• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL ANALISIS STRUKTURALISME DINAMIK DAN SEMIOTIK

6.1 Implikasi Metodologis Teori Strukturalisme Dinamik

Bila karya sastra dipahami sebagai fakta yang sepenuhnya objektif, pengetahuan mengenainya tentu saja hanya dapat dicapai dengan cara yang empiric, melalui pengalaman yang sepenuhnya bersifat inderawi dengan berbagai kemungkinan bantuan peralatan yang dapat disebut sebagai perluasan dari daya-daya inderawi tersebut sebagaimana yang dipahami oleh antara lain Marshall McLuhan (1964:1—2). Akan tetapi, jika karya sastra dipahami sebagai fakta yang sepenuhnya subjektif, pengetahuan ilmiah mengenainya dapat dikatakan mustahil apabila yang dinamakan sebagai pengetahuan ilmiah itu merupakan pengetahuan mengenai aturan atau kaidah-kaidah yang bersifat umum atau universal, pengetahuan yang objektif. Karena Wellek dan Warren menganggap karya sastra merupakan fakta intersubjektif dengan menempatkan pengalaman personal terhadap karya sastra merupakan aktualisasi (yang tidak pernah dan tidak selalu sempurna) dari system norma yang bersifat kolektif, yang melampaui batas subjektivitas pengalaman personal itu, pengetahuan ilmiah mengenainya masih mungkin dengan cara “menyimak” tanda-tanda kebahasaan yang bersifat empiric untuk menemukan satuan-satuan dan keseluruhan makna yang terkandung dan terbangun di dalamnya atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan ataupun kesastraan yang bersifat kolektif atau intersubjektif, baik yang berlaku pada konteks social-historis tertentu maupun pada konteks yang lebih luas atau yang relative universal.

Namun, sebagai struktur yang dinamik, di dalam dirinya karya sastra tidak pernah terkodifikasi selengkap kodifikasi bahasa. Bila kodifikasi itu meliputi kodifikasi yang dapat dianalogikan dengan kodifikasi system semantic dan sintaktik bahasa (Eco 1977: 36--38), menyangkut relasi antara penanda dengan petanda dan relasi antartanda dalam pengertian semiotika, di dalam sistem sastra tidak mudah menemukan kode-kode semantic dan sintaktik yang lengkap dan baku dan di setiap aktualisasi personal terhadapnya akan selalu ditemukan kejutan-kejutan baik dalam bangunan semantik maupun sintaktiknya. Konsekuensi dari sifat dinamik dari struktur karya sastra yang demikian mengimplikasikan sekaligus tuntutan metodologis yang lain, yaitu metode yang lebih eksperimental dalam pengertian dengan pengujian pada pengalaman-pengalaman personal pembaca dalam ruang dan waktu tertentu, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.

Sebagai misal, dapat dilihat pandangan Wellek dan Warren (1990: 198) dalam kutipan berikut.

“Kita tidak boleh melupakan bahwa efek bunyi berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Tiap bahasa mempunyai system fonetiknya sendiri. Jadi, tiap bahasa memiliki vocal-vokal yang bertolak belakang dan yang parallel, serta konsonan-konsonan yang mirip. Perlu diingat pula bahwa efek bunyi tidak dapat dipisahkan dari makna dan nada setiap baris dari puisi. Aliran Romantik dan Simbolik sering menyamakan puisi dengan music. Tapi, perbandingan itu hanya metafora belaka. Puisi tidak dapat mengimbangi keragaman, kejelasan, dan susunan pola bunyi murni. Makna, konteks, dan nada diperlukan untuk mengubah bunyi linguistic menjadi hal yang artistik.”

Dengan kata lain, tidak ada rumusan mengenai efek bunyi yang universal. Kode semantik mengenai efek bunyi bervariasi sesuai dengan variasi system fonetik bahasa yang menjadi sumbernya. Lebih jauh, sistem fonetik bahasa sendiri tidak bisa dijadikan satu-satunya pegangan untuk menentukan efek bunyi itu. Makna dan nada setiap baris puisi juga menentukan efek bunyi di atas. Perubahan bunyi bahasa menjadi hal yang artistic tergantung pula pada konteks, tidak hanya makna dan nada. Selain itu, Wellek dan Warren (1990: 200) bahkan mengatakan bahwa standard ketepatan rima juga bervariasi sesuai dengan variasi “aliran poetika dan kebiasaan negeri masing-masing”.

Dalam ketiadaan system kodifikasi yang lengkap, baik pada tingkat local maupun global, metode eksperimental dalam pengertian di atas menjadi niscaya dalam rangka memperlengkap atau menyempurnakan system kodifikasi yang ada. Selain itu, metode tersebut juga merupakan sebuah cara yang harus ditempuh sesuai dengan tuntutan sifat dari karya sastra itu sendiri sebagai sebuah struktur yang dinamik yang di dalamnya setiap karya sastra dapat menjadi aktualisasi dan sekaligus kekuatan pengubah terhadap kaidah-kaidah structural karya sastra yang sudah ada. Perlunya metode yang demikian dapat pula dilihat dalam kasus metode penelitian sastra yang dirumuskan di dalam buku Metode Penelitian Sastra karya Siswantoro (2010).

Buku karya Siswantoro itu merupakan buku mengenai metode penelitian sastra, khususnya metode penelitian sastra yang bersifat structural sebagaimana yang dirumuskan oleh Wellek dan Warren di atas. Menurutnya (2010:11—12), untuk mampu melakukan analisis secara structural, seorang analisis harus memiliki kompetensi sastra karena kompetensi itulah yang akan

memandunya selama melakukan analisis sastra, yang dapat membuat analisisnya tidak menjadi liar, tak berstandard. Adapun kompetensi dan manfaat kompetensi itu ia definisikan sebagai:

“… pengetahuan tentang konvensi sastra, yang dalam konteks ini adalah puisi, yang telah disepakati oleh masyarakat sastra” dan meliputi “fungsi yang tergantung pada jenis-jenis puisi, unsur-unsur internal dan hokum relasional antara unsur-unsur internal tersebut sehingga makna atau nilai sebuah unsur tergantung pada unsur lain. Dengan pengetahuan sastra yang demikian itu analisis tersebut mampu memberi makna, serta mampu memberi tafsir kepada sebuah karya atau lebih. Singkat kata, seorang analisis dituntut mampu mengungkap secara eksplisit kaidah sebuah karya yang implisit itu ke tingkat permukaan dalam rangka menemukan efek kesastraannya.”

Atas dasar tuntutan akan kompetensi itu, Siswantoro memulai contoh analisisnya dengan memaparkan terlebih dahulu kaidah-kaidah structural puisi, khususnya jenis sonata yang akan menjadi objeknya. Sehubungan dengan sifat struktural dari kaidah itu, Siswantoro (2010:12—22) terlebih dahulu memaparkan pengertian struktur dan penerapannya dalam puisi.

• Puisi dikatakan berstruktur karena ia adalah sebuah keseluruhan yang terbangun dari unsur-unsur yang saling berhubungan yang di dalamnya, dengan demikian, tidak ada unsur-unsur yang mengandung makna kecuali dalam hubungan dengan unsur yang lain. Dalam hal ini puisi sekaligus dipahami sebagai sesuatu yang terpadu.

• Struktur puisi bersifat transformative dalam pengertian terus-menerus menghasilkan produk baru yang tidak pernah sama dengan yang lain tanpa kehilangan struktur dasarnya. Dalam hal ini puisi sekaligus sebagai sesuatu yang bervariasi dan variasi itu disebut sebagai permukaan dari struktur dasar di atas.

• Struktur puisi juga dapat mengatur dirinya sendiri dalam pengertian mampu menghasilkan bentuk-bentuk baru atas dasar strukturnya sendiri, bukan atas dasar pengaruh faktor-faktor yang ada di luar dirinya.

Selanjutnya, sesuai dengan konsep struktur puisi, Siswantoro 1010: 23—27) memaparkan pengertian puisi yang secara garis besar sebagai berikut. Puisi merupakan bentuk sastra yang paling padat dan terkonsentrasi.

• Puisi menyatakan lebih banyak hal daripada apa yang dikatakan.

• Bahasa puisi tertata secara artistic, baik dengan aturan mengenai (a) jumlah suku kata, (b) kandungan makna konotatif, (c) dan susunan bunyi yang musical.

• Merupakan struktur signifikan dalam pengertian menghasilkan pengalaman baru yang menuntut respon baru yang membutuhkan pencurahan daya intelektual, imajinasi, dan rasa yang maksimal.

Adapun sonata ia (2010: 27—33) definisikan seperti di bawah ini. • Soneta adalah jenis puisi lirik.

• Soneta termasuk jenis puisi interpretif dalam pengertian bertujuan untuk mencerahkan di samping menghibur.

• Soneta terdiri dari empat belas baris.

• Seluruh baris diikat oleh pola sajak yang variatif.

• Soneta dapat mengikuti dua kemungkinan model, yaitu model Italia dan Inggris. • Soneta Inggris terdiri dari tiga kuatrin yang masing-masing terdiri dari empat baris. • Pola sajak sonata model Inggris adalah abab, cdcd, efef.

Kaidah puisi dan sonata tersebut ia pahami sekaligus sebagai teori. Menurutnya (2010:26), dengan kesetiaan pada kaidah itulah penyair menulis puisi dan dengan kaidah itu pula pembaca dapat berinteraksi dengan puisi itu dengan cara yang baik. Dan, dari teori yang berupa kaidah di atas Siswantoro melakukan apa yang disebutnya deduksi untuk memperoleh kesimpulan sementara mengenai hasil penelitian atau yang disebutnya hipotesis. Hipotesisnya mengenai puisi yang ia teliti sebagai berikut.

• Hipotesis 1: Sonnet XXX mempunyai unsur-unsur intrinsic yang saling berhubungan dan membentuk satu kesatuan yang utuh (unity).

Hipotesis 2: Sonnet XXX mempunyai unsur-unsur intrinsic yang variatif (diversity).

Pengujian terhadap hipotesis tersebut ia (2010:73—81) lakukan dengan melakukan pengumpulan data yang bersumber pada teks puisi yang diteliti serta dengan analisis data yang berupa penguraian puisi menjadi unsur-unsur dan pemaparannya secara fungsional dan relasional dalam konteks hubungan antara unsur itu dengan unsur yang lainnya. Adapun yang ia maksudkan sebagai unsur-unsur itu meliputi diksi, gaya bahasa, pencitraan, ritme, rima, aliterasi, asonansi, nada bicara, apa yang ia sebut hubungan antara bunyi dan makna yang meliputi pengintensif makna, suara lembut, dan penggunaan meter. Sebagai contoh dapat dilihat tiga hasil analisisnya berikut.

“Kesimpulannya adalah hipotesis I terbuktu sebab terdapat hubungan yang integral antara aspek formal diksi dengan fungsi Sonnet XXX yaitu mengungkap pokok persoalan kesedihan dengan efek terciptanya suasana serius.”

“Kesimpulannya adalah hipotesis I terbukti sebab terdapat hubungan yang integral antara aspek polisemi pada kata things dengan plot yang menghasilkan efek misteri.”

“Dengan demikian hipotesis I terbukti sebab terdapat hubungan yang integral antara imagery tipe visual pada verba sigh dan sought dengan bunyi euphonious /s/ yang melodious dengan efek terciptanya aliterasi atau sajak dalam /s/ yang melodius sebanyak dua kali di baris (3) yang mendukung desah kesedihan.

Analisis di atas juga membuktikan terbuktinya hipotesis II, sebab di dalam analisis tersebut kita temukan adanya variasi penggunaan imagery seperti tipe sensasi internal serta tipe visual. Jadi, dapatlah kita rumuskan hipotesis II sebagai berikut.

Dengan demikian, hipotesis II terbukti sebab terdapat variasi penggunaan imagery seperti tipe sensasi internal dan tipe visual di kuatrain I, sehingga kuatrain I tersebut terhindar dari dimensi monoton.”

Di dalam kutipan pertama Siswantoro tampaknya menggunakan kode pragmatic bahasa yang merumuskan bahwa kata-kata yang termasuk ke dalam ragam bahasa formal melambangkan nilai rasa keseriusan dan kode yang menyatakan bahwa kesedihan adalah masalah serius. Karena bahasa formal = serius, kesedihan = serius, bahasa formal ekuivalen dengan kesedihan. Kesimpulan itu tentu mengandung banyak masalah, tidak dapat diterima begitu saja. Pertama, rumus bahasa formal = serius tidak dapat dianggap berlaku secara universal, bahkan atas dasar kode yang sama. Serius atau tidak seriusnya bahasa formal, misalnya, dapat tergantung pada siapa yang menggunakannya. Kalau yang menggunakannya rakyat kecil, tidak berpendidikan, tidak akrab dengan bahasa serius, dianggap tidak mempunya kompetensi dengan ragam tersebut, bahasa formal dapat menjadi tidak serius. Selain itu, kode yang semacam itu juga belum tentu berlaku pada semua masyarakat bahasa dan kebudayaan seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren di atas. Bahkan, belum tentu pula berlaku dalam semua kelompok masyarakat dengan bahasa dan kebudayaan yang sama. Misalnya, ada kelompok masyarakat yang menganggap humor itu serius. Padahal, Siswantoro mengatakan bahwa salah satu indicator dari keseriusan itu adalah tidak adanya humor sedikit pun dalam puisi yang diteliti. Kedua, kalaupun bahasa formal itu sama dengan serius, hal itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa ragam bahasa tersebut hanya dapat disamakan dengan kesedihan. Bahkan, makna yang bertentangan dengan kesedihan itu pun, yakni kebahagiaan, bisa

dikatakan serius dan karenanya bisa ekuivalen dengan bahasa formal pula. Bila demikian halnya, ekuivalensi dan integrasi bahasa formal dengan kesedihan di atas tidak hanya tergantung pada kode yang berlaku, melainkan juga tergantung pada konteks keseluruhan teks puisi yang bersangkutan di samping dengan masyarakat bahasa dan kebudayaan yang menggunakannya. Bila demikian, yang kemudian menjadi masalah adalah kenyataan bahwa, menurut bahkan teori yang sama, setiap teks selalu berbeda dari teks yang lain, tidak pernah sama. Karena itu, tidak akan pernah ada kode yang sama untuk teks yang berbeda. Untuk mengatasi masalah inilah diperlukan metode yang eksperimental seperti yang sudah dikemukakan di atas. Makna dari suatu unsur dan relasi antara unsur yang satu dengan unsur yang lain di dalam teks yang sama harus diuji pada pengalaman personal maupun kolektif dari penulis ataupun pembaca teks itu. Permasalahan dan kemungkinan penyelesaian yang serupa juga terkandung di dalam kutipan kedua. Tidak semua kata yang polisemik menghasilkan efek misteri, baik karena perbedaan tekstual maupun karena perbedaan masyarakat bahasa dan kebudayaan tempat kode mengenai efek dari polisemi serupa itu digunakan.

Dalam kutipan ketiga Siswantoro sama sekali tidak berangkat dari pembahasan mengenai keterkaitan imajeri visual dengan kesedihan. Fungsi pilihan kata desah lebih ia kaitkan dengan pembentukan aliterasi /s/ yang, menurutnya, mendukung makna kata desah kesedihan. Dengan kata lain, dari segi maknanya, kata desah sebenarnya tidak berbeda dari complain. Tidak ada efek imajeri yang berbeda antara keduanya kecuali sebagai cara untuk membangun aliterasi /s/ bagi kata yang pertama. Dalam kaitan dengan jawaban terhadap hipotesis II, kutipan ketiga itu mengandung masalah konseptual yang mendasar. Dalam kesimpulan mengenai hipotesis II tersebut Siswantoro mengingkari konsep teoretiknya sendiri mengenai variasi. Bila di dalam konsep teoretiknya ia memahami variasi sebagai sesuatu yang terkait dengan invariant, yaitu struktur dasar, di dalam kesimpulan itu ia mengaitkannya dengan perasaan bosan yang sifatnya semata-mata semantic, bukan structural. Pergeseran konsep ini tampaknya akibat dari kecenderungannya untuk memaksakan pembuktian hipotesis II di atas tanpa dukungan data dan kode yang dapat mendukung pembuktian tersebut.

Mungkin juga pergeseran konsep tersebut akibat kelemahan teoretiknya. Tiga rangkaian konsep yang dipaparkannya, yaitu konsep struktur, puisi, dan sonata sama sekali tidak membangun satu kesatuan konsep yang baru, yaitu struktur-puisi-soneta. Sebagai misal, tidak ada hubungan yang jelas antara tiga elemen konseptual puisi yang ia kemukakan dengan tiga elemen konseptual struktur yang mendahuluinya. Misalnya, tempat elemen konseptual pertama, yaitu puisi menyatakan lebih banyak hal daripada yang dikatakannya, dalam keseluruhan konsep struktur, baik yang berupa keseluruhan, transformasi, maupun pengaturan-diri. Begitu juga tempat elemen puisi sebagai bahasa

yang artistic dan struktur signifikan yang menimbulkan pengalaman baru. Tentu tidak pula jelas pengertian sonnet sebagai puisi dengan pola persajakan tertentu dengan pengertian puisi dan dengan pengertian struktur di atas. Memang, Siswantoro pernah mengatakan bahwa puisi-puisi sonata Shakespeare tidak serupa satu sama lain, tetapi tetap sonata. Akan tetapi, ia tidak menunjukkan hubungan struktural antara variasi sonata-soneta penyair tersebut dengan ciri-ciri sonata yang ia sebutkan.

Jika dianalogikan dengan bahasa dalam linguistic structural, yang menjadi struktur bahasa itu dapat berupa struktur morfologis kata majemuk atau frase, struktur sintaktik, atau bahkan yang menyangkut hubungan antara penanda dengan petanda. Sebuah frase yang pada tingkat dasarnya hanya terdiri dari dua kata yang diperantarai oleh kata “yang” dapat muncul secara bervariasi pada level aktualisasi atau performansinya, misalnya tanpa kata “yang” atau mengalami perluasan hingga mencapai jumlah kata yang tidak terbatas, tetapi dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai frase. Begitu juga dengan struktur sintaktik yang misalnya menyangkut pola hubungan yang tetap antara subjek dengan predikat dan dengan objek yang dapat diaktualisasikan dengan variasi yang tidak terbatas tanpa keluar dari pola dasar kalimat itu. Polisemi dan homonimi dapat juga dilihat dari segi prinsip transformasi demikian, yaitu petanda yang menyatakan diri dalam penanda yang bervariasi atau sebaliknya.

Kelemahan teoretik di atas sekaligus merupakan kelemahan dalam ketersediaan kode mengenai puisi, termasuk sonata, yang bersifat structural. Kode-kode yang digunakan Siswantoro dalam buku ini, sebagaimana yang juga digunakan oleh Wellek dan Warren, adalah kode-kode yang pada hakikatnya bukan structural. Itulah sebabnya, penelitian sastra yang demikian masih sangat membutuhkan dan bergantung pada metode-metode yang sifatnya empiric, antara lain metode eksperimental. Adapun yang dimaksud dengan metode eksperimental ini adalah metode yang di dalam linguistic terbangun dari teknik permutasi, yaitu yang berupa berbagai kemungkinan pengubahan pola structural, baik dalam poros sintagmatik maupun paradigmatic, dari satuan bahasa tertentu yang dihadapkan langsung pada penutur bahasa, terutama penutur asli yang diasumsikan mempunyai kompetensi dalam bahasa itu. Merekalah yang kemudian memutuskan mengenai gramatikal atau tidak gramatikal, mempunyai makna atau tidak mempunyai makna, logis atau tidak logis, satu kemungkinan pola structural yang ditawarkan peneliti.

Sebenarnya, mungkin tanpa disadarinya, Siswantoro sudah menggunakan metode yang demikian, yakni ketika ia menggantikan kata sigh menjadi complain dan membayangkan perubahan efek yang terjadi. Hanya saja, pengubahan itu tidak disadarinya sebagai sebuah metode dengan arah

tertentu, dikonfirmasikan kepada subjek tertentu dengan kompetensi tertentu. Menurutnya, pengubahan itu dapat merusak struktur aliterasi dan memang bisa demikian. Namun, benarkah aliterasi itu merupakan satuan signifikan bagi Shakespearenya sendiri atau juga bagi pembaca yang lain, ataukah hanya bagi Siswantoro sendiri. Harus ada dasar metodologis untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Apalagi, ketika ia menggunakan kata “merusak” yang mengimplikasikan penilaian dan keharusan adanya aliterasi yang demikian. Selain itu, Siswantoro menawarkan perubahan tersebut dalam focus perhatian pada persoalan imajeri. Dengan hanya mengaitkan pengubahan itu hanya pada persoalan aliterasi, ia seakan menganggap pengubahan itu tidak menimbulkan efek secara imajeri. Padahal, tentu gambaran visual seseorang yang berdesah dengan seseorang yang mengeluh akan berbeda. Tanpa membicarakan kemungkinan efek visualnya, Siswantoro seakan menganggap efek perubahan visual dari pengubahan tersebut sebagai sesuatu yang tidak signifikan. Dalam hal yang kemudian ini, sekali lagi, ia harus mengajukan konflirmasi mengenai signifikan atau tidak signifikannya perubahan visual tersebut pada “penutur” puisi yang dianggap kompeten, entah dirinya, seseorang atau sekelompok orang yang lain.

Tentu, untuk memahami pengalaman pembaca, peneliti tidak harus melakukan eksperimentasi gaya linguistic di atas. Sehubungan dengan kodrat karya sastra sebagai struktur yang dinamik, Wellek dan Warren melihat pentingnya perhatian pada karya-karya kritik sastra sebagai aktualisasi dari struktur norma yang, karenanya, dapat digunakan sebagai salah satu metode pula untuk menemukan struktur itu. Posisi kritik sastra, bagi keduanya, amat penting juga bagi perkembangan sejarah sastra karena kritik sastra itulah yang memberikan respon secara langsung terhadap karya-karya sastra yang baru dengan berbagai variasinya. Dalam pengertian fenomenologi Berger dan Luckmann (1990: 97) kritik sastra itu merupakan salah satu objektivasi dari kode yang ada dalam pikiran kolektif masyarakat sastra, baik pada tingkat local, nasional, maupun global. Hanya saja, sebagaimana yang sudah dikemukakan, Wellek dan Warren tetap bersikap selektif terhadap kritik sastra atas dasar tingkat kedekatannya dengan dan kelengkapannya dalam menangkap struktur norma yang sudah ditemukan sebelumnya.

6.2 Implikasi Metodologis Teori Semiotika Riffaterre

Buku Riffaterre ini sebenarnya justru lebih banyak berbicara mengenai persoalan metodologis daripada persoalan teoretik. Secara teoretik, konsepnya mengenai puisi sesungguhnya sangat sederhana dan dapat disarikan sebagai berikut.

• Puisi merupakan wacana kebahasaan yang mengatakan sesuatu dengan maksud yang lain atau secara tidak langsung.

• Sebagai konsekuensi dari sifat yang demikian, puisi mempunyai dua lapis makna, yaitu makna referential yang bersifat heretogen dan disebut “makna” dan makna semiotic yang bersifat homogeny, tunggal, terpusat, dan structural yang disebut “arti” sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa puisi merupakan suatu kesatuan formal dan semantik.

• “Arti” itu sendiri berpusat pada apa yang disebut matriks, satuan makna yang tidak terdapat di dalam linearitas teks.

• Dorongan pemaknaan ke arah matriks dapat bermuara pada suatu teks lain yang disebut hipogram yang dengan demikian dapat sekaligus berkedudukan sebagai matriks itu sendiri. • Proses peralihan dari “makna” ke “arti” tersebut disebut sebagai semiosis atau proses

semiotic dan terjadi dalam hubungan dialektika antara pembaca dengan teks puisi.

• Di dalam proses semiotic itu pembaca dapat memberikan masukan-masukan terhadap teks dengan menggunakan kompetensi linguistic maupun kesastraannya sehingga rintangan-rintangan yang berupa ungramatikalitas referential yang dihadapi dalam level pembacaan secara mimesis dapat dilampaui.

Dengan pandangan teoretik yang demikian, Riffaterre (1978: 5) dua cara pembacaan yang dilaksanakan secara berurutan, yaitu pembacaan heuristic dan pembacaan hermeneutic. Pembacaan heuristic dilakukan dengan menggunakan kode bahasa yang bersifat referential, yaitu yang mengandaikan bahwa tanda-tanda yang terdapat di dalam teks puisi yang diteliti mengacu kepada satuan-satuan kenyataan yang terdapat dalam dunia empiric. Karena kenyataan itu bersifat kompleks, pembacaan yang demikian hanya akan membawa peneliti pada serangkaian makna referential yang heterogen, yang tidak bersesuaian satu sama lain, serangkaian ungramatikalitas. Untuk mengatasi hambatan yang demikian, peneliti harus mengambil cara pembacaan yang kedua, yaitu pembacaan hermeneutic yang di dalam hermeneutika biasa disebut dengan metode “lingkaran hermeneutik”.

“Tahap kedua merupakan tahap pembacaan retroaktif. Ini saat bagi suatu interpretasi kedua, bagi pembacaan yang benar-benar hermeneutik. Ketika ia bergerak maju sepanjang teks,

Dokumen terkait