelum diaplikasikan ke dalam model minuman ringan, terlebih dahulu dilakukan analisis kandungan total antosianin yang terdapat dalam setiap ml larutan stok ekstrak antosianin rosela. Volume larutan stok ekstrak antosianin rosela yang diaplikasikan ke dalam model minuman ringan disesuaikan dengan kandungan total antosianin yang terdapat dalam tiap ml larutan stok tersebut.

D. ANALISIS STABILITAS WARNA MODEL MINUMAN RINGAN Analisis stabilitas warna model minuman ringan dilakukan untuk melihat pengaruh reaksi kopigmentasi rosmarinic acid terhadap antosianin rosela terhadap pemanasan dan penyinaran ultraviolet (UV). Parameter yang diamati pada model minuman ringan meliputi absorbansi dan intensitas warna.

Absorbansi model minuman ringan diamati dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis Spectronic 20D pada panjang gelombang

Dokumen terkait