• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSEDUR FORMAL PENELITIAN SASTRA

Sebagaimana yang sudah dikemukakan, beberapa tulisan mengenai metode penelitian sastra cenderung memahami metode tersebut sebagai seperangkat prosedur formal yang sudah baku, yang dipinjam dari penelitian ilmiah bidang-bidang ilmu yang lain tanpa mempertimbangkan alasan ontologis dan epistemologisnya sehingga membuatnya cenderung disalahpahami dan bahkan diterima begitu saja tanpa kemungkinan modifikasi ataupun pengembangannya. Untuk dapat keluar dari kecenderungan serupa itu, prosedur formal tersebut perlu dikembalikan pada kerangka pemikiran filosofis yang sudah disampaikan, misalnya dengan bermula dari kemungkinan dasar filosofis dari kasus ketumpangtindihan sifat sistematik penelitian yang dikemukakan oleh Wuradji di butir 1 tulisan ini. Yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah, apakah sistematika merupakan sifat penelitian secara keseluruhan ataukah aspek metodenya atau justru bukan sifat dari keduanya?

Seperti sudah dikatakan, objek pengetahuan ilmiah bukanlah dunia empirik, melainkan segala aturan atau mekanisme yang bersifat umum, abstrak, yang memungkinkan adanya keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik yang bersifat khusus, konkret. Karakter objek yang serupa itulah yang membuat ilmu pengetahuan mengasumsikan objeknya sebagai sesuatu yang mempunyai pola atau keteraturan tertentu pula. Jika aturan atau mekanisme itu diartikan sebagai sebuah sistem, sifat sistematik dari penelitian itu tidak bersumber pada penelitian keseluruhan maupun pada aspek metodenya, melainkan pada dasar ontologisnya, yaitu yang menyangkut karakter objek pengetahuan yang bersangkutan. Karakter sistematik dari objek itu, pada gilirannya, menuntut rasionalitas sebagai metodenya. Rasionalitas ini, seperti yang sudah pula dikemukakan, memberikan sifat koheren dan logis dari pengetahuan ilmiah. Dengan kata lain, karena objeknya diasumsikan sebagai bersistem, penelitian mengenainya harus pula sistematik. Adapun cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai sistem itu sendiri adalah metode rasional dan logis.

Dengan cara yang sama dapat pula ditemukan jalan keluar atau jawaban terhadap permasalahan yang terungkap dalam kasus kedua, yaitu kasus pandangan Chamamah Soeratno mengenai landasan kerja penelitian ilmiah seperti yang sudah dikutip dalam uraian terdahulu. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan mengenai aturan atau mekanisme yang ada di balik gejala-gejala empirik yang berlaku secara umum, universal. Karena sifat universalnya itu, pengetahuan

ilmiah tidak pernah final. Pengetahuan sebelumnya harus terus diuji secara empirik maupun rasional dengan mengacu kepada kasus-kasus baru yang mungkin belum terjamah, pengujian yang pada gilirannya akan membenarkan ataupun menyangkal, mengukuhkan ataupun mengubah pengetahuan ilmiah sebelumnya, baik yang menyangkut fakta-fakta empiriknya maupun sistematikanya. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh secara akumulatif, tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya dan tidak dapat dilepaskan dari tuntutan akan pengujiannya di masa kini maupun di masa depan.

Namun, tidak semua rangkaian pengetahuan dari waktu ke waktu dapat membangun satu kesatuan pengetahuan baru yang akumulatif. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara yang berbeda, dirumuskan dengan cara yang berlainan, dengan “bahasa” yang berbeda, tidak akan dapat membangun kesatuan pengetahuan baru yang demikian. Sebagai misal, pengetahuan berbagai anggota masyarakat mengenai letusan Gunung Merapi, sebagaimana yang tampak dalam berbagai wacana di berbagai media, tidak selalu dapat berkomunikasi satu sama lain untuk membangun satu pengetahuan baru yang akumulatif. Karena tujuannya berbeda, cara perolehan pengetahuannya berbeda, fakta-fakta yang ditemukan berbeda, begitu pula penjelasan mengenai relasi kausal ataupun simbolik antarfakta masing-masing. Di satu pihak, umpamanya, ada yang memperhatikan fakta yang berupa arah gerakan awan panas, di lain pihak, ada yang justru memperhatikan citra Petruk yang terbentuk oleh awan itu. Yang pertama memberikan penjelasan secara akademis, sedangkan yang lain memberikan penjelasan secara mistis.

Dengan demikian, apa yang disebut sebagai landasan teori dalam penelitian ilmiah, dalam rangka mencapai pengetahuan ilmiah yang akumulatif, tidak dapat didefinisikan sebagai “perenungan” yang mengimplikasikan sebuah kegiatan pikiran dan bahkan perasaan dengan batas-batas yang tidak terlalu jelas dan cenderung subjektif. Teori, hanya dapat bermanfaat bagi terbentuknya pengetahuan ilmiah, bila ia merupakan pengetahuan ilmiah, pengetahuan yang diperoleh dengan seperangkat prosedur yang eksplisit, yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan yang dianggap sudah cukup teruji secara akademik. Sebagai sebuah hasil penelitian yang sudah teruji secara akademis, teori merupakan jawaban (sementara), bukan “pencarian jawaban”. Pencarian jawaban dilakukan oleh penelitian baru atas dasar teori atau jawaban yang sudah ada sebelumnya.

Selain itu, masih dalam hubungan dengan kasus yang kedua, apa yang dalam kutipan di atas dinamakan sebagai “landasan metodologi” dan “landasan kecendekiaan” dapat identik bila dilihat dari filsafat pengetahuan. Sebagaimana yang sudah dikemukakan, metode pengetahuan ilmiah itu

sekaligus bersifat rasional dan empirik. Dalam batas tertentu jelas bahwa apa yang disebut “landasan kecendekiaan” itu termasuk ke dalam metode rasional. Karena itu, ia bukan merupakan landasan tersendiri yang terpisah dari “landasan metodologi”, melainkan menjadi bagian dari landasan yang terakhir tersebut. Dan, sebagai sebuah cara kerja yang identik dengan metode rasional, apa yang dinamakan sebagai “landasan kecendekiaan” itu tentu saja tidak terutama berfungsi sebagai alat untuk membuat penelitian menjadi lebih “adekuat”, melainkan menjadi lebih sistematik, koheren, dan logis.

Secara umum, sebagaimana yang juga akan selalu dapat ditemukan dengan berbagai variasinya dalam banyak buku mengenai metode penelitian ilmiah di berbagai bidang ilmu, satuan-satuan keadaan dan tindakan serta langkah-langkah yang signifikan dalam proses penelitian ilmiah meliputi hal-hal berikut.

• Identifikasi masalah • Perumusan masalah

• Penyusunan kerangka konseptual atau teoretik • Perumusan hipotesis

• Metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan dan analisis data • Penarikan kesimpulan hasil penelitian

Dalam perspektif filsafat ilmu signifikansi dari keadaan, tindakan, beserta urutannya di atas bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, sesuatu yang bersifat kebetulan, melainkan didasarkan pada alasan tertentu sesuai dengan hakikat dari pengetahuan ilmiah itu sendiri.

3.1 Identifikasi Masalah

Bahwa pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan mengenai aturan atau mekanisme yang memungkinkan terjadinya keadaan dan peristiwa-peristiwa empirik, gejala-gejala kehidupan, sudah jelas. Akan tetapi, di dalam filsafat pengetahuan, masih tersisa satu persoalan yang relevan dengan persoalan yang terkait dengan butir (1) dari satuan-satuan keadaan dan langkah penelitian di atas, yaitu persoalan penyebab dipilihnya jenis pengetahuan yang demikian oleh ilmuwan. Dalam hal ini tentu saja ilmuwan ingin mendapatkan jawaban yang mempunyai tingkat kejelasan dan kepastian yang setinggi-tingginya sehingga persoalan kehidupan yang ia hadapi dapat diselesaikan secara efektif, terkendali, dan selamanya dalam pengertian dapat digunakan pula oleh mereka yang hidup dalam ruang maupun waktu yang berbeda.

Pada dasarnya, kecenderungan untuk mendapatkan jawaban atau penyelesaian yang final, yang berlaku universal seperti itu juga terdapat dalam jenis-jenis pengetahuan lain, baik pengetahuan agama maupun apa yang disebut pengetahuan lokal (local knowledge). Pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepiah; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, misalnya, mungkin merupakan jawaban terhadap pertanyaan mengenai adanya ketidaksamaan antara sesama manusia dalam memperoleh kesenangan, kebahagiaan, ataupun kesuksesan tidak hanya secara ekonomi, melainkan terutama secara sosial. Begitu juga pepatah “jur besuki mowo beyo”. Hanya saja, jawaban itu ternyata tidak teruji secara empirik dan tidak sistematik sehingga tidak ada jaminan yang relatif pasti bahwa pemberlakukannya membuahkan hasil yang relatif pasti. Apalagi pengetahuan keagamaan yang, misalnya, mengambalikan semua masalah dalam kehidupan kepada takdir, kehendak tuhan, yang tidak dapat diramalkan atau diantisipasi. Hal itulah yang membuat kemudian muncul semacam bantahan yang bernada ironik: “bersakit-sakit dahulu, bersakit-sakit berkepanjangan”.

Kesalahan dalam jawaban seperti yang tampak dalam contoh-contoh di atas mungkin bukan hanya akibat dari kesalahan dalam cara mencari jawaban atau penyelesaian, melainkan dapat pula akibat dari kesalahan dalam cara identifikasi masalah. Kemungkinan dalam kesalahan identifikasi masalah itu, pertama-tama dan terutama, adalah kekaburan dalam batas-batas pengertiannya, misalnya “kesuksesan” dipahami sekedar sebagai ‘keberhasilan’ secara umum tanpa identifikasi lebih jauh, apakah keberhasilan itu merupakan keberhasilan kultural, sosial, ekonomi, psikologis, atau bahkan religius. Kekaburan dalam identifikasi ini membuat jawaban yang diberikan juga menjadi kabur, sangat umum, misalnya dua pepatah dalam kutipan di atas. Identifikasi masalah yang demikian tentu saja tidak dapat menjadi identifikasi masalah yang ilmiah karena tidak akan dapat memberikan jawaban, penyelesaian, atau pengetahuan sebagaimana yang diinginkan oleh ilmu pengetahuan. Mereka yang ada dalam ruang dan waktu yang berbeda dapat menafsirkan masalah itu, juga jawaban-jawaban yang diberikan, dengan cara yang berbeda-beda atau bahkan dengan cara yang sama tidak jelasnya. “Beyo”, dalam pepatah yang kedua, dapat ditafsirkan sebagai “nyogok”, misalnya. Dan, “nyogok” itu sendiri dapat ditafsirkan sebagai “nyogok” secara sosial, ekonomi, kultural, atau bahkan religius. Persoalan berikutnya yang menyangkut identifikasi masalah ini adalah persoalan kesalahan identifikasi. Sebagai misal, masalah yang sepenuhnya bersifat empirik diidentifikasi sebagai masalah yang bersifat ideologis, spiritual, bahkan religius. Bencana alam, misalnya, ditafsirkan sebagai masalah kutukan tuhan sehingga orang yang melakukan identifikasi demikian mencoba mencari jawaban terhadap masalah itu dengan cara yang religius pula dan jawaban ini tentu saja tidak dapat menjadi jawaban ilmiah. Kekaburan dan

kesalahan identifikasi yang demikian tentu saja disebabkan oleh kenyataan bahwa semua gejala empirik memang dapat diidentifikasi dengan berbagai cara, mempunyai banyak sekali kemungkinan makna. Secara ekonomi bencana alam berarti sejumlah kerugian material, secara sosial berarti hilangnya situs-situs sosialisasi, secara kultural hilangnya situs-situs ritual dan acuan nilai, secara politik krisis kepemimpinan atau hilangnya legitimasi, secara psikologis rusaknya sarana identifikasi diri, dan sebagainya.

Kekaburan dan kesalahan dalam identifikasi masalah di atas membuat masalah penelitian yang diajukan menjadi tidak layak diperlakukan sebagai masalah penelitian ilmiah. Namun, secara sosial, historis, dan praktis, tingkat kelayakan sebuah masalah tidak hanya ditentukan oleh kualitas internalnya dilihat dari persayaratan-persyaratan yang murni akademik, melainkan juga oleh kemungkinan kontinuitasnya dalam sejarah ilmu pengetahuan dan kegunaannya secara sosial serta bahkan kemungkinannya untuk dilaksanakan. Dalam hal ini, dengan mengutip Neuman, Bagong Suyanto (Suyanto 2005: 23--24) mengemukakan bahwa masalah penelitian haruslah terfokus sehingga dapat dilaksanakan. Adapun cara untuk membuat masalah itu terfokus antara lain dengan membatasi diri pada masalah-masalah yang ditinggalkan oleh pengetahuan terdahulu, menempatkannya dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dan juga untuk kepentingan tertentu. Lebih jauh, masalah itu harus dibingkai oleh satuan-satuan konseptual yang jelas, yang representatif, dan yang teruji dalam pengertian dapat diamati, terukur, dan terjabarkan (Bdk. Suriasumantri 1978: 29; Suyanto 2005: 28—30).

3.2 Perumusan Masalah

Persoalan identifikasi masalah di atas pada dasarnya merupakan persoalan yang hanya berhubungan dengan proses pemikiran dari ilmuwan, yang menyangkut bagaimana hubungan antara subjek ilmu dengan objeknya. Bagaimanapun, seperti yang didefinisikan oleh filsafat ilmu pengetahuan (Poedjawijatna 1982: 14), pengetahuan apa pun, termasuk pengetahuan ilmiah, merupakan keputusan pikiran mengenai objek. Halnya berbeda dari persoalan perumusan masalah. Persoalan yang kemudian ini merupakan persoalan yang niscaya dalam rangka diperolehnya pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang akumulatif sehingga dicapai tingkat universalitas dan determinasi yang semakin tinggi. Persoalan perumusan masalah ini, dengan kata lain, merupakan persoalan komunikasi ilmiah, komunikasi antarilmuwan yang tentu saja tidak harus ilmuwan yang bersifat profesional, melainkan dapat juga mencakup semua orang yang berminat terlibat dalam komunikasi akademik. Prinsip dasarnya adalah bahwa perumusan masalah benar-benar

merepresentasikan permasalahannya sehingga mereka yang terlibat dalam komunikasi akademik yang bersangkutan pun dapat memahami dengan cara yang sama, dapat melakukan kritik tanpa adanya salah paham, dan dapat melanjutkan dan mengembangkan hasil penelitian itu.

Secara umum, sebagaimana yang dikemukakan, perumusan masalah untuk penelitian ilmiah itu setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu (a) dirumuskan dengan bahasa atau simbol-simbol yang representatif terhadap konsep, (b) jelas, dalam pengertian tidak mengandung pernyataan-pernyataan dengan makna yang mendua atau ambigu, dan (c) konsisten, dalam pengertian tidak mengandung makna yang kontradiktif. Sehubungan dengan (a), kejelasan dapat dicapai tidak hanya dengan menggunakan simbol-simbol yang tidak bias, tidak konotatif, atau menggunakan kata-kata yang netral, bersih dari nilai rasa kata, melainkan, akan lebih baik, jika menggunakan simbol-simbol ataupun terminologi-terminologi yang sudah biasa digunakan dalam komunitas akademik yang bersangkutan, dalam pendekatan-pendekatan ataupun teori-teori yang berlaku di dalamnya. Tentu saja, penggunaan simbol atau terminologi itu bisa bervariasi sesuai dengan variasi pendekatan dan teori yang hidup dalam dunia akademik. Dalam hal ini perumusan masalah tidak dapat mencampuradukkan simbol atau terminologi yang berasal dari pendekatan atau teori yang satu dengan yang lain karena dapat menimbulkan makna yang mendua dan bahkan kontradiktif sesuai dengan hubungan antarpendekatan dan teori itu. Harus juga diwaspadai adanya terminologi yang sama yang digunakan oleh bidang ilmu yang berbeda sehinggga pengertiannya pun menjadi berbeda, misalnya istilah morfologi dalam biologi dan linguistik. Terhadap kasus yang demikian ilmuwan harus waspada dengan misalnya menempatkan terminologi itu dalam konteks yang khas atau memberikan penjelasan secara khusus.

Sekali lagi, dengan mengutip Neuman, Bagong Suyanto (Suyanto 2005: 28—31) mengemukakan beberapa ciri perumusan masalah atau yang disebutnya sebagai pertanyaan penelitian yang baik dan yang buruk sebagai berikut. Menurutnya, perumusan masalah yang buruk itu antara lain (a) mengacu kepada konsep yang operasional, (b) terlalu umum, (c) masih merupakan sekumpulan variabel, (d) masih samar-samar, (e) masih dapat dijabarkan lebih lanjut, sedangkan perumusan masalah yang baik antara lain adalah jelas, terfokus, terminologis, dan operasional.

3.3 Penyusunan Kerangka Konseptual atau Teoretik

Seperti sudah dikemukakan, masalah baru teridentifikasi bila masalah itu sudah dibingkai oleh konsep atau pengertian yang jelas. Menurut Wirawan 2005: 49--50, konsep merupakan pengertian yang menunjuk kepada objek-objek atau proses-proses empirik. Konsep itu dapat berupa hasil abstraksi dari pengalaman objektif mengenai objek-objek dan proses-proses empirik yang dianggap memilki kesamaan tertentu, dapat pula merupakan hasil penalaran ilmiah yang menunjuk kepada objek-objek dan proses-proses empirik hanya secara tidak langsung. Dengan demikian, seorang peneliti ilmiah benar-benar dikatakan mengerti terhadap masalah penelitiannya ketika ia sudah mempunyai konsep mengenai masalah itu secara sadar dan dapat menjelaskannya. Tanpa adanya pengertian atau konsep yang disadari, peneliti dapat dikatakan masih terserap dan tenggelam dalam objek-objek atau proses-proses yang menjadi masalahnya, belum mampu keluar darinya, belum mampu menyadarinya, belum reflektif. Masalah baru teridentifikasi jika si peneliti sudah mampu melakukan refleksi dan, dengan demikian, konseptualisasi.

Seorang ilmuwan yang mempunyai masalah dan akan berusaha menemukan penyelesaiannya tidak harus melakukan konseptualisasi secara langsung terhadap objek-objek dan proses-proses yang menjadi masalahnya itu. Sebagai ilmuwan ia berada dan hidup dalam jaringan kerja sama universal dengan ilmuwan-ilmuwan lain di seluruh dunia dalam rangka mencapai pengetahuan ilmiah sebagaimana yang sudah dikemukakan. Karena itu, dengan cadangan pengetahuan yang ia peroleh dari hasil-hasil penelitian yang terdahulu, dari pengetahuan ilmiah yang sudah ditemukan sebelumnya, ia dapat secara otomatis mengidentifikasi masalah yang dihadapinya dengan menempatkannya dalam kerangka konseptual yang sudah ada. Kerangka konseptual inilah yang disebut teori. Ramlan A. Surbakti (Surbakti 2005: 34) menjelaskan persoalan konsep dan teori yang demikian sebagai berikut.

“Apabila konsep merupakan pertanyaan what sehingga yang dilakukan dalam konseptualisasi tiada lain merupakan deskripsi realitas baik secara denotatif (keluasan) maupun secara konotatif (kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan why sehingga yang dilakukan dalam teorisasi ialah menjelaskan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu.

Teori merupakan separangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi seperti itu. Proposisi-proposisi yang dikandung dan membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Namun, karena di dalam teori juga terkandung konsep teoretis, berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi.”

Tentu saja teori tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu untuk konseptualisasi, melainkan juga alat bantu untuk menempatkan masalah yang terkait dalam kerangka konseptual tertentu yang sudah mengimplikasikan hubungan antara konsep yang satu dengan yang lain, objek dan proses tertentu dengan objek-objek dan proses-proses yang lain, fakta yang satu dengan fakta-fakta yang lain. Dengan kata lain, teori tidak hanya berfungsi untuk mendapatkan gambaran mengenai objek-objek dan proses-proses empirik secara spesifik, melainkan juga untuk menjelaskan hubungannya dengan objek-objek dan proses-proses empirik yang lain. Sehubungan dengan hal yang kemudian ini, Surbakti (2005: 36) mengidentifikasi adanya lima tipe penjelasan yang seringkali digunakan dalam penelitian, yaitu (a) penjelasan genetik atau historis yang menyangkut hubungan mengenai asal-usul dan perkembangan dari suatu masalah, (b) penjelasan fungsional yang berkaitan dengan fungsi masalah itu dalam keseluruhan sistem yang di dalamnya ia termasuk, (c) penjelasan disposisional yang menyangkut kecenderungan pendapat, sikap, perilaku seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu masalah, (d) penjelasan intensional yang menghubungkan masalah dengan maksud atau tujuan dari subjek yang terlibat, dan (e) penjelasan rasional yang mengembalikan masalah pada pertimbangan mengenai rasionalitas alasan subjek yang terlibat, mengenai alat dan cara pencapaian tujuan.

Ramlan A. Surbakti (2005: 34) mengatakan bahwa kegunaan teori dalam penelitian meliputi (a) menetapkan tujuan penelitian, (b) memberikan pola bagi interpretasi data, (c) menghubungkan satu studi dengan studi lainnya, (d) menyajikan kerangka sehingga konsep dan variabel menjadi penting, (e) memungkinkan dilakukannya interpretasi data yang lebih besar daripada temuan yang diperoleh dari suatu penelitian.

3.4 Perumusan Hipotesis dan Variabel

Dari, antara lain, pendapat Suriasumantri (1978:30) dan Wirawan (2005:45) dapat disimpulkan bahwa hipotesis pada dasarnya adalah kesimpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian. Seperti yang sudah dikemukakan, teori tidak hanya membantu peneliti dalam mengidentifikasi dan mengkonseptualisasi masalah, melainkan juga menempatkannya dalam kerangka konseptual tertentu yang mengimplikasikan hubungan antara masalah itu dengan objek-objek dan proses-proses yang lain. Dengan demikian, begitu sebuah masalah sudah teridentifikasi dan terkonseptualisasi dan ditempatkan dalam kerangka konseptual yang tidak lain adalah teori, peneliti

dengan segera dapat menduga kemungkinan penyelesaian terhadap masalah tersebut, jawaban terhadap pertanyaan yang diimplikasikannya.

Wirawan (2005:45-46) mengatakan bahwa hipotesis setidaknya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hipotesis nol dan hipotesis kerja. Hipotesis yang pertama adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain, khususnya fakta yang dianggap menjadi sebab dengan yang menjadi akibat, sedangkan hipotesis yang kedua menyatakan adanya hubungan antara kedua hal tersebut. Hipotesis kerja itu sendiri ia bedakan menjadi dua macam pula, yaitu hipotesis kerja yang terarah dengan yang tidak terarah. Hipotesis kerja yang pertama menunjukkan kesamaan dalam arah hubungan kausal antara fakta yang satu dengan yang lain, sedangkan yang kedua menunjukkan hubungan yang berkebalikan di antara kedua fakta yang bersangkutan.

Sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan, atas dasar teori yang digunakan, hipotesis merupakan pernyataan yang sekaligus mengandung konsep-konsep yang terdapat dalam perumusan masalah dan relasi antarkonsep tersebut. Apabila konsep-konsep itu “dapat mewujud ke dalam dua atau lebih kesatuan dari variasi (hitungan atau ukuran” atau dapat dikonversi menjadi demikian (Wirawan 2005:47), konsep-konsep itu dapat disebut sebagai variabel. Adapun relasi antarkonsep akan menentukan kedudukan masing-masing variabel itu, apakah termasuk variabel bebas ataukah variabel terikat, variabel berpengaruh ataukah dipengaruhi. Lebih jauh, Wirawan (2005:47—48) membagi variabel menjadi setidaknya dua jenis, yaitu variabel kuantitatif, yaitu variabel yang mengacu kepada fakta-fakta yang dapat dikuantifikasikan dan variabel kualitatif yang dapat dikategorikan, tetapi tidak dapat diangkakan.

3.5 Metode Penelitian

Untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoretik diperlukan data-data empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus dianalisis sehingga ditemukan hubungan antardata yang dianggap merepresentasikan hubungan antarfakta sebagaimana yang dinyatakan di dalam teori dan hipotesis. Menurut filsafat pengetahuan, seperti yang sudah dikemukakan, persoalan ini termasuk dalam persoalan cara memperoleh pengetahuan atau epistemologi yang dapat dihadapkan dengan teori sebagai serangkaian pernyataan mengenai “ada”-nya ke“ada”-nyataan yang menjadi permasalahan atau ontologi. Karena pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan adanya objek (Poedjawijatna 1982:16—17), cara

perolehan pengetahuan atau metode penelitian itu harus sesuai dengan kenyataan adanya objek yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang disebut sebagai kodrat keberadaan objek itu. Dan, sekali lagi, kenyataan adanya objek itu dinyatakan oleh konsep, teori, dan pengertian-pengertian yang terkandung di dalam hipotesis dan juga variabel-variabel yang ditentukan atas dasarnya.

Dengan demikian, sebelum data dikumpulkan dan dianalisis untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis yang sudah dibuat, harus ditentukan lebih dahulu kodrat keberadaan objek yang diteliti. Dalam hal ini yang pertama-tama harus dilakukan adalah menentukan objek

Dokumen terkait