• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan Rosmarinic Acid terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan Rosmarinic Acid terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan."

Copied!
270
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Warna merupakan salah satu atribut sensori yang mempengaruhi kualitas dan penerimaan suatu produk pangan. Sebelum faktor-faktor lain, seperti cita rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat mikrobiologis dipertimbangkan, secara visual warna tampil lebih dulu dan terkadang sangat menentukan mutu bahan pangan. Produk pangan yang memiliki warna yang menarik akan memiliki peluang yang lebih besar untuk dibeli oleh konsumen. Hal ini menyebabkan penggunaan pewarna pada produk pangan semakin meningkat dan berkembang dengan pesat. Penggunaan pewarna pada produk pangan pada umumnya dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas produk pangan, terutama dalam hal penampakan, dengan demikian daya tarik konsumen terhadap produk pangan tersebut dapat meningkat.

Berdasarkan sumbernya, pewarna dalam produk pangan dapat diklasifikasikan menjadi pewarna alami dan sintetik (DeMan, 1985; Winarno, 1997). Pada umumnya pewarna sintetik lebih banyak digunakan di industri pangan daripada pewarna alami. Hal ini dikarenakan pewarna sintetik lebih mudah dan murah untuk diproduksi. Selain itu pewarna sintetik juga memiliki kestabilan warna yang lebih baik dibandingkan pewarna alami. Namun penggunaan pewarna sintetik untuk produk pangan seringkali menimbulkan masalah kesehatan, seperti diare, keracunan, kanker, stroke, dan penyakit jantung. Keadaan ini menimbulkan perubahan tuntutan di kalangan masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya faktor keamanan pangan. Sejalan dengan hal itu, penggunaan pewarna alami yang relatif lebih aman mulai banyak dikembangkan. Selain faktor keamanan, pemilihan pewarna alami sebagai pewarna pada berbagai produk pangan juga disebabkan oleh sifat fungsional yang terkandung dalam pewarna alami tersebut bagi kesehatan tubuh.

(2)

yang berwarna merah dan ungu. Pigmen antosianin memberikan warna merah yang kuat dan tajam pada pH asam, sehingga aplikasi antosianin sebagai pewarna makanan dan minuman dapat dilakukan pada pH produk yang memiliki pH asam, seperti untuk minuman ringan, minuman beralkohol, manisan, saus, pikel, makanan beku atau makanan kalengan, dan yoghurt.

Pigmen antosianin telah sejak lama dikonsumsi oleh manusia dan hewan bersamaan dengan buah atau sayuran yang mereka makan. Selama ini tidak pernah terjadi suatu penyakit atau keracunan yang disebabkan oleh pigmen ini (Brouillard, 1982). Bahkan menurut penelitian yang telah banyak dilakukan, pigmen antosianin terbukti memilki efek positif terhadap kesehatan (Timberlake dan Bridle, 1997). Banyak bukti telah menunjukkan bahwa antosianin bukan saja tidak beracun (non-toxic), tetapi juga memiliki sifat pharmacological dan theuraphetic yang positif. Oleh karena itu, pigmen ini dapat dikonsumsi tanpa menunjukkan efek negatif bagi kesehatan. Wagner (1985) mengungkapkan bahwa ekstrak pigmen antosianin memiliki aktivitas antiinflammatori dan antiodema. Sifat penting lain yang dimiliki pigmen antosianin adalah aktivitas antioksidan dan pencegahan pembentukan radikal bebas (Tsuda et al., 1996, Gabrielska et al., 1999, dan Sarma et al., 1997).

Salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber antosianin yang baik adalah rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Sebanyak 85% dari total antosianin yang terdapat pada tanaman rosela diidentifikasi sebagai delfnidin-3-sambubiosida yang memberikan warna merah pada hasil ekstraksi rosela. Antosianin rosela juga terbukti memiliki efek positif bagi kesehatan manusia. Wang et al. (2000) menyatakan bahwa kelompok pigmen antosianin yang berasal dari tanaman rosela atau Hibiscus sabdariffa L. mampu menurunkan resiko luka pada hati, termasuk peradangan, perembesan sel leukosit, dan necrosis.

(3)

peningkatan suhu, maupun cahaya. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kestabilan warna merah dari antosianin adalah dengan kopigmentasi.

Efek kopigmentasi dapat dijabarkan sebagai suatu fenomena yang menyebabkan warna pigmen antosianin menjadi lebih merah dan lebih stabil. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara struktur antosianin dengan molekul lain yang disebut dengan senyawa kopigmen, yaitu flavonoid (flavon dan flavonol) dan polifenol lain (asam fenolik), alkaloid (kafein), asam amino, asam organik, nukleotida, polisakarida, logam (Al3+, Fe3+, Sn2+, Cu2+), dan bahkan antosianin itu sendiri. Interaksi komponen-komponen tersebut dapat terjadi melalui intermolecular copigmentation, intramolecular copigmentation, metal complexation, atau self association.

Senyawa kopigmen yang digunakan pada penelitian ini adalah rosmarinic acid. Rosmarinic acid (C18H16O8) merupakan golongan asam fenolik yang ditemukan pada tanaman herbal, seperti rosemary, oregano, sage, thyme, dan peppermint. Penggunaan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen didasarkan pada penelitian Adawiyah et al. (2008) yang menggunakan empat jenis asam fenolik sebagai senyawa kopigmen, yaitu ferulic acid (asam ferulat), sinapic acid (asam sinapat), chlorogenic acid (asam klorogenat), dan rosmarinic acid (asam rosmarinat) untuk meningkatkan kestabilan antosianin dari ekstrak tanaman rosela. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, jenis kopigmen yang memberikan hasil terbaik dalam meningkatkan kestabilan antosianin adalah rosmarinic acid.

(4)

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh proses kopigmentasi pewarna alami antosianin dari rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan senyawa kopigmen rosmarinic acid terhadap kualitas dan stabilitas warna merah yang dihasilkan pada model minuman ringan.

C. MANFAAT PENELITIAN

(5)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. ROSELA (Hibiscus sabdarifa L.)

Gambar 1. Tanaman Hibiscus sabdarifa Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Malvales Suku : Malvaceae Marga : Hibiscus

Jenis : Hibiscus sabdariffa L

Rosela adalah tumbuhan yang berasal dari India dan memiliki nama latin Hibiscus sabdariffa L. Tumbuhan ini dikenal sebagai penghasil serat bermutu yang dimanfaatkan untuk membuat karung goni. Rosela merupakan tumbuhan semak yang tingginya mencapai 3m. Batangnya bulat, tegak, percabangan simpodial, memiliki kambium, dan berwarna merah. Daunnya tunggal dengan bentuk bulat seperti telur. Tipe tulang daunnya adalah menjari. Ujung daun tumpul, tepinya beringgit, dan pangkalnya berlekuk. Panjang daun rosela sekitar 6-15cm dan lebarnya 5-8cm. Panjang tangkai daun 4-7cm dengan penampang bulat dan warna hijau.

(6)

Rosela merupakan tumbuhan yang berkembang baik di daerah beriklim tropis dan subtropis. Budidayanya dapat dilakukan di segala macam tanah, tetapi paling cocok pada tanah yang subur dan gembur. Tumbuhan ini dapat tumbuh di daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 900m di atas permukaan laut. Curah hujan yang dibutuhkan adalah 180cm. Jika curah hujan tidak mencukupi, irigasi akan memberikan hasil yang baik (Maryani dan Kristiana, 2005).

Rosela yang direbus dalam air panas, menghasilkan minuman yang berwarna merah. Warna merah ini dapat dimanfaatkan sebagai zat warna alami pada berbagai produk pangan. Komponen yang berperan memberikan warna merah pada hasil ekstraksi rosela ini merupakan pigmen dari golongan antosianin. Puckhaber (2002) menyatakan bahwa ekstrak bunga dari genus Hibiscus kebanyakan mengandung antosianin jenis delfinidin, sianidin, petunidin, miricetin, pelargonidin, malvidin, quercetin, dan kaempferol. Sebanyak 85% dari total antosianin yang

terdapat pada tanaman rosela diidentifikasi sebagai delfinidin 3-sambubiosida yang memberikan warna merah pada hasil ekstraksi

rosela. Selain itu, golongan antosianin lain yang juga terdapat pada tanaman rosela adalah sianidin 3-samubiosida yang memberikan warna pink pada hasil ekstraksi rosela (Hong dan Wrolstad, 1990, Tsai dan Ou, 1996; Tsai et al., 2002). Selain dua antosianin utama tersebut, ekstrak cair dari kelopak kering bunga rosela juga mengandung komponen antosianin minor, yaitu delfinidin 3-glukosida dan sianidin 3-glukoasida (Du dan Francis, 1973). Selain itu rosela juga mengandung komponen fenolik lainnya yang memiliki aktivitas antioksidan.

B. PEWARNA MAKANAN

(7)

yang baik, rasa yang enak, dan tekstur yang baik tetapi memiliki warna yang kurang menarik akan memberikan kesan menyimpang pada produk pangan tersebut.

Pewarna makanan adalah zat warna alami maupun buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan dan minuman untuk memperoleh warna yang diinginkan (Enie, 1987). Tujuan penambahan pewarna ke dalam makanan dan minuman antara lain adalah untuk memperbaiki penampakan produk pangan yang memudar akibat pengolahan, memperoleh penampakan warna yang seragam, memperoleh warna yang lebih tua dari aslinya, melindungi flavor dan vitamin yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan, memperoleh penampakan yang lebih menarik dari aslinya, untuk memberi identitas produk, dan sebagai indikator visual dari kualitas (Tjahjadi, 1987).

Ketentuan mengenai penggunaan pewarna di Indonesia diatur dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 dan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) 01-0222-1995 mengenai Bahan Tambahan Makanan (BTM). Pewarna makanan terbagi menjadi tiga golongan, yaitu pewarna alami, pewarna identik alami dan pewarna sintetik (Bauernfeind, 1981).

Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang diperoleh dari bahan nabati, hewani, atau sumber-sumber mineral. Contoh pewarna alami antara lain curcumin, riboflavin, klorofil, antosianin, brazilein, dan karotenoid.

Pewarna identik alami merupakan pewarna yang disentetis secara kimia sehingga menghasilkan pewarna dengan struktur kimia yang sama/identik dengan pewarna alami. Yang termasuk golongan ini adalah karotenoid murni, antara lain: canthaxanthin (merah), apo-karoten (merah-oranye), beta-karoten (oranye-kuning). Semua zat warna ini memiliki batas konsentrasi maksimum penggunaan, kecuali beta-karoten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak terbatas.

(8)

bukan dengan cara ekstraksi atau isolasi (Hendry, 1996). Berdasarkan rumus kimianya, pewarna sintetik dalam makanan menurut Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additive (JECFA) dapat digolongkan dalam beberapa kelas, yaitu azo, triarilmetana, quinolin, xanten, dan indigoid. Kelas azo merupakan pewarna sintetik yang paling banyak jenisnya dan mencakup warna kuning, oranye, merah, ungu, dan coklat, setelah itu kelas triarilmetana yang mencakup warna biru dan hijau. Berdasarkan kelarutannya dikenal dua macam pewarna sintetis, yaitu dyes dan lakes. Dyes adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air, sedangkan lakes merupakan zat pewarna yang tidak larut pada hampir semua jenis pelarut.

Bila dibandingkan dengan pewarna sintetik, penggunaan zat warna alami mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain: memberikan rasa dan flavor khas yang tidak diinginkan, konsentrasi dan stabilitas pewarna yang rendah, keseragaman warna kurang baik, dan spektrum warna yang kurang luas. Pewarna sintetik lebih banyak digunakan dalam pembuatan berbagai macam produk pangan karena memiliki kestabilan warna yang baik dan memiliki spektrum warna yang luas.

(9)

C. ANTOSIANIN

Antosianin merupakan salah satu bagian penting dalam kelompok pigmen setelah klorofil. Antosianin berasal dari bahasa Yunani, anthos yang berarti bunga dan kyanos yang berarti biru gelap. Antosianin merupakan pigmen yang larut dalam air, menghasilkan warna dari merah sampai biru, dan tersebar luas dalam buah, bunga, dan daun (Jackman dan Smith, 1996). Antosianin umumnya ditemukan pada buah-buahan, sayur-sayuran, dan bunga, contohnya pada anggur, strawberry, blackberry, blueberry, raspberry, cherry, apel merah, bunga ros, bunga/kembang sepatu, kol ungu, pir merah, plum, cabai merah, dan sebagainya (Jackman dan Smith, 1996).

Warna yang diberikan oleh antosianin bervariasi dari merah, jingga, ungu, atau biru pada jaringan tanaman. Antosianin terdapat pada vakuola sel bagian tanaman. Vakuola adalah organel sitoplasmik yang berisikan air, serta dibatasi oleh membran yang identik dengan membran tanaman (Kimbal, 1993).

Antosianin tergolong ke dalam turunan flavonoid. Struktur utamanya ditandai dengan adanya dua cincin aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin (Jackman dan Smith, 1996). Secara kimia, antosianin merupakan hasil turunan dari glikosilasi polihidroksi dan/atau polimetoksi dari garam 2-benzopirilium atau dikenal dengan struktur kation flavilium atau benzilflavilum (3,5,7,4’-tetrahidroksiflavilum) yang merupakan struktur dasar dari antosianidin (Timberlake dan Bridle, 1997).

(10)

1990). Struktur kimia antosianidin dapat dilihat pada Gambar 2. Sampai saat ini terdapat lebih dari dua puluh jenis antosianidin yang telah diidentifikasi, namun hanya enam yang memegang peranan penting dalam bahan pangan, yaitu sianidin, malvidin, petunidin, pelargonidin, delfinidin, dan peonidin.

Gambar 2. Struktur kimia antosianidin (Castaneda-Ovando et al., 2009) Tabel 1. Gugus pengganti pada struktur kation flavilium (antosianidin)

untuk membentuk antosianin

Antosianidin Substitusi (R) Warna

3 5 6 7 3’ 5’

Pelargonidin OH OH H OH H H Oranye Sianidin OH OH H OH OH H

Oranye-Merah Delfinidin OH OH H OH OH OH

Biru-Merah Peonidin OH OH H OH OMe H Oranye-Merah Petunidin OH OH H OH OMe OH

Biru-Merah Malvidin OH OH H OH OMe OMe

(11)

disakarida, yang merupakan dua buah monosakarida dengan kombinasi dari keempat monosakarida di atas dan xilosa, seperti rutinosa, dan (3) trisakarida, merupakan tiga buah monosakarida yang mengandung kombinasi dari gula-gula di atas dalam posisis linear maupun rantai cabang.

Keragaman antosianin dapat terjadi karena perbedaan sifat gula, jumlah satuaan gula, dan letak ikatan gulanya. Glikosilasi dapat meningkatkan kestabilan dan kelarutan antosianin di dalam air, sebab antosianidin kurang stabil dan kurang larut air dibandingkan antosianin (Timberlake dan Bridle, 1966).

Molekul lain yang terdapat pada inti kation flavilium adalah p-coumaric, ferulic, cafeic, malonic, atau asam asetat. Satu atau lebih molekul tersebut dapat terasilasi pada molekul gulanya (Francis, 1985). Grup asil dengan jumlah dan posisi tertentu yang terikat dapat meningkatkan kestabilan antosianin terutama terhadap cahaya dan pH (Francis, 1982; Shi et al., 1992). Brouillard (1982) menyatakan bahwa dua grup asil dibutuhkan untuk retensi warna maksimum, di mana satu grup asil terletak di atas cincin pirilium dan yang satunya di bawahnya. Dengan adanya grup asil maka interaksi hidrofobik antara grup asil dengan cincin pirilium meningkat sehingga dapat mencegah hidrasi cincin pirilium. Semakin kuat interaksi hidrofobik ini maka cincin pirilium akan semakin tahan terhadap hidrasi sehingga pigmen antosianin akan lebih stabil.

(12)

akan menyebabkan warna cenderung merah dan relatif stabil (Jackman dan Smith, 1996).

Warna pigmen antosianin juga dipengaruhi oleh pelarut. Warna antosianin akan menjadi lebih biru pada pelarut alkohol dibandingkan dengan pelarut air (Swain, 1976). Kondisi yang sedikit asam akan meningkatkan intensitas warna dari pigmen antosianin. Selain itu, terikatnya beberapa jenis gula juga dapat meningkatkan intensitas warna dan pigmen antosianin (Lewis et al., 1995).

Antosianin di alam terdapat dalam bentuk struktur primer, sekunder, tersier, kuartener. Dalam bentuk primer, struktur antosianin berbentuk kation falvium, yang terikat gugus hidroksi, metoksi, atau o-glikosil. Struktur sekunder merupakan struktur yang paling banyak ditemukan dalam tanaman. Struktur ini didapatkan melalui proses hidrasi, transfer porton, dan tautomerasi dari struktur primer. Struktur sekunder ini ditemukan saat antosianin dilarutkan dalam air. Struktur sekunder yang berwarna, biasanya tidak stabil atau mudah hilang dan pudar (Brouillard, 1982).

(13)

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kestabilan antosianin, antara lain pengaruh reaksi enzimatis dan non enzimatis. Faktor-faktor non enzimatis yang mempengaruhi kestabilan antosianin antara lain pH, cahaya, dan suhu (Elbe dan Schwartz, 1996).

Secara enzimatis, kehadiran enzim antosianase atau polifenol oksidase akan mempengaruhi kestabilan antosianin karena bersifat merusak antosianin. Menurut Rein (2005) beberapa enzim dapat berperan dalam proses degradasi antosianin misalnya glukosidase dan PPO (polyphenol oxidase). Enzim glukosidase mampu menstimulasi terjadinya hidrolisis pada ikatan gula antara gugus aglikon dengan gugus glikon. Hidrolisis tersebut menyebabkan terbukanya cincin aromatik sehingga membentuk senyawa kalkon (Markakis, 1982). Menurut Jackman dan Smith (1996), adanya enzim glukosidase yang ditambahkan pada jus blueberry yang mengandung sianidin 3-glukosida menyebabkan pemudaran warna akibat hidrolisis ikatan glikosidik.

Pada medium air, antosianin terdapat dalam empat bentuk struktur kesetimbangan yaitu, basa quinonoidal berwarna ungu, kation flavium berwarna merah, basa karbinol/hemiasetal/pseudobasa, dan kalkon yang tidak berwarna. Bentuk kesetimbangan ini dipengaruhi oleh pH. Pada pH rendah (pH < 2), struktur kation flavium (merah) dominan. Pada pH 3-6, struktur kation flavilium mengalami serangan nukleofilik oleh molekul air, menghasilkan struktur basa karbinol/hemiasetal (tidak berwarna). Selanjutnya struktur basa karbinol/hemiasetal yang terbentuk ini dapat mengalami kesetimbangan tautomerik (kesetimbangan antara bentuk keto dan enol) menghasilkan struktur kalkon (tidak berwarna). Pada pH yang lebih tinggi (pH 6-8) terjadi reaksi deprotonisasi menghasilkan struktur basa quinonoidal (ungu). Peningkatan pH lebih lanjut (pH > 10) akan mengakibatkan terjadinya reaksi deprotonisasi lanjutan pada basa quinonoidal (ungu) menghasilkan struktur basa quinonoidal terionisasi (biru).

(14)

Bockian (1960), menyatakan bahwa suhu mempunyai pengaruh yang nyata sekali terhadap destruksi antosianin. Markakis (1982), mengemukakan bahwa kerusakan atau perubahan struktur antosianin akibat peningkatan suhu terjadi melalui tahapan: (1) terjadinya hidrolisis pada ikatan glikosidik antosianin pada posisi 3 dan menghasilkan aglikon-aglikon yang labil, (2) terbukanya cincin aglikon-aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kalkon yang tidak berwarna. Degradasi lebih lanjut dari antosianin ini akan menghasilkan produk yang berwarna coklat terutama jika terdapat molekul oksigen.

Brouillard (1982), mengemukakan bahwa reaksi kesetimbangan di antara struktur basa quinonoidal (ungu) ↔ kation flavilium (merah) ↔ basa karbinol/hemiasetal/pseudobasa (tidak berwarna) ↔ kalkon (tidak berwarna) adalah bersifat endotermik jika berjalan dari kiri ke kanan. Dengan demikian, adanya panas akan menggeser kesetimbangan menuju ke kanan, yaitu kalkon. Senyawa kalkon mampu terdegradasi membentuk senyawa yang lebih sederhana yang meliputi asam karboksilat seperti asam benzoat tersubtitusi dan karboksil aldehid seperti 2,4,6-trihidroksibenzaldehid (Jackman dan Smith, 1996).

Cahaya merupakan faktor yang turut berperan dalam proses degradasi antosianin. Cahaya memiliki energi tertentu yang mampu menstimulasi terjadinya reaksi fotokimia (fotooksidasi) dalam molekul antosianin (Jackman dan Smith, 1996). Reaksi fotokimia dapat menyebabkan pembukaan cincin aglikon pada antosianin yang diawali oleh pembukaan cincin karbon no. 2. Pada akhirnya reaksi fotooksidasi ini akan membentuk senyawa yang tidak berwarna seperti kalkon sebagai indikator degradasi antosianin. Degradasi lanjutan dapat membentuk senyawa turunan lain seperti 2,4,6-trihidroksibenzaldehid dan asam benzoat tersubtitusi (Jackman dan Smith, 1996).

(15)

D. KOPIGMENTASI

Stabilitas warna antosianin dapat dipertahankan atau ditingkatkan dengan reaksi kopigmentasi. Fenomena kopigmentasi pertama kali teramati pada tahun 1916 oleh Willstätter dan Zollinger yang mengamati warna pigmen anggur yang berubah warna dari merah menjadi merah kebiruan dengan penambahan asam tanat dan asam galat (Rein, 2005).

Kopigmentasi merupakan interaksi antara struktur antosianin dengan molekul lain seperti logam (Al3+, Fe3+, Sn2+, Cu2+) dan molekul organik lain seperti senyawa falvonoid (flavon, flavonon, dan flavonol), senyawa alkaloid (kafein), dan sebagainya. Adanya kopigmentasi antara antosianin dengan logam molekul organik lain cenderung meningkatkan stabilitas warna antosianin (Jackman dan Smith, 1996).

Kopigmentasi secara alami dapat memperbaiki warna antosianin pada produk pangan. Menurut Castaneda-Ovando et al. (2008), reaksi kopigmenatsi dapat terjadi melalui empat mekanisme interaksi, yaitu intermolecular copigmentation, intramolecular copigmentation, metal complexation, ataupun self association. Keempat mekanisme tersebut pada antosianin digambarkan oleh Rein dan Heinonen (2004) seperti dapat dilihat pada Gambar 3.

(16)

Mekanisme self association, yaitu interaksi antara antosianin dengan antosianin lain sebagai senyawa kopigmen dengan bantuan gugus gula sebagai pengikat. Mekanisme metal complexation merupakan interaksi pembentukan kompleks antara antosianin dengan logam sebagai senyawa kopigmen.

Pada mekanisme intermolecular copigmentation, interaksi terjadi antara antosianin dengan senyawa flavonoid atau komponen fenolik sebagai senyawa kopigmen. Pada mekanisme intramolecular copigmentation, interaksi terjadi antara antosianin dengan bagian dari molekul antosianin itu sendiri, misalnya dengan gugus asil melalui reaksi kimia atau dengan bantuan perlakuan fisik. Pengikatannya dapat terjadi dengan bantuan gugus gula.

Fenomena kopigmentasi teramati sebagai pergeseran panjang gelombang maksimum yang dikenal dengan nama efek batokromik atau efek hiperkromik. Efek batokromik (Δλmax) ialah pergeseran absorpsi panjang gelombang maksimum (λmax). Pada antosianin teramati pergeseran warna dari merah menjadi merah kebiruan (bluing effect) akibat adanya kopigmentasi. Efek hiperkromik (ΔA), ialah peningkatan intensiatas warna antosianin setelah kopigmentasi.

Pada anggur, ketidakstabilan dan reaktivitas antosianin bersama-sama dengan reaksi kopigmentasi diperkirakan bertanggung jawab terhadap perubahan warna pada proses pemeraman anggur. Pada buah dan produk berry, warna juice, puree, jam, dan sirup dapat dipertajam dan distabilkan dengan kopigmentasi, sehingga meningkatkan penerimaan konsumen dan memperpanjang umur simpan produk (Viguera et al., 1999; Rein dan Heinonen, 2004).

(17)

Dari jenis flavonol, rutin dan quercetin merupakan jenis kopigmen yang menghasilkan efek kopigmentasi kuat. Rutin menginduksi pergeseran batokromik 30nm dan quercetin 28nm terhadap malvidin 3.5-diglukosida pada pH 3.2 (Chen and Hrazdina, 1981).

Dari golongan asam fenolik, ferulic acid merupakan salah satu yang tergolong efisien sebagai kopigmen (Markovic et al., 2000). Rein dan Heinonen (2004) menggunakan ferulic acid, sinapic acid, dan rosmarinic acid untuk memperbaiki kualitas juice berry. Selain itu gallic acid (Rein, 2005), tanin (Cai et al., 1990), dan chlorogenic acid (Brouillard et al., 1991) juga dapat digunakan sebagai kopigmen. Rein dan Heinonen (2004) menyatakan bahwa intensitas pelargonidin 3-glukosida yang dikopigmentasi oleh ferulic acid dan caffeic acid meningkat dan mampu bertahan selama penyimpanan.

Seperti halnya reaksi pada antosianin umumnya, reaksi kopigmentasi juga dipengaruhi oleh pH (Wilska-Jeszka dan Korzuchowaka, 1996), temperatur (Ba Kowska et al., 2003), pelarut (Brouillard et al., 1991) dan struktur molekulnya. Efek kopigmentasi akan lebih efisien jika konsentrasi kopigmentasi lebih besar dibandingkan konsentrasi antosianin (Asen et al., 1972; Scheffeldt dan Hrazdina, 1978). Pada pH rendah, karena dominasi utama kation flavium (pH < 2), reaksi kopigmentasi kurang efektif dibandingkan pada pH 2-5, yaitu ketika terjadi kesetimbangan dengan bentuk quinoidalnya (Williams dan Hrazdina, 1979).

E. ROSMARINIC ACID

(18)

Gambar 4. Rosmarinic acid

Rosmarinic acid banyak ditemukan pada tanaman herbal dari suku Boraginaceace dan Lamiaceae (Litvinenko et al., 1975), seperti rosemary, oregano, sage, thyme, dan peppermint. Hasil penelitian Olah et al., (2003) menunjukkan bahwa daun tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) mengandung komponen/senyawa turunan caffeic acid, salah satunya rosmarinic acid.

F. MINUMAN RINGAN

Minuman ringan didefinisikan sebagai minuman tak beralkohol yang mengandung sirup, esens, atau konsentrat buah yang dicampur dengan air atau air berkarbonasi (carbonated water) dengan proporsi tertentu (Thorner dan Herzberg, 1978). CODEX General Standard for Food Additives Online Database (2009) menggolongkan minuman ringan menjadi beberapa kategori, yaitu: (1) air minum, (2) jus buah dan sayur, (3) nektar buah dan sayur, (4) minuman bercita rasa, termasuk minuman berenegi dan minuman berelektrolit, serta (5) kopi, teh, minuman herbal, minuman sereal dan minuman dari biji-bijian termasuk biji coklat.

Persyaratan minuman ringan menurut Green (1981), antara lain: 1. Campuran minuman tidak menimbulkan after taste yang kurang

disukai.

2. Menggunakan air yang memenuhi standar. 3. Disuguhkan dalam keadaan yang cukup dingin.

4. Jika digunakan es sebagai pendingin maka digunakan es yang tidak mudah mencair.

(19)

Bahan-bahan penyusun minuman ringan antara lain air, pemanis, asam, pewarna, dan pengawet. Air merupakan komponen terbesar dari minuman ringan. Persentase air dalam minuman ringan bisa mencapai 90% sehingga kualitas air yang digunakan dalam industri minuman ringan harus benar-benar terkontrol (Hougton dan Mc Donald, 1978). Air yang digunakan untuk minuman ringan harus melalui test potability sehingga dapat diminum dan bebas dari kontaminan. Di samping itu untuk mendapatkan produk akhir yang jernih dan menarik, air harus memiliki kekeruhan yang rendah (Thorner dan Herzberg, 1978). Air yang digunakan dalam industri minuman ringan telah melalui tahapan penghilangan kesadahan, penghilangan koloid dan padatan terendap, penghilangan warna, rasa, dan bau menyimpang, serta pengurangan alkalinitas, dan telah mengalami sterilisasi (Hougton dan Mc Donald, 1978).

Pemanis yang digunakan untuk minuman ringan bisa berupa gula atau pemanis buatan. Gula yang digunakan untuk minuman ringan antara lain gula kristal, gula invert, maupun gula cair (Woodroof dan Philips, 1981). Pemanis alami yang paling banyak digunakan dalam industri minuman ringan adalah sukrosa yang biasanya berupa sirup dengan konsentrasi tinggi. Konsentrasi sukrosa yang biasa ditambahkan pada minuman ringan berkisar antara 10-13% (Woodroof dan Philips, 1981).

Asam merupakan komponen penting ketiga setelah air dan gula dalam pembuatan minuman ringan. Jenis asam yang biasa digunakan dalam pembuatan minuman ringan antara lain asam sitrat. Konsentrasi asam sitrat yang biasa digunakan dalam minuman ringan adalah 1.285g/l (Woodroof dan Philips, 1981).

(20)

digunakan adalah antosianin, karoten, dan krolofil, sedangakan pewarna sintetik yang digunakan misalnya FD&C (Food and Drugs Colorant) dalam berbagai jenis warna (Winarno, 1997).

G. SPEKTROSKOPI

Prinsip spektroskopi didasarkan pada adanya interaksi dari energi radiasi elektromagnetik dengan zat kimia. Hasil interaksi tersebut dapat menimbulkan satu atau lebih peristiwa, seperti pemantulan (refleksi), pembiasan (refraksi), interferensi, difraksi, penyerapan (absorpsi), flouresensi, fosforesensi, dan ionisasi. Dalam analisis kimia, peristiwa absorpsi merupakan dasar dari cara spektroskopi.

Spektroskopi dapat digunakan dalam aplikasi kualitatif, karena proses absorpsi tersebut bersifat unik/spesifik untuk setiap zat kimia atau segolongan zat kimia. Spektroskopi juga dapat digunakan dalam aplikasi kuantitatif, karena banyaknya absorpsi berbanding lurus dengan banyaknya zat kimia. Instrumen yang digunakan dalam metode analisis dengan prinsip spektroskopi ini disebut dengan spektrofotometri.

Spektroskopi absorpsi memiliki prinsip dasar apabila suatu cahaya putih atau radiasi dilewatkan melalui larutan berwarna maka radiasi melalui larutan berwarna akan diserap secara selektif dan radiasi lainnya akan diteruskan. Absorbansi maksimum larutan berwarna terjadi pada daerah yang berlawanan. Karena warna yang diserap adalah warna komplementer dari warna yang diamati. Contohnya larutan yang berwarna merah akan menyerap radiasi maksimum warna hijau.

H. KROMAMETER

Kromameter merupakan alat analisis warna secara tristimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Prinsip kerja alat ini adalah mengukur perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel (Hutching, 1999).

(21)

Sistem ICI (International Comission on Ilumination) didasarkan pada semua warna dapat dibentuk tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru. Masing-masing warna dinyatakan sebagai X untuk warna merah, Y untuk hijau, dan Z untuk biru (Soekarto,1997).

Sistem notasi warna yang paling banyak digunakan adalah sistem Hunter yang memiliki tiga parameter untuk mendeskripsikan warna, yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan cerah atau gelapnya sampel dan memiliki skala dari 0 sampai 100. Nilai 0 menyatakan sampel sangat gelap (warna hitam) dan 100 menyatakan sampel sangat cerah (warna putih) untuk menyatakan kecerahan yang memiliki nilai 0-100. Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, dengan a positif menunjukkan warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki skala dari -80 sampai 100. Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru, dengan b positif menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna biru. Nilai b memiliki skala dari -70 sampai 70 (Francis, 1996).

Gambar 5. Diagram warna Hunter L, a, b

(22)

putih bersih. Nilai intensitas warna (chroma) berkisar dari nilai tidak berwarna sampai warna penuh.

Nilai chroma (C) merupakan resultan dari nilai a dan b yang dihitung berdasarkan rumus C = √a2+b2. Semakin tinggi nilai C maka warna akan terlihat semakin tua karena intensitasnya yang meningkat. Nilai hue menunjukkan posisi warna sampel dalam diagram warna. Nilai hue menyatakan panjang gelombang dominan yang menentukan apakah warna tersebut merah, kuning, atau hijau. Nilai hue dihitung dengan rumus hue = (arctan (b/a)).

Nilai hue yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan nilai hue yang ada pada bola imajiner Munsell (Gambar 6), sehingga diperoleh data warna secara obyektif yang merupakan kisaran warna yang mendekati warna sampel sebenarnya. Nilai hue yang diperoleh harus berada dalam bentuk nilai derajat radian agar dapat diinterpretasikan ke dalam bola imajiner Munsell, setiap derajat radian tertentu menyatakan warna visual yang dilihat.

Gambar 6. Bola imajiner Munsell

(23)

kuadran tiga, warna biru-hijau (BG) berada pada wilayah 10 pada kuadran tigasampai 350 pada kuadran tiga, warna biru (B) berada pada wilayah 360 sampai 810 pada kuadran tiga, warna ungu-biru (PB) berada pada wilayah 820 pada kuadran tiga sampai 36 0 pada kuadran empat, warna ungu (P) berada pada wilayah 370 sampai 710 pada kuadran empat, dan warna merah-ungu (RP) berada pada wilayah 720 pada kuadran empat sampai 200 pada kuadran satu.

Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell juga dipengaruhi oleh nilai a dan b-nya. Jika nilai hue yang diperoleh pada metode Hunter bernilai negatif maka untuk menginterpretasikan warnannya pada diagram Munsell, nilai negatifnya dihilangkan terlebih dahulu, kemudian diukur pada kuadran yang paling tepat atau sesuai dengan nilai a dan b-nya. Pada kuadaran satu, a dan b bernilai positif. Pada kuadran dua, a bernilai negatif dan b bernilai positif. Pada kuadran tiga, a dan b bernilai negatif. Pada kuadran empat, a bernilai positif dan b bernilai negatif. Setelah didapatkan interpretasi warna pada diagram Munsell maka data ini dapat dibandingkan dengan penampakan visual yang ada.

Tabel 2. Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell

Hue (⁰) Warna

21 (kuadran I) - 52 (kuadran I) Merah 53 (kuadran I) – 84 (kuadran I) Merah-Kuning 85 (kuadran I) – 21 (kuadran II) Kuning 22 (kuadran II) – 61 (kuadran II) Hijau-Kuning 62 (kuadran II) – 0 (kuadran III) Hijau 1 (kuadran III) – 35 (kuadran III) Biru-Hijau 36 (kuadran III) – 81 (kuadran III) Biru 82 (kuadran III) – 36 (kuadran IV) Ungu-Biru 37 (kuadran IV) – 71 (kuadran IV) Ungu

(24)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan baku yang digunakan adalah kelopak bunga rosela kering (Hibiscus sabdariffa L.) sebagai sumber antosianin dan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat model minuman ringan adalah air minum dalam kemasan dan sukrosa. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk ekstraksi antosianin dan analisis adalah akuades, etanol 95%, metanol 26.4M, HCl 1N, kertas Whatman No. 1, dan alumunium foil.

2. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, blender, saringan, kain saring, wadah pencampur, penyaring vakum, evaporator vakum, sendok pengaduk, pH meter, penangas air, lampu/sinar UV, spektrofotometer, kromameter, refrigerator, oven, botol berwarna (gelap), botol tidak berwarna, cawan alumunium, gelas ukur, gelas piala, labu ukur, tabung reaksi, pipet tetes, pipet mohr/volumetrik, gelas arloji, sudip, dan gelas pengaduk.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap penelitian: persiapan sampel, pembuatan model minuman ringan dengan aplikasi zat warna antosianin tunggal (tunggal) dan zat warna kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid, serta pengujian stabilitas warna terhadap suhu pemanasan dan sinar UV.

1. Persiapan Sampel

(25)

yang dijadikan sebagai subyek pada proses pencampuran pada tahap selanjutnya.

Ekstraksi antosianin dilakukan menggunakan modifikasi metode Kristie (2008) (Lampiran 1). Sebanyak 50g kelopak kering bunga rosela ditimbang, kemudian dihancurkan menggunakan blender dengan menambahkan 250ml akuades. Setelah itu, hancuran rosela dipindahkan ke dalam gelas piala dan kembali ditambahkan dengan 250ml akuades. Kemudian dilakukan proses maserasi pada suhu ruang selama 24 jam. Hasil yang diperoleh selanjutnya disaring dengan menggunakan saringan dan kain saring, untuk memisahkan hancuran bunga rosela dan ekstrak antosianin. Filtrat (ekstrak cair antosianin) yang diperoleh, kemudian ditambahkan dengan etanol 95% sebanyak ½ bagian dari volume total filtrat/ekstrak cair antosianin, untuk mengendapkan gum. Setelah disaring dengan penyaring vakum, ekstrak antosianin yang sudah tidak mengandung gum dipekatkan dengan evaporator vakum hingga diperoleh ekstrak pekat antosianin rosela. Ekstrak antosianin yang diperoleh kemudian diaplikasikan pada model minuman ringan.

2. Pembuatan Model Minuman Ringan dan Reaksi Kopigmentasi Antosianin-Rosmarinic Acid

Pada tahap ini dibuat dua buah model minuman ringan, yaitu model minuman kontrol (antosianin tunggal/tanpa kopigmen) dan model minuman kopigmentasi (antosianin-rosmarinic acid). Model minuman ringan dibuat dengan mencampurkan sukrosa 10% (b/v) dan ekstrak antosianin ke dalam 100ml air minum dalam kemasan.

(26)

3. Uji Stabilitas Warna

Stabilitas warna model minuman ringan diukur menggunakan spektrofotometer UV-VIS melalui paramter A atau absorbansi pada λmax dan kromameter melalui parameter intensitas warna dengan sistem notasi warna L, a, b. Pengamatan dengan spektrofotometer menggambarkan degradasi antosianin dari segi konsentrasi kation flavilium yang terkandung di dalam model minuman ringan, sedangkan pengamatan dengan kromameter mengambarkan degradasi antosianin dari segi penampakan warna model minuman ringan. Pengujian stabilitas warna model minuman ringan ini dilakukan untuk mengetahui kinetika degradasi zat warna antosianin tunggal dan zat warna kopigmentasi antosianain-rosmarinic acid.

a. Analisis stabilitas warna terhadap suhu pemanasan

Model minuman ringan dimasukkan ke dalam botol gelap/berwarna kemudian dipanaskan pada suhu 40°C, 50ºC, 60ºC, 70ºC, dan 80°C. Kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dan intensitas warna L, a, b setiap 75 menit selama 525 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 40ºC, setiap 60 menit selama 420 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 50°C, setiap 45 menit selama 315 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 60ºC, setiap 30 menit selama 210 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 70ºC, dan setiap 15 menit selama 105 menit untuk minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 80°C.

b. Analisis stabilitas warna terhadap penyinaran ultraviolet

(27)

Pengukuran kinetika degradasi zat warna antosianin tunggal dan zat warna kopigmentasi antosianain-rosmarinic acid dapat dilakukan dengan melakukan pengujian estimasi terhadap kurva regresi linear yang menggambarkan hubungan antara retensi warna dengan lama pemanasan atau penyinaran UV. Kinetika degradasi antosianin secara umum berlangsung pada ordo ke-1 (Calvi dan Francis, 1978; Ahmed et al., 2000; Ozkan et al., 2002; dan Rein, 2005). Persamaan reaksi pada ordo ke-1 dapat dilihat pada persamaan berikut:

dA dt kA

Penentuan variabel kuantitatif degradasi antosianin dilakukan melalui integrasi terhadap persamaan tersebut sehingga diperoleh persamaan matematis. Melalui persamaan matematis tersebut dapat diinterpretasikan nilai konstanta degradasi antosianin (Singh, 1994). Persamaan matematis tersebut adalah:

dA A A

A

k dt

lnAo kt CAt ln retensi warna kt C keterangan:

At = absorbansi zat warna setelah pemanasan/penyinaran UV Ao = absorbansi zat warna sebelum pemanasan/penyinaran UV k = konstanta degradasi antosianin

t = waktu pemanasan/penyinaran UV

Konstanta laju reaksi degradasi antosianin yang diperloleh dari nilai slope hasil plot hubungan antara retensi warna dengan lama pemanasan atau penyinaran UV tersebut digunakan untuk menentukan waktu paruh degradasi (t1/2) :

(28)

Parameter besarnya ketergantungan laju reaksi degradasi warna terhadap suhu dan UV dapat dilihat dalam persamaan Arrhenius:

k ko . e R.T

ln k ln ko EaR T

Keterangan:

k = konstanta laju reaksi ko = faktor frekuensi Ea = energi aktivasi

R = tetapan gas (1.987 kal/mol.K atau 8.314 J/mol.K) T = suhu mutlak (K)

Peningkatan kestabilan atau penghambatan degradasi warna antosianin akibat reaksi kopigmentasi dapat diamati melalui perbandingan nilai energi aktivasi (Ea) reaksi degradasi antosianin tanpa penambahan kopigmen dan antosianin dengan penambahan kopigmen rosmarinic acid. Semakin rendah energi aktivasi maka semakin mudah antosianin terdegradasi. Penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen diharapkan mampu meningkatkan energi aktivasi reaksi degradasi warna pigmen antosianin.

4. Metode Analisis

a. Penentuan rendemen ekstrak

Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen ekstrak dapat dilihat pada rumus di bawah ini:

Rendemen ekstrak Berat bahan awal g x Berat ekstrak g %

b. Penentuan total padatan (AOAC, 1995)

(29)

Setelah dingin cawan ditimbang dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven selama beberapa menit. Kemudian cawan dimasukan ke dalam desikator kembali untuk didinginkan dan ditimbang. Tahap ini dilakukan berulang sampai diperoleh berat yang konstan dari sampel. Total padatan terlarut Berat sampel setelah pengeringanBerat awal sampel %

c. Penentuan total antosianin (modifikasi Iglesias et al., 2008)

Sebanyak 0.2g sampel ekstrak antosianin dicampurkan dengan larutan pengekstrak metanol (26.4M) + HCl (1N) = 98 + 2 hingga diperoleh campuran larutan dengan volume 10ml. Larutan dibiarkan selama 24 jam pada suhu 4ºC di ruang gelap. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi larutan pada panjang gekombang 543nm.

Konsentrasi antosianin dihitung sebagai delfinidin 3-glukosida dengan bobot molekul 501g/mol dan koefiien ekstingsi molar pada 543nm sebesar 2.94x104l/mol.cm dengan menggunakan rumus:

A = ε . b. c Keterangan:

A = absorbansi antosianin pada λ 543nm

ε = koefisien ekstingsi molar = 2.94x104l/mol.cm b = lebar kuvet (cm)

c = konsentrasi antosianin (M = mol/l)

Total antosianin sampel dihitung dengan rumus: Jumlah antosainin (mg/g) = M V P Keterangan:

c = konsentrasi antosianin (mol/l)

BM = berat molekul antosianin pada rosela (delfinidin 3-glukosida, BM = 501g/mol)

V = volume larutan FP = faktor pengenceran

(30)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. EKSTRAKSI ANTOSIANIN DARI ROSELA

Menurut Harbone (1987), ekstraksi adalah proses penarikan komponen/zat aktif suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan metode ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif, serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar.

Ekstraksi antosianin biasanya dilakukan dengan menggunakan air, air yang mengandung SO2, dan alkohol yang diasamkan (Markakis, 1982). Esselen dan Sammy (1973) menggunakan air panas untuk mengekstrak delfinidin dan sianidin mono dan biosida dari Hibiscus sabdariffa. Ekstraksi antosianin dari kelopak kering bunga rosela pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pelarut air, karena air bersifat polar dan tidak bersifat toksik sama sekali.

Polaritas merupakan hal yang penting diperhatikan dalam proses ekstraksi. Polaritas antara bahan pengekstrak harus sama dengan polaritas bahan yang diekstraknya. Senyawa yang polar hanya dapat larut dalam pelarut yang polar, demikian pula senyawa yang bersifat non-polar hanya dapat larut pada pelarut non-polar juga. Menurut Timberlake dan Bridle (1966), antosianin merupakan komponen yang bersifat polar sehingga akan lebih mudah larut dalam pelarut yang bersifat polar juga.

(31)

volume total filtrat, kemudian untuk memisahkan gum dari ekstrak cair antosianin, dilakukan penyaringan secara vakum.

Proses pemekatan atau penguapan pelarut dilakukan dengan evaporator vakum pada suhu 40°C. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan pigmen antosianin terhadap panas yang berlebihan. Penguapan terjadi pada ruangan vakum yang memiliki tekanan rendah sehingga dibutuhkan suhu yang relatif rendah. Pada akhir proses pemekatan, ekstrak antosianin rosela yang didapat masih memiliki tekstur padat, keras, dan lengket. Hal ini diduga karena masih banyak gum dan gula yang ikut terkstrak bersama dengan ekstrak antosianin rosela tersebut.

Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen ekstrak antosianin rosela yang diperoleh adalah sebesar 30.84% (b/b) (Lampiran 2).

Gambar 7. Ekstrak antosianin dari rosela

B. KARAKTERISTIK EKSTRAK ANTOSIANIN DARI ROSELA

Setelah diperoleh ekstrak antosianin dari rosela, selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap ekstrak antosianin yang diperoleh, yaitu perhitungan total padatan ekstrak, perhitungan total antosianin ekstrak, pengukuran pH ekstrak saat dilarutkan dalam akuades, dan pengukuran intensitas warna. Karakteristik ekstrak antosianin dari rosela dapat dilihat pada Tabel 3.

(32)

Perhitungan total antosianin ekstrak dilakukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 543nm. Total antosianin yang terdapat dalam ekstrak antosianin rosela adalah sebesar (2.7886 ± 0.0771) mg/g ekstrak dan dinyatakan sebagai delfinidin 3-glukosida (Lampiran 4).

Pengukuran pH ekstrak digunakan untuk mengetahui nilai pH ekstrak antosianin rosela saat dilarutkan dalam akuades. Pengukuran pH ini dilakukan dengan menggunakan alat pHmeter. Nilai pH ekstrak antosianin rosela ketika dilarutkan di dalam akuades adalah sebesar (2.54 ± 0.02) (Lampiran 5).

Intensitas warna ekstrak antosianin rosela dilakukan untuk mengetahui kisaran warna ekstrak antosianin rosela yang diperoleh. Pengukuran intensitas warna ekstrak antosianin rosela ini dilakukan menggunakan kromameter dengan sistem notasi warna Hunter (L, a, b). Ekstrak antosianin rosela yang diperoleh berwarna merah gelap (merah pekat) dengan nilai L (derajat kecerahan) sebesar 22.16, nilai a (derajat kemerahan) sebesar 1.71, dan nilai b (derajat kekuningan) sebesar -1.04. Nilai ⁰hue ekstrak antosianin rosela yang diperoleh adalah sebesar -31.31. Berdasarkan diagram Munsell, nilai ⁰hue ini berada pada kisaran warna ungu-biru (PB).

Tabel 3. Karakteristik ekstrak antosianin rosela

Karakteristik ekstrak Nilai

Total padatan (%) 72.22 ± 0.007 Total antosianin (mg/g ekstrak) 2.7886 ± 0.0771

pH 2.54 ± 0.02

Intensitas warna

(33)

C. PEMBUATAN MODEL MINUMAN RINGAN DAN REAKSI KOPIGMENTASI ANTOSIANIN-ROSMARINIC ACID

Model minuman ringan dibuat dengan mencampurkan 100ml air minum dalam kemasan dan sukrosa 10% (b/v). Setelah itu ekstrak antosianin rosela diaplikasikan ke dalam model minuman ringan. Antosianin dilarutkan dalam model minuman ringan dengan konsentrasi 3x10-5M. Untuk model minuman kopigmentasi, selain antosianin, ke dalam model minuman juga ditambahkan rosmarinic acid dengan perbandingan konsentrasi 1:20, 1:40, 1:60, 1:80, dan 1:100 terhadap konsentrasi antosianin (Lampiran 6).

Mengingat ekstrak antosianin rosela yang diperoleh memiliki tekstur yang padat, keras, dan lengket, maka untuk mempermudah pengaplikasian ke dalam model minuman ringan, ekstrak antosianin rosela tersebut terlebih dahulu dilarutkan dalam air minum dalam kemasan, sehingga diperoleh larutan stok ekstrak antosianin rosela, yang kemudian diaplikasikan ke dalam model minuman ringan. Sebelum diaplikasikan ke dalam model minuman ringan, terlebih dahulu dilakukan analisis kandungan total antosianin yang terdapat dalam setiap ml larutan stok ekstrak antosianin rosela. Volume larutan stok ekstrak antosianin rosela yang diaplikasikan ke dalam model minuman ringan disesuaikan dengan kandungan total antosianin yang terdapat dalam tiap ml larutan stok tersebut.

D. ANALISIS STABILITAS WARNA MODEL MINUMAN RINGAN Analisis stabilitas warna model minuman ringan dilakukan untuk melihat pengaruh reaksi kopigmentasi rosmarinic acid terhadap antosianin rosela terhadap pemanasan dan penyinaran ultraviolet (UV). Parameter yang diamati pada model minuman ringan meliputi absorbansi dan intensitas warna.

(34)

antosianin yang yang terdapat dalam model minuman ringan. Panjang gelombang 520nm dipilih sebagai panjang gelombang maksimal untuk pengukuran stabilitas warna menggunakan spektrofotometer, hal ini didasarkan pada spektrum serapan cahaya model minuman ringan. Pada rentang panjang gelombang 400nm sampai 600nm, model minuman ringan menunjukkan serapan cahaya (absorbansi) maksimal pada panjang gelombang 520nm (Lampiran 7).

Intensitas warna diamati dengan alat Chromameter Lab Minolta CR310. Kromameter dapat digunakan untuk mengukur warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel (Hutching, 1999). Intensitas warna model minuman ringan diamati dengan menggunakan sistem notasi warna Hunter, yaitu parameter L, a, dan b.

Nilai L menyatakan parameter kecerahan dengan nilai antara 0 sampai dengan 100, semakin tinggi nilai L menunjukkan kecerahan yang semakin meningkat. Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, dengan skala dari -80 sampai 100, nilai a positif menunjukkan warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru sampel, dengan skala -70 sampai 70, nilai b positif menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna biru (Francis, 1996).

1. Analisis Stabilitas Warna Model Minuman Ringan terhadap Pemanasan

(35)

a. Pengamatan stabilitas warna model minuman ringan terhadap pemanasan dengan menggunakan spektrofotometer

Peningkatan waktu pemanasan menyebabkan penurunan nilai absorbansi warna model minuman ringan selama proses pemanasan (Lampiran 8, Lampiran 10, Lampiran 12, Lampiran 14, dan Lampiran 16). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen mampu menunjukkan efek hiperkromik, yaitu peningkatan intensitas warna merah antosianin, yang ditandai dengan peningkatan absorbansi pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Peningkatan absorbansi pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi rosmarinic acid yang ditambahkan. Formula model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:100 mempunyai nilai absorbansi yang paling besar dibandingkan dengan formula model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:20, 1:40, 1:60, dan 1:80.

(36)

Gambar 8. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin

tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C

Gambar 9. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C

Gambar 10. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C

(37)

Gambar 11. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C

Gambar 12. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C

Nilai retensi warna model minuman ringan semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya suhu pemanasan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan, laju degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan akan berlangsung semakin cepat, yang berakibat pada penurunan stabilitas warna model minuman ringan. Berdasarkan kurva retensi warna model minuman ringan di atas (Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, dan Gambar 12) dapat dilihat bahwa, semakin tinggi suhu pemanasan, maka kurva retensi warna yang terbentuk akan semakin curam. Semakin curam kurva yang

(38)

terbentuk, maka stabilitas warna model minuman ringan terhadap degradasi akibat proses pemanasan semakin rendah.

Pada pemanasan suhu 40⁰C warna model minuman ringan relatif stabil. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kurva retensi warnanya yang semakin landai atau bahkan cenderung datar. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada akhir pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit adalah sebesar 97.60%. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada akhir pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit, 60⁰C selama 315 menit, dan 70⁰C selama 210 menit secara berturut-turut adalah sebesar 85.80%, 77.67%, dan 65.54%. Pada pemanasan suhu 80⁰C warna model minuman ringan relatif tidak stabil. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kurva retensi warnanya yang semakin curam. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada akhir pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit adalah sebesar 55.97%.

Markakis (1982) mengemukakan bahwa penurunan stabilitas warna akibat peningkatan suhu ini disebabkan oleh dekomposisi antosianin dari bentuk aglikon menjadi kalkon yang tidak berwarna dan akhirnya membentuk alfa diketon yang berwarna coklat. Selain itu, menurut Elbe dan Schwartz (1996), panas mampu mengubah kesetimbangan antosianin terhadap kalkon yang tidak berwarna. Brouillard (1982) juga menyatakan bahwa temperatur yang tinggi dapat mengubah kation flavilium menjadi kalkon. Setelah cincin pirilium terbuka, degradasi akan berlanjut menghasilkan alfa diketon yang berwarna coklat.

(39)

interaksi antara antosianin dan kopigmen bersifat eksotermal dan peningkatan temperatur menyebabkan degradasi kompleks kopigmentasi memberikan komponen tidak berwarna, sehingga menyebabkan kehilangan warna pada kompleks antosianin-kopigmen.

Penurunan nilai retensi warna akibat peningkatan suhu pemanasan pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid lebih rendah jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada suhu pemanasan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid mempunyai kestabilan warna yang lebih baik dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Dengan demikian penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen dapat membantu mempertahankan retensi warna antosianin rosela terhadap peningkatan suhu pemanasan.

Penambahan rosmarinic acid pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:20 mampu menghambat laju degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan dengan nilai retensi warna pada akhir pemanasan suhu 40⁰C (525 menit), 50⁰C (420 menit), 60⁰C (315 menit), 70⁰C (210 menit), dan 80⁰C (105 menit) secara berturut-turut adalah sebesar 97.09%, 91.67%, 82.27%, 82.10%, dan 71.21%. Model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:40 pada akhir pemanasan suhu 40⁰C (525 menit), 50⁰C (420 menit), 60⁰C (315 menit), 70⁰C (210 menit), dan 80⁰C (105 menit) memiliki nilai retensi warna secara berturut-turut sebesar 97.84%, 92.01%, 84.01%, 80.12%, dan 70.20%.

(40)
(41)
(42)

(a) (b)

Gambar 16. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 60⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 60⁰C selama 315 menit

(a) (b)

Gambar 17. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 70⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 70⁰C selama 210 menit

(a) (b)

Gambar 18. Warna model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid (a) sebelum dipanaskan pada suhu 80⁰C dan (b) sesudah dipanaskan pada suhu 80⁰C selama 105 menit

(43)

pemanasan. Kinetika degradasi antosianin secara umum berlangsung pada ordo ke-1 (Calvi dan Francis, 1978; Ahmed et al., 2000; Ozkan et al., 2002; dan Rein, 2005). Oleh karena itu kurva/plot antara ln At/Ao dengan lamanya waktu pemanasan yang terbentuk berupa garis lurus (linear). Menurut Ahmed et al. (2004), hubungan linear antara ln At/Ao dengan lama pemanasan dapat menginterpretasikan kinetika degradasi antosianin.

Gambar 19. Hubungan antara ln At/Ao dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit

(44)

Gambar 21. Hubungan antara ln At/Ao dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit

Gambar 22. Hubungan antara ln At/Ao dengan waktu pemanasan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit

(45)

Laju reaksi degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan pada model minuman ringan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya suhu pemanasan. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kurva/plot hubungan antara ln At/Ao dengan lamanya waktu pemanasan (Gambar 19, Gambar 20, Gambar 21, Gambar 22, dan Gambar 23). Semakin tinggi suhu pemanasan, maka kurva/plot yang terbentuk semakin curam. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan, maka laju reaksi degradasi antosianin rosela akibat proses pemanasan akan berlangsung semakin mudah atau semakin cepat.

Berdasarkan kurva/plot hubungan antara ln At/Ao dengan selang waktu pemanasan dapat diperoleh nilai konstanta laju degradasi antosianin (k), yang merupakan slope atau kemiringan dari kurva linear tersebut. Pengaruh suhu pemanasan terhadap konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid disajikan dalam grafik batang pada Gambar 24, Gambar 25, Gambar 26, Gambar 27,dan Gambar 28.

(46)

Tabel 4. Pengaruh suhu pemanasan terhadap konstanta laju degradasi antosianin rosela (k) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid

Model

minuman Suhu (⁰C)

Hubungan suhu pemanasan dengan konstanta laju degradasi antosianin

(k)

k R2

Kontrol 40 0.00005 0.91629 50 0.00039 0.98607 60 0.00086 0.97625 70 0.00196 0.90865 80 0.00544 0.97370

1:20 40 0.00004 0.97371

50 0.00018 0.95665 60 0.00067 0.97508 70 0.00101 0.96493 80 0.00289 0.91600

1:40 40 0.00004 0.98294

50 0.00017 0.92526 60 0.00057 0.94303 70 0.00097 0.92317 80 0.00289 0.84970

1:60 40 0.00004 0.96098

(47)
(48)
(49)

Jika dibandingkan dengan model minuman antosianin kontrol (antosianin tunggal), nilai konstanta laju degradasi antosianin (k) akibat proses pemanasan pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi antosianin rosela dengan kopigmentasi rosmarinic acid berlangsung lebih sulit daripada antosianin tunggal (tanpa kopigmentasi rosmarinic acid).

Pada pemanasan suhu 40⁰C, antosianin rosela tidak banyak mengalami degradasi bahkan dapat dikatakan cenderung atau relatif stabil, hal ini tampak dari nilai k-nya yang sangat kecil (mendekati nol). Selain itu penambahan konsentrasi rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen untuk model minuman ringan yang dipanaskan pada suhu 40⁰C tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penghambatan degradasi antosianin. Dapat dilihat pada Tabel 4 nilai k pada pemanasan suhu 40⁰C untuk model minuman kontrol (antosianin tunggal) maupun model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:20, 1:40, 1:60, 1:80, dan 1:100 cenderung sama/tidak berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan secara umum semakin tinggi konsentrasi rosmarinic acid yang ditambahkan, semakin rendah nilai konstanta laju degradasi antosianinnya. Namun pada pemanasan suhu 40⁰C, 50⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C, penurunan nilai k akibat peningkatan konsentrasi rosmarinic acid pada model minuman kopigmentasi terlihat kurang signifikan. Sementara itu, pada pemansan suhu 60⁰C, peningkatan konsentrasi rosmarinic acid pada model minuman kopigmentasi memperlihatkan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nilai k.

(50)

Tabel 5. Pengaruh suhu pemanasan terhadap waktu paruh degradasi antosianin rosela (t1/2) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid

Model minuman

Suhu

(⁰C) t1/2 (menit)

Model minuman

Suhu

(⁰C) t1/2 (menit)

Kontrol

40 13799.1436

1:60

40 17309.9295 50 13799.1436 50 17309.9295 60 13799.1436 60 17309.9295 70 13799.1436 70 17309.9295 80 13799.1436 80 17309.9295

1:20

40 17310.9295

1:80

40 17375.4295 50 17310.9295 50 17375.4295 60 17310.9295 60 17375.4295 70 17310.9295 70 17375.4295 80 17310.9295 80 17375.4295

1:40

40 17337.6795

1:100

40 17232.1795 50 17337.6795 50 17232.1795 60 17337.6795 60 17232.1795 70 17337.6795 70 17232.1795 80 17337.6795 80 17232.1795

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pemanasan yang tinggi dapat mengakibatkan laju degradasi antosianin rosela berlangsung semakin cepat. Hal ini ditunjukkan dari nilai waktu paruh degradasi antosianin rosela yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan model minuman ringan.

(51)

proses pemanasan pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid berlangsung dalam waktu yang lebih lambat. Hal ini terlihat dari nilai waktu paruhnya yang lebih besar daripada nilai waktu paruh degradasi antosianin rosela pada model minuman kontrol (antosianin tunggal).

Ketergantungan antara konstanta laju degradasi antosianin (k) terhadap suhu pemanasan dapat dilihat dengan persamaan Arrhenius, yaitu dengan membuat kurva yang menggambarkan hubungan antara logaritma natural nilai konstanta laju degradasi antosianin (ln k) dengan kebalikan suhu pemanasan dalam satuan Kelvin (1/T). Dari kurva tersebut dapat diketahui besarnya nilai energi aktivasi. Hubungan antara ln k dengan 1/T merupakan fungsi linear dengan slope atau kemiringan sama dengan energi aktivasi dibagi dengan konstanta gas (Ea/R). Gambar 29 menunjukkan plot ketergantungan konstanta laju degradasi antosianin rosela terhadap suhu pemanasan.

(52)
(53)

agar terjadi suatu reaksi degradasi antosianin akibat pengaruh proses pemanasan. Semakin besar energi aktivasi, maka semakin sulit antosianin terdegradasi, karena energi yang dibutuhkan untuk reaksi degradasi tersebut semakin besar.

Tabel 6. Nilai energi aktivasi (Ea) antosianin rosela pada minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid

Model minuman Ea (kJ/mol) Kontrol (antosianin tunggal) 72.581

Kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid

1:20 72.653 1:40 75.086 1:60 72.688 1:80 72.426 1:100 76.711 Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa secara umum model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid memiliki nilai energi aktivasi (Ea) yang lebih besar jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Namun sayangnya, peningkatan nilai Ea pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid ini tidak terlalu besar atau tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang nyata (signifikan) dengan nilai Ea pada model minuman kontrol antosianin tunggal.

(54)

Meskipun demikian, peningkatan nilai Ea pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid menandakan bahwa antosianin rosela dengan kopigmentasi rosmarinic acid membutuhkan energi yang lebih besar untuk melakukan reaksi akibat proses pemanasan. Hal ini menyebabkan proses pembentukan produk hasil reaksi degradasi antosianin seperti senyawa kalkon dan turunannya pada antosianin rosela dengan kopigmentasi rosmarinic acid membutuhkan waktu yang lebih lama, dibandingkan dengan antosianin rosela tanpa kopigmenatsi rosmarinic acid.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:100, merupakan formula model minuman ringan yang memiliki efek kopigmentasi terbaik, dalam meningkatan kestabilan antosianin rosela pada proses pemanasan, karena mempunyai nilai energi aktivasi (Ea) yang paling besar, dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan keempat formula model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid lainnya, yaitu 1:20, 1:40, 1:60, dan 1:80.

b. Pengamatan stabilitas warna model minuman ringan terhadap pemanasan dengan menggunakan kromameter

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu dan selang waktu pemanasan pada model minuman ringan menyebabkan peningkatan nilai L dan b serta penurunan nilai a pada model minuman ringan.

(55)

  Gambar 30. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model

minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit

Gambar 31. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit

(56)

  Gambar 33. Perubahan derajat kecerahan (nilai L) model

minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit

(57)

Model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid memiliki nilai L yang lebih rendah jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Hal ini diperkuat oleh Brenes et al. (2005) yang melaporkan bahwa penambahan ekstrak rosemary sebagai kopigmen menyebabkan penurunan nilai lightness antosianin jus anggur. Hasil penelitian menunjukkan semakin besar konsentrasi rosmarinic acid yang ditambahkan, maka nilai L akan semakin rendah.

Secara umum proses pemanasan juga mengakibatkan penurunan nilai a (derajat kemerahan) dan peningkatan nilai b (derajat kekuningan) model minuman kontrol (antosianin tunggal). Penurunan nilai a ini disebabkan oleh peningkatan kecepatan transformasi struktural kation flavilium yang berwarna merah menjadi kalkon yang tidak berwarna. Penurunan konsentrasi inti kation flavilium mampu menurunkan derajat kemerahan model pangan yang mengandung antosianin (Viguera dan Bridle, 1999).

Gambar 35. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit 4,00

6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 20,00

0 75 150 225 300 375 450 525

D

e

ra

ja

t kemera

ha

n

Waktu (menit)

kontrol

1:20

1:40

1:60

1:80

(58)

Gambar 36. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 50⁰C selama 420 menit

Gambar 37. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit

(59)

Gambar 39. Perubahan derajat kemerahan (nilai a) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 80⁰C selama 105 menit

Gambar 40. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 40⁰C selama 525 menit

(60)

Gambar 42. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 60⁰C selama 315 menit

Gambar 43. Perubahan derajat kekuningan (nilai b) model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid pada pemanasan suhu 70⁰C selama 210 menit

(61)

Penurunan nilai a dan peningkatan nilai b selama waktu pemanasan juga terjadi pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid. Penurunan nilai a dan peningkatan nilai b pada model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid disebabkan oleh terjadinya proses disosiasi kompleks kopigmentasi antara antosianin dengan kopigmen (dalam hal ini rosmarinic acid) menghasilkan peningkatan produksi basa karbinol/hemiasetal/ pseudobasa yang berwarna pucat (tidak berwarna).

Meskipun hasil pengamatan warna secara visual kurang dapat menunjukkan perbedaan yang signifikan pada intensitas warna merah model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid, namun hasil pengamatan intensiatas warna model minuman ringan dengan menggunakan kromameter mampu memperlihatkan adanya perbedaan intensitas/derajat kemerahan (nilai a) pada model minuman kontrol (antosianin tunggal) dan model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid.

Model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid memiliki nilai a yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan model minuman kontrol (antosianin tunggal). Hasil penelitian menunjukkan semakin besar konsentrasi rosmarinic acid yang ditambahkan, maka nilai a akan semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan rosmarinic acid sebagai senyawa kopigmen berpengaruh terhadap peningkatan intensitas warna merah antosianin rosela.

(62)

merah-ungu (RP). Sedangkan pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (50⁰C, 60⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C) warna model minuman ringan berubah dari merah ungu (RP) menjadi merah (R).

Tabel 7. Perubahan nilai hue model minuman kontrol (antosianin tunggal) pada berbagai suhu pemanasan

Suhu (⁰C) Waktu

(menit) ⁰hue Warna

40 0 15.05 Merah-Ungu

525 17.90 Merah-Ungu

50 0 13.75 Merah-Ungu

420 20.47 Merah-Ungu

60 0 21.50 Merah

315 36.49 Merah

70 0 17.39 Merah-Ungu

210 54.65 Merah

80 0 20.34 Merah-Ungu

105 52.75 Merah

Tabel 8. Perubahan nilai hue model minuman kopigmentasi antosianin-rosmarinic acid 1:20 pada berbagai suhu pemanasan

Suhu (⁰C) Waktu

(menit) ⁰hue Warna

40 0 13.90 Merah-Ungu

525 16.87 Merah-Ungu

50 0 12.52 Merah-Ungu

420 22.36 Merah

60 0 19.34 Merah-Ungu

315 28.30 Merah

70 0 15.91 Merah-Ungu

210 30.80 Merah

80 0 21.64 Merah

Gambar

Gambar 8. Nilai retensi warna model minuman kontrol (antosianin
Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, dan Gambar 12) dapat dilihat
Gambar 13. Nilai(antoi retensi wosianin
Gambar 28. Nilai kpada mkonstanta lajmodel minu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada nyeri atau Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan yang minimum.

Jawaban : 1) Permissive effect adalah pengaruh satu hormone pada satu sel target yang memelukan pembukaan serempak atau sebelumnya pada hormone lain. Pembukaan yang

Menurut Sugiyono (2013:117) menyatakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan profil pemeliharaan anjing baik pada masyarakat pemelihara anjing pemburu dengan masyarakat pemelihara

Menurut Sutrisno (2011:86) disiplin adalah sikap hormat terhadap peraturan dan ketetepan perusahaan, yang ada dalam diri karyawan yang men yebabkan ia dapat

Ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas Gayam dan Nonggunong di Pulau Sapudi dirasa masih kurang mengingat wilayah kerja puskesmas yang cukup luas serta merupakan daerah

Kenaikan Pangkat Pegawai Badan Narkotika Nasional yang berasal dari Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang ditugaskan di

Form permohonan Ujian Kelayakan Naskah Disertasi berisi data calon doktor (Nama, NIM, Program Studi), rencana pelaksanaan Ujian Kelayakan Naskah Disertasi