• Tidak ada hasil yang ditemukan

Miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD Negeri semester 2 se-Kecamatan Pakem Sleman tahun 2015.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD Negeri semester 2 se-Kecamatan Pakem Sleman tahun 2015."

Copied!
264
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Nugroho, Annas Susilo. 2015. Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V SD Negeri Semester 2 se-Kecamatan Pakem Sleman Tahun 2015. Yogyakarta; Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya pemahaman konsep IPA Fisika siswa kelas V yang mengakibatkan terjadinya miskonsepsi. Salah satu penyebab terjadinya miskonsepsi adalah kemampuan siswa dilihat dari perbedaan jenis kelamin karena antara siswa laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Pakem dan mengetahui adanya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Pakem dilihat dari jenis kelamin.

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif dengan metode survei. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri se-Kecamtan Pakem yang menggunakan KTSP yang berjumlah 416 siswa. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 201 siswa yang ditetapkan menggunakan ketentuan Krejcie dan Morgan.

Hasil rata-rata siswa yang mengalami miskonsepsi pada instrumen soal pilihan ganda adalah 35,77 % siswa, sedangkan pada instrumen soal uraian adalah 58,61 % siswa. Hasil analisis data yang kedua untuk mengetahui adanya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika kelas V SD Negeri se-Kecamatan Pakem dilihat dari jenis kelamin dengan uji Mann-Whitney. Hasil yang didapatkan peneliti pada soal pilihan ganda memperoleh harga sig(2-.tailed) 0,891 serta pada soal uraian memperoleh harga sig(2-.tailed) 0,292, karena kedua harga sig( 2-.tailed) yang didapatkan lebih dari 0,05 maka artinya tidak ada perbedaan Miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Pakem dilihat dari jenis kelamin baik pada intrumen soal pilihan ganda maupun uraian.

(2)

ABSTRACT

Nugroho. Annas Susilo. 2015. Misconception of physical science students of fifth grade semester 2 in elementary school in Pakem district of Sleman in 2015. Yogyakarta; Sanata Dharma University.

This research is motivated by the lack understanding of physics concept of the fifth grade students that resulting misconception. One of the causes of misconception is the students ability that is seen from different gender because man and woman have different ability. This research is aimed to find out the physics misconception of the fifth grade students of SD Negeri throughout Pakem district and find out the different conception of physics of the fifth grade students of SD Negeri throughout Pakem district seen from the gender.

This research is descriptive quantitative research by using survey method. The population of this research is the fifth grade students of SD Negeri throughout Pakem district that use KTSP as the curriculum. It consists of 416 students. The sample of this research is 201 students that are set using Krejcie and Morgan pulation.

The average of the result of students that have misconception in the multiple choice instrument are 35,77 % students, whereas in the essay instrument are 58,61% students. The analysis result of the second data for finding out the different misconception of physics of the fifth grade students of SD Negeri throughout Pakem district seen from the gender using Mann-Whitney experiment. The result of multiple choice instruments is sig (2-tailed) 0,891 and the result of essay instrument is sig (1-tailed) 0,292. Because both of the sig (2-tailed) are more than 0,05, it means that there is no different misconception of physics of the fifth grade students of SD Negeri throughout Pakem district seen from the gender using multiple choice instruments or essay instruments.

(3)

i

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SD NEGERI SEMESTER 2 SE-KECAMATAN PAKEM SLEMAN TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh

ANNAS SUSILO NUGROHO 121134107

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur Alhamdulilah, peneliti persembahkan karya sederhana ini

kepada:

1. Allah SWT yang selalu memberikan kesehatan, kemudahan, dan kelancaran

dalam setiap langkah yang telah peneliti tempuh.

2. Bapak, ibu, dan kakak atas kasih sayang dan dukungannya.

3. Teman-teman di PGSD angkatan 2012.

(7)

v MOTTO

“Orang yang menuntut ilmu berarti menuntut rahmat ; orang yang menuntut ilmu

berarti menjalankan rukun Islam dan Pahala yang diberikan sama dengan para

Nabi”.

( HR. Dailani dari Anas r.a )

"Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil; kita baru yakin

kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik."

(8)
(9)
(10)

viii ABSTRAK

Nugroho, Annas Susilo. 2015. Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V SD Negeri Semester 2 se-Kecamatan Pakem Sleman Tahun 2015. Yogyakarta; Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya pemahaman konsep IPA Fisika siswa kelas V yang mengakibatkan terjadinya miskonsepsi. Salah satu penyebab terjadinya miskonsepsi adalah kemampuan siswa dilihat dari perbedaan jenis kelamin karena antara siswa laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Pakem dan mengetahui adanya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Pakem dilihat dari jenis kelamin.

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif dengan metode survei. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri se-Kecamtan Pakem yang menggunakan KTSP yang berjumlah 416 siswa. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 201 siswa yang ditetapkan menggunakan ketentuan Krejcie dan Morgan.

Hasil rata-rata siswa yang mengalami miskonsepsi pada instrumen soal pilihan ganda adalah 35,77 % siswa, sedangkan pada instrumen soal uraian adalah 58,61 % siswa. Hasil analisis data yang kedua untuk mengetahui adanya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika kelas V SD Negeri se-Kecamatan Pakem dilihat dari jenis kelamin dengan uji Mann-Whitney. Hasil yang didapatkan peneliti pada soal pilihan ganda memperoleh harga sig(2-.tailed) 0,891 serta pada soal uraian memperoleh harga sig(2-.tailed) 0,292, karena kedua harga sig( 2-.tailed) yang didapatkan lebih dari 0,05 maka artinya tidak ada perbedaan Miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Pakem dilihat dari jenis kelamin baik pada intrumen soal pilihan ganda maupun uraian.

(11)

ix ABSTRACT

Nugroho. Annas Susilo. 2015. Misconception of physical science students of fifth grade semester 2 in elementary school in Pakem district of Sleman in 2015. Yogyakarta; Sanata Dharma University.

This research is motivated by the lack understanding of physics concept of the fifth grade students that resulting misconception. One of the causes of misconception is the students ability that is seen from different gender because man and woman have different ability. This research is aimed to find out the physics misconception of the fifth grade students of SD Negeri throughout Pakem district and find out the different conception of physics of the fifth grade students of SD Negeri throughout Pakem district seen from the gender.

This research is descriptive quantitative research by using survey method. The population of this research is the fifth grade students of SD Negeri throughout Pakem district that use KTSP as the curriculum. It consists of 416 students. The sample of this research is 201 students that are set using Krejcie and Morgan pulation.

The average of the result of students that have misconception in the multiple choice instrument are 35,77 % students, whereas in the essay instrument are 58,61% students. The analysis result of the second data for finding out the different misconception of physics of the fifth grade students of SD Negeri throughout Pakem district seen from the gender using Mann-Whitney experiment. The result of multiple choice instruments is sig (2-tailed) 0,891 and the result of essay instrument is sig (1-tailed) 0,292. Because both of the sig (2-tailed) are more than 0,05, it means that there is no different misconception of physics of the fifth grade students of SD Negeri throughout Pakem district seen from the gender using multiple choice instruments or essay instruments.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat

dan karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V SD Negeri Semester 2 Se-Kecamatan

Pakem Sleman Tahun 2015”.

Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar (S.Pd) di Universitas

Sanata Dharma. Peneliti menyadari bahwa tanpa ada bantuan, bimbingan dan

dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak dapat tersusun. Untuk itu dalam

kesempatan kali ini peneliti menyampaikan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan izin penelitian.

2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd., selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma.

3. Maria Melani Ika Susanti, M.Pd., selaku dosen pembimbing I yang dengan

penuh kesabaran dalam membimbing, memberi dorongan, dan memberi

motivasi dalam penelitian skripsi ini.

4. Kintan Limiansih, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pembimbing II yang dengan

sabar telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi saran dalam

penelitian skripsi ini.

5. Kepala sekolah dan guru SD negeri kelas V se-Kecamatan Pakem, yang telah

(13)
(14)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii B. Batasan Masalah... C. Rumusan Masalah ... D. Tujuan Penelitian ... E. Manfaat Penelitian ... F. Definisi Operasional...

1

BAB II LANDASAN TEORI

(15)

xiii

6. Jenis Kelamin ... B. Hasil Penelitian yang Relevan ... C. Kerangka Berfikir... D. Hipotesis ...

40 41 46 47

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... B. Tempat dan Waktu ... 1. Tempat Penelitian... 2. Waktu Penelitian ... C. Populasi dan Sampel ... 1. Populasi ... 2. Sampel ... D. Variabel Penelitian ... E. Teknik Pengambilan Data ... F. Instrumen Penelitian... G. Teknik Pengujian Instrumen ... H. Teknik Analisis Data ...

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 1. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 2. Deskripsi Responden Penelitian ... 3. Deskripsi Data Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V SD

Negeri se-Kecamatan Pakem ... 4. Perbedaan Miskonsepsi Siswa Kelas V SD dilihat dari Jenis

Kelamin ... B. Keterbatasan Penelitian ... C. Saran ...

(16)

xiv

DAFTAR REFERENSI ...

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... CURRICULUM VITAE ...

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Populasi Penelitian ...51

Tabel 3.2 Tabel Krejcie ...52

Tabel 3.3 Data sampel penelitian ...53

Tabel 3.4 Tabel kisi-kisi soal pilihan ganda dan uraian ...59

Tabel 3.5 Pedoman wawancara ...61

Tabel 3.6 Kriteria hasil validasi ...64

Tabel 3.7 Hasil validasi muka ...67

Tabel 3.8 Hasil validasi soal pilihan ganda ...69

Tabel 3.9 Hasil validasi soal uraian ...70

Tabel 3.10 Tabel kualifikasi koefisien reliabilitas ...72

Tabel 3.11 Tabel perhitungan reliabilitas soal pilihan ganda...73

Tabel 3.12 Tabel perhitungan reliabilitas soal uraian ...73

Tabel 4.1 Jenis kelamin siswa ...80

Tabel 4.2 KD dan nomor item soal yang mewakili pada instrumen pilihan ganda ...82

Tabel 4.8 Hasil uji normalitas jenis kelamin dan skor pada instrumen soal pilihan ganda ...121

Tabel 4.9 Hasil uji normalitas jenis kelamin dan skor pada instrumen soal uraian ...123

Tabel 4.10 Hasil uji homogenitas jenis kelamin dan skor pada instrumen soal pilihan ganda ...125

Tabel 4.11 Hasil uji homogenitas jenis kelamin dan skor pada instrumen soal uraian ...125

Tabel 4.12 Hasil uji hipotesis pada instrumen soal pilihan ganda ...127

(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Seorang anak sedang melempar bola ke atas ...31

Gambar 2.2 Seseorang yang sedang mendorong kardus terjadi gaya gesek ...31

Gambar 2.3 Bentuk-bentuk magnet ...32

Gambar 2.4 Prinsip kerja pengungkit golongan I ...33

Gambar 2.5 Prinsip kerja pengungkit golongan II ...34

Gambar 2.6 Prinsip kerja pengungkit golongan III ...34

Gambar 2.7 Macam-macam katrol ...35

Gambar 2.8 Pemantulan cahaya ...37

Gambar 2.9 Skema penelitian yang relevan ...46

Gambar 3.1 Rumus Product Moment ...69

Gambar 3.2 Rumus Cronbach-Alpha ...72

Gambar 4.1 Pie Chart jenis kelamin siswa ...80

Gambar 4.2 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V SD Negeri Semester 2 Se-Kecamatan Pakem ...82

Gambar 4.3 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 1 ...84

Gambar 4.4 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 2 ...85

Gambar 4.5 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 3 ...86

Gambar 4.6 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 4 ...87

Gambar 4.7 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 5 ...89

Gambar 4.8 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 6 ...90

Gambar 4.9 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 7 ...91

(19)

xvii

Gambar 4.11 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri

Se-Kecamatan Pakem pada aitem 9 ...93

Gambar 4.12 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 10 ...94

Gambar 4.13 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 11 ...95

Gambar 4.14 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 12 ...97

Gambar 4.15 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 13 ...98

Gambar 4.16 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 14 ...99

Gambar 4.17 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 15 ...100

Gambar 4.18 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 16 ...101

Gambar 4.19 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 17 ...103

Gambar 4.20 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 18 ...104

Gambar 4.21 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 19 ...105

Gambar 4.22 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa kelas V SD Negeri Se-Kecamatan Pakem pada aitem 20 ...107

Gambar 4.23 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V SD Negeri Semester 2 Se-Kecamatan Pakem ...108

Gambar 4.24 Histogram jenis kelamin siswa pada instrumen soal pilihan ganda ...122

Gambar 4.25 Histogram skor siswa pada instrumen soal pilihan ganda ...122

Gambar 4.26 Histogram jenis kelamin siswa pada instrumen soal uraian ...123

(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat-surat ...138

Lampiran 1.1 Surat Izin Penelitian dari Universitas Sanata Dharma ...139

Lampiran 1.2 Surat Rekomendasi Izin Penelitian dari Kantor Kesatuan Bangsa ...140

Lampiran 1.3 Surat Izin Penelitian dari BAPPEDA Kab. Sleman ...141

Lampiran 1.4 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari UPTD Kecamatan Pakem ...142

Lampiran 2 Data Penelitian ...143

Lampiran 2.1 Rangkuman Data SD Negeri di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman ...144

Lampiran 2.2 Data hasil tes siswa kelas V ...145

Lampiran 2.3 Data sekolah dan jenis kelamin ...151

Lampiran 2.4 Hasil validitas isi instrumen pilihan ganda dan uraian ...157

Lampiran 2.5 Rekapan Data Miskonsepsi Untuk Instrumen Soal Pilihan Ganda ...164

Lampiran 2.6 Rekapan Data Miskonsepsi Untuk Instrumen Soal Uraian ...170

Lampiran 3 Instrumen Penelitian ...175

Lampiran 3.1 Kisi-kisi Instrumen Soal Pilihan Ganda untuk Expert Judgment ...176

Lampiran 3.2 Kisi-kisi Instrumen Soal Uraian untuk Expert Judgment ...199

Lampiran 3.3 Petunjuk Pengisian Soal dan Identitas Responden ...210

Lampiran 4 Hasil uji validitas ahli ...218

Lampiran 4.1 Permohonan Izin Validasi Ahli ...219

Lampiran 4.2 Hasil Rekap Nilai Expert Judgment Instrumen Pilihan Ganda ...220

Lampiran 4.3 Hasil Rekap Nilai Expert Judgment Instrumen Uraian ...231

Lampiran 5 Uji validitas dan Reliabilitas ...234

Lampiran 5.1 Hasil Validitas Instrumen Soal Pilihan Ganda Uji Empiris ...235

(21)

xix

Lampiran 5.3 Hasil Validitas Instrumen Soal Uraian Uji Empiris ...236

Lampiran 5.4 Hasil Reliabilitas Instrumen Soal Uraian ...236

Lampiran 6 Uji Asumsi dasae penelitian ...237

Lampiran 6.1 Hasil uji normalitas pada instrumen soal pilihan ganda ...238

Lampiran 6.2 Hasil uji homogenitas pada instrumen soal pilihan ganda ...238

Lampiran 6.3 Hasil uji normalitas pada instrumen soal uraian ...238

Lampiran 6.4 Hasil uji homogenitas pada instrumen soal uraian ...239

Lampiran 7 Hasil Analisis ...240

Lampiran 7.1 Hasil Uji Hipotesis pada instrumen soal pilihan ganda ...241

Lampiran 7.2 Hasil Uji Hipotesis pada instrumen soal uraian ...241

(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

Bab I ini peneliti akan membahas enam pokok bahasan. Enam bahasan

tersebut yaitu latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah suatu upaya atau usaha yang diberikan kepada

seseorang untuk mengembangkan suatu potensi yang dimilikinya, agar

mencapai kualitas diri yang baik dan dapat meningkatkan kehidupan yang

lebih bermakna. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Basri (dalam

Tatang, 2012: 14) bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan

sengaja dan sistematis untuk memotivasi, membina, membantu, serta

membimbing seseorang untuk mengembangkan segala potensinya, sehingga

ia mencapai kualitas diri yang lebih baik. Pendapat lain dijelaskan pula oleh

Sukardjo (2009: 9) yaitu pendidikan sebagai gejala perilaku dan upaya

manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar-primer bertahan hidup (survival),

bagian kegiatan untuk meningkatkan kehidupan agar lebih bermakna atau

bernilai.

Pendidikan dapat dilakukan di sekolah, hal ini seperti yang

diungkapkan oleh Triwiyanto (2014: 75) bahwa sekolah adalah kelompok

layanan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal,

dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikannya. Sekolah

(23)

siswa supaya siswa memiliki berbagai macam pengetahuan sehingga

akan bermanfaat pada suatu saat nanti. Mata pelajaran yang diadakan di

sekolah-sekolah Indonesia menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) yaitu pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraaan, bahasa,

matematika, IPA, IPS, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,

keterampilan atau kejuruan, serta muatan lokal (Mulyasa, 2007: 12). IPA

merupakan salah satu pelajaran yang pokok diadakan di Indonesia maupun di

dunia.

Pembelajaran IPA di sekolah dasar sangatlah penting diajarkan,

karena pelajaran ini membantu siswa untuk mempelajari tentang alam yang

ada disekitarnya. Sapriati (2009: 2.3) mengungkapkan bahwa pendidikan IPA

di sekolah dasar bertujuan agar siswa menguasai pengetahuan, fakta, konsep,

prinsip, proses penemuan, serta memiliki sikap ilmiah, yang akan bermanfaat

dalam mempelajari diri dan alam sekitar. Abdullah (dalam Izati, 2009: 27)

mengungkapkan IPA adalah pengetahuan khusus yaitu dengan melakukan

observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori dan demikian

seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.

Wonorahardjo (2010: 11) mengungkapkan bahwa IPA merupakan

pengetahuan mengenai alam dan mempunyai objek alam dan gejala-gejala

alam yang sering digolongkan sebagai ilmu alam. Berdasarkan pendapat

tersebut dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan

sebuah pengetahuan mengenai alam yang ada di sekitar dengan melakukan

observasi, eksperimentasi, dan penyimpulan sehingga didapatkan sebuah teori

(24)

Ilmu Pengetahuan Alam sangat melekat pada kehidupan siswa dimana

saja kapan saja sehingga siswa mampu membangun sebuah konsep yang telah

ditemukannya. Sebagai contoh yang sering dijumpai siswa dalam kehidupan

sehari-hari pada saat mengendarai sepeda motor di daerah pegunungan dan ia

melewati jalan yang berkelok-kelok, disini siswa dapat mengetahui kenapa

jalanan di pegunungan dibuat berkelok-kelok. Jalanan di pegunungan dibuat

berkelok-kelok karena agar kendaraan motor atau mobil mudah menaiki jalan

yang menanjak dengan tenaga yang kecil, hal tersebut merupakan penerapan

dari cara kerja bidang miring.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) khususnya fisika merupakan suatu

pelajaran yang mempelajari konsep-konsep dari suatu konsep yang sederhana

sampai konsep yang lebih kompleks (Ratama, 2013: 1). Norika (2014: 1)

mengemukakan bahwa fisika adalah hubungan yang tak terpisahkan dari hasil

keilmuan berupa konsep-konsep fisis, prinsip, hukum dan teori, proses

keilmuan, dan sikap keilmuan, maka mengajar fisika adalah menanamkan

konsep, hukum, dan teori, menanamkan pengetahuan tentang proses

keilmuan, dan kemampuan melakukanya, dan menanamkan sikap keilmuan.

Siswa akan memiliki hasil belajar fisika yang baik, jika pemahaman yang

dipelajari siswa sesuai dengan konsep yang sebenarnya. Semakin baik

pemahaman konsep fisika maka akan baik pula hasil belajarnya. Hasil belajar

siswa pada pelajaran IPA fisika yang kurang baik, disebabkan karena siswa

kurang memahami konsep IPA fisika sehingga siswa megalami kesalahan

(25)

Miskonsepsi atau salah konsep menunjukkan pada suatu konsep yang

tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para

pakar dalam bidang itu (Suparno, 2005: 4). Miskonsepsi terjadi dikarenakan

konsep awal yang dimiliki siswa yang didapatkan dari pengalaman dan

pengamatan siswa di masyarakat atau dalam kehidupan sehari-hari (Suparno,

2005: 2). Pengalaman dan pengamatan siswa di lingkungan belum tentu

sesuai dengan konsep sehingga mengakibatkan terjadinya miskonsepsi.

Terjadinya miskonsepsi ini juga dapat disebabkan oleh kemampuan siswa

dalam memahami suatu konsep (Suparno, 2005: 40). Kemampuan siswa

dapat berpengaruh pada miskonsepsi, karena jika siswa tersebut kurang

mampu untuk mempelajari suatu konsep maka siswa tersebut akan

mengalami kesulitan dalam memahami konsep yang dipelajarinya.

Kemampuan yang dimiliki setiap siswa berbeda-beda. Dilihat dari

salah satu faktor yang mempengaruhi adalah jenis kelamin. Mufida (2013: 3)

menyatakan bahwa kemampuan atau kecerdasan siswa baik laki-laki dan

perempuan itu berbeda-beda. Hamalik (2007: 91) mengemukakan secara

psikologis bahwa siswa laki-laki dan perempuan tingkat inteligensinya

berbeda. Tingkat inteligensi siswa laki-laki dan perempuan berbeda, berarti

perbedaan tingkat inteligensi tesebut berpengaruh pada tingkat kemampuan

siswa. Sehingga miskonsepsi pada siswa dipengaruhi oleh jenis kelamin,

karena laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan tingkat intelegensi.

Perbedaan kemampuan siswa mempelajari atau memahami konsep

(26)

Ditingkat internasional prestasi IPA (sains) Indonesia masih sangat

memprihatinkan. Hal itu dapat dilihat dari hasil studi TIMSS pada tahun 2011

memperlihatkan bahwa prestasi IPA (Sains) Indonesia berada pada peringkat

40 dari 42 peserta dengan skor rata-rata 406. Trends Internasional in

Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan sebuah studi yang

bertaraf internasional yang memiliki tujuan mengukur prestasi matematika

dan sains yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali yang diikuti oleh

negara-negara lainya di seluruh dunia (Kemdikbud, 2011: 1). Hasil studi juga

dilakukan oleh PISA pada tahun 2012 tentang tingkat literasi IPA (Sains)

bahwa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 peserta dengan skor

dibawah angka 400 (Baswedan, 2014: 19-20). Programme for International

Student Assessment (PISA) merupakan lembaga studi literasi membaca,

matematika, dan sains yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali

(Kemdikbud, 2011: 1). Literasi sains sendiri merupakan pengetahuan dan

pemahaman konsep serta proses ilmiah yang diperlukan untuk pengambilan

keputusan personal, partisipasi dalam kegiatan publik dan budaya, dan

produktivitas ekonomi (Rustaman, 2012: 1.40). Berdasarkan hasil di atas

rendahnya prestasi siswa di Indonesia dipengaruhi oleh pemahaman konsep

yang rendah sehingga terjadi kesalahan pada suatu konsep, maka

mengakibatkan terjadinya miskonsepsi.

Terjadinya miskonsepsi pada pelajaran IPA Fisika juga dibuktikan

dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Raharjo, dkk (2009)

melakukan penelitian tentang “Profil Miskonsepsi Siswa SD Pada Konsep

(27)

Hasil penelitian menunjukkan hasil analisis data ternyata terbukti bahwa

siswa memiliki miskonsepsi pada konsep gaya dan cahaya. Pada sebagian

besar konsep terjadi miskonsepsi, dengan tingkatan yang berbeda-beda.

Adapun profil miskonsepsi yang dimiliki sebagian besar siswa (lebih dari

30%) adalah sebagai berikut : 1) gaya hanya akan mempercepat gerak benda,

tidak dapat memperlambat gerak; 2) gaya tidak dapat membelokan arah gerak

benda; 3) gaya magnet selalu berupa tarikan, sedangkan gaya gravitasi dapat

berupa tarikan maupun dorongan; 4) berat benda di bumi sama dengan berat

benda di bulan, karena massa benda di bumi sama dengan di bulan; 5) setiap

dua benda yang bersentuhan mengalami gaya gesekan; 6) Batang besi hanya

dapat dijadikan magnet dengan digosok magnet dan batang besi tidak dapat

dijadikan magnet dengan cara induksi; 7) pesawat sederhana dapat

memperkecil energi yang digunakan dalam bekerja; 8) cahaya tidak dapat

dipantulkan oleh setiap permukaan; 9) di dalam sebuah medium cahaya dapat

dibiaskan; 10) benda dapat dilihat, jika ada cahaya dari mata sampai ke

benda; 11) benda dapat dilihat, apabila benda tersebut sumber cahaya; l2)

cahaya lampu neon dapat diurai menjadi cahaya warna pelangi, karena cahaya

lanpu neon adalah cahaya putih seperti cahaya putih matahari.

Kemampuan siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Pakem dalam

memahami suatu konsep IPA Fisika masih sangatlah rendah. Hal itu

dibuktikan dari hasil wawancara peneliti kepada salah satu guru SD Negeri di

kecamatan Pakem yaitu Ibu Dwi Rahayu, S. Pd. Hasil wawancara dengan Ibu

Dwi Rahayu, S. Pd menyatakan bahwa siswa-siswanya masih banyak yang

(28)

ulangan harian IPA Fisika yang masih dibawah KKM. Prestasi siswa yang

rendah tersebut diakibatkan karena tingkat pemahaman konsep IPA Fisika

siswa kelas V rendah. Ketika Ibu Dwi Rahayu, S. Pd mengoreksi

jawaban-jawaban siswa, Ibu Dwi sering kali menjumpai jawaban-jawaban siswa yang salah

konsep atau miskonsepsi. Peneliti menyimpulkan rendahnya prestasi atau

hasil ulangan siswa kelas V SD Negeri di kecamatan Pakem pada mata

pelajaran IPA Fisika disebabkan oleh miskonsepsi.

Miskonsepsi perlu dihindari dan perlu diperbaiki karena miskonsepsi

akan mengakibatkan tingkat prestasi belajar siswa manjadi rendah. Kesalahan

konsep yang dialami siswa jika tidak dihindari akan terbawa hingga dewasa.

Akibatnya kesalahan konsep tersebut akan melekat pada dirinya dan suatu

saat nanti bisa ditularkan kepada orang banyak misalnya kelak menjadi guru.

Akibat yang ditimbulkan miskonsepsi sangat tidak baik, maka guru harus

benar-benar dalam memberikan konsep yang benar dan membantu siswa

dalam memahami konsep dengan benar sehingga tidak terjadi miskonsepsi.

Berdasarkan uraian di atas dan hasil wawancara peneliti kepada salah

satu guru kelas V SD Negeri di kecamatan Pakem bahwa banyak siswanya

yang mengalami kesulitan dalam memahami sebuah konsep IPA fisika

sehingga banyak terjadi kesalahan konsep, maka peneliti tertarik untuk

meneliti tentang miskonsepsi pada konsep-konsep IPA Fisika kelas V

semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Pakem. Peneliti melakukan penelitian

ini untuk mengetahui kesalahan konsep atau miskonsepsi di SD Negeri

se-Kecamatan Pakem dan perbedaan miskonsepsi pada jenis kelamin atau

(29)

IPA Fisika Kelas V SD Negeri Semester 2 Se-Kecamatan Pakem Tahun

2015”.

B. Batasan Masalah

Peneliti memberikan batasan masalah pada penelitian ini. Batasan

penelitian ini antara lain:

1. Meneliti miskonsepsi IPA Fisika kelas V SD semester 2.

2. SD yang diteliti adalah SD Negeri yang hanya menggunakan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

3. Peneliti juga membatasi ruang lingkup penelitian yaitu khusus SD Negeri

se-Kecamatan Pakem khususnya pada Standar Kompetensi (SK) 5.

Memahami hubungan antara gaya, gerak, dan energi, serta fungsinya dan

Kompetensi Dasar (KD) 5.1 Mendeskripsikan hubungan antara gaya,

gerak dan energi melalui percobaan (gaya gravitasi, gaya gesek, gaya

magnet), 5.2 Menjelaskan pesawat sederhana yang dapat membuat

pekerjaan lebih mudah dan lebih cepat, 6.1 Mendeskripsikan sifat-sifat

cahaya, 6.2 Membuat suatu karya/model, misalnya periskop atau lensa dari

bahan. Pesawat sederhana dengan menerapkan sifat-sifat cahaya, 7.1

Mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena pelapukan, serta 7.3

Mendeskripsikan struktur bumi.

C. Rumusan Masalah

Latar belakang dan batasan masalah yang dikemukan melandasi rumusan

masalah dalam penelitian ini. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

(30)

1. Bagaimanakah miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD Negeri Semester

2 se-Kecamatan Pakem?

2. Apakah ada perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari jenis kelamin

siswa kelas V SD Negeri Semester 2 se-Kecamatan Pakem?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dibuat berdasarkan rumusan masalah dari penelitian

ini. Tujuan penelitian adalah untuk :

1. Mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD Negeri

Semester 2 se-Kecamatan Pakem.

2. Mengetahui adanya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari jenis

kelamin siswa kelas V SD Negeri Semester 2 se-Kecamatan Pakem.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang

bermakna bagi:

1. Guru

Guru dapat mengetahui tentang miskonsepsi yang terjadi pada siswanya,

sehingga guru diharapkan meningkatkan kemampuan mengajar dan

berhati-hati dalam memilih sumber belajar agar tidak terjadi miskonsepsi.

2. Sekolah

Sekolah akan mendapat manfaat yaitu untuk untuk menambah kualitas

proses belajar mengajar dengan mengetahui miskonsepsi yang sering

(31)

3. Bagi Peneliti

Bagi peneliti memberikan gambaran bahwa dalam pembelajaran IPA

pemahaman tentang konsep harus dikuasai dengan matang oleh calon guru

agar tidak terjadi kesalahan konsep pada saat mengajar.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional berisi tentang istilah-istilah yang digunakan dalam

penelitian ini. Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini antara

lain:

1. Miskonsepi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian

ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para pakar dalam bidang itu.

Miskonsepsi pada soal pilihan ganda dapat dideteksi dari jawaban yang

salah namun menurut keyakinannya jawaban yang mereka pilih yakin

benar.

2. IPA merupakan pengetahuan mengenai alam dan mempunyai objek alam

dan gejala-gejala alam yang sering digolongkan sebagai ilmu alam.

3. Miskonsepsi IPA adalah suatu kesalahan konsep yang terjadi pada

pembelajaran IPA.

4. Miskonsepsi IPA Fisika adalah suatu kesalahan konsep yang terjadi pada

pelajaran IPA khususnya pada materi Fisika.

5. Siswa kelas V SD adalah siswa yang berada pada tingkat kelas V SD

negeri se-Kecamatan Pakem kabuapaten Sleman dengan rata-rata umur

10-11 tahun.

6. Kecamatan Pakem adalah sebuah kecamatan yang berada di kabupaten

(32)

Pakem berada di 77.66708’ LS dan 110.42011’ BT. Batas-batas wilayah

Pakem adalah sebelah barat dibatas oleh Kecamatan Turi, sebelah utara

dibatasi oleh Gunung Merapi, sebelah timur dibatasi oleh kecamatan

cangkringan, dan sebelah selatan dibatasi oleh Kecamatan Ngaglik.

7. Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara

(33)

12 BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab II ini akan menguraikan beberapa hal yaitu : kajian teori yang

berisi teori-teori yang mendukung penelitian, hasil penelitian yang relevan yaitu

berisi tentang penelitian-penelitian yang sesuai dengan yang ingin dilakukan oleh

peneliti sebelumnya, kerangka pikiran yaitu berisi tentang rumusan

konsep-konsep yang didapat dari kajian teori, dan hipotesis penelitian. Hal-hal tersebut

diuraikan di bawah ini.

A. Kajian Pustaka 1. Konsep

Konsep merupakan sekelompok fakta dan data yang banyak

memiliki ciri-ciri yang sama dan dapat dimasukkan ke dalam nama label.

Konsep merupakan pola abstrak yang dapat digunakan untuk dapat

mengungkapkan berbagai faktor, gejala, dan masalah yang sedang

dipelajari atau sekumpulan pengertian yang disimpulkan dari sekumpulan

pengertian yang disimpulkan dari sekumpulan data yang memiliki

kesamaan ciri (Kartika dan Istianti, 2007: 2). Konsep merupakan suatu

pola abstrak yang berupa fakta dan data yang memilki ciri-ciri dalam suatu

objek, sehingga dapat mengungkapkan berbagai faktor, gejala, dan

masalah yang sedang dipelajari dari sekumpulan data yang didapatkan,

kemudian dapat disimpulkan dan menjadi sebuah pengertian.

Ausubel (dalam Tayubi, 2005: 5) konsep merupakan benda-benda,

(34)

dan yang terwakili dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau simbol.

Konsep merupakan sebuah abstraksi yang pada suatu objek yang berupa

kejadian-kejadian, situasi-situasi, dan ciri-ciri khas yang dimiliki oleh

objek tersebut.

Basleman dan Mappa (2011: 67) mengungkapkan bahwa konsep

diperoleh dari kejadian-kejadian yang dijumpai baik positif maupun

negatif. Sekali memperoleh konsep, peserta belajar akan mampu mengenal

hal atau kejadian dan mampu memberikan definisi verbal dari konsep

tersebut. Konsep merupakan sutau kejadian yang dijumpai oleh siswa,

sehingga siswa dapat belajar dan mengenal suatu kejadian tesebut dan

mampu memberikan suatu definisi atau konsep.

Konsep dibedakan atas konsep konkret dan konsep yang harus

didefinisikan. Konsep konkret adalah pengertian yang menunjuk pada

objek-objek dalam lingkungan fisik. Konsep ini mewakili benda tertentu,

seperti meja, kursi, mobil, dan sebagainya. Konsep yang didefinisikan

adalah konsep yang mewakili realitas hidup, tetapi tidak langsung

menunjuk pada realitas dalam lingkungan hidup fisik, karena realitas itu

tidak berbadan. Misalnya, saudara sepupu, dan sebagainya, adalah

kata-kata yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa, bahkan dengan mikroskop

sekalipun (Djamarah, 2011: 31).

Berdasarkan pendapat yang sudah diungkapkan para ahli di atas,

maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep merupakan suatu kejadian

pada suatu objek yang dijumpai oleh para siswa, yang objek tersebut

(35)

mampu mengumpulkan data dan mengenal suatu kejadian tersebut dan

siswa mampu memberikan suatu definisi atau konsep.

2. Konsepsi

Siswa sebelum memasuki dunia sekolah, siswa sudah mempunyai

konsep-konsep suatu pembelajaran. Konsep-konsep tersebut didapatkan

dari pengalaman-pengalaman yang mereka peroleh dikehidupan

sehari-hari. Konsep-konsep yang diperolehnya dapat ditafsirkan oleh siswa

menjadi sebuah konsepsi.

Berg (dalam Ramadhani, 2011: 15) mengatakan bahwa tafsiran

perorangan atau in1dividu terhadap suatu konsep disebut konsepsi. Budi

(dalam Bati, 2015: 10) juga menyampaikan pendapatnya bahwa konsepsi

yaitu sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh dari

indera maupun dari lingkungan. Pernyataan yang telah disampaikan di atas

dapat ditarik kesimpulan bahwa konsepsi merupakan tafsiran perorangan

atau individu terhadap suatu konsep yang mereka peroleh dari indera

maupun lingkungan. Misalnya konsep bola, bola dapat ditafsirkan oleh

seorang siswa sebagai suatu benda kecil, bulat dan menggelinding (Bati,

2015: 10).

3. Miskonsepsi

a. Pengertian Miskosepsi

Miskonsepsi bisa disebut dengan salah konsep. Miskonsepsi

merupakan suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah

atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu (Suparno,

(36)

awal yang diperolehnya tidak sesuai dengan pengertian ilmiah. Konsep

awal ini dapat didapatkan oleh siswa dari pengalaman dan pengamatan

mereka di masyarakat atau dalam kehidupan sehari-hari (Suparno,

2005: 2). Flower (dalam Suparno, 2005: 5) menjelaskan bahwa

miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep,

penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah,

kekacauan konsep yang berbeda, dan hubungan hirarki

konsep-konsep yang tidak benar.

Berg (dalam Febriyani, 2012: 9) menyatakan bahwa

miskonsepsi apabila konsep yang dimiliki siswa berbeda dengan konsep

yang telah ditetapkan oleh para ahli maka hal itu disebut dengan

miskonsepsi, namun jika konsep siswa tersebut hasil dari

persederhanaan atau simpulan dari konsep-konsep para ahli maka siswa

tidak dapat dikatakan miskonsepsi. Budi juga mengungkapkan salah

konsep dapat diartikan sebagai sebuah kesalahan terhadap

konsep-konsep yang terjadi apabila konsep-konsepsi seorang siswa berbeda dengan

konsep para ahli yang secara teoritis konsep tersebut dianggap benar

dan baku, dan secara objektif keilmuan konsepsi tersebut memang salah

(dalam Ramadhani, 2015: 17).

Misalnya terjadi miskonsepsi pada konsep gaya. Ada seseorang

mendorong suatu kereta, tetapi kereta itu tidak bergerak. Mereka

mengatakan bahwa tidak ada gaya yang bekerja pada kereta tersebut.

Anggapan tersebut ternyata salah bahwa jika tidak ada gaya yang

(37)

kereta tidak bergerak, tetap ada gaya yang bekerja namun gaya yang

diberikan kurang besar (Suparno, 2005: 15).

Berdasarkan pendapat dan contoh yang dijelaskan di atas dapat

disimpulkan bahwa miskonsepsi merupakan kesalahan konsep yang

dialami seseorang siswa yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah

yang telah ditetapkan para ahli.

b. Penyebab Miskonsepsi

Timbulnya miskonsepsi siswa disebabkan oleh berbagai hal.

Suparno (2005: 29) mengungkapkan secara garis besar, penyebab

terjadinya miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok, yaitu:

siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. Di bawah ini

peneliti akan menguraikan kelima penyebab miskonsepsi yaitu sebagai

berikut.

1) Siswa

Siswa merupakan penyebab paling banyak terjadinya

miskonsepsi. Suparno (2005: 34) mengungkapakan delapan hal

penyebab miskonsepsi yang berasal dari siswa yaitu sebagai

berikut.

a) Prakonsepsi atau konsepsi awal

Prakonsepsi adalah konsep awal yang dimiliki oleh siswa

tentang suatu konsep sebelum siswa tesebuat mendapat

pengajaran dari guru pembimbing. Prakonsepsi ini didapatkan

oleh siswa dari orangtua, teman, sekolah awal, dan pengalaman

(38)

pengalaman kehidupan sehari-hari yaitu tentang terbit dan

terbenamnya matahari. Siswa berpendapat bahwa matahari yang

mengeliling bumi karena matahari terbit dari timur, kemudian

berjalan di atas bumi, dan akhirnya terbenam di barat.

Miskonsepsi siswa tersebut bahwa mataharilah yang

mengelilingi bumi. Konsep yang diutarakan oleh siswa tersebut

salah, konsep yang benar yaitu bumi mengeliling matahari.

b) Pemikiran Asosiatif

Marshall dan Gilmour (dalam Suparno, 2005: 36)

mengungkapakan bahwa pengertian yang berbeda dari kata-kata

antara siswa dan guru juga dapat menyebabkan miskonsepsi.

Kata dan istilah yang digunakan oleh guru dalam proses

pembelajaran diasosiasikan lain oleh siswa, karena dalam

kehidupan mereka kata dan istilah itu mempunyai arti lain.

Asosiasi ini paling sering terjadi karena siswa sudah mempunyai

konsep tertentu dengan arti tertentu sebelum mengikuti

pembelajaran (Suparno, 2005: 36). Misalnya siswa

mengasosiasilkan gaya dangan aksi atau gerak. Siswa jika

mendorong sebuah kereta dan kereta tersebut tidak bergerak

sama sekali maka siswa beranggapan bahwa tidak ada gaya yang

dapat menggerakkan kereta tersebut. Konsep yang benar yaitu

kereta tersebut tetap terjadi gaya, hanya gaya tidak cukup kuat

(39)

c) Pemikiran Humanistik

Siswa kerap kali memandang semua benda dari

pandangan manusiawi (Gilbert, Watts, Osborne dalam Suparno,

2005: 36). Benda-benda dan situasi dipikirkan dalam term

pengalaman orang dan secara manusiawi. Tingkah laku benda

dipahami seperti tingkah laku manusia yang hidup, sehingga

tidak cocok (Suparno, 2005: 37). Misalnya miskonsepsi siswa

akan kekekalan energi. Seorang bila bekerja secara terus

menerus atau bermain secara terus menerus akan merasa lelah

dan lapar. Dari pengalaman sebagai manusia yang menjadi lapar

dan kehabisan energi bila terus bekerja, siswa beranggapan

bahwa kekekalan energi itu tidak mungkin terjadi. Energi yang

ada pasti berkurang dan lenyap. Siswa tidak mudah untuk keluar

dari pemikiran yang manusiawi ini (Suparno, 2005: 37).

d) Reasoning yang tidak lengkap/salah

Reasoning bisa disebut juga dengan penalaran. Comins

(dalam Suparno, 2005: 38) mengungkapakan miskonsepsi dapat

disebabkan oleh penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah.

Alasan yang tidak lengkap dapat disebabkan karena informasi

yang diperoleh atau data yang kurang lengkap. Alasan yang

kurang lengkap dan kurangnya informasi yang diperoleh

akibatnya siswa menarik kesimpulan secara salah dan

menyebabkan timbulnya miskonsepsi. Penyebab miskonsepsi

(40)

kesimpulan atau mengeneralisasi. Kesalahan yang terjadi juga

karena siswa terlalu luas atau terlalu sempit membuat

generalisasi. Misalnya, siswa mengetahui bahwa bumi termasuk

planet, siswa tersebut menganggap bahwa semua planet yang

ada di tata surya kita sama seperti bumi. Berarti planet-planet

tersebut terdapat tumbuh-tumbuhan, air, gaya, gravitasi,

batu-batu keras, dan lain-lainnya.

e) Intuisi yang Salah

Suparno (2005: 38) mengungkapkkan bahwa intuisi adalah

suatu perasaan dalam diri seseorang, yang secara spontan

mengungkap sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum

secara obyektif dan rasional diteliti. Intuisi yang salah dapat

mengakibatkan miskonsepsi jika intuisi diungkapakan secara

spontan tanpa ada penelitian atau pembuktian terlebih dahulu.

Misalnya, siswa sering melihat bahwa benda padat yang

dimasukkan kedalam air akan tenggelam. Maka secara spontan

bila dihadapkan pada persoalan apakah gabus akan tenggelam,

spontan siswa akan menjawab “ya”, karena gabus adalah benda

padat. Baru setelah dicoba, ternyata gabus itu mengapung.

f) Tahap perkembangan kognitif

Suparno (2005: 39) mengungkapkan bahwa perkembangan

kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti

dapat menjadi penyebab adanya miskonsepsi siswa. Siswa yang

(41)

mempelajari hal-hal yang abstrak sehingga siswa kesulitan

untuk memahami suatu konsep tersebut. Siswa pada tahap

operational concrete ini siswa bisa baru berpikir berdasarkan

hal-hal yang konkret atau nyata yang dapat dilihat dengan indra.

g) Kemampuan siswa

Siswa yang kurang berbakat atau kurang mampu dalam

mempelajari fisika dan memiliki inteligensi matematis-logis

kurang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memahami atau

menangkap konsep fisika. Meskipun guru telah

mengkomunikasikan secara pelan-pelan, buku teks ditulis

dengan benar sesuai dengan pengertian para ahli, namun

pengertian yang mereka tangkap dapat tidak lengkap dan bahkan

salah. Suparno (2005: 40) mengungkapkan bahwa kemampuan

siswa juga mempengaruhi terjadinya miskonsepsi.

h) Minat Belajar

Suparno (2005: 41) mengungkapkan bahwa minat siswa

terhadap fisika juga berpengaruh pada miskonsepsi. Seseorang

yang memiliki minat belajar yang rendah cenderung mempunyai

miskonsepsi yang tinggi daripada siswa yang memiliki minat

belajar yang tinggi. Siswa yang tidak berminat dalam belajar,

bila salah menangkap suatu bahan, sering kali siswa tidak

berminat mencari mana yang benar dan mengubah konsep yang

salah (Suparno, 2005: 42). Akibatnya, mereka akan lebih mudah

(42)

2) Guru/Pengajar

Miskonsepsi siswa dapat terjadi pula karena miskonsepsi yang

dibawa oleh seorang guru. Guru yang tidak menguasai bahan atau

materi tentang suatu konsep pembelajaran dan diajarkan kepada

siswa secara tidak benar, akan menyebabkan siswa mendapatakan

miskonsepsi. Konsep yang tidak benar tersebut akan ditangkap oleh

siswa dan menganggap konsep tersebut benar, maka siswa

memegang konsep itu kuat-kuat (Suparno, 2005: 42). Akibatnya,

miskonsepsi siswa sangat kuat dan sulit untuk diperbaiki.

3) Buku Teks

Buku teks merupakan sumber belajar bagi siswa. Buku teks

juga dapat menyebabkan miskonsepsi (Suparno, 2005: 44).

Terjadinya miskonsepsi pada buku teks ini dapat disebabkan oleh

penggunaan bahasa dalam buku tersebut sulit untuk dipahami

sehingga siswa mengalami kesulitan dalam memahami bacaan

tersebut atau karena penjelasannya yang tidak benar. Banyak

penerbit buku menerbitkan buku teks berupa fiksi, misalnya saja

buku fiksi sains. Buku fiksi sains ini diterbitkan bertujuan untuk

menarik siswa dan membuat siswa senang membaca dan nantinya

akan senang mempelajarinya. Comins (dalam Suparno, 2005: 46)

mengungkapkan bahwa buku fiksi sains sangat baik, tetapi dalam

banyak hal dapat juga mnyesatkan dan memunculkan miskonsepsi

(43)

4) Konteks

a) Pengalaman

Pengalaman siswa dapat menyebabkan miskonsepsi.

Siswa dapat belajar dari pengalaman yang mereka dapatkan

dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman yang sudah

didapatkan akan membentuk sebuah konsep yang menurutnya

benar, namun konsep yang diperolehnya berbeda dengan

konsep dari para ahli.

b) Bahasa Sehari-hari

Miskonsepsei dapat terjadi dari bahasa sehari-hari.

Gilbert, Watts, Osborne (dalam Suparno, 2005: 48)

mengatakan beberapa miskosepsi datang dari bahasa

sehari-hari yang mempunyai arti lain dengan bahasa fisika. Misalnya,

dalam bahasa sehari-hari siswa mengerti dan menggunakan

istilah berat dan unit kg. Tetapi dalam fisika, berat adalah suatu

gaya, dan unit adalah newton. Mereka telah menggunakan

istilah itu di luar sekolah, maka sangat sulit untuk mengubah

pengertian telah tertanam tersebut.

c) Teman Lain

Siswa SD sangat senang belajar bersama teman-teman

kelompoknya. Siswa belajar bersama ketika mereka

mengerjakan PR besama dan melakukan praktikum. Di dalam

kelompok ketika belajar bersama sering ada beberapa orang

(44)

kelompok tersebut mempunyai miskonsepsi, maka jelas siswa

tersebut dapat mempengaruhi teman-temannya dalam

kelompok dalam hal miskonsepsi.

d) Keyakinan dan Ajaran Agama

Suparno (2005: 49) mengatakan bahwa keyakinan atau

agama dapat juga menjadi penyebab miskonsepsi. Keyakinan

ataupun ajaran agama yang diyakini secara kurang tepat sering

membuat siswa tidak menerima penjelasan ilmu pengetahuan,

misalnya, soal penciptaan alam semesta. Beberapa siswa di

Universitas Maine (AS) memandang bahwa penciptaan alam

ini dibuat dalam 6 hari, bahwa lubang hitam itu digunakan

untuk menyedot roh-roh jahat; bahwa bumi ini data, dan

lain-lain. Dualisme gagasan yang dimiliki siswa yaitu gagasan

menurut ilmu dan gagasan menurut agama dapat menyebabkan

terjadinya miskonsepsi (Suparno, 2005: 49).

5) Metode Pembelajaran

Beberapa metode mengajar yang digunakan guru, terlebih

yang menekankan satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti,

meskipun membantu siswa menangkap bahan, tetapi sering

mempunyai dampak jelek, yaitu memunculkan miskonsepsi

(Suparno, 2005: 50). Dalam mengatasi hal tersebut guru perlu kritis

dengan metode yang digunakan dan tidak membatasi diri dengan

satu metode saja. Contoh metode yang sering digunakan oleh guru

(45)

kesempatan siswa untuk bertanya dan juga untuk mengungkapkan

gagasan, sering kali meneruskan dan memupuk miskonsepsi,

terlebih pada siswa yang kurang mampu.

Contoh di atas merupakan metode yang digunakan oleh guru

saat mengajar. Guru sebaiknya selalu kritis dalam menggunakan

sebuah metode, karena setiap metode pengajaran memiliki

kelemahan sehingga dapat menyebabkan miskonsepsi siswa.

Kelemahan yang ada pada metode pembelajaran yang terlalu

banyak menyebabkan miskonsepsi, setiap guru perlu mengevaluasi

dan mengkritisi metode yang digunakan dalam pengajaran di

sekolah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan penyebab

miskonsepsi adalah siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode

pembelajaran. Miskonsepsi pada siswa dapat terjadi karena konsep

awal yang didapatkan yang berasal dari pengalaman-pengalaman

kehidupannya sebelum mereka mendapat pembelajaran disekolah.

Miskonsepsi pada guru dapat terjadi karena guru yang tidak

menguasai bahan atau materi tentang suatu konsep pembelajaran

dan diajarkan kepada siswa secara tidak benar, sehingga siswa

menganggap konsep yang diberikan oleh gurunya benar.

Miskonsepsi pada buku teks dapat terjadi karena penggunaan

bahasa dalam buku tersebut sulit untuk dipahami sehingga siswa

mengalami kesulitan dalam memahami bacaan tersebut atau karena

(46)

terjadi karena siswa memiliki dualisme gagasan yaitu gagasan

menurut ilmu dan gagasan menurut agama. Miskonsepsi pada

metode pembelajaran dapat terjadi karena guru mengajar dengan

metode yang sulit dipahami oleh siswa.

c. Mendeteksi Miskonsepsi

Suparno (2005: 121-128) menjelaskan enam cara untuk

mendeteksi miskonsepsi. Keenam cara tersebut akan diuraikan di

bawah ini.

1) Peta Konsep (Concept Maps)

Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi

miskonsepsi pada siswa. Peta konsep yang mengungkapkan

hubungan berarti antara konsep-konsp dan menekankan

gagasan-gagasan pokok, yang disusun hirarkis, dengan jelas dapat

mengungkap miskonsepsi siswa yang digambarkan dalam peta

konsep tersebut (Novak & Gowin, dkk dalam Suparno, 2005: 121).

Feldsine dan Flower (dalam Suparno, 2005: 122) mengungkapkan

bahwa peta konsep adalah alat yang baik untuk mengidentifikasi,

baik kerangka alternatif atau miskonsepsi. Cara mendeteksi

miskonsepsi pada siswa dengan menggunakan peta konsep ini lebih

baik peta konsep ini digabung dengan wawancara klinis (Suparno,

2005: 121).

2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Mendeteksi miskonsepsi dengan menggunakan tes pilihan

(47)

dan menulis mengapa ia mempunyai jawaban tersebut. Penelitian

ini menggunakan pilihan ganda dan dua pilihan (pilihan yakin

benar dan tidak yakin benar). Dua pilihan tersebut digunakan

peneliti untuk mengetahui apakah siswa yakin atau tidak dengan

jawaban yang merka pilih.

3) Tes Uraian Tertulis

Tes uraian tertulis ini dapat digunakan sebagai alat untuk

mendeteksi miskonsepsi siswa. Hasil tes menggunakan tes uraian

ini dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa siswa dan dalam

bidang apa. Setelah ditemukan miskonsepsinya, dapatlah beberapa

siswa diwawancarai untuk lebih mendalami, mengapa mereka

mempunyai gagasan seperti itu. Hasil wawancara itulah akan

kentara dari mana miskonsepsi itu dibawa.

4) Wawancara Diagnosis

Wawancara berdasarkan beberapa konsep tertentu dapat

dilakukan juga untuk melihat konsep alternatif atau miskonsepsi

pada siswa (Suparno, 2005: 126). Peneliti dapat menggunakan cara

wawancara ini dengan memilih beberapa konsep tertentu yang

diperkirakan sulit dimengerti oleh siswa atau konsep yang pokok

yang akan diajarkan. Kegiatan wawancara ini mengajak siswa

untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep

di atas. Melalui kegiatan ini dapat mengetahui konsep alaternatif

yang ada dan sekaligus peneliti menanyakan dari mana mereka

(48)

5) Diskusi dalam kelas

Melalui diskusi di dalam kelas siswa diminta untuk

mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah

diajarkan atau yang hendak diajarkan. Melalui diskusi tersebut

dapat dideteksi apakah gagasan yang diutarakan oleh siswa tepat

atau tidak. Kegiatan diskusi ini peneliti dapat mengetahui apakah

terjadi miskonsepsi atau tidak.

6) Praktikum dengan Tanya Jawab

Praktikum dengan tanya jawab antara guru dengan siswa

dengan melakukan praktikum dapat digunakan untuk mendeteksi

apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep praktikum

itu atau tidak (Suparno, 2005: 128). Selama praktikum sebaiknya

guru selalu bertanya bagaimana konsep siswa dan bagaimana siswa

menjelaskan persoalan-persoalna dalam praktikum tersebut.

Melalui praktikum ini siswa dapat belajar suatu konsep dan

menemukan konsep sendiri. Konsep yang ditemukan oleh siswa

tersebut ditanyakan kepada guru apakah konsep yang mereka

dapatkan melalui praktikum tersebut benar atau salah.

4. Hakikat IPA a. Pengertian IPA

Wonorahardjo (2010: 11) mengungkapkan bahawa Ilmu

Pengetahuan Alam (IPA) sering disebut dengan singkat sebagai ilmu

sains. Sains (Inggris: science) berasal dari kata latin “scientia” yang

(49)

pengertian, paham yang benar dan mendalam. Sains atau ilmu

mempunyai makna yang merujuk ke pengetahuan yang berada dalam

sistem berpikir dan konsep teoritis dalam sistem tersebut, yang

mencakup segala macam pengetahuan, mengenai apa saja. Makna

sains mengalami perluasan sehingga sains digunakan merujuk ke

pengetahuan mengenai alam.

Samatowa (2011: 3) mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan

alam merupakan terjemahan kata-kata dalam bahasa inggris yaitu

natural science, artinya ilmu pengetahuan alam (IPA). Berhubungan

dengan alam atau bersangkut paut dengan alam, science artinya ilmu

pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam (IPA) atau science itu dapat

disebut sebagai ilmu tentang alam. Ilmu yang mempelajari

peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ilmu

Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

mempelajari gejala-gejala alam yang berada dalam sistem berpikir dan

konsep teoritis.

b. Fungsi IPA

Ilmu pengetahuan alam atau sains secara pragmatis dapat

ditinjau menurut fungsi-fungsinya. Wonorahardjo (2010: 12-14)

mengutarakan ada beberapa fungsi pokok sains yang dikumpulkan

dari para pelaku, pengguna, dan pemirsa sains yaitu : sains membantu

berpikir dalam pola sistematis, Sains dapat menjelaskan gejala alam

(50)

digunakan untuk meramalkan gejala alam yang akan terjadi

berdasarkan pola gejala alam yang dipelajari, sains digunakan untuk

menguasai alam dan mengendalikannya demi kepentingan manusia,

dan sains digunakan untuk melestarikan alam karena sumbangan

ilmunya mengenai alam. Fungsi IPA yang disampaikan dapat

disimpulkan bahwa IPA berfungsi untuk memberikan pengetahuan

tentang gejala-gejala alam sehingga manusia dapat mempelajarinya

untuk dapat mengetahui dan mengendalikan alam agar selalu lestari.

c. Perlunya IPA Diajarkan di Sekolah

IPA sangat perlu diajarkan di sekolah. Banyak alasan yang

menyebabkan IPA perlu diajarkan di sekolah dan dimasukkan ke

dalam kurikulum suatu sekolah. Samatowa (2011: 4) menyampaikan

empat alasan perlunya IPA diajarkan di sekolah yakni: a) IPA

berfaedah bagi suatu bangsa, karena IPA merupakan dasar teknologi

bahkan IPA sebagai tulang punggung suatu bangsa sehingga IPA

dijadikan tolak ukur untuk kemajuan sutau bangsa di dunia ini, tidak

adanya ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alam secara

luas mungkin di dunia ini tidak ada orang yang menjadi insinyur yang

baik ataupun dokter yang baik. b) IPA merupakan suatu mata

pelajaran yang memberikan kesempatan berfikir kritis, misalkan siswa

diberikan suatu masalah, siswa akan memecahkan masalahnya itu

sendiri sehingga siswa dapat mengetahui suatu pengetahuan yang

didapatkannya sendiri, namun perlu diberi arahan dan peneguhan dari

(51)

dilakukan sendiri, maka IPA tidak merupakan mata pelajaran yang

bersifat hafalan. d) Mata pelajaran IPA mempunyai nilai-nilai

pendidikan yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk

kepribadian anak secara keseluruhan.

IPA merupakan dasar teknologi dan sebagai tolak ukur kemajuan

suatu bangsa. IPA sangat perlu diajarkaan di sekolah demi

menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas yang dapat

meningkatkan kemajuan suatu bangsa. IPA juga mempunyai

nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk

kepribadian sehingga anak akan mempunyai kepedulian terhadap alam

semesta agar tetap lestari.

5. Pembelajaran IPA di SD Kelas V Semester 2

Materi pembelajaran IPA di kelas V semester 2 merupakan materi

yang digunakan dalam penelitian ini. Peneliti akan menguraikan materi

yang digunakan yakni sebagai berikut:

a. Gaya

Gaya dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,

ada seseorang mengendari sepeda dan di depannya ada seekor kucing,

seorang tersebut mengerem sepedanya dan berhenti. Sepeda tersebut

dapat berhenti karena adanya gaya gesek. Haryanto (2004: 102)

mengatakan bahwa benda bergerak karena ada gaya yang berkerja pada

benda tersebut. Yousnelly dkk (2010: 78) menyampaikan macam-macam

(52)

gravitasi, gaya gesek, dan gaya magnet. Ketiga gaya tersebut akan

diuraikan sebagai berikut.

1) Gaya Gravitasi

Gambar 2.1 Seorang anak sedang melempar bola ke atas

Sumber: Sulistyanto dan Wiyono (2008: 98)

Sulistyanto dan Wiyono (2008: 98) mengatakan bahwa gravitasi

adalah gaya tarik-menarik yang terjadi antara semua partikel yang

mempunyai massa di alam semesta. Gravitasi menyebabkan benda

bergerak ke bawah. Buah yang jatuh dari pohonnya, air yang mengalir

dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, dan bola yang dilempar

ke atas akan kembali jatuh ke tanah merupakan beberapa pristiwa yang

menunjukkan bahwa gravitasi menyebabkan benda bergerak ke bawah.

2) Gaya Gesek

Gambar 2.2 Seseorang yang mendorong kardus terjadi gaya gesek

Sumber: Azmiyawati (2008: 84)

Azmiyawati dkk (2008: 84) menjelaskan gaya gesek

(53)

benda saling bersentuhan. Misalnya ketika kamu mendorong kardus

terjadi gesekan antara permukaan kardus dengan lantai. Gaya

gesekan tersebut akan menghambat gerakan kardus.

3) Gaya Magnet

Magnet dibedakan menjadi dua macam berdasarkan cara

terbentuknya. Magnet tersebut yaitu magnet alam dan magnet

buatan. Magnet alam terjadi secara alami, contohnya magnet bumi.

Magnet buatan merupakan magnet yang sengaja dibuat. Ada

beberapa bentuk magnet buatan, misalnya magnet batang, tabung

(silinder), jarum, huruf U, dan magnet berbentuk ladam (tapal kuda).

Gambar 2.3 Bentuk-bentuk magnet

Sumber: Azmiyawati (2008: 91)

Gaya magnet dapat menyebabkan tertariknya benda-benda di

sekitarnya. Magnet mempunyai dua kutub. Pada keadaan bebas,

magnet akan selalu menunjuk ke arah utara dan selatan. Ujung

magnet yang mengarah ke utara disebut kutub utara, sedangkan

ujung magnet yang mengarah ke selatan disebut kutub selatan.

Biasanya kedua ujung magnet diberi warna yang berbeda untuk

(54)

b. Pesawat Sederhana

Benda-benda yang digunakan manusia untuk

mempermudah pekerjaannya disebut pesawat sederhana (Haryanto,

2004: 102). Misalnya saja ketika seorang tukang kayu yang ingin

mencabut paku menggunakan tang agar mudah untuk mencabut paku

tersebut. Hal ini merupakan contoh alat yang sering digunakan

manusia untuk memudahkan pekerjaannya. Yousnelly dkk (2010:

93) menyampaikan bahwa pesawat sederhana dikelompokkan

menjadi empat jenis yaitu pengungkit atau tuas, bidang miring,

katrol, dan roda.

1) Pengungkit atau tuas

Pengungkit atau tuas termasuk pesawat sederhana yang

digunakan untuk mengungkit benda yang berat (Yousnelly dkk,

2010: 93). Haryanto (2004: 120) menyampaikan tuas

digolongkan menjadi tiga golongan yaitu golongan pertama,

kedua, dan ketiga. Tiga golongan tersebut didasarkan pada tiga

macam posisi dari kuasa, beban, dan tumpu.

a) Golongan Pertama

Gambar 2.4 Prinsip Kerja Pengungkit Golongan I

(55)

Tuas pada golongan pertama, posisi titik tumpu

berada di antara beban dan kuasa. Contohnya:

jungkat-jungkit, gunting, palu, linggis, dan lain sebagainya.

b) Golongan Kedua

Gambar 2.5 Prinsip Kerja Pengungkit Golongan II

Sumber: Azmiyawati (2008: 99)

Tuas pada golongan kedua, posisi titik beban berada

diantara titik kuasa dan titik tumpu. Contohnya: gerobak

pasir dan alat pemecah buah atau biji.

c) Golongan Ketiga

Gambar 2.6 Prinsip Kerja Pengungkit Golongan III

Sumber: Azmiyawati (2008: 100)

Tuas pada golongan ketiga, posisi kuasa berada di

antara titik beban dan titik tumpu. Contohnya: sekop tanah,

pinset, dan penjepit es.

2) Bidang Miring

Yousnelly dkk (2010: 93) mengatakan bahwa bidang

(56)

alat yang permukaannya dibuat miring. Tujuan bidang miring

adalah untuk mempermudah seseorang memindahkan atau

menggerakkan sesuatu benda. Contoh dalam kehidupan

sehari-hari dengan memanfaatkan prinsip bidang miring yaitu jalan di

pegunungan yang berliku-liku, papan yang dimiringkan, baji,

sekrup, pisau, pahat, dan lain sebagainya.

3) Katrol

Gambar 2.7 Macam-macam katrol

Sumber: Azmiyawati (2008: 100)

Haryanto (2004: 127) menyampaikan bahwa katrol

merupakan suatu roda berporos yang berputar pada porosnya.

Menggunakan katrol benda-benda berat dapat terangkat dengan

mudah. Katrol memiliki beberapa jenis yaitu katrol tetap, katrol

bebas, dan katrol majemuk.

4) Roda

Pesawat sederhana yang dapat membantu manusia dalam

memindahkan suatu barang dengan mudah dapat menggunakan

Roda. Penggunaan roda saat memindahkan benda sangat

Gambar

Gambar 2.1 Seorang anak sedang melempar bola ke atas Sumber:
Gambar 2.3 Bentuk-bentuk magnet Sumber:
Gambar 2.4 Prinsip Kerja Pengungkit Golongan I Sumber: Azmiyawati (2008: 99)
Gambar 2.5 Prinsip Kerja Pengungkit Golongan II Sumber:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi Bahasa Indonesia yang keempat dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional adalah sebagai alat yang memungkinkan terlaksananya

Pndiio hi etuj@.

[r]

sMdsu@gedld tumfdin!.

yang berhubungan dengan aktivitas yang dilakukan dalam kesekretariatan.. Di dalam lingkup aktivitasnya, unit sekretariat diharuskan untuk

EKONOMICS FACULTY ANDALAS UNIVERSITV. OTVNERSHIP CONCENTL{TION AND DIVIDEND

Sebagai hasil dari penyutradaraan film ini adalah film fiksi pendek berjudul “Samar” yang dengan melalui media utama film fiksi pendek, pesan dapat tersampaikan dengan baik dan

Berdasarkan pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyatakan Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan