• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Konsep Kawasan Potorono

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PROGRAM KAMPANYE PRIDE (Halaman 30-34)

sebesar 378. Maka sejumlah inilah kuesiner yang dimasukkan ke dalam komputer untuk diolah datanya. Kelompok kontrol (control group) berasal dari masyarakat di Desa Botosari dan Desa Kaliombo, Pekalongan yang kurang lebih berjarak 250 km dari masyarakat desa target.

2.3.2 Proses Survei Pasca Kampanye

Proses survei pasca kampanye yang dilakukan persis sama dengan proses survei pra kampanye. Survei ini menggunakan daftar pertanyaan yang sama dengan tujuan untuk melihat tingkat perubahan yang ada di masyarakat target. Jumlah distribusi kuesioner di Kawasan target juga sama yaitu 530 buah. Survei ini dibantu oleh 20 orang relawan masyarakat di kawasan. Sebelum pelaksanaan survei pasca kampanye dilakukan juga pelatihan selama 1 hari pada tanggal 7 Februari 2008. Survei Pasca Kampanye dilaksanakan pada tanggal 9 – 11 Februari 2008 di 8 desa target. Survei serupa juga dilakukan di desa kontrol dengan jumlah kuesioner 100 buah. Data kuesioner yang valid diisikan ke program SurveyPro sebanyak 378 buah dari desa target dan 60 buah dari desa kontrol.

2.4 Model Konsep Kawasan Potorono

Model Konsep adalah suatu pemahaman diagramatis terhadap kondisi suatu kawasan, dalam hal ini adalah hutan Potorono dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Model Konsep dapat menggambarkan sudut pandang masyarakat terhadap kawasannya. Model Konsep yang baik setidaknya dapat dinilai dari enam faktor yaitu: menampilkan gambaran situasi kawasan, memperlihatkan kaitan antara faktor-faktor yang mempengaruhui target kondisi,

menggambarkan ancaman langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi target kondisi, menampilkan hanya faktor-faktor yang relevan, merupakan hasil kerja tim dan berdasarkan kepada informasi dan data yang baik.

Pengembangan Model Konsep ini didasari oleh konsep yang dicetuskan oleh Richard Margoluis dan Nick Salafsky dari Foundations of Success (FOS) di dalam bukunya “Ukuran Keberhasilan” (diterjemahkan oleh Yayasan Kehati dari “Measures of Success: Designing, Managing, and Monitoring Conservation Development Projects”, terbitan Island Press tahun 1998). Pendekatan ini telah diadaptasi untuk digunakan oleh staff Rare maupun para Manajer Kampanye Pride untuk kepentingan penilaian kawasan proyek.

Setelah mengkaji informasi FGD, menganalisa data survey dan melakukan observasi langsung di lapangan, model konsep yang dikembangkan di awal mengalami revisi. Gambar 6 berikut menunjukkan model konsep untuk hutan Potorono setelah revisi.

Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)

23

Gambar 7 : Model konsep akhir kegiatan Kampanye Bangga di Potorono.

HUTAN POTORONO KECAMATAN KAJORAN Kebakaran tidak ada reboisasi Perburuan Penebangan Liar

Alih Fungsi Lahan

Wisata tidak ramah lingkungan Kekeringan Sosial ekonomi Pertumbuhan penduduk Kesadaran Hukum Kesadaran lingkungan Pendidikan Sistem nilai budaya Kesejahteraan Keimanan Iklim/Cuaca Pengawasan Kebijakan Alih Fungsi Hutan Kebutuhan Kayu Bakar Jumlah Ternak

Pengaruh Pasar pada Jenis Tanaman Pertanaian Sumberdaya Air Budaya Berhutan Pembibitan Peran Perempuan Kurang lahan Kelembagaan Pengetahuan pengeleloaan sumber daya hutan ancaman tidak langsung yg dituuju Ancaman langsung yg akan dipengaruhi ancaman tidak langsung ancaman langsung

Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)

24

2.4.1 Narasi Model Konsep

Target kondisi adalah hutan Potorono di kaki Gunung Sumbing yang membentuk ekosistem perbukitan dengan kondisi hutan sekunder. Hutan dihuni oleh tanaman dari kelas perusahaan Perum Perhutani berupa Mahoni dan Pinus.

Hasil Stakeholder workshop merujuk 6 faktor langsung dengan dorongan faktor tidak langsung yang diajukan bersifat normatif yang mempengaruhi kondisi hutan Potorono di Kecamatan

Kajoran, Magelang. Penebangan liar merupakan faktor paling luas pengaruhnya bagi perubahan di hutan Potorono. Penebangan liar lebih diartikan sebagai pengambilan kayu yang tidak sesuai prosedur atau aturan alam, sehingga hal tersebut menjadi sebab hilangnya hewan dan perubahan kondisi air. Perubahan struktur hutan yang berasal dari hutan alami menjadi hutan sekunder, juga menjadi sebab perubahan kondisi hutan Potorono.

Kondisi masyarakat memiliki pertumbuhan jumlah penduduk tinggi, dengan mata pencarian dari bertani dan beternak menyebabkan perambahan hutan untuk alih fungsi lahan. Hal ini didorong oleh faktor sosial ekonomi masyarakat yang tergantung pada alam dengan bercocok tanam di sebagian hutan Potorono. Beternak berlebih, menyebabkan ancaman kondisi hutan sebagai sumber pakan ternak dengan cara ”merencek” dahan dan percabangan pohon.

Kurangnya reboisasi baik di hutan negara maupun hutan rakyat menjadikan ancaman langsung bagi hutan Potorono. Faktor yang mempengaruhi kurangnya reboisasi didorong oleh faktor sosial ekonomi masyarakat yang menghadapi dilema hasil dari kayu-kayuan,

kurangnya kesadaran, faktor budaya masyarakat yang mulai menghilang serta rendahnya. Ketidaktahuan atau lemahnya kesadaran hukum juga mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan dan penebangan liar. Peningkatan kesadaran hukum dan pengetahuan mengenai hukum dapat menekan terjadinya kedua ancaman tersebut. Apa yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa ada suatu batasan atau aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat dalam upaya penggunaan lahan dan pemanfaatan hasil hutan.

Meningkatnya kebutuhan kayu bakar, belum adanya inisiatif lokal pembibitan tanaman kayu, lemahnya kelembagaan disebabkan oleh terkikisnya budaya berhutan di tingkat masyarakat. Hutan dilihat sebagai sumberdaya yang tidak akan habis sehingga pemanfaatannya tidak mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan sumberdaya hutan. Seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat mengenai pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berkelanjutan, maka diharapkan budaya berhutan ini akan kembali ada di masyarakat. Pengaruh pasar pada jenis tanaman pertanian tidak bisa dikesampingkan. Masyarakat yang secara umum hidup dalam kekurangan, selalu berupaya untuk mencari cara termudah untuk mencukupi kehidupannya. Akibatnya, pola-pola pertanian yang diacu kurang memperhatikan daya dukung lahan dan aspek-aspek pasar. Contohnya, ketika sebagian besar petani menanam bawang putih, maka ketika musim panen tiba pasar akan kelebihan supply sehingga harga bawang putih akan rendah. Hal ini akan mendorong petani untuk semakin memperluas lahan yang ada agar keuntungan marginalnya semakin tinggi.

Macam satwa liar dan populasinya mulai menurun yang disebabkan oleh perburuan yang dilakukan oleh orang-orang dari luar kawasan hutan Potorono serta oleh sebagian

masyarakat sendiri. Perburuan telah dilakukan selama bertahun-tahun sehingga satwa liar telah banyak yang punah. Diyakini juga penyebab dari menghilangnya satwa liar sebagai akibat penebangan dan juga perubahan fungsi hutan.

Ancaman yang beberapa waktu yang lalu menjadi bukti berpengaruh pada kondisi hutan Potorono adalah kebakaran. Kebakaran diyakini disebabkan oleh 2 hal, yaitu kebakaran yang disengaja sebagai akibat ulah manusia serta kebakaran yang disebabkan oleh alam sebagai pengaruh dari cuaca atau iklim kemarau yang berkepanjangan.

Di beberapa desa memiliki arena wisata alam yang menarik, misalnya di Curug Silawe desa Sutopati, Wisata Sumbing di desa Sukomakmur, serta Agrowanawisata desa Sambak. Pengunjung yang tidak memiliki rasa cinta alam dan budaya cinta lingkungan

Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)

25

mengakibatkan pengaruh yang besar seperti sampah, coretan-coretan dan perusakan kayu-kayuan hutan. Imbas dari perilaku wisata yang tidak ramah lingkungan selain berpengaruh pada tempat wisata, juga menjadi sebab menghilangnya satwa liar.

Kelompok perempuan ternyata memiliki peran yang cukup penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan Potorono. Selama ini, kelompok tersebut belum benar-benar mendapatkan porsi yang sama dengan kelompok pria. Keterlibatan kelompok perempuan dalam pengelolaan sumberdaya hutan dipengaruhi juga oleh pengetahuan dan kesadaran konservasi. Oleh karena itu, mengangkat dan melibatkan kelompok perempuan dapat merupakan suatu langkah penting untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya hutan Potorono.

Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)

26

3 FLAGSHIP SPECIES: ELANG JAWA

Gambar 8 : Spesies Flagship Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PROGRAM KAMPANYE PRIDE (Halaman 30-34)

Dokumen terkait