BAB II. LANDASAN TEORI
3. Miskonsepsi
yang sudah diyakini kebenarannya. Dalam penelitian ini miskonsepsi yang
akan diteliti adalah miskonsepsi yang dilakukan siswa SD kelas V di SDN
Jetisharjo Yogyakarta dalam menyelesaikan soal-soal materi bangun ruang
prisma segitiga dan tabung.
4. Tes Tertulis, tes tertulis dalam penelitian ini berfungsi untuk melihat letak
miskonsepsi yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal bangun
ruang prisma segitiga dan tabung.
5. Bangun Ruang Prisma Segitiga dan Tabung, prisma segitiga dan tabung
merupakan salah satu pokok bahasan dalam pembelajaran matematika
8 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Konsep a. Pengertian Konsep
Salah satu aspek mendasar dalam berpikir adalah tentang pemahaman
konsep. Konsep menjadi penting karena merupakan batu pembangun berpikir,
selain itu konsep merupakan dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk
merumuskan prinsip dan generalisasi (Dahar, 2006: 62). Kategori mental juga
digunakan untuk mengelompokkan benda-benda, kejadian-kejadian, dan ciri-ciri
tertentu (Laura, 2010: 8). Selain itu Bahri (2011: 30-31) juga berpendapat bahwa
orang yang sudah memiliki konsep akan mampu mengadakan abstraksi terhadap
objek-objek yang dihadapi dan menempatkan objek tersebut dalam golongan atau
kelas tertentu. Hal itu sependapat dengan (Walgito, 2010: 197), kemampuan
manusia untuk membentuk konsep, memungkinkan manusia tersebut untuk
mengadakan klasifikasi benda-benda atau kejadian-kejadian tertentu.
Dari uraian di atas terlihat bahwa proses pembentukan dan pemahaman
terhadap suatu konsep itu penting. Menurut Laura (2010: 8), konsep menjadi
sangat penting karena empat alasan. Pertama, konsep memungkinkan kita untuk
melakukan generalisasi. Kedua, konsep memungkinkan kita untuk membuat
asosiasi pengalaman dan benda-benda yang ada. Ketiga, konsep membantu
kembali pemahaman atau makna ketika kita berhadapan dengan sebuah potongan
informasi. Keempat, konsep menyediakan petunjuk mengenai bagaimana kita
bereaksi terhadap suatu benda atau pengalaman tertentu.
Sedangkan menurut Budi (1992: 114), untuk mengetahui apakah siswa
memahami suatu konsep, maka diperlukan indikator-indikator yang dapat
menunjukkan pemahaman tersebut. Pemahaman atau indikator tersebut antara
lain: (1) dapat menyatakan konsep dalam bentuk definisi menggunakan kalimat
sendiri, (2) dapat menjelaskan makna dari konsep bersangkutan kepada orang lain,
(3) dapat menganalisis hubungan antarkonsep dalam suatu hukum, (4) dapat
mempelajari konsep lain yang berkaitan dengan lebih cepat, (5) dapat
membedakan konsep yang satu dengan konsep yang lain yang saling berkaitan,
(6) dapat membedakan konsepsi yang benar dan konsepsi yang salah serta dapat
membuat peta konsep dari konsep-konsep yang ada dalam suatu pokok bahasan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
adalah suatu perolehan makna dalam proses berpikir. Manusia dapat dikatakan
sudah memahami konsep apabila manusia itu sudah menampilkan
perilaku-perilaku tertentu. Misalnya manusia dapat menggolongkan hewan dan bukan
hewan. Dalam penelitian ini siswa dinilai memahami konsep ketika mampu
menggolongkan atau mengklasifikasi bangun ruang prisma segitiga dan bangun
b. Macam-macam Konsep
Menurut Amien (1979), ditinjau dari fungsinya, konsep dapat
dikelompokkan ke dalam 3 golongan yaitu: konsep klasifikasional, konsep
korelasional, dan konsep teoritik:
1) Konsep klasifikasional adalah mengklasifikasi konsep-konsep. Siswa
mengelompokkan suatu konsep ke dalam suatu peristiwa. Contoh:
mengklasifikasi konsep segitiga, konsep trigonometri, dan konsep
logaritma.
2) Konsep kolerasional adalah menghubungkan konsep yang satu dengan
konsep yang lainnya dua atau lebih objek. Misalnya konsep luas persegi
panjang sebagai hasil kali panjang dan lebar.
3) Konsep teoritik adalah menjelaskan konsep berdasarkan fakta. Misalnya
konsep titik, bilangan, dan himpunan.
2. Konsepsi
Konsepsi dapat didefinisikan sebagai tafsiran perorangan atau individu
terhadap suatu konsep (Berg, 1991). Contohnya konsep bola, bola dapat
ditafsirkan oleh seorang anak sebagai suatu benda kecil, bulat dan menggelinding.
Sedangkan Budi (1992: 114-115), mendefinisikan konsepsi sebagai kemampuan
memahami konsep, baik yang diperoleh dari indera maupun kondisi lingkungan.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsepsi adalah
atau pandangan atau pendapat siswa tentang konsep-konsep yang berhubungan
dengan bangun ruang prisma segitiga dan tabung.
3. Miskonsepsi
a. Pengertian Miskonsepsi
Miskonsepsi atau salah konsep adalah suatu konsep yang tidak sesuai
dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang
itu (Suparno, 2005: 4). Menurut Flower 1987 (dalam Suparno, 2005: 5),
miskonsepsi adalah suatu pengertian yang tidak akurat dengan konsep,
penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, serta
hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar.
Siswa dapat dikatakan miskonsepsi apabila konsep yang dimiliki oleh
siswa tersebut bertentangan dengan konsep yang dimiliki oleh para ahli (Berg,
1991: 10). Hal itu sependapat dengan Budi (1992: 114), ia berpendapat bahwa
miskonsepsi dapat terjadi apabila konsepsi seorang siswa berbeda dengan
konsepsi para ahli secara teoritis yang dianggap benar dan baku.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulan bahwa miskonsepsi adalah suatu
makna atau konsep yang telah dipersepsikan, namun bertentangan dengan
persepsi para ahli yang sudah diyakini kebenarannya.
b. Mendeteksi Miskonsepsi
Menurut Suparno (2005: 121), sebelum melangkah lebih lanjut, diperlukan
beberapa alat deteksi yang sering digunakan untuk mendeteksi ialah: pertama,
dengan menggunakan peta konsep (concept maps), digunakan untuk mendeteksi
miskonsepsi siswa dalam bidang fisika. Peta konsep menekankan
gagasan-gagasan pokok yang disusun secara hirarkis. Miskonsepsi siswa dapat
diidentifikasi dengan melihat apakah hubungan antar konsep itu benar atau salah
dan dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan antar
konsep (Novak & Gowin, 1984).
Kedua, dengan menggunakan tes mulitiple choice dengan reasoning
terbuka. Amir dkk, (1987), menggunkan tes pilihan ganda dengan pertanyaan
terbuka dimana siswa harus menjawab dan menulis mengapa ia mempunyai
jawaban terebut. Berdasarkan hasil jawaban tes yang tidak benar dalam pilihan
ganda tersebut, dilanjutkan dengan wawancara. Tujuan wawancara adalah untuk
meneliti bagaimana siswa berpikir dan mengapa mereka berpikir seperti itu.
Model ini biasanya dipilih oleh peneliti karena dengan siswa menuliskan alasan,
peneliti mudah untuk menganalisis hasil tes.
Ketiga, dengan menggunakan tes esai tertulis. Tes esai ini memuat
beberapa konsep yang memang hendak diajarkan atau sudah diajarkan. Melalui
tes esai, miskonsepsi yang dibawa siswa dapat ditemukan dan dalam bidang atau
konsep tertentu. Wawancara mendalam dilakukan untuk lebih mendalami
mengapa siswa mempunyai gagasan seperti itu dan akan terlihat dari mana
Keempat, dengan menggunakan wawancara diagnosis. Langkah pertama
sebelum melakukan wawancara diagnosis, guru/ peneliti memilih beberapa
konsep yang diperkirakan sulit untuk dimengerti oleh siswa atau beberapa pokok
bahasan yang akan diajarkan. Wawancara dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
dengan wawancara terstruktur dan wawancara bebas. Wawancara terstruktur ialah
pertanyaan sudah disusun, sehingga memudahkan dalam praktiknya. Wawancara
bebas, guru/ peneliti memang bebas bertanya kepada siswa dan siswa dapat
dengan bebas menjawab. Urutan atau pertanyaan yang akan ditanyakan dalam
wawancara itu tidak peru disiapkan.
Kelima, dengan menggunakan diskusi dalam kelas. Diskusi kelas ini untuk
mengungkapkan gagasan siswa tentang konsep yang sudah diajarkan maupun
yang akan diajarkan. Diskusi kelas dapat mendeteksi apakah gagasan siswa itu
tepat atau tidak. Cara ini lebih cocok digunakan pada kelas yang besar.
Berdasarkan pembahasan tentang cara mengidentifikasi atau mendeteksi
miskonsepsi di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak cara yang dapat digunakan
untuk mendeteksi miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Cara tersebut sama-sama
menekankan bahwa siswa diberi kesempatan untuk mengunggkapkan gagasannya,
dengan hal itu peneliti mudah dalam mendeteksi miskonsepsi.
Ada pendapat lain dari Abraham (1992: 112), ia menggolongkan derajat
pemahaman siswa dalam enam kategori. Enam kategori tersebut adalah: (1) Tidak
ada respon, dengan kriteria tidak menjawab dan atau menjawab “saya tidak tahu”. (2) Tidak memahami, dengan kriteria mengulang pertanyaan, menjawab tetapi
tidak berhubungan dengan pertanyaan dan atau jawaban tidak jelas. (3)
Miskonsepsi, dengan kriteria menjawab tetapi penjelasannya tidak benar atau
tidak logis. (4) Memahami sebagian dan terjadi miskonsepsi, dengan kriteria
jawaban menunjukkan ada konsep yang dikuasai, namun ada pernyataan yang
menunjukkan miskonsepsi. (5) Memahami sebagian, dengan kriteria jawaban
menunjukkan sebagian konsep yang dipahami tanpa miskonsepsi. (6) Memahami
konsep, dengan kriteria jawaban menunjukkan konsep dikuasai dengan benar.
Derajat pemahaman 1 dan 2 dkategorikan sebagai derajat pemahaman “tidak memahami konsep”, 3 dan 4 termasuk “miskonsepsi”, sedangkan 5 dan 6 termasuk “memahami konsep”, Abraham (1992: 113).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa derajat pemahaman
dibedakan menjadi 3 kategori. Kategori pertama ialah siswa “tidak memahami konsep”, artinya siswa tersebut tidak menjawab pertanyaan dan atau siswa menjawab pertanyaan akan tetapi jawaban tersebut tidak jelas. Kategori kedua
ialah siswa mengalami “miskonsespsi”, artinya siswa tersebut menjawab
pertanyaan akan tetapi jawaban tersebut tidak benar atau tidak sesuai dengan
jawaban para ahli sebelumnya. Kategori ketiga ialah siswa “memahami konsep”, artinya siswa menjawab pertanyaan dengan menunjukkan konsep yang dikuasi
dengan benar.
c. Penyebab Terjadinya Miskonsepsi
Kualitas gambaran atau pemahaman konsep yang diterima oleh seseorang
terjadi perbedaan konsepsi antara orang yang satu dengan orang yang lainnya.
Kualitas tersebut ditentukan oleh kualitas proses pembentukan dan kemampuan
pembentuknya. Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan,
hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif dan kesalahan
yang naif (Suparno, 2005: 4). Konsep awal (prakonsepsi) ialah bentuk
miskonsepsi yang sering muncul dan dibawa siswa ke kelas formal atau dalam
pembelajaran Clement (1987).
Menurut Suparno (2005: 53), secara singkat penyebab miskonsepsi ada
lima kelompok. Penyebab miskonsepsi yang pertama adalah dari diri siswa itu
sendiri, misalnya konsep awal (prakonsepsi) yang dibawa oleh siswa, dari cara
berpikir siswa, perkembangan kognitif siswa, kemampuan siswa dalam
memahami konsep, serta minat belajar siswa. Penyebab miskonsepsi yang kedua
adalah dari guru atau pengajar, seperti guru belum mengusai pokok bahasan,
ketidakmampuan guru dalam mengajar, bukan lulusan dari bidang ilmu yang
diampu, tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan atau ide yang
dimilikinya, hubungan antara guru dengan siswa kurang baik. Penyebab
miskonsepsi yang ketiga adalah dari buku teks, misalnya penjelasan yang
dipaparkan dalam buku salah, penulisan rumus maupun gambar yang salah.
Penyebab yang keempat adalah konteks. Penyebab miskonsepsi dari segi konteks
misalnya pengalaman siswa, bahasa sehari-hari yang berbeda, teman diskusi atau
penjelasan dari orang tua yang keiru, keyakinan dan ajaran agama. Penyebab
miskonsepsi yang kelima adalah cara mengajar atau metode mengajar, misalnya
suatu metode untuk pembelajaran terkadang membantu munculnya miskonsepsi
bukan membantu peningkatan konsep siswa.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi dapat terjadi
pada waktu proses pembentukan konsep yang dilakukan oleh diri siswa itu sendiri
dan berdasarkan kemampuanya untuk membentuk sebuah konsep. Selain itu,
miskonsepsi juga akan muncul karena faktor dari luar diri siswa, seperti guru atau
pengajar, buku teks, konteks, dan metode yang digunakan guru saat mengajar.
d. Cara Mengatasi Miskonsepsi
Setelah mengetahui penyebab miskonsepsi serta mengetahui cara
mendeteksi miskonsepsi, berikut ini akan dijelaskan bagaimana caranya untuk
mengatasi miskonsepsi. Secara garis besar langkah yang digunakan untuk
mengatasi miskonsepsi adalah: 1) Mencari atau mengungkap miskonsepsi yang
dilakukan siswa, 2) Mencoba menemukan penyebab miskonsepsi tersebut, 3)
Mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi (Suparno, 2005: 55).
Banyak cara untuk mengatasi miskonsepsi, akan tetapi sering cara yang
ditempuh untuk mengatasi miskonsepsi tidak berhasil. Menurut Suparno (2005:
55), ketidakberhasilan tersebut dapat disebabkan oleh pendidik atau peneliti yang
kurang tepat dalam memilih metode atau cara yang digunakan untuk mengatasi
miskonsepsi tersebut. Bisa juga cara yang digunakan belum sesuai dengan siswa
di tempat pembelajaran. Maka dari itu, sangat penting peneliti menemukan sendiri
penyebab miskonsepsi pada siswa dan mencari pemecahan yang sesuai untuk
Suparno, (2005: 81-82) memaparkan beberapa langkah pembenahan
miskonsepsi berdasarkan penyebab miskonsepsi yang telah di bahas di atas.
Penyebab kesalahan yang pertama adalah dari diri siswa. Penyebab kesalahan dari
siswa dapat berupa konsep awal (prakonsepsi) maupun cara berfikir siswa yang
kurang tepat. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara siswa dihadapkan pada
peristiwa anomali. Peristiwa anomali adalah pengalaman nyata yang sungguh lain
dengan konsep atau pemikiran yang mereka bangun dan yakini benar (Suparno,
2005: 58). Ada beberapa siswa yang belum sempurna perkembangan kognitifnya,
sehingga siswa kesulitan dalam memahami dan merumuskan konsep yang abstrak.
Cara mengatasinya dengan cara menjelaskan konsep yang ada sesuai dengan
perkembangan kognitif siswa. Dapat dimulai dengan memberikan contoh nyata
lalu pelan-pelan ke abstrak.
Kadang-kadang kemampuan siswa juga kurang dalam belajar. Siswa tidak
dapat menangkap konsep yang diajarkan oleh guru dengan tepat dan lengkap.
Cara yang dapat dilakukan adalah siswa yang kemampuannya kurang dapat
dibantu dengan pembelajaranmultiple intelligence(Suparno, 2005: 63).Model ini
guru mencari inteligensi mana yang sangat kuat pada siswa, kemudian guru
menjelaskan konsep dengan inteligensi yang menonjol pada siswa tersebut.
Selanjutnya, minat belajar siswa rendah. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara
memberikan motivasi kepada siswa dan menvariasi metode pembelajaran.
Penyebab kesalahan yang kedua adalah dari guru atau pengajar. Penyebab
kesalahan dari guru dapat berupa guru tersebut kurang menguasai bahan
relasi guru dengan siswa kurang baik. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kesalahan tersebut adalah dengan cara guru harus belajar lagi, memberikan waktu
siswa untuk mengungkapkan gagasan secara lisan maupun tertulis, dan
menciptakan relasi yang akrab, humor dan tidak menakutkan siswa (Suparno,
2005: 65-66).
Penyebab kesalahan yang ketiga adalah dari buku teks. Penyebab
kesalahan dari buku teks dapat berupa penjelasan yang dipaparkan dalam buku
salah, penulisan rumus maupun gambar yang salah, dan siswa tidak tahu cara
menggunakan buku teks. Cara mengatasi adalah dengan mengoreksi secara teliti
buku, penulisan rumus, atau gambar yang salah dan dibenarkan. Guru juga harus
melatih siswa cara menggunakan buku teks dengan benar (Suparno, 2005: 70-72).
Penyebab kesalahan yang keempat adalah dari konteks. Penyebab
kesalahan dari konteks dapat berupa pengalaman siswa yang keliru, dapat diatasi
dengan cara siswa dihadapkan pada pengalaman baru sesuai konsep yang sedang
dipelajari. Bahasa sehari-hari yang berbeda dan keyakinan agama yang berbeda,
dapat diatasi dengan cara dijelaskan perbedaannya dengan contoh atau
pengalaman yang dapat dialami siswa. Selain itu, kesalahan dapat berupa teman
diskusi yang salah, dapat diatasi dengan mengungkapkan hasil diskusi dan