• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

B. PEWARNA MAKANAN

Warna merupakan salah satu faktor penting yang menentukan penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Keinginan untuk mengkonsumsi dan membeli produk pangan seringkali ditentukan oleh warna produk pangan tersebut yang menarik perhatian. Warna dalam bahan pangan juga dapat menjadi ukuran terhadap mutu dari bahan pangan tersebut. Menurut Winarno (1997) apabila suatu produk memiliki nilai gizi

7  

yang baik, rasa yang enak, dan tekstur yang baik tetapi memiliki warna yang kurang menarik akan memberikan kesan menyimpang pada produk pangan tersebut.

Pewarna makanan adalah zat warna alami maupun buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan dan minuman untuk memperoleh warna yang diinginkan (Enie, 1987). Tujuan penambahan pewarna ke dalam makanan dan minuman antara lain adalah untuk memperbaiki penampakan produk pangan yang memudar akibat pengolahan, memperoleh penampakan warna yang seragam, memperoleh warna yang lebih tua dari aslinya, melindungi flavor dan vitamin yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan, memperoleh penampakan yang lebih menarik dari aslinya, untuk memberi identitas produk, dan sebagai indikator visual dari kualitas (Tjahjadi, 1987).

Ketentuan mengenai penggunaan pewarna di Indonesia diatur dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 dan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) 01-0222-1995 mengenai Bahan Tambahan Makanan (BTM). Pewarna makanan terbagi menjadi tiga golongan, yaitu pewarna alami, pewarna identik alami dan pewarna sintetik (Bauernfeind, 1981).

Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang diperoleh dari bahan nabati, hewani, atau sumber-sumber mineral. Contoh pewarna alami antara lain curcumin, riboflavin, klorofil, antosianin, brazilein, dan karotenoid.

Pewarna identik alami merupakan pewarna yang disentetis secara kimia sehingga menghasilkan pewarna dengan struktur kimia yang sama/identik dengan pewarna alami. Yang termasuk golongan ini adalah karotenoid murni, antara lain: canthaxanthin (merah), apo-karoten (merah- oranye), beta-karoten (oranye-kuning). Semua zat warna ini memiliki batas konsentrasi maksimum penggunaan, kecuali beta-karoten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak terbatas.

Pewarna sintetik merupakan bahan pewarna yang memberikan warna yang tidak ada di alam dan dihasilkan dengan cara sintesis kimia,

bukan dengan cara ekstraksi atau isolasi (Hendry, 1996). Berdasarkan rumus kimianya, pewarna sintetik dalam makanan menurut Joint

FAO/WHO Expert Committee on Food Additive (JECFA) dapat

digolongkan dalam beberapa kelas, yaitu azo, triarilmetana, quinolin, xanten, dan indigoid. Kelas azo merupakan pewarna sintetik yang paling banyak jenisnya dan mencakup warna kuning, oranye, merah, ungu, dan coklat, setelah itu kelas triarilmetana yang mencakup warna biru dan hijau. Berdasarkan kelarutannya dikenal dua macam pewarna sintetis, yaitu dyes

dan lakes. Dyes adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam

air, sedangkan lakes merupakan zat pewarna yang tidak larut pada hampir semua jenis pelarut.

Bila dibandingkan dengan pewarna sintetik, penggunaan zat warna alami mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain: memberikan rasa dan flavor khas yang tidak diinginkan, konsentrasi dan stabilitas pewarna yang rendah, keseragaman warna kurang baik, dan spektrum warna yang kurang luas. Pewarna sintetik lebih banyak digunakan dalam pembuatan berbagai macam produk pangan karena memiliki kestabilan warna yang baik dan memiliki spektrum warna yang luas.

Dalam daftar FDA (Food and Drug Administration), pewarna alami dan pewarna identik alami tergolong dalam uncertified color, karena tidak memerlukan sertifikat kemurnian kimiawi, sedangkan pewarna sintetik harus melalui berbagai prosedur pengujian atau proses sertifikasi sebelum akhirnya dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media terhadap pewarna tersebut. Pewarna makanan yang diijinkan penggunaannya dikenal dengan nama certified color atau permitted color. Sementara itu, pewarna makanan yang belum diijinkan penggunaannya dan masih perlu diuji aspek keamanannya terhadap kesehatan manusia digolongkan ke dalam provisional list.

9  

C. ANTOSIANIN

Antosianin merupakan salah satu bagian penting dalam kelompok pigmen setelah klorofil. Antosianin berasal dari bahasa Yunani, anthos yang berarti bunga dan kyanos yang berarti biru gelap. Antosianin merupakan pigmen yang larut dalam air, menghasilkan warna dari merah sampai biru, dan tersebar luas dalam buah, bunga, dan daun (Jackman dan Smith, 1996). Antosianin umumnya ditemukan pada buah-buahan, sayur- sayuran, dan bunga, contohnya pada anggur, strawberry, blackberry,

blueberry, raspberry, cherry, apel merah, bunga ros, bunga/kembang

sepatu, kol ungu, pir merah, plum, cabai merah, dan sebagainya (Jackman dan Smith, 1996).

Warna yang diberikan oleh antosianin bervariasi dari merah, jingga, ungu, atau biru pada jaringan tanaman. Antosianin terdapat pada vakuola sel bagian tanaman. Vakuola adalah organel sitoplasmik yang berisikan air, serta dibatasi oleh membran yang identik dengan membran tanaman (Kimbal, 1993).

Antosianin tergolong ke dalam turunan flavonoid. Struktur utamanya ditandai dengan adanya dua cincin aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin (Jackman dan Smith, 1996). Secara kimia, antosianin merupakan hasil turunan dari glikosilasi polihidroksi dan/atau polimetoksi dari garam 2- benzopirilium atau dikenal dengan struktur kation flavilium atau benzilflavilum (3,5,7,4’-tetrahidroksiflavilum) yang merupakan struktur dasar dari antosianidin (Timberlake dan Bridle, 1997).

Menurut Markakis (1982), antosianin memiliki sifat mudah larut dalam air dan disusun dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gugus gula (glikon). Terdapat lima jenis gula yang biasa ditemui pada molekul antosianin, yaitu glukosa, ramnosa, galaktosa, xilosa, fruktosa, dan arabinosa. Apabila gugus glikon dihilangkan melalui proses hidrolisis maka dihasilkan antosianidin. Antosianidin ini berwarna merah di lingkungan asam, berwarna ungu di lingkungan netral, dan berwarna biru di lingkungan basa (Dwidjoseputro,

1990). Struktur kimia antosianidin dapat dilihat pada Gambar 2. Sampai saat ini terdapat lebih dari dua puluh jenis antosianidin yang telah diidentifikasi, namun hanya enam yang memegang peranan penting dalam bahan pangan, yaitu sianidin, malvidin, petunidin, pelargonidin, delfinidin, dan peonidin.

Gambar 2. Struktur kimia antosianidin (Castaneda-Ovando et al., 2009) Tabel 1. Gugus pengganti pada struktur kation flavilium (antosianidin)

untuk membentuk antosianin

Antosianidin Substitusi (R) Warna

3 5 6 7 3’ 5’ Pelargonidin OH OH H OH H H Oranye Sianidin OH OH H OH OH H Oranye- Merah Delfinidin OH OH H OH OH OH Biru- Merah Peonidin OH OH H OH OMe H Oranye- Merah Petunidin OH OH H OH OMe OH Biru-

Merah Malvidin OH OH H OH OMe OMe Biru-

Merah Umumnya antosianidin tidak ditemukan dalam tanaman (Harbone, 1967). Dalam tanaman antosianin biasanya berada dalam bentuk glikosida yaitu ester dengan satu molekul monosakarida disebut monoglukosida, biosida atau diglukosida jika memiliki dua molekul gula, dan triosida jika memiliki tiga molekul gula (Delgado-Vargas et al., 2000). Menurut Timberlake dan Bridle (1983), gula yang menyusun antosianin terdiri dari: (1) monosakarida, biasanya glukosa, ramnosa, dan arabinosa, (2)

11  

disakarida, yang merupakan dua buah monosakarida dengan kombinasi dari keempat monosakarida di atas dan xilosa, seperti rutinosa, dan (3) trisakarida, merupakan tiga buah monosakarida yang mengandung kombinasi dari gula-gula di atas dalam posisis linear maupun rantai cabang.

Keragaman antosianin dapat terjadi karena perbedaan sifat gula, jumlah satuaan gula, dan letak ikatan gulanya. Glikosilasi dapat meningkatkan kestabilan dan kelarutan antosianin di dalam air, sebab antosianidin kurang stabil dan kurang larut air dibandingkan antosianin (Timberlake dan Bridle, 1966).

Molekul lain yang terdapat pada inti kation flavilium adalah p-

coumaric, ferulic, cafeic, malonic, atau asam asetat. Satu atau lebih

molekul tersebut dapat terasilasi pada molekul gulanya (Francis, 1985). Grup asil dengan jumlah dan posisi tertentu yang terikat dapat meningkatkan kestabilan antosianin terutama terhadap cahaya dan pH (Francis, 1982; Shi et al., 1992). Brouillard (1982) menyatakan bahwa dua grup asil dibutuhkan untuk retensi warna maksimum, di mana satu grup asil terletak di atas cincin pirilium dan yang satunya di bawahnya. Dengan adanya grup asil maka interaksi hidrofobik antara grup asil dengan cincin pirilium meningkat sehingga dapat mencegah hidrasi cincin pirilium. Semakin kuat interaksi hidrofobik ini maka cincin pirilium akan semakin tahan terhadap hidrasi sehingga pigmen antosianin akan lebih stabil.

Sifat dan warna antosianin dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jumlah pigmen, letak dan jumlah gugus hidroksi dan metoksi, kopigmentasi, dan sebagainya (Markakis, 1982). Konsentrasi pigmen yang tinggi di dalam jaringan akan menyebabkan warna merah hingga gelap, sedangkan konsentrasi pigmen yang sedang akan menyebabkan warna ungu, dan konsentrasi pigmen yang rendah akan menyebabkan warna biru (Winarno, 1997). Penambahan gugus glikosida atau peningkatan jumlah gugus hidroksi bebas pada rantai karbon nomor 5 (cincin A) yang dominan menyebabkan warna cenderung biru dan relatif tidak stabil, sedangkan metilasi atau penambahan jumlah gugus metoksi

akan menyebabkan warna cenderung merah dan relatif stabil (Jackman dan Smith, 1996).

Warna pigmen antosianin juga dipengaruhi oleh pelarut. Warna antosianin akan menjadi lebih biru pada pelarut alkohol dibandingkan dengan pelarut air (Swain, 1976). Kondisi yang sedikit asam akan meningkatkan intensitas warna dari pigmen antosianin. Selain itu, terikatnya beberapa jenis gula juga dapat meningkatkan intensitas warna dan pigmen antosianin (Lewis et al., 1995).

Antosianin di alam terdapat dalam bentuk struktur primer, sekunder, tersier, kuartener. Dalam bentuk primer, struktur antosianin berbentuk kation falvium, yang terikat gugus hidroksi, metoksi, atau o- glikosil. Struktur sekunder merupakan struktur yang paling banyak ditemukan dalam tanaman. Struktur ini didapatkan melalui proses hidrasi, transfer porton, dan tautomerasi dari struktur primer. Struktur sekunder ini ditemukan saat antosianin dilarutkan dalam air. Struktur sekunder yang berwarna, biasanya tidak stabil atau mudah hilang dan pudar (Brouillard, 1982).

Akibat kekurangan elektron, maka kation flavilium menjadi sangat reaktif. Reaksi-reaksi yang terjadi pada umumnya mengakibatkan terjadinya degradasi warna. Degradasi warna dari pigmen antosianin disebabkan oleh berubahnya kation flavium yang berwarna merah menjadi basa karbinol yang tidak berwarna, dan akhirnya menjadi kalkon yang tidak berwarna (Francis, 1985). Palamidis dan Markakis (1975) menyatakan bahwa reaksi degradasi pada antosianin mengikuti laju reaksi yang termasuk dalam reaksi ordo pertama. Laju degradasi warna antosianin dipercepat dengan adanya asam askorbat, asam amino, fenol, dan gula. Senyawa-senyawa tersebut dapat berkondensasi dengan molekul antosianin melalui suatu reaksi yang kompleks (Francis, 1985). Salah satu senyawa hasil kondensasi ini adalah phlobafen yang berwarna coklat (Francis, 1985).

13  

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kestabilan antosianin, antara lain pengaruh reaksi enzimatis dan non enzimatis. Faktor-faktor non enzimatis yang mempengaruhi kestabilan antosianin antara lain pH, cahaya, dan suhu (Elbe dan Schwartz, 1996).

Secara enzimatis, kehadiran enzim antosianase atau polifenol oksidase akan mempengaruhi kestabilan antosianin karena bersifat merusak antosianin. Menurut Rein (2005) beberapa enzim dapat berperan dalam proses degradasi antosianin misalnya glukosidase dan PPO

(polyphenol oxidase). Enzim glukosidase mampu menstimulasi terjadinya

hidrolisis pada ikatan gula antara gugus aglikon dengan gugus glikon. Hidrolisis tersebut menyebabkan terbukanya cincin aromatik sehingga membentuk senyawa kalkon (Markakis, 1982). Menurut Jackman dan Smith (1996), adanya enzim glukosidase yang ditambahkan pada jus

blueberry yang mengandung sianidin 3-glukosida menyebabkan

pemudaran warna akibat hidrolisis ikatan glikosidik.

Pada medium air, antosianin terdapat dalam empat bentuk struktur kesetimbangan yaitu, basa quinonoidal berwarna ungu, kation flavium berwarna merah, basa karbinol/hemiasetal/pseudobasa, dan kalkon yang tidak berwarna. Bentuk kesetimbangan ini dipengaruhi oleh pH. Pada pH rendah (pH < 2), struktur kation flavium (merah) dominan. Pada pH 3-6, struktur kation flavilium mengalami serangan nukleofilik oleh molekul air, menghasilkan struktur basa karbinol/hemiasetal (tidak berwarna). Selanjutnya struktur basa karbinol/hemiasetal yang terbentuk ini dapat mengalami kesetimbangan tautomerik (kesetimbangan antara bentuk keto dan enol) menghasilkan struktur kalkon (tidak berwarna). Pada pH yang lebih tinggi (pH 6-8) terjadi reaksi deprotonisasi menghasilkan struktur basa quinonoidal (ungu). Peningkatan pH lebih lanjut (pH > 10) akan mengakibatkan terjadinya reaksi deprotonisasi lanjutan pada basa quinonoidal (ungu) menghasilkan struktur basa quinonoidal terionisasi (biru).

Peningkatan suhu pengolahan hingga penyimpanan dapat menyebabkan kerusakan dan perubahan struktur antosianin. Tinsley dan

Bockian (1960), menyatakan bahwa suhu mempunyai pengaruh yang nyata sekali terhadap destruksi antosianin. Markakis (1982), mengemukakan bahwa kerusakan atau perubahan struktur antosianin akibat peningkatan suhu terjadi melalui tahapan: (1) terjadinya hidrolisis pada ikatan glikosidik antosianin pada posisi 3 dan menghasilkan aglikon- aglikon yang labil, (2) terbukanya cincin aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kalkon yang tidak berwarna. Degradasi lebih lanjut dari antosianin ini akan menghasilkan produk yang berwarna coklat terutama jika terdapat molekul oksigen.

Brouillard (1982), mengemukakan bahwa reaksi kesetimbangan di antara struktur basa quinonoidal (ungu) ↔ kation flavilium (merah) ↔ basa karbinol/hemiasetal/pseudobasa (tidak berwarna) ↔ kalkon (tidak berwarna) adalah bersifat endotermik jika berjalan dari kiri ke kanan. Dengan demikian, adanya panas akan menggeser kesetimbangan menuju ke kanan, yaitu kalkon. Senyawa kalkon mampu terdegradasi membentuk senyawa yang lebih sederhana yang meliputi asam karboksilat seperti asam benzoat tersubtitusi dan karboksil aldehid seperti 2,4,6- trihidroksibenzaldehid (Jackman dan Smith, 1996).

Cahaya merupakan faktor yang turut berperan dalam proses degradasi antosianin. Cahaya memiliki energi tertentu yang mampu menstimulasi terjadinya reaksi fotokimia (fotooksidasi) dalam molekul antosianin (Jackman dan Smith, 1996). Reaksi fotokimia dapat menyebabkan pembukaan cincin aglikon pada antosianin yang diawali oleh pembukaan cincin karbon no. 2. Pada akhirnya reaksi fotooksidasi ini akan membentuk senyawa yang tidak berwarna seperti kalkon sebagai indikator degradasi antosianin. Degradasi lanjutan dapat membentuk senyawa turunan lain seperti 2,4,6-trihidroksibenzaldehid dan asam benzoat tersubtitusi (Jackman dan Smith, 1996).

Pada suasana asam antosianin akan berwarna merah, oleh karena itu aplikasi antosianin sebagai pewarna produk pangan dapat dilakukan untuk produk-produk yang memiliki pH rendah, seperti minuman ringan, manisan, saus, pikel, makanan beku atau makanan kalengan, dan yoghurt.

15  

D. KOPIGMENTASI

Stabilitas warna antosianin dapat dipertahankan atau ditingkatkan dengan reaksi kopigmentasi. Fenomena kopigmentasi pertama kali teramati pada tahun 1916 oleh Willstätter dan Zollinger yang mengamati warna pigmen anggur yang berubah warna dari merah menjadi merah kebiruan dengan penambahan asam tanat dan asam galat (Rein, 2005).

Kopigmentasi merupakan interaksi antara struktur antosianin dengan molekul lain seperti logam (Al3+, Fe3+, Sn2+, Cu2+) dan molekul organik lain seperti senyawa falvonoid (flavon, flavonon, dan flavonol), senyawa alkaloid (kafein), dan sebagainya. Adanya kopigmentasi antara antosianin dengan logam molekul organik lain cenderung meningkatkan stabilitas warna antosianin (Jackman dan Smith, 1996).

Kopigmentasi secara alami dapat memperbaiki warna antosianin pada produk pangan. Menurut Castaneda-Ovando et al. (2008), reaksi kopigmenatsi dapat terjadi melalui empat mekanisme interaksi, yaitu

intermolecular copigmentation, intramolecular copigmentation, metal

complexation, ataupun self association. Keempat mekanisme tersebut pada

antosianin digambarkan oleh Rein dan Heinonen (2004) seperti dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin (Rein dan Heinonen, 2004)

Mekanisme self association, yaitu interaksi antara antosianin dengan antosianin lain sebagai senyawa kopigmen dengan bantuan gugus gula sebagai pengikat. Mekanisme metal complexation merupakan interaksi pembentukan kompleks antara antosianin dengan logam sebagai senyawa kopigmen.

Pada mekanisme intermolecular copigmentation, interaksi terjadi antara antosianin dengan senyawa flavonoid atau komponen fenolik sebagai senyawa kopigmen. Pada mekanisme intramolecular

copigmentation, interaksi terjadi antara antosianin dengan bagian dari

molekul antosianin itu sendiri, misalnya dengan gugus asil melalui reaksi kimia atau dengan bantuan perlakuan fisik. Pengikatannya dapat terjadi dengan bantuan gugus gula.

Fenomena kopigmentasi teramati sebagai pergeseran panjang gelombang maksimum yang dikenal dengan nama efek batokromik atau efek hiperkromik. Efek batokromik (Δλmax) ialah pergeseran absorpsi panjang gelombang maksimum (λmax). Pada antosianin teramati pergeseran warna dari merah menjadi merah kebiruan (bluing effect) akibat adanya kopigmentasi. Efek hiperkromik (ΔA), ialah peningkatan intensiatas warna antosianin setelah kopigmentasi.

Pada anggur, ketidakstabilan dan reaktivitas antosianin bersama- sama dengan reaksi kopigmentasi diperkirakan bertanggung jawab terhadap perubahan warna pada proses pemeraman anggur. Pada buah dan produk berry, warna juice, puree, jam, dan sirup dapat dipertajam dan distabilkan dengan kopigmentasi, sehingga meningkatkan penerimaan konsumen dan memperpanjang umur simpan produk (Viguera et al., 1999; Rein dan Heinonen, 2004).

Senyawa yang digunakan untuk proses kopigmentasi disebut kopigmen. Kopigmen adalah suatu senyawa yang tidak berwarna yang biasanya terdapat secara alami dalam sel tanaman. Jenis senyawa kopigmen yang umumnya digunakan adalah flavonoid (termasuk di dalamnya adalah flavon dan flavonol) dan polifenol lain (asam fenolik), alkaloid, asam amino dan asam organik (Markakis, 1982).

17  

Dari jenis flavonol, rutin dan quercetin merupakan jenis kopigmen yang menghasilkan efek kopigmentasi kuat. Rutin menginduksi pergeseran batokromik 30nm dan quercetin 28nm terhadap malvidin 3.5-diglukosida pada pH 3.2 (Chen and Hrazdina, 1981).

Dari golongan asam fenolik, ferulic acid merupakan salah satu yang tergolong efisien sebagai kopigmen (Markovic et al., 2000). Rein dan Heinonen (2004) menggunakan ferulic acid, sinapic acid, dan

rosmarinic acid untuk memperbaiki kualitas juice berry. Selain itu gallic

acid (Rein, 2005), tanin (Cai et al., 1990), dan chlorogenic acid (Brouillard et al., 1991) juga dapat digunakan sebagai kopigmen. Rein dan Heinonen (2004) menyatakan bahwa intensitas pelargonidin 3-glukosida yang dikopigmentasi oleh ferulic acid dan caffeic acid meningkat dan mampu bertahan selama penyimpanan.

Seperti halnya reaksi pada antosianin umumnya, reaksi kopigmentasi juga dipengaruhi oleh pH (Wilska-Jeszka dan Korzuchowaka, 1996), temperatur (Ba Kowska et al., 2003), pelarut (Brouillard et al., 1991) dan struktur molekulnya. Efek kopigmentasi akan lebih efisien jika konsentrasi kopigmentasi lebih besar dibandingkan konsentrasi antosianin (Asen et al., 1972; Scheffeldt dan Hrazdina, 1978). Pada pH rendah, karena dominasi utama kation flavium (pH < 2), reaksi kopigmentasi kurang efektif dibandingkan pada pH 2-5, yaitu ketika terjadi kesetimbangan dengan bentuk quinoidalnya (Williams dan Hrazdina, 1979).

E. ROSMARINIC ACID

Rosmarinic acid (C18H16O8,) merupakan antioksidan alami dalam

bentuk asam karboksilat, memiliki bentuk dimer caffeic acid, yang berwarna merah oranye yang sedikit larut dalam air, tetapi mudah larut pada pelarut organik. Parnham dan Kesselring (1985) mengungkapkan bahwa rosmarinic acid mampu berperan sebagai antioksidan, antiinflamatori, antimutagen, antibakteri, dan antivirus.

Gambar 4. Rosmarinic acid

Rosmarinic acid banyak ditemukan pada tanaman herbal dari suku

Boraginaceace dan Lamiaceae (Litvinenko et al., 1975), seperti rosemary,

oregano, sage, thyme, dan peppermint. Hasil penelitian Olah et al., (2003)

menunjukkan bahwa daun tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) mengandung komponen/senyawa turunan caffeic acid, salah satunya rosmarinic acid.

Dokumen terkait