• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

3. Miskonsepsi

4. Miskonsepsi IPA Fisika adalah suatu kesalahan konsep yang terjadi pada pelajaran IPA khususnya pada materi Fisika.

5. Siswa kelas V SD adalah siswa yang berada pada tingkat kelas V SD negeri se-Kecamatan Pakem kabuapaten Sleman dengan rata-rata umur 10-11 tahun.

6. Kecamatan Pakem adalah sebuah kecamatan yang berada di kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Letak astronomi kota

Pakem berada di 77.66708’ LS dan 110.42011’ BT. Batas-batas wilayah Pakem adalah sebelah barat dibatas oleh Kecamatan Turi, sebelah utara dibatasi oleh Gunung Merapi, sebelah timur dibatasi oleh kecamatan cangkringan, dan sebelah selatan dibatasi oleh Kecamatan Ngaglik.

7. Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara biologis sejak mereka lahir.

12 BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab II ini akan menguraikan beberapa hal yaitu : kajian teori yang berisi teori-teori yang mendukung penelitian, hasil penelitian yang relevan yaitu berisi tentang penelitian-penelitian yang sesuai dengan yang ingin dilakukan oleh peneliti sebelumnya, kerangka pikiran yaitu berisi tentang rumusan konsep- konsep yang didapat dari kajian teori, dan hipotesis penelitian. Hal-hal tersebut diuraikan di bawah ini.

A. Kajian Pustaka 1. Konsep

Konsep merupakan sekelompok fakta dan data yang banyak memiliki ciri-ciri yang sama dan dapat dimasukkan ke dalam nama label. Konsep merupakan pola abstrak yang dapat digunakan untuk dapat mengungkapkan berbagai faktor, gejala, dan masalah yang sedang dipelajari atau sekumpulan pengertian yang disimpulkan dari sekumpulan pengertian yang disimpulkan dari sekumpulan data yang memiliki kesamaan ciri (Kartika dan Istianti, 2007: 2). Konsep merupakan suatu pola abstrak yang berupa fakta dan data yang memilki ciri-ciri dalam suatu objek, sehingga dapat mengungkapkan berbagai faktor, gejala, dan masalah yang sedang dipelajari dari sekumpulan data yang didapatkan, kemudian dapat disimpulkan dan menjadi sebuah pengertian.

Ausubel (dalam Tayubi, 2005: 5) konsep merupakan benda-benda, kejadian-kejadian, situasi-situasi, atau ciri-ciri yang memiliki ciri-ciri khas

dan yang terwakili dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau simbol. Konsep merupakan sebuah abstraksi yang pada suatu objek yang berupa kejadian-kejadian, situasi-situasi, dan ciri-ciri khas yang dimiliki oleh objek tersebut.

Basleman dan Mappa (2011: 67) mengungkapkan bahwa konsep diperoleh dari kejadian-kejadian yang dijumpai baik positif maupun negatif. Sekali memperoleh konsep, peserta belajar akan mampu mengenal hal atau kejadian dan mampu memberikan definisi verbal dari konsep tersebut. Konsep merupakan sutau kejadian yang dijumpai oleh siswa, sehingga siswa dapat belajar dan mengenal suatu kejadian tesebut dan mampu memberikan suatu definisi atau konsep.

Konsep dibedakan atas konsep konkret dan konsep yang harus didefinisikan. Konsep konkret adalah pengertian yang menunjuk pada objek-objek dalam lingkungan fisik. Konsep ini mewakili benda tertentu, seperti meja, kursi, mobil, dan sebagainya. Konsep yang didefinisikan adalah konsep yang mewakili realitas hidup, tetapi tidak langsung menunjuk pada realitas dalam lingkungan hidup fisik, karena realitas itu tidak berbadan. Misalnya, saudara sepupu, dan sebagainya, adalah kata- kata yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa, bahkan dengan mikroskop sekalipun (Djamarah, 2011: 31).

Berdasarkan pendapat yang sudah diungkapkan para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep merupakan suatu kejadian pada suatu objek yang dijumpai oleh para siswa, yang objek tersebut memiliki fakta dan data yang memiliki ciri-ciri khas, sehingga siswa

mampu mengumpulkan data dan mengenal suatu kejadian tersebut dan siswa mampu memberikan suatu definisi atau konsep.

2. Konsepsi

Siswa sebelum memasuki dunia sekolah, siswa sudah mempunyai konsep-konsep suatu pembelajaran. Konsep-konsep tersebut didapatkan dari pengalaman-pengalaman yang mereka peroleh dikehidupan sehari- hari. Konsep-konsep yang diperolehnya dapat ditafsirkan oleh siswa menjadi sebuah konsepsi.

Berg (dalam Ramadhani, 2011: 15) mengatakan bahwa tafsiran perorangan atau in1dividu terhadap suatu konsep disebut konsepsi. Budi (dalam Bati, 2015: 10) juga menyampaikan pendapatnya bahwa konsepsi yaitu sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh dari indera maupun dari lingkungan. Pernyataan yang telah disampaikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsepsi merupakan tafsiran perorangan atau individu terhadap suatu konsep yang mereka peroleh dari indera maupun lingkungan. Misalnya konsep bola, bola dapat ditafsirkan oleh seorang siswa sebagai suatu benda kecil, bulat dan menggelinding (Bati, 2015: 10).

3. Miskonsepsi

a. Pengertian Miskosepsi

Miskonsepsi bisa disebut dengan salah konsep. Miskonsepsi merupakan suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu (Suparno, 2005: 4). Kesalahan konsep tersebut didapatkan siswa karena konsep

awal yang diperolehnya tidak sesuai dengan pengertian ilmiah. Konsep awal ini dapat didapatkan oleh siswa dari pengalaman dan pengamatan mereka di masyarakat atau dalam kehidupan sehari-hari (Suparno, 2005: 2). Flower (dalam Suparno, 2005: 5) menjelaskan bahwa miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirarki konsep- konsep yang tidak benar.

Berg (dalam Febriyani, 2012: 9) menyatakan bahwa miskonsepsi apabila konsep yang dimiliki siswa berbeda dengan konsep yang telah ditetapkan oleh para ahli maka hal itu disebut dengan miskonsepsi, namun jika konsep siswa tersebut hasil dari persederhanaan atau simpulan dari konsep-konsep para ahli maka siswa tidak dapat dikatakan miskonsepsi. Budi juga mengungkapkan salah konsep dapat diartikan sebagai sebuah kesalahan terhadap konsep- konsep yang terjadi apabila konsepsi seorang siswa berbeda dengan konsep para ahli yang secara teoritis konsep tersebut dianggap benar dan baku, dan secara objektif keilmuan konsepsi tersebut memang salah (dalam Ramadhani, 2015: 17).

Misalnya terjadi miskonsepsi pada konsep gaya. Ada seseorang mendorong suatu kereta, tetapi kereta itu tidak bergerak. Mereka mengatakan bahwa tidak ada gaya yang bekerja pada kereta tersebut. Anggapan tersebut ternyata salah bahwa jika tidak ada gaya yang bekerja. Menurut para ahli fisika megngungkapkan bahwa meskipun

kereta tidak bergerak, tetap ada gaya yang bekerja namun gaya yang diberikan kurang besar (Suparno, 2005: 15).

Berdasarkan pendapat dan contoh yang dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi merupakan kesalahan konsep yang dialami seseorang siswa yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang telah ditetapkan para ahli.

b. Penyebab Miskonsepsi

Timbulnya miskonsepsi siswa disebabkan oleh berbagai hal. Suparno (2005: 29) mengungkapkan secara garis besar, penyebab terjadinya miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok, yaitu: siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. Di bawah ini peneliti akan menguraikan kelima penyebab miskonsepsi yaitu sebagai berikut.

1) Siswa

Siswa merupakan penyebab paling banyak terjadinya miskonsepsi. Suparno (2005: 34) mengungkapakan delapan hal penyebab miskonsepsi yang berasal dari siswa yaitu sebagai berikut.

a) Prakonsepsi atau konsepsi awal

Prakonsepsi adalah konsep awal yang dimiliki oleh siswa tentang suatu konsep sebelum siswa tesebuat mendapat pengajaran dari guru pembimbing. Prakonsepsi ini didapatkan oleh siswa dari orangtua, teman, sekolah awal, dan pengalaman di lingkungan siswa (Suparno, 2005: 35). Misalnya dari

pengalaman kehidupan sehari-hari yaitu tentang terbit dan terbenamnya matahari. Siswa berpendapat bahwa matahari yang mengeliling bumi karena matahari terbit dari timur, kemudian berjalan di atas bumi, dan akhirnya terbenam di barat. Miskonsepsi siswa tersebut bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi. Konsep yang diutarakan oleh siswa tersebut salah, konsep yang benar yaitu bumi mengeliling matahari. b) Pemikiran Asosiatif

Marshall dan Gilmour (dalam Suparno, 2005: 36) mengungkapakan bahwa pengertian yang berbeda dari kata-kata antara siswa dan guru juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Kata dan istilah yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran diasosiasikan lain oleh siswa, karena dalam kehidupan mereka kata dan istilah itu mempunyai arti lain. Asosiasi ini paling sering terjadi karena siswa sudah mempunyai konsep tertentu dengan arti tertentu sebelum mengikuti pembelajaran (Suparno, 2005: 36). Misalnya siswa mengasosiasilkan gaya dangan aksi atau gerak. Siswa jika mendorong sebuah kereta dan kereta tersebut tidak bergerak sama sekali maka siswa beranggapan bahwa tidak ada gaya yang dapat menggerakkan kereta tersebut. Konsep yang benar yaitu kereta tersebut tetap terjadi gaya, hanya gaya tidak cukup kuat untuk menggerakkan kereta.

c) Pemikiran Humanistik

Siswa kerap kali memandang semua benda dari pandangan manusiawi (Gilbert, Watts, Osborne dalam Suparno, 2005: 36). Benda-benda dan situasi dipikirkan dalam term pengalaman orang dan secara manusiawi. Tingkah laku benda dipahami seperti tingkah laku manusia yang hidup, sehingga tidak cocok (Suparno, 2005: 37). Misalnya miskonsepsi siswa akan kekekalan energi. Seorang bila bekerja secara terus menerus atau bermain secara terus menerus akan merasa lelah dan lapar. Dari pengalaman sebagai manusia yang menjadi lapar dan kehabisan energi bila terus bekerja, siswa beranggapan bahwa kekekalan energi itu tidak mungkin terjadi. Energi yang ada pasti berkurang dan lenyap. Siswa tidak mudah untuk keluar dari pemikiran yang manusiawi ini (Suparno, 2005: 37).

d) Reasoning yang tidak lengkap/salah

Reasoning bisa disebut juga dengan penalaran. Comins (dalam Suparno, 2005: 38) mengungkapakan miskonsepsi dapat disebabkan oleh penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah. Alasan yang tidak lengkap dapat disebabkan karena informasi yang diperoleh atau data yang kurang lengkap. Alasan yang kurang lengkap dan kurangnya informasi yang diperoleh akibatnya siswa menarik kesimpulan secara salah dan menyebabkan timbulnya miskonsepsi. Penyebab miskonsepsi dapat terjadi juga karena logika yang salah dalam mengambil

kesimpulan atau mengeneralisasi. Kesalahan yang terjadi juga karena siswa terlalu luas atau terlalu sempit membuat generalisasi. Misalnya, siswa mengetahui bahwa bumi termasuk planet, siswa tersebut menganggap bahwa semua planet yang ada di tata surya kita sama seperti bumi. Berarti planet-planet tersebut terdapat tumbuh-tumbuhan, air, gaya, gravitasi, batu- batu keras, dan lain-lainnya.

e) Intuisi yang Salah

Suparno (2005: 38) mengungkapkkan bahwa intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang, yang secara spontan mengungkap sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti. Intuisi yang salah dapat mengakibatkan miskonsepsi jika intuisi diungkapakan secara spontan tanpa ada penelitian atau pembuktian terlebih dahulu. Misalnya, siswa sering melihat bahwa benda padat yang dimasukkan kedalam air akan tenggelam. Maka secara spontan bila dihadapkan pada persoalan apakah gabus akan tenggelam,

spontan siswa akan menjawab “ya”, karena gabus adalah benda

padat. Baru setelah dicoba, ternyata gabus itu mengapung. f) Tahap perkembangan kognitif

Suparno (2005: 39) mengungkapkan bahwa perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat menjadi penyebab adanya miskonsepsi siswa. Siswa yang masih dalam tahap operational concrete masih kesulitan dalam

mempelajari hal-hal yang abstrak sehingga siswa kesulitan untuk memahami suatu konsep tersebut. Siswa pada tahap

operational concrete ini siswa bisa baru berpikir berdasarkan hal-hal yang konkret atau nyata yang dapat dilihat dengan indra. g) Kemampuan siswa

Siswa yang kurang berbakat atau kurang mampu dalam mempelajari fisika dan memiliki inteligensi matematis-logis kurang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memahami atau menangkap konsep fisika. Meskipun guru telah mengkomunikasikan secara pelan-pelan, buku teks ditulis dengan benar sesuai dengan pengertian para ahli, namun pengertian yang mereka tangkap dapat tidak lengkap dan bahkan salah. Suparno (2005: 40) mengungkapkan bahwa kemampuan siswa juga mempengaruhi terjadinya miskonsepsi.

h) Minat Belajar

Suparno (2005: 41) mengungkapkan bahwa minat siswa terhadap fisika juga berpengaruh pada miskonsepsi. Seseorang yang memiliki minat belajar yang rendah cenderung mempunyai miskonsepsi yang tinggi daripada siswa yang memiliki minat belajar yang tinggi. Siswa yang tidak berminat dalam belajar, bila salah menangkap suatu bahan, sering kali siswa tidak berminat mencari mana yang benar dan mengubah konsep yang salah (Suparno, 2005: 42). Akibatnya, mereka akan lebih mudah menagalami kesalahan atau miskonsepsi.

2) Guru/Pengajar

Miskonsepsi siswa dapat terjadi pula karena miskonsepsi yang dibawa oleh seorang guru. Guru yang tidak menguasai bahan atau materi tentang suatu konsep pembelajaran dan diajarkan kepada siswa secara tidak benar, akan menyebabkan siswa mendapatakan miskonsepsi. Konsep yang tidak benar tersebut akan ditangkap oleh siswa dan menganggap konsep tersebut benar, maka siswa memegang konsep itu kuat-kuat (Suparno, 2005: 42). Akibatnya, miskonsepsi siswa sangat kuat dan sulit untuk diperbaiki.

3) Buku Teks

Buku teks merupakan sumber belajar bagi siswa. Buku teks juga dapat menyebabkan miskonsepsi (Suparno, 2005: 44). Terjadinya miskonsepsi pada buku teks ini dapat disebabkan oleh penggunaan bahasa dalam buku tersebut sulit untuk dipahami sehingga siswa mengalami kesulitan dalam memahami bacaan tersebut atau karena penjelasannya yang tidak benar. Banyak penerbit buku menerbitkan buku teks berupa fiksi, misalnya saja buku fiksi sains. Buku fiksi sains ini diterbitkan bertujuan untuk menarik siswa dan membuat siswa senang membaca dan nantinya akan senang mempelajarinya. Comins (dalam Suparno, 2005: 46) mengungkapkan bahwa buku fiksi sains sangat baik, tetapi dalam banyak hal dapat juga mnyesatkan dan memunculkan miskonsepsi pada diri siswa.

4) Konteks

a) Pengalaman

Pengalaman siswa dapat menyebabkan miskonsepsi. Siswa dapat belajar dari pengalaman yang mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman yang sudah didapatkan akan membentuk sebuah konsep yang menurutnya benar, namun konsep yang diperolehnya berbeda dengan konsep dari para ahli.

b) Bahasa Sehari-hari

Miskonsepsei dapat terjadi dari bahasa sehari-hari. Gilbert, Watts, Osborne (dalam Suparno, 2005: 48) mengatakan beberapa miskosepsi datang dari bahasa sehari- hari yang mempunyai arti lain dengan bahasa fisika. Misalnya, dalam bahasa sehari-hari siswa mengerti dan menggunakan istilah berat dan unit kg. Tetapi dalam fisika, berat adalah suatu gaya, dan unit adalah newton. Mereka telah menggunakan istilah itu di luar sekolah, maka sangat sulit untuk mengubah pengertian telah tertanam tersebut.

c) Teman Lain

Siswa SD sangat senang belajar bersama teman-teman kelompoknya. Siswa belajar bersama ketika mereka mengerjakan PR besama dan melakukan praktikum. Di dalam kelompok ketika belajar bersama sering ada beberapa orang yang suaranya vokal. Bila ada siswa yang dominan dalam

kelompok tersebut mempunyai miskonsepsi, maka jelas siswa tersebut dapat mempengaruhi teman-temannya dalam kelompok dalam hal miskonsepsi.

d) Keyakinan dan Ajaran Agama

Suparno (2005: 49) mengatakan bahwa keyakinan atau agama dapat juga menjadi penyebab miskonsepsi. Keyakinan ataupun ajaran agama yang diyakini secara kurang tepat sering membuat siswa tidak menerima penjelasan ilmu pengetahuan, misalnya, soal penciptaan alam semesta. Beberapa siswa di Universitas Maine (AS) memandang bahwa penciptaan alam ini dibuat dalam 6 hari, bahwa lubang hitam itu digunakan untuk menyedot roh-roh jahat; bahwa bumi ini data, dan lain- lain. Dualisme gagasan yang dimiliki siswa yaitu gagasan menurut ilmu dan gagasan menurut agama dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi (Suparno, 2005: 49).

5) Metode Pembelajaran

Beberapa metode mengajar yang digunakan guru, terlebih yang menekankan satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti, meskipun membantu siswa menangkap bahan, tetapi sering mempunyai dampak jelek, yaitu memunculkan miskonsepsi (Suparno, 2005: 50). Dalam mengatasi hal tersebut guru perlu kritis dengan metode yang digunakan dan tidak membatasi diri dengan satu metode saja. Contoh metode yang sering digunakan oleh guru yaitu metode ceramah. Metode ceramah, yang tanpa memberikan

kesempatan siswa untuk bertanya dan juga untuk mengungkapkan gagasan, sering kali meneruskan dan memupuk miskonsepsi, terlebih pada siswa yang kurang mampu.

Contoh di atas merupakan metode yang digunakan oleh guru saat mengajar. Guru sebaiknya selalu kritis dalam menggunakan sebuah metode, karena setiap metode pengajaran memiliki kelemahan sehingga dapat menyebabkan miskonsepsi siswa. Kelemahan yang ada pada metode pembelajaran yang terlalu banyak menyebabkan miskonsepsi, setiap guru perlu mengevaluasi dan mengkritisi metode yang digunakan dalam pengajaran di sekolah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan penyebab miskonsepsi adalah siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode pembelajaran. Miskonsepsi pada siswa dapat terjadi karena konsep awal yang didapatkan yang berasal dari pengalaman-pengalaman kehidupannya sebelum mereka mendapat pembelajaran disekolah. Miskonsepsi pada guru dapat terjadi karena guru yang tidak menguasai bahan atau materi tentang suatu konsep pembelajaran dan diajarkan kepada siswa secara tidak benar, sehingga siswa menganggap konsep yang diberikan oleh gurunya benar. Miskonsepsi pada buku teks dapat terjadi karena penggunaan bahasa dalam buku tersebut sulit untuk dipahami sehingga siswa mengalami kesulitan dalam memahami bacaan tersebut atau karena penjelasannya yang tidak benar. Miskonsepsi pada konteks dapat

terjadi karena siswa memiliki dualisme gagasan yaitu gagasan menurut ilmu dan gagasan menurut agama. Miskonsepsi pada metode pembelajaran dapat terjadi karena guru mengajar dengan metode yang sulit dipahami oleh siswa.

c. Mendeteksi Miskonsepsi

Suparno (2005: 121-128) menjelaskan enam cara untuk mendeteksi miskonsepsi. Keenam cara tersebut akan diuraikan di bawah ini.

1) Peta Konsep (Concept Maps)

Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi pada siswa. Peta konsep yang mengungkapkan hubungan berarti antara konsep-konsp dan menekankan gagasan- gagasan pokok, yang disusun hirarkis, dengan jelas dapat mengungkap miskonsepsi siswa yang digambarkan dalam peta konsep tersebut (Novak & Gowin, dkk dalam Suparno, 2005: 121). Feldsine dan Flower (dalam Suparno, 2005: 122) mengungkapkan bahwa peta konsep adalah alat yang baik untuk mengidentifikasi, baik kerangka alternatif atau miskonsepsi. Cara mendeteksi miskonsepsi pada siswa dengan menggunakan peta konsep ini lebih baik peta konsep ini digabung dengan wawancara klinis (Suparno, 2005: 121).

2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Mendeteksi miskonsepsi dengan menggunakan tes pilihan ganda dengan pertanyaan terbuka dimana siswa harus menjawab

dan menulis mengapa ia mempunyai jawaban tersebut. Penelitian ini menggunakan pilihan ganda dan dua pilihan (pilihan yakin benar dan tidak yakin benar). Dua pilihan tersebut digunakan peneliti untuk mengetahui apakah siswa yakin atau tidak dengan jawaban yang merka pilih.

3) Tes Uraian Tertulis

Tes uraian tertulis ini dapat digunakan sebagai alat untuk mendeteksi miskonsepsi siswa. Hasil tes menggunakan tes uraian ini dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa siswa dan dalam bidang apa. Setelah ditemukan miskonsepsinya, dapatlah beberapa siswa diwawancarai untuk lebih mendalami, mengapa mereka mempunyai gagasan seperti itu. Hasil wawancara itulah akan kentara dari mana miskonsepsi itu dibawa.

4) Wawancara Diagnosis

Wawancara berdasarkan beberapa konsep tertentu dapat dilakukan juga untuk melihat konsep alternatif atau miskonsepsi pada siswa (Suparno, 2005: 126). Peneliti dapat menggunakan cara wawancara ini dengan memilih beberapa konsep tertentu yang diperkirakan sulit dimengerti oleh siswa atau konsep yang pokok yang akan diajarkan. Kegiatan wawancara ini mengajak siswa untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep di atas. Melalui kegiatan ini dapat mengetahui konsep alaternatif yang ada dan sekaligus peneliti menanyakan dari mana mereka memperoleh konsep alternatif tersebut.

5) Diskusi dalam kelas

Melalui diskusi di dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan. Melalui diskusi tersebut dapat dideteksi apakah gagasan yang diutarakan oleh siswa tepat atau tidak. Kegiatan diskusi ini peneliti dapat mengetahui apakah terjadi miskonsepsi atau tidak.

6) Praktikum dengan Tanya Jawab

Praktikum dengan tanya jawab antara guru dengan siswa dengan melakukan praktikum dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep praktikum itu atau tidak (Suparno, 2005: 128). Selama praktikum sebaiknya guru selalu bertanya bagaimana konsep siswa dan bagaimana siswa menjelaskan persoalan-persoalna dalam praktikum tersebut. Melalui praktikum ini siswa dapat belajar suatu konsep dan menemukan konsep sendiri. Konsep yang ditemukan oleh siswa tersebut ditanyakan kepada guru apakah konsep yang mereka dapatkan melalui praktikum tersebut benar atau salah.

4. Hakikat IPA

Dokumen terkait