• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURUSAN SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURUSAN SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Buku 2: RKPM

(Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 1

METODE PENELITIAN SASTRA

Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446

oleh

Prof. Dr. Faruk, S. U.

Didanai dengan Dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012

(2)

UNIVERSITAS GADJAH MADA Fakultas ILMU BUDAYA Jurusan SASTRA INDONESIA

Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Buku 2: RKPM

(Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan)

dan

Modul Pembelajaran

METODE PENELITIAN SASTRA

Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446

oleh

Prof. Dr. Faruk, S. U.

Didanai dengan Dana BOPTN P3-UGM

Tahun Anggaran 2012

(3)
(4)

Media Ajar Pertemuan ke Tujuan Ajar/ Keluaran/ Indikator Topik (pokok, subpokok bahasan, alokasi waktu) T ek s P resen tas i G am b ar A u di o /Vid eo S oa l-T ugas Metode Evaluasi dan Penilaian Metode Ajar Aktivitas Mahasiswa Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar Sumber Ajar 1 Memahami konsep-konsep kunci filsafat ilmu pengetahuan Ontologi, epistemologi, dan aksiologi Waktu: 100 menit 9 Tanya-jawab Daya simak Menyimak, diskusi, penjelasan Mencari pengertian mengenai berbagai pengertian dari konsep-konsep itu dan menyampaikannya di kelas Memperjelas dan menjernihkan pengertian-pengertian temuan mahasiswa Ilmu dalam Perspektif :

(5)

BAB I

PENGERTIAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI

1.1 PENDAHULUAN 1.1.1 Deskripsi Singkat

Bab ini berisi pengertian mengenai filsafat ilmu, pengertian pengetahuan menurut filsafat ilmu, pengertian mengenai ontology, epistemology, dan aksiologi.

1.1.2 Manfaat

Berbagai pengertian di atas sangat diperlukan oleh semua mahasiswa sebagai calon ilmuwan. Sebagai calon ilmuwan mereka harus mengerti apa pengertian yang fundamental atau hakiki dari ilmu pengetahuan itu. Dengan pemahaman yang demikian mereka dapat melaksanakan kegiatan ilmiah mereka melalui prosedur yang benar, dapat membuka diri terhadap berbagai kemungkinan pengetahuan ilmiah, dapat mengembangkan kemungkinan-kemungkinan baru dari ilmu pengetahuan itu, dan setidaknya dapat mengatasi berbagai kemungkinan masalah yang timbul, yang mungkin tidak dapat atau belum dapat diatasi oleh teori dan metode yang tersedia dalam bidang ilmu yang mereka geluti.

1.1.3 Relevansi

Filsafat ilmu sangat relevan bagi ilmu sastra yang hingga saat ini masih menghadapi masalah dalam penentuan dan perumusan dasar metodologisnya beserta seperangkat metode dan teknik penelitiannya.

(6)

1.1.4 Learning Outcomes

Mahasiswa dapat memperoleh pemahaman yang mantab mengenai konsep-konsep metodologis dalam ilmu pengetahuan, ilmu sastra, dan memperoleh ketrampilan dalam penerapannya pada aktivitas penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan sastra itu.

1.2 PENYAJIAN

Menurut filsafat ilmu pengetahuan, segala bentuk pengetahuan manusia pada dasarnya bersumber dan berkembang dari tiga pertanyaan dasar, yaitu “apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita” (Suriasumantri 1978:2). Filsafat yang membahas persoalan yang pertama disebut sebagai ontologi, yang kedua epistemologi, sedangkan yang ketiga aksiologi Suriasumantri 1978:4). Secara ontologis pengetahuan ilmiah dipahami sebagai pengetahuan mengenai segala aturan atau mekanisme yang memungkinkan adanya keadaaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik serta yang memungkinkan terjalinnya hubungan antara keadaan yang satu dengan yang lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa empirik yang lain. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah bukan sekedar reproduksi dari keadaan atau peristiwa empirik itu, melainkan pengetahuan mengenai hal-hal yang memungkinkannya, yang mungkin saja tidak dapat secara langsung tertangkap oleh indera manusia. Implikasi dari pengertian yang demikian pertama-tama dan terutama adalah bahwa objek pengetahuan ilmiah harus selalu berkaitan dengan keadaan dan peristiwa-peristiwa empirik. Atau, dengan kata lain, segala hal yang tidak terkait dengan keadaan atau peristiwa-peristiwa empirik bukan objek pengetahuan tersebut (Suriasumantri 1978: 5). Lebih jauh, sebagai konsekuensi lebih lanjut dari sifat objeknya tersebut, pengetahuan ilmiah membatasi objeknya dengan dasar asumsi-asumsi tertentu yang memungkinkan dicapainya pengetahuan di atas (Suriasumantri 1978:5—6).

Asumsi pertama merupakan pengandaian bahwa objek pengetahuan yang empirik itu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik berdasarkan bentuk, struktur, sifat, ataupun yang lainnya sehingga objek itu dapat diklasifikasikan untuk kemudian digeneralisasikan (Suriasumantri 1978:7) untuk, pada akhirnya, tentu saja ditemukan segala aturan atau mekanisme yang bersifat umum yang memungkinkan adanya dan terjadinya keadaan-keadaan atau peristiwa-peristiwa empirik yang bersifat khusus. Asumsi kedua berisi anggapan bahwa objek tersebut tidak mengalami perubahan dalam waktu yang relatif lama, terutama yang menyangkut sifat-sifat dasarnya

(7)

(Suriasumantri 1978:7—8). Hanya dengan karakter objek yang demikian ilmu pengetahuan dapat membawa ilmuwannya kepada pengetahuan mengenai apa yang ada di balik keadaan dan peristiwa empirik yang tampaknya sangat bervariasi dan berubah-ubah. Menurut Suriasumantri (1978:8) determinasi merupakan asumsi yang ketiga. Dalam asumsi ini diandaikan bahwa semua gejala tidak muncul atau terjadi secara kebetulan, melainkan mempunyai pola-pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Karakter objek yang demikian memungkinkan ilmuwan menyandarkan diri pada pengetahuan yang terdahulu untuk mencapai tingkat generalisasi yang lebih tinggi dan sekaligus memungkinkannya untuk meramalkan kemungkinan adanya keadaan-keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa yang baru.

Sebagai ilustrasi dapat dilihat ilmu bahasa modern yang disebut linguistik sebagaimana yang antara lain dikemukakan Ferdinand de Saussure (Saussure 1988:73—101). Yang menjadi objek ilmu bahasa adalah kaidah bahasa yang disebut langue. Kaidah ini tidak teraindera, tetapi merupakan aturan atau mekanisme yang memungkinkan adanya fakta-fakta kebahasaan yang empirik, peristiwa-peristiwa bahasa yang konkret yang disebut parole. Dengan demikian, meskipun merupakan sesuatu yang tidak bisa ditangkap secara inderawi, langue tetap merupakan objek ilmu pengetahuan yang sah karena ia terkait dengan parole yang bersifat empirik. Sebagai sebuah kaidah bahasa, langue itulah yang memungkinkan terjadinya korelasi antara penanda dengan petanda dalam tanda kebahasaan, terbentuknya relasi sintagmatik dan paradigmatik antara tanda kebahasaan yang satu dengan tanda kebahasaan yang lain. Lebih jauh, fenomena kebahasaan, misalnya gejala fonemik, memperlihatkan keserupaan satu dengan yang lainnya sehingga, misalnya, dimungkinkan untuk membangun klasifikasi fonem, misalnya yang konsonan dengan yang vokal. Selanjutnya, berbeda dari parole yang bervariasi secara tidak terbatas, yang terus berubah dari satu tuturan ke tuturan yang lain, langue tidak mengalami perubahan dalam waktu yang relatif lama. Tentu saja langue bekerja dengan mekanisme tertentu yang membuat peristiwa-peristiwa bahasa berlangsung dengan pola tertentu, dengan urutan yang sama dari waktu ke waktu. Misalnya, kaidah bahasa Indonesia membuat penutur bahasa tidak dapat menempatkan objek di depan predikat, membuat tuturan yang melanggar pola urutan itu menjadi tidak bermakna secara sosial.

Pengetahuan ilmiah yang objeknya berupa aturan atau mekanisme yang abstrak, yang tidak dapat diindera itu sebenarnya hanya alat untuk menjawab berbagai persoalan empirik yang konkret, usaha untuk menjelaskan kemungkinan-kemungkinan faktor yang menyebabkan adanya keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik. Dalam kasus linguistik di atas, sebagaimana yang dikemukakan oleh Saussure dalam bagian buku yang sudah dikemukakan, pengetahuan kaidah bahasa itu pun merupakan pengetahuan yang memungkinkan diperolehnya penjelasan terhadap

(8)

ketakjuban ilmuwan mengenai, misalnya, kemampuan bahasa, bunyi-bunyi artikulatif, dalam terjadinya komunikasi di antara anggota dari suatu kelompok sosial tertentu dan kegagalan komunikasi antara anggota satu kelompok sosial tertentu dengan anggota dari kelompok sosial yang lain yang menggunakan kaidah bahasa yang berbeda. Dengan kata lain, objek pengetahuan ilmiah yang abstrak itu haruslah berangkat dari dan sekaligus mengacu kepada keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa empirik yang konkret. Hakikat objek yang demikianlah yang pada gilirannya menentukan dasar epistemologi ilmu pengetahuan. Karena, di dalam filsafat pengetahuan, pengetahuan, sebagai keputusan pikiran mengenai suatu objek, dapat dikatakan benar hanya jika pengetahuan itu sesuai dengan objeknya.

Suriasumantri (1978:11—12) mengatakan bahwa metode keilmuan adalah dialektika antara empirisme dengan rasionalisme yang sebelumnya cenderung dipertentangkan. Yang pertama menganggap bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman, sedangkan yang kedua mendasarkan pengetahuan yang benar pada pemikiran yang rasional dan logis. Apabila pengetahuan hanya didasarkan pada pengalaman, ilmuwan akan berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia pengalaman tidak berbicara untuk dirinya sendiri. Segala gejala yang dialami hanya mempunyai arti ketika manusia memberinya arti. Sebaliknya, jika pengetahuan hanya didasarkan pada pikiran, dilepaskan dari dunia pengalaman, pengetahuan itu akan menjadi subjektif, tak ada sandaran bagi kebenarannya. Dengan demikian, pengetahuan ilmiah baru menjadi pengetahuan yang benar apabila keduanya digunakan dalam hubungan yang saling mendukung. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedangkan empirisme memberikan kerangka pengujian untuk memastikan kebenaran dari pengetahuan itu. Selain itu, rasionalisme menjadi niscaya karena pengetahuan ilmiah harus didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan yang terdahulu dalam rangka menemukan kebenaran yang semakin universal. Dengan kata lain, kata Suriasumantri, rasionalisme itu sebenarnya cara pencapaian kebenaran pengetahuan atas dasar teori yang sudah ada sebelumnya, yang menjadi dasar bagi penentuan dugaan atau hipotesis mengenai objek yang ingin diketahui dengan segala seluk-beluknya. Hipotesis inilah yang kemudian diuji secara empirik. Menurut Suriasumantri, pemikiran teoretis itu bersifat deduktif, sedangkan pengujiannya ke dalam dunia pengalaman bersifat induktif.

(9)

1.2.1 Aktivitas

• 2—3 mahasiswa diminta mengemukakan pemahamannya mengenai konsep-konsep di atas dengan antara lain menerapkannya pada contoh-contoh yang konkret.

• Mahasiswa mendiskusikan hasil pemahaman masing-masing dengan mengajukan argumentasinya sendiri-sendiri.

• Dosen memberikan penjelasan lebih jauh mengenai pengertian itu dan memberikan pengayaan melalui penerapannya ke dalam kasus-kasus yang beraneka.

1.2.2 Tanya-Jawab

• Tugas dan/atau Latihan

Mahasiswa diberi tugas mencari sumber-sumber lain untuk memperoleh pemahaman yang lebih meyakinkan mengenai konsep-konsep di atas, baik melalui buku-buku, artikel-artikel di jurnal atau surat kabar, maupun berbagai informasi terkait yang tersedia di internet.

• Rangkuman

Pengetahuan adalah keputusan pikiran mengenai suatu objek. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan objeknya. Pembahasan mengenai objek pengetahuan disebut ontology, pembahasan mengenai cara perolehan pengetahuan yang sesuai dengan objeknya adalah epistemology. Aksiologi adalah cara penggunaan pengetahuan ilmiah dalam hubungannya dengan moralitas dan kemanusiaan.

1.3 PENUTUP 1.3.1 Penilaian

• Kuliah ini dikatakan berhasil jika mahasiswa berhasil jika ia memahami konsep-konsep dalam metode penelitian sastra dan mampu menerapkannya di dalam penelitian sastra. • Aspek-aspek yang dinilai adalah pemahaman dan ketrampilan.

(10)

1.3.2 Tindak Lanjut

• Jika mahasiswa masih kurang memahami atau kurang mampu menerapkan konsep-konsep metode penelitian dalam ilmu sastra, ia akan diminta mengulang kuliah pada tahun ajaran berikutnya atau dianjurkan untuk banyak melakukan latihan pemahaman dan penelitian. • Jika mahasiswa sudah mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam metode

penelitian sastra, ia akan direkomendasikan untuk memperoleh dana penelitian dan didorong untuk segera menyusun proposal penelitian untuk skripsinya.

1.4 Evaluasi Yang Direncanakan

Indikator Keberhasilan Butir Kemampuan

Butir Penilaian Poin Maksimal Pemahaman

Kesesuaian teori dengan metode Menyusun metode

penelitian mengenai karya sastra tertentu Operasionalisasi konsep 100 1.5 Matrix Penilaian Ranah Kognitif No. Materi/isi C1 C2 C3 C4 C5 C6 Ranah Afektif Ranah Psikomo torik Metode Penilaian Tujuan Khusus Pembel ajaran 1. Dasar ontologis dan epistemologi s ilmu sastra 1 1 X A 2. Kesesuaian teori dengan metode 1 1 X A/I/P Tugas, mid semester D1

(11)

3. Langkah-langkah penelitian sastra 1 1 1 X A/I/P Mid Semester D1 Keterangan:

Pengetahuan = keputusan pikiran mengenai objek

Pengetahuan yang benar = pengetahuan yang sesuai dengan abjeknya

Pengetahuan ilmiah = pengetahuan yang dicapai melalui prosedur yang sesuai dengan objek pengetahuan ilmiah

Ontologi = filsafat yang mengkaji kodrat atau hakikat dari keberadaan objek Epistemologi = filsafat yang mengkaji cara-cara perolehan pengetahuan yang sesuai

dengan objeknya

Konsep = Pengertian yang mengacu kepada benda-benda dan proses-proses dalam kenyataan

Teori = Serangkaian konsep yang terjalin dalam hubungan satu sama lain, baik hubungan kausal maupun simbolik

Hipotesis = Dugaan yang didasarkan pada teori dan yang harus dibuktikan kebenarannya mengenai kemungkinan hasil penelitian

Analisis = Kegiatan mengklasifikasikan dan mencari hubungan antara data atau kelompok data yang satu dengan yang lain.

(12)

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN SASTRA INDONESIA

Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281

(Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan)

Didanai dengan Dana BOPTN P3-UGM Modul Pembelajaran Pertemuan ke 2

METODE PENELITIAN SASTRA

Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446

Tahun Anggaran 2012 Prof. Dr. Faruk, S.U.

Buku 2: RKPM

Desember 2012 oleh

(13)

Media Ajar Pertemuan ke Tujuan Ajar/ Keluaran/ Indikator Topik (pokok, subpokok bahasan, alokasi waktu) T ek s P resen tas i G am b ar A u di o /Vid eo S oa l-T ugas Metode Evaluasi dan Penilaian Metode Ajar Aktivitas Mahasiswa Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar Sumber Ajar 2 Memahami dasar ontologis dan epistemologis ilmu sastra Dasar ontologis dan epistemologis ilmu sastra 9 Tanya-jawab Daya simak Membaca, diskusi, menjelask an

Membaca buku yang terkait, mendengarkan, bertanya Menjelaskan dengan argumentasi dan contoh-contoh Sastra dan Ilmu Sastra

(14)

BAB II

DASAR ONTOLOGIS DAN EPISTEMOLOGIS ILMU SASTRA

2.1 Pendahuluan

Karya sastra adalah objek manusiawi, fakta kemanusiaan, atau fakta kultural, sebab merupakan hasil ciptaan manusia. Meskipun demikian, karya itu mempunyai eksistensi yang khas yang membedakannya dari fakta kemanusiaan lainnya seperti sistem sosial dan sistem ekonomi dan yang menyamakannya dengan sistem seni rupa, seni suara, dan sebagainya. Kalau sistem lainnya seringkali dianggap sebagai satuan yang dibangun oleh hubungan antar tindakan, karya sastra merupakan satuan yang dibangun atas hubungan antara tanda dan makna, antara ekspresi dengan pikiran, antara aspek luar dengan aspek dalam. Dalam pengertian serupa itu, Mukarovsky (1978:82—88) menyebut karya sastra khususnya dan karya seni umumnya sebagai fakta semiotik.

Kondisi keteradaan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan yang bersifat semiotik itu amat perlu diperhatikan. Sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra merupakan ekspresi dari kebutuhan tertentu manusia, sedangkan sebagai fakta semiotik karya itu mempunyai suatu ciri yang khas yang perlu diketahui.

2.2 Karya Sastra sebagai Fakta Semiotik

Sebagai fakta semiotik, karya sastra mempunyai eksistensi ganda, yakni sekaligus berada dalam dunia inderawi (empirik) dan dunia kesadaran (conciouness) yang nonempirik. Aspek keheradaannya yang pertama dapat ditangkap oleh indera manusia, sedangkan aspek keberadaannya yang kedua tidak dapat dialami oleh indera.

2.2.1 Aspek Empirik Karya Sastra

Karya sastra dilihat atau didengar lewat aspek tulisan atau bunyinya. Aspek bunyi dan tulisan itulah yang menjadi aspek empirik karya sastra, yang menjadi aspek yang dapat dialami indera manusia. Sebagai sesuatu yang empirik, aspek tulisan atau bunyi merupakan aspek yang

(15)

paling pasti dari karya sastra. Tulisan atau bunyi itu tidak berubah dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat diuji oleh orang lain pada kesempatan tertentu yang lain. Aspek tersebut mempunyai pola tertentu yang relatif dapat diramalkan dan diklarifikasi.

Tulisan adalah simbol bunyi. Bunyi itu sendiri didengar sebagai suatu arus bunyi yang berangkai dan berkesinambungan (continuem). Kenyataan itu akan dapat diketahui dengan amat jelas apabila orang mendengarkan bahasa asing yang tidak diketahuinya sama sekali. Sebagai contoh dapat dilihat kutipan berikut.

“sepisaulukasepisaudurisepikuldosasepukausepisepisaudukaserisaudirisepisausepisepisauny anyisepisaupasepisau”

Bagi orang asing puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul "Sepisaupi' itu tidak lain dari pada rentetan bunyi yang hampir tidak terputus-putus, Pada pertengahan baris pertama yang berulang adalah sepisau, sehingga ia cenderung rnengelompokkan bagian tuturan itu sebagai satu jenis tertentu . Akan tetapi, pada pertengahan kedua baris itu terdapat dua kali bunyi sepi yang tanpa sau , sehingga ia dapat menduga, bahwa sau pad sepisau dapat dilepaskan. Mungkin sau diaanggap sebagai bagian dari sauluka.

Demikianlah perilaku aspek empirik karya sastra. Dengan mengamati perulangan-perulangan, kombinasi-kombinasi bunyi sastra yang didengarnya, orang mungkin dapat membuat klasifikasi dan meramalkan perilaku bunyi-bunyi itu. Usaha semacam itu dapat dikatakan sahih bagi teori ilmu, tetapi tidak dapat dikatakan benar dan berhasil mendekati objeknya (objektif). Karya sastra tidak hanya mempunyai aspek tanda, melainkan juga mempunyai aspek makna. Aspek makna itu tidak akan dapat dipahami hanya dengan metode empirik. Dalam banyak ha1 aspek makna itu justru menentukan perilaku aspek empirik di atas.

2.2.2 Aspek Nonempirik Karya Sastra

Seperti telah dikemukakan, aspek nonempirik karya sastra adalah makna. Pada umumnya yang dipandang sebagai lokus makna adalah kesadaran (consciousness) manusia. Meskipun demikian, karena tidak dapat atau sukar didekati, terdapat berbagai macam pendapat mengenai sifat kesadaran itu. Ada yang menganggapnya terletak dalam kesadaran individu (pengarang) dan ada pula yang menganggapnya terletak dalam kesadaran kolektif. Pandangan mengenai kesadaran kolektif pun ternyata juga bermacam-macam. Ada yang memandangnya terletak dalam kesadaran

(16)

kolektif kebahasaan, di dalam kesadaran kolektif kebudayaan, dan ada pula yang memandangnya terdapat dalam kesadaran kolektif kesastraan.

2.2.2.1 Kesadaran Individual

Kecenderungan menempatkan makna pada kesadaran individual merupakan kecenderungan yang tidak terelakkan sebab hanya individu (pengarang) lah yang berhubungan langsung dengan karyanya (cf. Mukarovsky dalam Steiner, 1978:xxxviii). Filsafat Husserl, Schleiermacher, dan teori Hirsch, menunjukkan ha1 itu.

Husserl (Seung, 1982:18—25; Drijarkara S.J. 1981:126—128) membagi tanda-tanda linguistik menjadi dua kelas, yaitu indikasi dan ekspresi. Tanda indikatif mengindikssikan obiek tertentu yang ada dalam kenyataan, sedangkan tanda ekspresif mengekspresikan makna yang ada dalam pikiran, yang merupakan esensi dari objek. Objek bersifat tidak tertentu (indeterminate) sebab selalu terikat pada sudut pandang tertentu dari yang memperhatikannya, sedangkan makna bersifat abadi, tidak terikat oleh waktu, dan tetap.

Kalau objek dapat diketahui, makna tidak dapat diketahui. Ekspresi makna, misalnya melalui bahasa, tidak identik dengan makna i t u sendiri sebab hubungan antara makna itu dengan tanda ekspresinya bersifat arbitrer. Dua orang yang berbeda mempunyai makna yang sama dalam pikirannya. Akan tetapi, tanda ekspresi yang mereka gunakan untuk mengekspresikan makna itu berbeda.

Uraian tersebut menunjukkan, bahwa Husserl menolak sepenuhnya peranan bahasa umum, sebagai alat ekspresi, sebagai jalan ke arah makna. Hal itulah yang membedakannya dari Schleiermacher. Schleiermacher (Seung, 1982:25—28) memang juga mengakui, bahwa makna merupakan wilayah pribadi (private domain) pengarang (CF. Kayam, 1982:93). Akan tetapi, ia beranggapan, bahwa bahasa dapat mengantarkan orang ke arah makna meskipun tidak sepenuhnya.

Hirsch (1979:l—23) memulai teorinya dengan sebuah pembelaan terhadap eksistensi pengarang. Untuk mempertahankan eksistensi kesadaran pengarang sebagai wilayah makna, ia pertama-tama mengeritik teori otonomi semantik yang cenderung menyingkirkan pengarang dalam pemahaman makna. Menurut Hirsch (1979:4), makna adalah urusan kesadaran, bukan urusan kata-kata . Di bawah konvensi-konvensi bahasa, hampir semua urutan kata-kata- kata-kata mengandung lebih dar i satu kompleks makna. Kalau kritikus mengatakan bahwa ia ingin mendengarkan teks sastra sendiri

(17)

yang berbicara, kritikus itu berbohong, kata Klirsch. Menurutnya, kalau pengarang disingkirkan, kritikuslah yang akhirnya meniadi determinan makna (Hirsch, 1979:3).

Setelah membela eksistensi pengarang dari anggapan, bahwa makna karya sastra itu berubah bahkan bagi pengarangnya, bahwa makna pengarang itu tidak dapat didekati, Hirsch (1979:46) akhirnya memutuskan, bahwa penentuan makna karya sastra membutuhkan tindakan kehendak (act of will). Kehendak itu bukan lain daripada kehendak dari pengarang karya sastra itu sendiri.

2.2.2.2 Kesadaran Kolektif

Dilthey (Seung, 1982:47) mengatakan, bahwa identifikasi makna dengan wilayah kesadaran individual merupakan suatu kesalahan. Makna, menurutnya, terletak dalam pikiran objektif (objective mind) yang merupakan suatu sistem konvensi yang lewatnya anggota-anggota masyarakat berinteraksi (Seung. 1982:45). Dengan selalu diinisiasi dan dididik dalam pikiran objektif yang sama, anggota-anggota masyarakat dapat berfikir dan merasa, melakukan aksi dan reaksi, lewat suatu perangkat konvensi yang sama. Dengan demikian, menurut Dilthey (Seung, 1982:46), makna dan intensi-intensi yang ada dalam kesadaran individu-individu terbagi (shared) dan komunikatif. Pikiran objektif bukan hanya medium ekspresi dan komunikasi, melainkan juga matriks bagi pembentukan makna dan intensi-intensi tersebut.

Pikiran objektif itu mengandung unsur-unsur yang cukup banyak, misalnya bahasa, adat-istiadat, kebiasaan, setiap jenis bentuk kehidupan atau gaya kehidupan, dan juga keluarga, masyarakat, negara, serta hukum. Pendek kata, seluruh aspek kehidupan masyarakat tertentu pada waktu tertentu termasuk dalam pikiran objektif itu. Sebab itu, filsafat Dilthey disebut sebagai filsafat kehidupan (Bertens, 1981:88).

2.2.2.3 Kesadaran Kolektif Kebahasaan

Schleiermacher (Seung, 1982:25—26) mengatakan, bahwa hubungan antara tanda dengan makna itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hubungan dari makna ke tanda dan dari tanda ke makna. Hubungan pertama disebut ekspresif, sedangkan yang kedua interpretatif. Oleh karena itu, ia beranggapan bahwa interpretasi makna harus dilakukan dengan dua tahap. Pertama taham ekspresi, yakni dengan memahami bahasa teks, sedangkan tahap kedua pemahaman terhadap makna dengan melampaui medium bahasa yang umum.

(18)

Pendapat serupa itu dikemukakan pula oleh Barthes (Hawkes, 1978:131) dan Lotman (1977:9), dan banyak lagi yang lainnya. Barthes menyebut karya sastra sebagai second-order semiotic system yang ditumpangkan pada primery semiotic system yang berupa bahasa. Menurutnya, satuan tanda dan makna dalam sistem semiotik tingkat pertama hanya menjadi tanda dalam sistem semiotik tingkat kedua itu. Lotman menyebut karya sastra sebagai secondary modeling system yang dibangun atas dasar model bahasa. Wallek dan Waren (1968:22) menyebut bahasa sebagai materi karya sastra seperti warna bagi lukisan, kayu atau benda keras lainnya bagi patung.

Penempatan sub-aspek kebahasaan ini ke dalam wilayah aspek nonempirik atau kesadaran pastilah memancing perdebatan dan tantangan. Ahli bahasa strukturalis selalu cenderung menempatkan bahasa ke dalam wilayah empirik. Saussure (Culler 1983:98), umpamanya, mengatakan bahwa di dalam sistem bahasa yang ada hanya perbedaan-perbedaan, bukan substansi. Kata babi, misalnya, mempunyai eksistensi karena berbeda dari kata bayi, bali, nabi, atau babu. Dengan mendasarkan pada teori itu, bahasa tentunya tidak mempunyai urusan dengan masalah konsep atau petanda (signified) atau makna. Di dalam teori Saussure masalah makna yang disebutnya sebagai konsep atau petanda ternyata tidak diabaikan. Menurutnya, tanda merupakan sarana untuk mencapai makna. Dengan teori yang kemudian itu, Saussure, kata Derrida (Culler 1983:98), telah mendekonstruksi teorinya sendiri. Dengan istilah yang lebih tepat, wacana Saussure telah mendekonstruksi dirinya sendiri.

Meskipun dengan dekonstruksionismenya Derrida menolak eksistensi makna, persoalan makna bahasa tetap menjadi perhatian manusia. Di dalam sistem bahasa, makna tetap memegang peranan yang penting. Penentuan varian dan invarian dari sebuah fonem, misalnya, harus didasarkan pada makna. Bunyi t dan th dalam rangkaian bunyi batu dan bathu dapat dikatakan berbeda. Akan tetapi perbedaan antara keduanya tidak bersistem, bukan perbedaan linguistik. Sebab makna kedua rangkaian bunyi yang mengandungnya tidak berbeda. Makna yang menjadi penentu itu sendiri hanya terdapat dalam pikiran manusia, baik yang terbagi (shared) maupun yang individual.

Selain itu, pada tingkat kalimat misalnya, bahasa juga mengenal sistem urutan yang menentukan komunikatif atau tidaknya sebuah tuturan. Akan tetapi, hal itu tidak terutama ditentukan oleh aspek bunyi yang menjadi aspek empiriknya. Bunyi yang tanpa makna dapat diurutkan dengan cara apapun. Oleh karena itu, pola urutan itu sesungguhnya lebih bersangkut-paut dengan pola urutan makna daripada pola urutan bunyi.

(19)

2.2.2.4 Kesadaran Kolektif Kebudayaan

Yang dimaksud dengan kebudayaan dalam tulisan ini adalah sistem semiotik yang di luar sistem semiotik bahasa dan sastra . Hal itu dapat berkaitan dengan pola perilaku tertentu, bentuk-bentuk tertentu, dan sebagainya. Sebagai sebuah sistem semiotik, kebudayaan itu dipandang mempunyai aspek ekspresi yang fisik dan aspek makna.

Para ahli sastra yang mengakui eksistensi kebudayaan sebagai salah satu lokus makna antara lain adalah Barthes (1975:20), Culler (1977:140—1451) dan Teeuw (1983:13). Kode penanda-penanda (semes) dari Roland Barthes (1975:119) dapat pula dimasukkan ke dalam aspek kebudayaan ini. Barthes (1975:20) menyebutkan bahwa kode kultural adalah acuan-acuan kepada suatu ilmu atau suatu tubuh pengetahuan tertentu seperti fisika, psikologis, medis, dan historis. Sebagai sebuah kesadaran kolektif, di dalam buku ini tubuh pengetahuan itu harus dianggap sebagai sesuatu yang sudah terbagi di kalangan masyarakat. Sebagai misal, makna marah pada wajah merah dan tangan terkepal, makna gelisah pada perilaku orang yang berjalan mondar-mandir, dan sebagainya.

Teeuw (1983:13-14) memandang kode budaya sebagai tempat spesifikasi makna. Dengan mengutip satu hagian kecil dari Wedhatama karya Seri Mangkunegoro IV, ia menunjukkan bahwa makna yang terdapat dalam kesadarann kolektif kebahasaan yang general saja tidak dapat dikatakan sebagai rnakna yang tepat dari sebuah karya sastra. Menurut Teeuw, konsep-konsep ngelmuluhung, pendidikan, dan sebagainya, yang terdapat dalam kebudayaan Jawa tradisional perlu diketahui untuk memahami makna bagian Wedhatama yang dikutipnya itu.

Culler (1977:140) mengemukakan adanya lima vraisemblance atau lima cara yang dengannya sebuah teks sastra dapat dihubungkan dengan teks lain yang dapat membuat teks sastra itu bermakna. Di antara kelima vraisemblance itu, yang pertama dan kedua dapat dianggap sebagai kesadaran kolektif kultural. Yang pertama, teks yang secara sosial sudah ada, yang dianggap sebagai “dunia nyata”. Yang kedua, teks kultural general yang definisinya serupa dengan definisi Barthes di atas.

Yang pertama itu merupakan konsep kultural mengenai “yang nyata". Pandangan manusia itu mempunyai tubuh dan pikiran, kejahatan pasti kalah oleh kebaikan, wanita makhluk yang lemah, dan sebagainya, merupakan contoh dari konsep "yang nyata" itu. Yang kedua sama persis denpan kode kultural Barthes sebab Culler mengambilnya dari tokoh itu. Kesadaran Kolektif Kesastraan Barthes (1975:19). Culler (1977:140), dan Teeuw (1983:14) tidak hanya mengakui eksistensi

(20)

kesadaran koleMif kebudayaan, melainkan juga kesastraan. Kode-kode Barthes yang dapat dimasukkan ke dalam kesadaran kolektif kesastraan adalah kode hermeneutik dan simbolik. Yang pertama berkaitan dengan pembentukan enigma (pertanyaan-pertanyaan), pensugestiannya, perumusannya, penundaan pemecahannya, dan pemecahannya. Seluruh tahap itu akan membentuk makna tersendiri pada karya sastra yang bersangkutan. Yang kedua, berkaitan denpan masalah kesatuan dalam kompleksitas. Pada kesadaran itu bertempat multivalensi dan reversibilitas makna yang dibentuk oleh berbagai sudut pandang. Pandangan Lotman (1977:66) tentang simultanitas sistem hubungan dalam karya sastra serupa dengan pendapat Barthes yang terakhir itu. Vraisemblans-vreisemblans Culler yang termasuk dalam kesadaran kolektif kesastraaan adalah yang keempat. Yang ketiga adalah konvensi genre, sedangkan yang keempat sikap natural terhadap yang ketiga itu. Yang kelima adalah intertekstualitas, yaitu adanya teks tertentu yang menjadi dasar dari teks tertentu yang lain.

Seperti halnya Culler, Teeuw (1983:20) juga mengakui eksistensi genre dalam karya sastra. Selain itu, ia juga mengemukakan lima hal lain yang berperan dalam signifikansi karya sastra, yaitu prinsip koherensi, prinsip otonomi dunia sastra, dan prinsip kebenaran universal. Selain ketiga tokoh itu, terdapat pula seorang tokoh lain yang mengakui eksistensi kesadaran kesastraan dalam karya sastra. Tokoh itu adalah Hirsch dengan teori genre intrinsiknya. Menurut Hirsch (1979:80— 811), genre intrinsik adalah sistem harapan-harapan yang sama, konsepsi generik yang terbagi, yang membentuk makna dan pemahaman karya sastra. Genre intrinsik itu oleh Hirsch dianggap sebagai sesuatu yang terbagi (shared) antara pengarang dan pembaca, merupakan suatu tipe makna. Contohnya adalah genre puisi mistik Islam, mistik Jawa, dan sebagainya. Dengan genre itu orang dapat membangun suatu probebilitas makna karya sastra yang dihadapinya. Tingkat generalitas yang digunakan untuk pemahaman itu berangsur-angsur semakin menciut sehingga akhirnya sampai pada batas yang memungkinkan peneliti meramal dengan tepat unsur-unsur karya sastra yang belum tercapai oleh jangkauan pembacaannya.

Semua uraian di atas menuniukkan, bahwa karya sastra msmpunyai aspek material/empirik dan nonempirik. Aspek nonempirik karya sastra itu terdiri dari kesadaran individual dan kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif itu sendiri dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kesadaran kebahasaan, kebudayaan, dan kesastraan. Berdasarkan tingkat generalitasnya, aspek-aspek karya sastra itu dapat disusun dalam bentuk diagram berikut.

(21)

Bagan Objek Ilmu Sastra Aspek Sifat Tingkat Generalitas Tingkat Keterjangkauan

Empirik Objektif, Universal pasti karena dapat dijangkau oleh indera manusia yang normal

Bahasa Intersubjektif hampir pasti, tersebar luas, melembaga

Budaya Intersubjektif agak pasti, cukup tersebar, melembaga

Sastra Intersubjektif kurang pasti, kurang tersebar, terlembaga

Non- Empirik

Individu Subjektif tidak pasti, tidak tersebar, tidak terlembaga

Aspek empirik mempunyai tingkat generalitas yang tertinggi sebab bersifat objektif sehingga dapat diuji oleh semua orang tanpa mempedulikan latar belakang sosial, budaya, dan pengetahuannya. Di bawah aspek empirik itu tersusun berturut-turut bahasa, budaya, dan sastra. Aspek itu mempunyai tinpkat generalitas yanp lebih rendah sebab bersifat intersubjektif. Bahasa, budaya, dan sastra, bersifat terbatas sebab tidak tersebar dan hanya dapat ditanyakan pada subjek-subjek yanq berbagi (sharing) konvensi yang sama, yang tidak berbagi konvensi yane sama tidak dapat dijadikan sumber informasi atau pengetahuan. Tingkat generalitas bahasa dianggap lebih tinggi daripada tingkat generalitas budaya dan sastra karena mempunyai tingkat kelembagaan yang tertinggi. Bahasa dipelajari oleh masyarakat sejak usia yang masih muda dan dipergunakan dalam hampir segala kesempatan. Budaya dianggap lebih tinggi daripada sastra karena dipelajari lebih dini dan dipergnakan lebih sering daripada sastra. Budaya juga mempunyai tingkat penyebaran yang lebih tinggi daripada sastra. Masyarakat bangsawan Jawa, umpamanya, mempunyai tradisi sastra yang berbeda daripada masyarakat yang lain.

Di dalam kenyataan pikiran manusia unsur-unsur kesadaran di atas bukan merupakan kategori yanp berdiri sendiri-sendiri dan saling terpisah, melainkan saling berhubungan dan mungkin berbaur satu sama lain. Scholes (1977:10) cenderung melihat unsur-unsur kesadaran itu

(22)

herhubungan satu sama lain secara hierarkis. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa pemahaman karya sastra dapat dilakukan secara bertahap. Tahap pertama pemahaman struktur karya sastra. Tahap kedua pemahaman karya sastra dengan memasukkan struktur yang telah ditemukan dalam tahap pertama itu ke dalam struktur yang lebih besar, yaitu sistem sastra. Tahap ketiga dilakukan dengan memasukkan sistem sastra ke dalarn sistem yang lebih besar yakni sistem kultural. Pendapat serupa itu tampaknya diyakini pula oleh Teeuw (1983:61) seperti yang terlihat dalam eseinya yang berjudul "Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra”.

Unsur-unsur itu mungkin memang bersifat kategorial, artinya dapat berupa satuan-satuan yang berdiri sendiri. Akan tetapi, sebagai fakta mental, unsur-unsur itu mungkin pula berhubungan satu sama lain secara subversif ataupun ekspansif. Unsur yang satu menembus ke dalam unsur yang lain sehingga merusak unsur yang ditembusi itu. Kecenderungan tersebut tmpak dengan jelas dalam berbagai karya sastra. Di dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, Riffaterre (1978:2) mengemukakan konsep ungrammaticalities sebagai salah satu ciri puisi. Menurutnya, di dalam puisi terjadi penyimpangan dari tatabahasa umum. Hal itu disebabkan oleh adanya konvensi sastra untuk melakukan perusakan (distorting) pergantian (displacing), dan penciptaan (creating) makna yang berbeda dari yang diberikan oleh tatabahasa. Sebagai contoh dapat dilihat kutipan berikut.

SAULINA Bulan menebar Petikan gitarr

Saulina tinggalkan kampung Di jalan gunung

Saulina

Gadis remaja puteri Di darahnya hidup Serta bulan redup ...

( Siturnorang 1982 : 14)

Baris “Di Jalan Gunung” pada bait pertama dan serta bulan redup pada bait kedua menampilkan penyimpangan dari tata bahasa Indonesia yang umum. Di jalan gunung menampilkan distorsi makna sebab jalan gunung dapat berarti nama jalan dan dapat berarti sifat jalan (jalan bergunung). Kata depan di merupakan kata depan yang tidak jelas hubungannya dengan baris sebelumnya. Kata tinggalkan pada baris-pertama lazimnya menuntut kata depan -ke atau -lewat.

Karena unsur-unsur kesadaran merupakan fakta mental, fakta empirik, sukar ditentukan unsur mana sesungguhnya yang melakukan ekspansi ke dalam unsur bahasa itu . Dari beberapa kasus, yang agak dapat ditentukan adalah ekspansi unsur kultural. Hal tersebut dapat dilihat, misalnya, dari kecendemngan beberapa karya sastra Indonesia yang mempertahankan

(23)

kosakata-kosaksta daerah tertentu. Umar Kayam di antaranya mempertahankan kata -kelon, manten, dan lain-lain. Kata lega lila dipertahankan Linus Suryadi A.G. dalam Pengakuan Parivem.

Selain dalam lingkup aspek kesadaran, di dalam dunia sastra terdapat pula hubungan ekspansif dan subversif antara aspek empirik dan nonempirik. Karena ingin menekankan aspek empirik kata, Sutardji Calzoum Bachri (1981:13--14) berusaha mengabaikan makna kata itu. Kecenderungan serupa terjadi pula di Perancis seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1968: 1).

2.3 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan

Di dalam 3.1 yang diuraikan adalah karya sastra sebagai fakta semiotik. Sebagai fakta semiotik, karya sastra hanya dipandang sebagai sebuah sistem tanda yang membangun makna. Adapun lokus makna mungkin terdapat dalam kesadaran kebahasaan, kebudayaan, kesastraan, dan mungkin pula dalam kesadaran individual. Namun, sebagaimana bahasa, karya sastra diciptakan bukan demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk membangun makna itu sendiri. Bahasa, misalnya, digunakan dalam kenyataan yang kongkret untuk berbagai tujuan. Ada yang digunakan sebagai alat membuat perjanjian, memberi sugesti, ajakan, melakukan sindiran, kritik, dan sebagainya.

Menurut Goldmann (1981:40), sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra adalah struktur yang berarti (significant structure). Yang dimaksudkan adalah, bahwa penciptaan karya sastra a adalah untuk mengembangkan hubungan manusia dengan dunia. Dalam ha1 itu penciptaan karya sastra sama dengan penciptaan hal-ha1 lainnya, seperti membanpun jembatan, membangun rumah, memilih dalam pemilihan umum, dan sebagainya.

Karena sifatnya yang demikian, karya sastra tidak dapat dilepaskan dari subjek penciptanya (Goldmann 1981:40—41). Hanya saja, Goldmann tidak menyetujui anggapan bahwa subjek karya sastra itu adalah individu. Menurutnya, karya sastra atau karya kultural yang besar merupakan produk dari subjek trans-individual atau kolektif karena mempunyai pengaruh dalam sejarah sosial secara keseluruhan.

Pendapat bahwa karya sastra bukan sesuatu yang abstrak dikemukakan pula oleh Seung (1982:38). Menurutnya, penafsiran (decoding) makna sebuah teks sastra hanya dengan operasi semantik akan tetap membuat makna menjadi tidak pasti. Kalimat “Anjing saya dapat menggigitmu, rnisalnya, memang dapat dipahami maknanya secara semantik. Akan tetapi, orang masih akan tetap

(24)

bertanya-tanya mengenai maksud kalimat itu. Dengan sistem semantik semata-mata tidak akan dapat dipahami, apakah dengan kalimat itu pembicara hanya memberi informasi, mengingatkan, atau menakut-nakuti. Oleh karena itu, menurut Seung, dibutuhkan operasi sistem yang lain, yaitu sistem makna pragnatik. Makna pragmatik adalah makna yang didapatkan dalam penggunaan sistem semiotik tertentu. Hal tersebut mau tidak mau harus melibatkan pengguna tanda, intensi-intensinya, tindakan-tindakannya, situasi-situasinya, dan linkungan sekitarnya.

Menurut Seung (1982:1071), prinsip pragmatik vane universal adalah kecocokan (appropriateness): kecocokan antara yang dikatakan dengan cara mengatakan, dan sebagainya. Masalah kecocokan itu hanya dapat diukur/ditentukan dalam konteks pragmatik, dengan mengacu pada norma-noma dan fungsi-fungsi pragmatik (Seuny, 1982:109). Norma dan funpsi pragmatik itu sendiri secara historis diberikan dan ditentukan (Seung, 1982:113). Sebuah karya sastra yang memenuhi norma-norma kebahasaan tidak dapat dikatakan memenuhi prinsip kecocokan kalau norma-nroma kesastraan yang ada justru menuntut penyimpangan dari norma kebahasaan. Norma-norma kesastraan itu sendiri terikat pada ruang, waktu, dan kebudavaan tertentu. Pada zaman Plato, misalnya, peniruan merupakan unsur intrinsik karya sastra. Pada zman modern yang dituntut dari karya sastra adalah otonominya dari berbagai aspek kehidupan lain: seni untuk seni itu sendiri. Dari uraian itu jelas bahwa bagi Seung subjek karya sastra bukan individu, melainkan kelompok. Intensi-intensi pengarang adalah Intensi-intensi-Intensi-intensi yang dibangun oleh kelompok, oleh norma dan fungsi pragmatik yang berlaku pada ruang, waktu, dan kebudayaan tertentu.

2.4 Aktivitas, Tugas/Latihan, dan Rangkuman 2.4.1 Aktivitas

• 2—3 mahasiswa diminta mengemukakan pemahamannya mengenai konsep-konsep di atas dengan antara lain menerapkannya pada contoh-contoh yang konkret.

• Mahasiswa mendiskusikan hasil pemahaman masing-masing dengan mengajukan argumentasinya sendiri-sendiri.

• Dosen memberikan penjelasan lebih jauh mengenai pengertian itu dan memberikan pengayaan melalui penerapannya ke dalam kasus-kasus yang beraneka..

(25)

2.4.2 Tugas dan/atau Latihan

Mahasiswa diberi tugas mencari sumber-sumber lain untuk memperoleh pemahaman yang lebih meyakinkan mengenai konsep-konsep di atas, baik melalui buku-buku, artikel-artikel di jurnal atau surat kabar, maupun berbagai informasi terkait yang tersedia di internet.

2.4.3 Rangkuman

Secara ontologis karya sastra adalah entitas yang bersifat mental, tetapi yang mengalami objektivikasi secara empirik. Aspek empiric karya sastra adalah bunyi atau huruf. Bunyi atau huruf itu tidak bermakna apabila tidak dikaitkan dengan beberapa kodifikasi yangh berlaku. Kodifikasi itu meliputi kodifikasi bahasa, kebudayaan, dan sastra, dan intensi personal. Kodifikasi bahasa memperlihatkan tingkat kepastian tertinggi karena keluasan penyebaran dan kekuatan kelembagaannya, sedangkan intensi personal ada di tingkat kepastian yang terendah. Karena kodrat ontologisnya yang demikian, pengetahuan sastra hanya dapat dengan benar diperoleh jika mempertimbangkan keseluruhan aspek karya sastra di atas.

2.5 PENUTUP 2.5.1 Penilaian

• Kuliah ini dikatakan berhasil jika mahasiswa berhasil jika ia memahami konsep-konsep dalam metode penelitian sastra dan mampu menerapkannya di dalam penelitian sastra. • Aspek-aspek yang dinilai adalah pemahaman dan ketrampilan.

• Rentang penilaian 549 – 1000

2.5.2 Tindak lanjut

• Jika mahasiswa masih kurang memahami atau kurang mampu menerapkan konsep-konsep metode penelitian dalam ilmu sastra, ia akan diminta mengulang kuliah pada tahun ajaran berikutnya atau dianjurkan untuk banyak melakukan latihan pemahaman dan penelitian. • Jika mahasiswa sudah mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam metode

penelitian sastra, ia akan direkomendasikan untuk memperoleh dana penelitian dan didorong untuk segera menyusun proposal penelitian untuk skripsinya.

(26)

2.6 Evaluasi Yang Direncanakan

Indikator keberhasilan Butir kemampuan

Butir penilaian Poin maks.

Pemahaman

Kesesuaian teori dengan metode Menyusun metode

penelitian

mengenai karya

sastra tertentu Operasionalisasi konsep

100 2.7 Matrix Penilaian Ranah Kognitif No. Materi/isi C1 C2 C3 C4 C5 C6 Ranah Afektif Ranah Psikomo torik Metode Penilaia n Tujuan Khusus Pembela jaran 1. Dasar ontologis dan epistemologis ilmu sastra 1 1 X A 2. Kesesuaian teori dengan metode 1 1 X A/I/P Tugas, mid semeste r D1 3. Langkah-langkah penelitian sastra 1 1 1 X A/I/P Mid Semest er D1 Keterangan:

Pengetahuan = keputusan pikiran mengenai objek

(27)

Pengetahuan ilmiah = pengetahuan yang dicapai melalui prosedur yang sesuai dengan objek pengetahuan ilmiah

Ontologi = filsafat yang mengkaji kodrat atau hakikat dari keberadaan objek Epistemologi = filsafat yang mengkaji cara-cara perolehan pengetahuan yang sesuai

dengan objeknya

Konsep = Pengertian yang mengacu kepada benda-benda dan proses-proses dalam kenyataan

Teori = Serangkaian konsep yang terjalin dalam hubungan satu sama lain, baik hubungan kausal maupun simbolik

Hipotesis = Dugaan yang didasarkan pada teori dan yang harus dibuktikan kebenarannya mengenai kemungkinan hasil penelitian

Analisis = Kegiatan mengklasifikasikan dan mencari hubungan antara data atau kelompok data yang satu dengan yang lain.

(28)

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN SASTRA INDONESIA

Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Buku 2: RKPM

(Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 3

METODE PENELITIAN SASTRA

Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446

oleh

Prof. Dr. Faruk, SU

Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012

(29)
(30)

Media Ajar Pertemuan ke Tujuan Ajar/ Keluaran/ Indikator Topik (pokok, subpokok bahasan, alokasi waktu) T ek s P resen tas i G am b ar A u di o /Vid eo S oa l-T ugas Metode Evaluasi dan Penilaian Metode Ajar Aktivitas Mahasiswa Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar Sumb er Ajar 3 Memahami dan menerapkan prosedur formal penelitian sastra Prosedur formal penelitian sastra 9 Tanya-jawab, Daya-simak, Praktik Diskusi, Presentasi, Penjelasan Menyimak dan mempraktik-kan Menjelas-kan dan memandu Ilmu dalam Persp ektif

(31)

BAB III

PROSEDUR FORMAL PENELITIAN SASTRA

Sebagaimana yang sudah dikemukakan, beberapa tulisan mengenai metode penelitian sastra cenderung memahami metode tersebut sebagai seperangkat prosedur formal yang sudah baku, yang dipinjam dari penelitian ilmiah bidang-bidang ilmu yang lain tanpa mempertimbangkan alasan ontologis dan epistemologisnya sehingga membuatnya cenderung disalahpahami dan bahkan diterima begitu saja tanpa kemungkinan modifikasi ataupun pengembangannya. Untuk dapat keluar dari kecenderungan serupa itu, prosedur formal tersebut perlu dikembalikan pada kerangka pemikiran filosofis yang sudah disampaikan, misalnya dengan bermula dari kemungkinan dasar filosofis dari kasus ketumpangtindihan sifat sistematik penelitian yang dikemukakan oleh Wuradji di butir 1 tulisan ini. Yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah, apakah sistematika merupakan sifat penelitian secara keseluruhan ataukah aspek metodenya atau justru bukan sifat dari keduanya?

Seperti sudah dikatakan, objek pengetahuan ilmiah bukanlah dunia empirik, melainkan segala aturan atau mekanisme yang bersifat umum, abstrak, yang memungkinkan adanya keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik yang bersifat khusus, konkret. Karakter objek yang serupa itulah yang membuat ilmu pengetahuan mengasumsikan objeknya sebagai sesuatu yang mempunyai pola atau keteraturan tertentu pula. Jika aturan atau mekanisme itu diartikan sebagai sebuah sistem, sifat sistematik dari penelitian itu tidak bersumber pada penelitian keseluruhan maupun pada aspek metodenya, melainkan pada dasar ontologisnya, yaitu yang menyangkut karakter objek pengetahuan yang bersangkutan. Karakter sistematik dari objek itu, pada gilirannya, menuntut rasionalitas sebagai metodenya. Rasionalitas ini, seperti yang sudah pula dikemukakan, memberikan sifat koheren dan logis dari pengetahuan ilmiah. Dengan kata lain, karena objeknya diasumsikan sebagai bersistem, penelitian mengenainya harus pula sistematik. Adapun cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai sistem itu sendiri adalah metode rasional dan logis.

Dengan cara yang sama dapat pula ditemukan jalan keluar atau jawaban terhadap permasalahan yang terungkap dalam kasus kedua, yaitu kasus pandangan Chamamah Soeratno mengenai landasan kerja penelitian ilmiah seperti yang sudah dikutip dalam uraian terdahulu. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan mengenai aturan atau mekanisme yang ada di balik gejala-gejala empirik yang berlaku secara umum, universal. Karena sifat universalnya itu, pengetahuan

(32)

ilmiah tidak pernah final. Pengetahuan sebelumnya harus terus diuji secara empirik maupun rasional dengan mengacu kepada kasus-kasus baru yang mungkin belum terjamah, pengujian yang pada gilirannya akan membenarkan ataupun menyangkal, mengukuhkan ataupun mengubah pengetahuan ilmiah sebelumnya, baik yang menyangkut fakta-fakta empiriknya maupun sistematikanya. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh secara akumulatif, tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya dan tidak dapat dilepaskan dari tuntutan akan pengujiannya di masa kini maupun di masa depan.

Namun, tidak semua rangkaian pengetahuan dari waktu ke waktu dapat membangun satu kesatuan pengetahuan baru yang akumulatif. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara yang berbeda, dirumuskan dengan cara yang berlainan, dengan “bahasa” yang berbeda, tidak akan dapat membangun kesatuan pengetahuan baru yang demikian. Sebagai misal, pengetahuan berbagai anggota masyarakat mengenai letusan Gunung Merapi, sebagaimana yang tampak dalam berbagai wacana di berbagai media, tidak selalu dapat berkomunikasi satu sama lain untuk membangun satu pengetahuan baru yang akumulatif. Karena tujuannya berbeda, cara perolehan pengetahuannya berbeda, fakta-fakta yang ditemukan berbeda, begitu pula penjelasan mengenai relasi kausal ataupun simbolik antarfakta masing-masing. Di satu pihak, umpamanya, ada yang memperhatikan fakta yang berupa arah gerakan awan panas, di lain pihak, ada yang justru memperhatikan citra Petruk yang terbentuk oleh awan itu. Yang pertama memberikan penjelasan secara akademis, sedangkan yang lain memberikan penjelasan secara mistis.

Dengan demikian, apa yang disebut sebagai landasan teori dalam penelitian ilmiah, dalam rangka mencapai pengetahuan ilmiah yang akumulatif, tidak dapat didefinisikan sebagai “perenungan” yang mengimplikasikan sebuah kegiatan pikiran dan bahkan perasaan dengan batas-batas yang tidak terlalu jelas dan cenderung subjektif. Teori, hanya dapat bermanfaat bagi terbentuknya pengetahuan ilmiah, bila ia merupakan pengetahuan ilmiah, pengetahuan yang diperoleh dengan seperangkat prosedur yang eksplisit, yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan yang dianggap sudah cukup teruji secara akademik. Sebagai sebuah hasil penelitian yang sudah teruji secara akademis, teori merupakan jawaban (sementara), bukan “pencarian jawaban”. Pencarian jawaban dilakukan oleh penelitian baru atas dasar teori atau jawaban yang sudah ada sebelumnya.

Selain itu, masih dalam hubungan dengan kasus yang kedua, apa yang dalam kutipan di atas dinamakan sebagai “landasan metodologi” dan “landasan kecendekiaan” dapat identik bila dilihat dari filsafat pengetahuan. Sebagaimana yang sudah dikemukakan, metode pengetahuan ilmiah itu

(33)

sekaligus bersifat rasional dan empirik. Dalam batas tertentu jelas bahwa apa yang disebut “landasan kecendekiaan” itu termasuk ke dalam metode rasional. Karena itu, ia bukan merupakan landasan tersendiri yang terpisah dari “landasan metodologi”, melainkan menjadi bagian dari landasan yang terakhir tersebut. Dan, sebagai sebuah cara kerja yang identik dengan metode rasional, apa yang dinamakan sebagai “landasan kecendekiaan” itu tentu saja tidak terutama berfungsi sebagai alat untuk membuat penelitian menjadi lebih “adekuat”, melainkan menjadi lebih sistematik, koheren, dan logis.

Secara umum, sebagaimana yang juga akan selalu dapat ditemukan dengan berbagai variasinya dalam banyak buku mengenai metode penelitian ilmiah di berbagai bidang ilmu, satuan-satuan keadaan dan tindakan serta langkah-langkah yang signifikan dalam proses penelitian ilmiah meliputi hal-hal berikut.

• Identifikasi masalah • Perumusan masalah

• Penyusunan kerangka konseptual atau teoretik • Perumusan hipotesis

• Metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan dan analisis data • Penarikan kesimpulan hasil penelitian

Dalam perspektif filsafat ilmu signifikansi dari keadaan, tindakan, beserta urutannya di atas bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, sesuatu yang bersifat kebetulan, melainkan didasarkan pada alasan tertentu sesuai dengan hakikat dari pengetahuan ilmiah itu sendiri.

3.1 Identifikasi Masalah

Bahwa pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan mengenai aturan atau mekanisme yang memungkinkan terjadinya keadaan dan peristiwa-peristiwa empirik, gejala-gejala kehidupan, sudah jelas. Akan tetapi, di dalam filsafat pengetahuan, masih tersisa satu persoalan yang relevan dengan persoalan yang terkait dengan butir (1) dari satuan-satuan keadaan dan langkah penelitian di atas, yaitu persoalan penyebab dipilihnya jenis pengetahuan yang demikian oleh ilmuwan. Dalam hal ini tentu saja ilmuwan ingin mendapatkan jawaban yang mempunyai tingkat kejelasan dan kepastian yang setinggi-tingginya sehingga persoalan kehidupan yang ia hadapi dapat diselesaikan secara efektif, terkendali, dan selamanya dalam pengertian dapat digunakan pula oleh mereka yang hidup dalam ruang maupun waktu yang berbeda.

(34)

Pada dasarnya, kecenderungan untuk mendapatkan jawaban atau penyelesaian yang final, yang berlaku universal seperti itu juga terdapat dalam jenis-jenis pengetahuan lain, baik pengetahuan agama maupun apa yang disebut pengetahuan lokal (local knowledge). Pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepiah; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, misalnya, mungkin merupakan jawaban terhadap pertanyaan mengenai adanya ketidaksamaan antara sesama manusia dalam memperoleh kesenangan, kebahagiaan, ataupun kesuksesan tidak hanya secara ekonomi, melainkan terutama secara sosial. Begitu juga pepatah “jur besuki mowo beyo”. Hanya saja, jawaban itu ternyata tidak teruji secara empirik dan tidak sistematik sehingga tidak ada jaminan yang relatif pasti bahwa pemberlakukannya membuahkan hasil yang relatif pasti. Apalagi pengetahuan keagamaan yang, misalnya, mengambalikan semua masalah dalam kehidupan kepada takdir, kehendak tuhan, yang tidak dapat diramalkan atau diantisipasi. Hal itulah yang membuat kemudian muncul semacam bantahan yang bernada ironik: “bersakit-sakit dahulu, bersakit-sakit berkepanjangan”.

Kesalahan dalam jawaban seperti yang tampak dalam contoh-contoh di atas mungkin bukan hanya akibat dari kesalahan dalam cara mencari jawaban atau penyelesaian, melainkan dapat pula akibat dari kesalahan dalam cara identifikasi masalah. Kemungkinan dalam kesalahan identifikasi masalah itu, pertama-tama dan terutama, adalah kekaburan dalam batas-batas pengertiannya, misalnya “kesuksesan” dipahami sekedar sebagai ‘keberhasilan’ secara umum tanpa identifikasi lebih jauh, apakah keberhasilan itu merupakan keberhasilan kultural, sosial, ekonomi, psikologis, atau bahkan religius. Kekaburan dalam identifikasi ini membuat jawaban yang diberikan juga menjadi kabur, sangat umum, misalnya dua pepatah dalam kutipan di atas. Identifikasi masalah yang demikian tentu saja tidak dapat menjadi identifikasi masalah yang ilmiah karena tidak akan dapat memberikan jawaban, penyelesaian, atau pengetahuan sebagaimana yang diinginkan oleh ilmu pengetahuan. Mereka yang ada dalam ruang dan waktu yang berbeda dapat menafsirkan masalah itu, juga jawaban-jawaban yang diberikan, dengan cara yang berbeda-beda atau bahkan dengan cara yang sama tidak jelasnya. “Beyo”, dalam pepatah yang kedua, dapat ditafsirkan sebagai “nyogok”, misalnya. Dan, “nyogok” itu sendiri dapat ditafsirkan sebagai “nyogok” secara sosial, ekonomi, kultural, atau bahkan religius. Persoalan berikutnya yang menyangkut identifikasi masalah ini adalah persoalan kesalahan identifikasi. Sebagai misal, masalah yang sepenuhnya bersifat empirik diidentifikasi sebagai masalah yang bersifat ideologis, spiritual, bahkan religius. Bencana alam, misalnya, ditafsirkan sebagai masalah kutukan tuhan sehingga orang yang melakukan identifikasi demikian mencoba mencari jawaban terhadap masalah itu dengan cara yang religius pula dan jawaban ini tentu saja tidak dapat menjadi jawaban ilmiah. Kekaburan dan

(35)

kesalahan identifikasi yang demikian tentu saja disebabkan oleh kenyataan bahwa semua gejala empirik memang dapat diidentifikasi dengan berbagai cara, mempunyai banyak sekali kemungkinan makna. Secara ekonomi bencana alam berarti sejumlah kerugian material, secara sosial berarti hilangnya situs-situs sosialisasi, secara kultural hilangnya situs-situs ritual dan acuan nilai, secara politik krisis kepemimpinan atau hilangnya legitimasi, secara psikologis rusaknya sarana identifikasi diri, dan sebagainya.

Kekaburan dan kesalahan dalam identifikasi masalah di atas membuat masalah penelitian yang diajukan menjadi tidak layak diperlakukan sebagai masalah penelitian ilmiah. Namun, secara sosial, historis, dan praktis, tingkat kelayakan sebuah masalah tidak hanya ditentukan oleh kualitas internalnya dilihat dari persayaratan-persyaratan yang murni akademik, melainkan juga oleh kemungkinan kontinuitasnya dalam sejarah ilmu pengetahuan dan kegunaannya secara sosial serta bahkan kemungkinannya untuk dilaksanakan. Dalam hal ini, dengan mengutip Neuman, Bagong Suyanto (Suyanto 2005: 23--24) mengemukakan bahwa masalah penelitian haruslah terfokus sehingga dapat dilaksanakan. Adapun cara untuk membuat masalah itu terfokus antara lain dengan membatasi diri pada masalah-masalah yang ditinggalkan oleh pengetahuan terdahulu, menempatkannya dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dan juga untuk kepentingan tertentu. Lebih jauh, masalah itu harus dibingkai oleh satuan-satuan konseptual yang jelas, yang representatif, dan yang teruji dalam pengertian dapat diamati, terukur, dan terjabarkan (Bdk. Suriasumantri 1978: 29; Suyanto 2005: 28—30).

3.2 Perumusan Masalah

Persoalan identifikasi masalah di atas pada dasarnya merupakan persoalan yang hanya berhubungan dengan proses pemikiran dari ilmuwan, yang menyangkut bagaimana hubungan antara subjek ilmu dengan objeknya. Bagaimanapun, seperti yang didefinisikan oleh filsafat ilmu pengetahuan (Poedjawijatna 1982: 14), pengetahuan apa pun, termasuk pengetahuan ilmiah, merupakan keputusan pikiran mengenai objek. Halnya berbeda dari persoalan perumusan masalah. Persoalan yang kemudian ini merupakan persoalan yang niscaya dalam rangka diperolehnya pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang akumulatif sehingga dicapai tingkat universalitas dan determinasi yang semakin tinggi. Persoalan perumusan masalah ini, dengan kata lain, merupakan persoalan komunikasi ilmiah, komunikasi antarilmuwan yang tentu saja tidak harus ilmuwan yang bersifat profesional, melainkan dapat juga mencakup semua orang yang berminat terlibat dalam komunikasi akademik. Prinsip dasarnya adalah bahwa perumusan masalah benar-benar

(36)

merepresentasikan permasalahannya sehingga mereka yang terlibat dalam komunikasi akademik yang bersangkutan pun dapat memahami dengan cara yang sama, dapat melakukan kritik tanpa adanya salah paham, dan dapat melanjutkan dan mengembangkan hasil penelitian itu.

Secara umum, sebagaimana yang dikemukakan, perumusan masalah untuk penelitian ilmiah itu setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu (a) dirumuskan dengan bahasa atau simbol-simbol yang representatif terhadap konsep, (b) jelas, dalam pengertian tidak mengandung pernyataan-pernyataan dengan makna yang mendua atau ambigu, dan (c) konsisten, dalam pengertian tidak mengandung makna yang kontradiktif. Sehubungan dengan (a), kejelasan dapat dicapai tidak hanya dengan menggunakan simbol-simbol yang tidak bias, tidak konotatif, atau menggunakan kata-kata yang netral, bersih dari nilai rasa kata, melainkan, akan lebih baik, jika menggunakan simbol-simbol ataupun terminologi-terminologi yang sudah biasa digunakan dalam komunitas akademik yang bersangkutan, dalam pendekatan-pendekatan ataupun teori-teori yang berlaku di dalamnya. Tentu saja, penggunaan simbol atau terminologi itu bisa bervariasi sesuai dengan variasi pendekatan dan teori yang hidup dalam dunia akademik. Dalam hal ini perumusan masalah tidak dapat mencampuradukkan simbol atau terminologi yang berasal dari pendekatan atau teori yang satu dengan yang lain karena dapat menimbulkan makna yang mendua dan bahkan kontradiktif sesuai dengan hubungan antarpendekatan dan teori itu. Harus juga diwaspadai adanya terminologi yang sama yang digunakan oleh bidang ilmu yang berbeda sehinggga pengertiannya pun menjadi berbeda, misalnya istilah morfologi dalam biologi dan linguistik. Terhadap kasus yang demikian ilmuwan harus waspada dengan misalnya menempatkan terminologi itu dalam konteks yang khas atau memberikan penjelasan secara khusus.

Sekali lagi, dengan mengutip Neuman, Bagong Suyanto (Suyanto 2005: 28—31) mengemukakan beberapa ciri perumusan masalah atau yang disebutnya sebagai pertanyaan penelitian yang baik dan yang buruk sebagai berikut. Menurutnya, perumusan masalah yang buruk itu antara lain (a) mengacu kepada konsep yang operasional, (b) terlalu umum, (c) masih merupakan sekumpulan variabel, (d) masih samar-samar, (e) masih dapat dijabarkan lebih lanjut, sedangkan perumusan masalah yang baik antara lain adalah jelas, terfokus, terminologis, dan operasional.

(37)

3.3 Penyusunan Kerangka Konseptual atau Teoretik

Seperti sudah dikemukakan, masalah baru teridentifikasi bila masalah itu sudah dibingkai oleh konsep atau pengertian yang jelas. Menurut Wirawan 2005: 49--50, konsep merupakan pengertian yang menunjuk kepada objek-objek atau proses-proses empirik. Konsep itu dapat berupa hasil abstraksi dari pengalaman objektif mengenai objek-objek dan proses-proses empirik yang dianggap memilki kesamaan tertentu, dapat pula merupakan hasil penalaran ilmiah yang menunjuk kepada objek-objek dan proses-proses empirik hanya secara tidak langsung. Dengan demikian, seorang peneliti ilmiah benar-benar dikatakan mengerti terhadap masalah penelitiannya ketika ia sudah mempunyai konsep mengenai masalah itu secara sadar dan dapat menjelaskannya. Tanpa adanya pengertian atau konsep yang disadari, peneliti dapat dikatakan masih terserap dan tenggelam dalam objek-objek atau proses-proses yang menjadi masalahnya, belum mampu keluar darinya, belum mampu menyadarinya, belum reflektif. Masalah baru teridentifikasi jika si peneliti sudah mampu melakukan refleksi dan, dengan demikian, konseptualisasi.

Seorang ilmuwan yang mempunyai masalah dan akan berusaha menemukan penyelesaiannya tidak harus melakukan konseptualisasi secara langsung terhadap objek-objek dan proses-proses yang menjadi masalahnya itu. Sebagai ilmuwan ia berada dan hidup dalam jaringan kerja sama universal dengan ilmuwan-ilmuwan lain di seluruh dunia dalam rangka mencapai pengetahuan ilmiah sebagaimana yang sudah dikemukakan. Karena itu, dengan cadangan pengetahuan yang ia peroleh dari hasil-hasil penelitian yang terdahulu, dari pengetahuan ilmiah yang sudah ditemukan sebelumnya, ia dapat secara otomatis mengidentifikasi masalah yang dihadapinya dengan menempatkannya dalam kerangka konseptual yang sudah ada. Kerangka konseptual inilah yang disebut teori. Ramlan A. Surbakti (Surbakti 2005: 34) menjelaskan persoalan konsep dan teori yang demikian sebagai berikut.

“Apabila konsep merupakan pertanyaan what sehingga yang dilakukan dalam konseptualisasi tiada lain merupakan deskripsi realitas baik secara denotatif (keluasan) maupun secara konotatif (kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan why sehingga yang dilakukan dalam teorisasi ialah menjelaskan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu.

Teori merupakan separangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi seperti itu. Proposisi-proposisi yang dikandung dan membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Namun, karena di dalam teori juga terkandung konsep teoretis, berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi.”

(38)

Tentu saja teori tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu untuk konseptualisasi, melainkan juga alat bantu untuk menempatkan masalah yang terkait dalam kerangka konseptual tertentu yang sudah mengimplikasikan hubungan antara konsep yang satu dengan yang lain, objek dan proses tertentu dengan objek-objek dan proses-proses yang lain, fakta yang satu dengan fakta-fakta yang lain. Dengan kata lain, teori tidak hanya berfungsi untuk mendapatkan gambaran mengenai objek-objek dan proses-proses empirik secara spesifik, melainkan juga untuk menjelaskan hubungannya dengan objek-objek dan proses-proses empirik yang lain. Sehubungan dengan hal yang kemudian ini, Surbakti (2005: 36) mengidentifikasi adanya lima tipe penjelasan yang seringkali digunakan dalam penelitian, yaitu (a) penjelasan genetik atau historis yang menyangkut hubungan mengenai asal-usul dan perkembangan dari suatu masalah, (b) penjelasan fungsional yang berkaitan dengan fungsi masalah itu dalam keseluruhan sistem yang di dalamnya ia termasuk, (c) penjelasan disposisional yang menyangkut kecenderungan pendapat, sikap, perilaku seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu masalah, (d) penjelasan intensional yang menghubungkan masalah dengan maksud atau tujuan dari subjek yang terlibat, dan (e) penjelasan rasional yang mengembalikan masalah pada pertimbangan mengenai rasionalitas alasan subjek yang terlibat, mengenai alat dan cara pencapaian tujuan.

Ramlan A. Surbakti (2005: 34) mengatakan bahwa kegunaan teori dalam penelitian meliputi (a) menetapkan tujuan penelitian, (b) memberikan pola bagi interpretasi data, (c) menghubungkan satu studi dengan studi lainnya, (d) menyajikan kerangka sehingga konsep dan variabel menjadi penting, (e) memungkinkan dilakukannya interpretasi data yang lebih besar daripada temuan yang diperoleh dari suatu penelitian.

3.4 Perumusan Hipotesis dan Variabel

Dari, antara lain, pendapat Suriasumantri (1978:30) dan Wirawan (2005:45) dapat disimpulkan bahwa hipotesis pada dasarnya adalah kesimpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian. Seperti yang sudah dikemukakan, teori tidak hanya membantu peneliti dalam mengidentifikasi dan mengkonseptualisasi masalah, melainkan juga menempatkannya dalam kerangka konseptual tertentu yang mengimplikasikan hubungan antara masalah itu dengan objek-objek dan proses-proses yang lain. Dengan demikian, begitu sebuah masalah sudah teridentifikasi dan terkonseptualisasi dan ditempatkan dalam kerangka konseptual yang tidak lain adalah teori, peneliti

(39)

dengan segera dapat menduga kemungkinan penyelesaian terhadap masalah tersebut, jawaban terhadap pertanyaan yang diimplikasikannya.

Wirawan (2005:45-46) mengatakan bahwa hipotesis setidaknya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hipotesis nol dan hipotesis kerja. Hipotesis yang pertama adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain, khususnya fakta yang dianggap menjadi sebab dengan yang menjadi akibat, sedangkan hipotesis yang kedua menyatakan adanya hubungan antara kedua hal tersebut. Hipotesis kerja itu sendiri ia bedakan menjadi dua macam pula, yaitu hipotesis kerja yang terarah dengan yang tidak terarah. Hipotesis kerja yang pertama menunjukkan kesamaan dalam arah hubungan kausal antara fakta yang satu dengan yang lain, sedangkan yang kedua menunjukkan hubungan yang berkebalikan di antara kedua fakta yang bersangkutan.

Sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan, atas dasar teori yang digunakan, hipotesis merupakan pernyataan yang sekaligus mengandung konsep-konsep yang terdapat dalam perumusan masalah dan relasi antarkonsep tersebut. Apabila konsep-konsep itu “dapat mewujud ke dalam dua atau lebih kesatuan dari variasi (hitungan atau ukuran” atau dapat dikonversi menjadi demikian (Wirawan 2005:47), konsep-konsep itu dapat disebut sebagai variabel. Adapun relasi antarkonsep akan menentukan kedudukan masing-masing variabel itu, apakah termasuk variabel bebas ataukah variabel terikat, variabel berpengaruh ataukah dipengaruhi. Lebih jauh, Wirawan (2005:47—48) membagi variabel menjadi setidaknya dua jenis, yaitu variabel kuantitatif, yaitu variabel yang mengacu kepada fakta-fakta yang dapat dikuantifikasikan dan variabel kualitatif yang dapat dikategorikan, tetapi tidak dapat diangkakan.

3.5 Metode Penelitian

Untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoretik diperlukan data-data empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus dianalisis sehingga ditemukan hubungan antardata yang dianggap merepresentasikan hubungan antarfakta sebagaimana yang dinyatakan di dalam teori dan hipotesis. Menurut filsafat pengetahuan, seperti yang sudah dikemukakan, persoalan ini termasuk dalam persoalan cara memperoleh pengetahuan atau epistemologi yang dapat dihadapkan dengan teori sebagai serangkaian pernyataan mengenai “ada”-nya ke“ada”-nyataan yang menjadi permasalahan atau ontologi. Karena pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan adanya objek (Poedjawijatna 1982:16—17), cara

(40)

perolehan pengetahuan atau metode penelitian itu harus sesuai dengan kenyataan adanya objek yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang disebut sebagai kodrat keberadaan objek itu. Dan, sekali lagi, kenyataan adanya objek itu dinyatakan oleh konsep, teori, dan pengertian-pengertian yang terkandung di dalam hipotesis dan juga variabel-variabel yang ditentukan atas dasarnya.

Dengan demikian, sebelum data dikumpulkan dan dianalisis untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis yang sudah dibuat, harus ditentukan lebih dahulu kodrat keberadaan objek yang diteliti. Dalam hal ini yang pertama-tama harus dilakukan adalah menentukan objek material dan objek formal dari penelitian yang bersangkutan sebagaimana yang didefinisikan oleh Poedjawijatna (1982:41—44). Objek material adalah objek yang menjadi lapangan penelitian, sedangkan objek formal adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu. Di dalam linguistik, misalnya, yang menjadi objek material adalah keseluruhan tuturan manusia atau masyarakat bahasa yang diteliti, sedangkan objek formalnya dapat berupa satuan-satuan tertentu dari tuturan itu beserta relasi-relasi tertentu antarsatuan tuturan yang bersangkutan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa yang menjadi objek formalnya adalah konteks tuturan, intensi penutur, efek tuturan, dan sebagainya, yang kesemuanya ditentukan oleh sudut pandang yang digunakan peneliti terhadap objek materialnya.

Sudut pandang itu tidak hanya menentukan objek material penelitian, melainkan sekaligus mengimplikasikan asumsi-asumsi peneliti mengenai kodrat keberadaan objek penelitiannya. Sudut pandang struktural dalam linguistik, misalnya, mengasumsikan bahwa bahasa merupakan sebuah struktur yang berdiri sendiri, memenuhi diri sendiri, mengatur dan mengembangkan dirinya sendiri, mengabdi pada dirinya sendiri, terlepas dari konteks penggunaannya. Sudut pandang pragmatik menganggap bahwa bahasa merupakan ekspresi yang mengimplikasikan intensi penuturnya sehingga tidak dapat dilepaskan dari konteks tuturannya. Sosiolinguistik mempunyai anggapan bahwa bahasa merupakan alat bagi terbentuk dan terpeliharanya pembagian dan kerja sama sosial di dalam masyarakat. Di dalam terminologi ilmu pengetahuan sudut pandang itu bisa dibentuk oleh apa yang dinamakan paradigma, pendekatan, atau bahkan teori-teori yang termasuk di dalamnya. Dengan demikian, masih dengan menggunakan ilmu bahasa sebagai contoh, data-data penelitian dengan sudut pandang linguistik struktural semata-mata verbal, sudut pandang pragmatik gabungan antara verbal dan intensi penutur serta konteks atau situasi tuturan, data-data sosio-linguistik juga gabungan antara data verbal dengan data sosial, baik yang bersifat behavioral maupun institusional.

Karena setiap objek formal mengandaikan cara keberadaan yang spesifik, teknik pengumpulan data yang dapat digunakan secara efisien dan efektif tentunya harus sesuai dengan

Referensi

Dokumen terkait

dipaparkan dalam bab III, maka kesimpulan umum yang diperoleh untuk menjawab rumusan masalah “motivasi apa yang mendorong pelanggan di Yogyakarta dalam membaca

Berdasarkan identifikasi tersebut, maka pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul dalam kajian penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) apakah kerangka teori dan

Untuk keluar dari masalah tersebut adalah pelayanan manajemen konstruksi yang berfungsi sebagai alat bantu yang mampu mengendalikan seluruh proses dalam proyek sehingga

Dari uji banding menggunakan Man Witneyy, H1 dapat diterima yaitu adanya penurunan beban kerja setelah penggunaan alat bantu pengepakan benih padi dan adanya

merancang sistem pendukung keputusan dalam pemilihan program studi melalui kuesioner (minat siswa). Bagi siswa dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengambil keputusan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa purwarupa alat bantu terapi bagi pasien pasca stroke berbasis pneumatik mampu berfungsi untuk melakukan gerakan terapi pada beban

Untuk keluar dari masalah tersebut adalah pelayanan manajemen konstruksi yang berfungsi sebagai alat bantu yang mampu mengendalikan seluruh proses dalam proyek

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dosis hormon IBA terhadap kemampuan berakar, pertumbuhan panjang akar primer (PAP) dan sekunder (PAS), serta