Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
LAPORAN AKHIR
PROGRAM KAMPANYE PRIDE
Pengelolaan Kawasan Sub-DAS Tangsi yang Berkelanjutan
dan Berbasis Masyarakat dengan Kampanye PRIDE
Dokumen laporan akhir ini disusun oleh:
PANJI ANOM
PRIDE CAMPAIGN PROGRAMME MANAGER
YBL MASTA
Small Grant Agreement No.
G - 5300 - 200 - 09Magelang
Februari 2008
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang
Panji Anom (YBL Masta)
1
Gambar Sampul: Kunjungan Sekolah dengan Kostum Maskot “ELJA” di MI Banjaragung, Desa
Banjaragung, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah
Kunjungan Sekolah adalah salah satu kegiatan yang dilakukan dalam Program Kampanye Bangga Melestarikan Alam. Kegiatan ini telah menjangkau lebih dari 1000 anak di Kawasan Target. Kegiatan kunjungan sekolah manjadi jalan edukasi lingkungan hidup kepada anak-anak. Anak-anak mewakili audience sekunder yang akan membawa pesan konservasi selain untuk dirinya sendiri juga kepada orang tua. Dalam Kunjungan Sekolah, anak-anak mendapat informasi konservasi melalui kunjungan sekolah dengan kostum maskot, lagu konservasi, komik konservasi serta panggung boneka.
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang
Panji Anom (YBL Masta)
2
LAPORAN AKHIR
KAMPANYE “PRIDE”
Judul:
LAPORAN AKHIR
PROGRAM KAMPANYE PRIDE:
Pengelolaan Kawasan Sub-DAS Tangsi yang Berkelanjutan dan
Berbasis Masyarakat dengan Kampanye PRIDE
Nomor Perjanjian Hibah Kecil:G-5300-200-09
Sponsor:USAID melalui Program Pelayanan Jasa Lingkungan (ESP)
Lembaga Pelaksana:
YBL MastA-Magelang, Central Java
Tanggal Publikasi:
Maret 2008
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang
Panji Anom (YBL Masta)
3
DAFTAR ISI
Judul:... 2 DAFTAR ISI... 3 DAFTAR GAMBAR... 5 DAFTAR TABEL ... 0 Goal... 0 RINGKASAN EKSEKUTIF ... 1 1 DESKRIPSI KAWASAN ... 31.1 Pendahuluan ...3
1.2
Karakteristik Fisik Kawasan Target...3
1.2.1 Batasan
Lokasi Kawasan Target ...3
1.2.2
Iklim dan Cuaca ...4
1.3
Kondisi Umum Ekosistem Potorono...4
1.3.1 Karakteristik
Ekosistem Hutan Potorono ...4
1.3.2 Keanekaragaman
Hayati...5
1.4 Deskripsi
Masyarakat di Target Lokasi...6
1.4.1
Populasi dan Demografi ...6
1.4.2
Sosial-budaya dan Ekonomi...7
1.4.3 Sistem
Politik...8
1.5
Sejarah Pengelolaan Kawasan...8
1.5.1
Sejarah Pengelolaan Hutan...8
1.5.2
Kepemilikan lahan dan isu-isu seputarnya ...9
1.5.3
Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lembaga Lain yang Ada. 10
2 PENILAIAN KAWASAN ...122.1
Analisa Matriks Pemangku Kepentingan... 12
2.2
Focus Group Discussion ... 17
2.2.1 Deskripsi
Responden ... 17
2.2.2
Analisa Hasil Focus Group Discussion... 19
2.3 Survei
Masyarakat... 21
2.3.1
Pra Campaign Survey ... 21
2.3.2
Proses Survei Pasca Kampanye... 22
2.4
Model Konsep Kawasan Potorono ... 22
2.4.1
Narasi Model Konsep... 24
3 FLAGSHIP SPECIES: ELANG JAWA ...26
Gambar 8 : Spesies Flagship Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) ...26
3.1 Klasifikasi
Taksonomi ... 26
3.2 Karakteristik
Morfologis... 26
3.3 Distribusi ... 27
3.4 Perilaku
Berburu ... 27
3.5 Makanan ... 28
3.6 Kebutuhan
Habitat ... 28
3.7 Pandangan
Masyarakat tentang Elang Jawa... 28
3.8 Status
Konservasi ... 29
4 BENTUK KEGIATAN KAMPANYE...31
4.1 Materi
Komunikasi dalam Kampanye ... 31
4.2 Kegiatan
Kampanye... 39
5 HASIL ...48
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang
Panji Anom (YBL Masta)
4
6 Tinjauan Kritis Kegiatan Kampanye Bangga ...54
6.1
Kondisi Lingkungan Hidup dan Sosial Masyarakat... 54
6.2
Analisa Kritis terhadap Pendekatan dan Perangkat Sosial marketing. ... 56
6.2.1
Perangkat Pride yang Efektif ... 56
6.2.2
Perangkat Pride yang Kurang Efektif... 59
6.3 Kajian
Umum... 59
7 REKOMENDASI ...61
DAFTAR PUSTAKA...63
Ucapan Terima kasih...65
LAMPIRAN A: LEMBAR KUESIONER...66
LAMPIRAN B: SKENARIO PANGGUNG BONEKA...76
LAMPIRAN C: LEMBAR EVALUASI PROGRAM SEKOLAH ...82
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang
Panji Anom (YBL Masta)
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar Cover...Error! Bookmark not defined.
Peta Lokasi ... 4
Gambar 3: Proses Fasilitasi Scoring ancaman bagi kawasan dalam . ...16
Gambar 4: Peserta Lokakarya Stakeholder Pertama Membuat Analisa Ancaman...17
Gambar 5: Proses Focus Group ...21
Gambar 6: Proses Pra Survey ...22
Gambar 7:Model Konsep ...24
Gambar 8 : spesies Flagship...27
Gambar 9. Peta sebaran Elang Jawa ...28
Gambar 10. Poster...33
Gambar 11: Factsheet...33
Gambar 12:Kostum Maskot...34
Gambar 13: Komik...34
Gambar 14: Buklet Kolaborasi...35
Gambar 15: Buklet Kebun sehat Untuk Rumah Tangga dan Masyarakat...36
Gambar 16: Buklet Hutan Penanaman Pohon dan Bambu ...36
Gambar 17: Buklet Tungku Hemat Energi ...37
Gambar 18: Buklet Tungku untuk Remaja...37
Gambar 19: Panggung Boneka...38
Gambar 20: Kalender ...41
Gambar 21: Billboard ...41
Gambar 22: Kunjungan Sekolah ...42
Gambar 23: Pelatihan Tungku...43
Gambar 24: Kegiatan Seni dan Budaya ...43
Gambar 23: Kelompok Patroli hutan desa Sukomakmur ...44
Gambar 23: Kelompok Swadaya Masyarakat Desa Krumpakan...44
Gambar 24: Diskusi dengan Kelompok Ibu-ibu...46
Gambar 25: Pelatihan Pupuk Organik ...47
Gambar 26: Perencanaan Lomba Masak ...48
Gambar 27: Pekan Penanaman Pohon...48
Gambar 28: Diagram Sasaran Antara I ...49
Gambar 29: Diagram Sasaran Antara II ...51
Gambar 30: Diagram Sasaran Antara III ...53
Gambar 31: Buklet sebagai panduan ...57
Gambar 32: Peserta pelatihan Interpretasi...59
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Matriks pemangku kepentingan ...13
Tabel 2 Deskripsi Responde ...19
Tabel 3 Pertanyaan Panduan Fokus Group Discussion (FGD) ...19
Tabel 4 Ringkasan Materi Cetak Kampanye...32
Tabel 5 Ringkasan Kegiatan Kampanye ...40
Tabel 6 Tabel kontrol Sasaran Antara I Pra Campaign ...50
Tabel 7 Tabel Kontrol Sasaran Antara I Post Campaign...50
Tabel 8 Tabel Kontrol Sasaran Antara II Pra Campaign...52
Tabel 9 Tabel kontrol Sasaran Antara II Post Campaign ...52
Tabel 10 Tabel Kontrol Sasaran Antara III Pra Campaign ...54
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
Goal
“Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat setempat mengenai fungsi dan peran sub-DAS Tangsi terhadap kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup manusia melalui keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alamnya secara berkelanjutan”.
Tujuan Khusus
Melindungi, mengelola dan mengembalikan jasa-jasa ekologi, ekonomi dan sosial – budaya dari hutan seluas 1100 ha di Sub-DAS Tangsi bersama masyarakat setempat.
Waktu dan Lokasi
Satu serial kegiatan kampanye Bangga Melestarikan Alam akan dilaksanakan mulai
bulan akhir 28 September 2006 – 29 Februari 2008 dengan kegiatan mulai dari riset
awal dan segmentasi focus persoalan ekosistem kawasan hulu Sub DAS Tangsi
dilanjutkan penyusunan workplanning dan Implementasi. Implementasi akan dilakukan
pada bulan 28 Januari 2007 – 29 Februari 2008
Focus pada Kelompok Wana Tani di Desa Sambak, Mangunrejo, Krumpakan,
Banjaragung, Sukomulyo, Sukorejo, Sutopati dan Sukomakmur , Masyarakat umum
kawasan Hulu Sub DAS Tangsi, serta pemangku kebijakan daerah
LINK dengan ESP
Link dengan Outcomes WSM
WS2: Land and Forest Rehabilitation
WS2-1 Community-based land and forest rehabilitation initiatives
WS2-2 Support ecosystem restoration/rehabilitation projects
WS3: Forest and Protected Areas Conservation Management
WS3-1 Decentralized collaborative conservation management initiatives
WS3-2 Conduct Pride in Conservation campaigns in priority sites
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
1
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kawasan hutan Potorono memiliki peran penting di Jawa Tengah, khususnya sebagai kesatuan ekosistem di Gunung Sumbing. Kawasan Potorono adalah cakupan Sub DAS Tangsi DAS Progo. Ekosistem ini merupakan habitat satwa endemik Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang keberadaannya semakin terancam karena kerusakan lahan hutan. Status konservasi elang jawa adalah endangered (langka) berdasarkan IUCN Redlist 2006.
Kondisi ekosistem hutan Potorono terjadi perubahan drastis sejak tahun 1967. Pada tahun ini hutan alami diubah menjadi hutan produksi dengan tegakan sejenis. Pinus, Mahoni dan Damar adalah jenis tegakan utama. Perum Perhutani menjadi satu-satunya pengelola kawasan hutan wilayah ini. Tahun 2001 diluncurkan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang diharapkan dapat mengurangi maraknya pencurian kayu di hutan. Hasil kajian proses stakeholder workshop, FGD dan survey masyarakat menemukan bahwa saat ini ancaman-ancaman bagi kelangsungan ekosistem hutan Potorono antara lain; penebangan liar yang diartikan sebagai penebangan yang tidak berprosedur, alih fungsi lahan hutan dan tidak adanya reboisasi. Ancaman ini didorong oleh faktor-faktor tidak langsung seperti budaya berhutan, pengetahuan pengelolaan sumberdaya hutan, kesadaran hukum, kesadaran lingkungan.
Kampanye bangga melestarikan alam, berusaha menjawab persoalan berkaitan dengan peningkatan peran masyarakat dalam pelestarian sumberdaya alam dari sisi hutan desa. Desa yang menjadi sasaran utama kegiatan adalah desa-desa yang berperan besar dalam kontribusi sumberdaya air. Kampanye ini dilaksanakan di delapan desa di Sub-DAS Tangsi dengan total area kerja sekitar 4,300 ha. Sedangkan jumlah luasan spesifik yang akan diselamatkan dalam kegiatan kampanye bangga melestarikan alam adalah seluas kurang lebih 1,100 ha. Jumlah total populasi yang dijangkau melalui program ini adalah sekitar 20.517 orang yang berdomisili di 8 desa di Kecamatan Kajoran (Sukomakmur, Sutopati, Sukorejo, Sukomulyo, Banjaragung, Krumpakan, Mangunrejo, dan Sambak).
Dalam menjalankan aksi kampanye bangga melestarikan alam ini, slogan yang akan dibawa adalah “Alam Lestari Masyarakat Sejahtera “. Sedangkan flagship spesies atau spesies perlambang kawasan yang diusung sebagai maskot kampanye ini adalah Elang Jawa yang dipercaya masih ada dikawasan ini meskipun keberadaannya semakin terancam.
Hasil yang telah dicapai selama periode kampanye 2006-2008 antara lain adalah:
Pada akhir program, lebih dari 487 ha hutan dengan nilai konservasi dan perlindungan DAS tinggi di desa Mangunrejo, Krumpakan dan Sukomulyo telah berada di bawah pengelolaan yang lebih baik berbasis masyarakat dan secara berarti (signifikan) mengurangi resiko konversi lahan.
Pengelolaan berbasis masyarakat ditandai dengan adanya perjanjian atau kesepakatan dengan pemegang mandat kehutanan di Wilayah Kedu Utara (Perum Perhutani KPH Kedu Utara) yang ditanda tangani oleh pihak desa dan Perum Perhutani dengan pengelolaan mendasarkan pada kesepakatan para pihak.
Sekitar 25 hektar kawasan hutan negara di desa krumpakan ditetapkan sebagai daerah khusus untuk melindungi habitat satwa Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Luthung (Semnopithecus
auratus), trenggiling (Manis javanica), Landak (Hystrix javanica).
Setidaknya 31hektar kawasan di sekitar mata air telah dijaga dengan menanam beberapa tanaman kayu dari jenis-jenias setempat. Beberapa jenis pohon kayu yang ditanam antara lain; beringin, sukun, mangga, melinjo, mahoni, kelapa, suren, duku, durian.
Setelah 12 bulan kampanye, keanekaragaman hayati lebih dari 488 ha hutan produksi lama di Sukorejo, Banjaragung, dan Sutopati telah diperkaya melalui penanaman setidaknya
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
2
13,000 batang pohon dari 5 jenis spesies lokal. Beberapa jenis yang telah
ditumbuhkembangkan antara lain; Jambu batu, beringin, durian, suren, sukun. Selain dengan 6 tanaman non lokal seperti damar, mangga, coklat/kakao, cemara. Selain itu juga
dikembangkan tanaman-tanaman yang ditujukan untuk perlindungan satwa di kawasan antara lain; pisang, rambutan, kelengkeng. Selain itu Kampanye Pride mempengaruhi kesadaran masyarakat sehingga berinisiaif untuk mengembangkan tanaman penjaga air seperti tanaman pakis besar, membuat plang-plang konservasi larangan merusak hutan, serta aksi langsung penanaman tanaman buah di ladang.
Selama 1 tahun periode kampanye, telah terbentukpengelolaan hutan lindung secara kolaboratif yang melibatkan beberapa pihak yang saling berkepentingan terhadap
kelanjutan sumber daya air dan hutan yang menjamin konservasi hutan alami seluas lebih dari 125 ha dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi di Sukomakmur.
Konservasi juga dijalankan dalam kerangka perlindungan satwa dan flora endemik di kawasan hutan sumbing dengan didukung oleh Peraturan Desa yang telah diinisiatifkan sebelumnya. Kampanye Pride mendorong kesadaran masyarakat sehingga melakukan aksi nyata perlindungan bagi konservasi dengan melarang setiap orang merusak tumbuhan dan hewan kawasan Gunung Sumbing.
Kampanye Pride juga mendorong aksi tanam lebih dari 5000 tanaman lokal seperti Gemblek, Kesemek dan Kayu Manis bertujuan untuk mereboisasi lebih dari 100 hektar kawasan Hutan Lindung Gunung Sumbing yang berasal dari swadaya masyarakat, bantuan dari CV Tunas Jaya dan dukungan dari Pemerintah Daerah.
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
3
1 DESKRIPSI KAWASAN
1.1 Pendahuluan
Kondisi kritis hutan di Pulau Jawa telah menjadikan Jawa sebagai pemegang rekor longsor dan banjir terbanyak di Nusantara. Greenomic Indonesia telah menghitung bahwa jika kerusakan hutan Jawa terus dilakukan maka potensi kerugian ekonomi setiap tahun dapat mencapai Rp 136,5 triliun sebagai akibat terjadinya banjir, tanah longsor, serta kekeringan dalam skala besar (Warta FKKM dalam Suara Merdeka, 2006; Republika Online, 2006) .
Pulau Jawa dengan luas 7% dari seluruh luas daratan Indonesia dihuni oleh 65 % penduduk Indonesia atau sekitar 125 juta jiwa. Di sisi lain, Jawa memiliki potensi air 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia. Namun demikian, degradasi kualitas hutan telah mengakibatkan Pulau Jawa sejak tahun 1995 mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya. Kondisi lingkungan dan hutan di Jawa tinggal 4% dari luas pulau Jawa ini (Badan Planologi Departemen Kehutanan, (tahun 2002) sudah sangat jauh di bawah titik aman minimun sebesar 30% yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi. YBL MastA sebagai sebuah organisasi nir-laba yang terletak di Magelang, Jawa Tengah memiliki perhatian dan keprihatinan terhadap kondisi-kondisi tersebut di atas. Berkaitan dengan hal tersebut, YBL MastA mencoba menjawab tantangan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan dan air di Jawa Tengah melalui program Kampanye Pride selama periode tahun 2006 – 2008 (¿), yang diarahkan pada penyelamatan hutan Potorono di Gunung Sumbing, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kampanye yang didukung secara penuh pendanaannya oleh ESP-USAID ini secara utama ditujukan sebagai usaha menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumber air bersih untuk mendorong kesehatan masyarakat yang lebih baik.
1.2 Karakteristik Fisik Kawasan Target
1.2.1 Batasan Lokasi Kawasan Target
Kampanye Pride di kawasan DAS Sub-Tangsi difokuskan pada masyarakat perdesaan yang tergantung pada sumberdaya hutan Potorono (lihat peta 2 di bawah ini), Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Hutan Potorono merupakan deret perbukitan yang merupakan kaki Gunung Sumbing di sebelah selatan. Kegiatan kampanye bangga
melestarikan alam difokuskan di 8 desa, dari 15 desa yang berada di deret Perbukitan Potorono di kaki Gunung Sumbing. Ke-8 desa dipilih karena masih memiliki hutan desa dan menjadi range area dari Elang Jawa. Desa yang paling dekat dengan puncak Gunung Sumbing adalah Desa Sukomakmur dengan ketinggian tempat 1550 m dpl. Sementara itu, desa yang paling ujung dari deret ini adalah Desa Bambusari dengan ketinggian tempat 552 meter dpl. Tabel 1 di bawah ini merangkum gambaran kondisi ke-8 desa yang menjadi target program ini.
Secara geografis, Gunung Sumbing terletak pada 7o 23’ 3”LS dan 110o 4’ 13” BT. Gunung Sumbing sendiri terletak pada ketinggian kurang lebih 3371 m di atas permukaan laut.
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
4
Gambar 2: Kawasan Sub-DAS Tangsi
Sumber: ESP, 2006
Sub-daerah aliran sungai (sub-DAS) Tangsi merupakan salah satu Sub DAS Sungai Progo yang meliputi dua kabupaten yaitu Temanggung dan Magelang. Sub-DAS lain adalah Sub-DAS Elo dan Sub-DAS Blongkeng yang berada di bawah Gunung Merbabu dan Merapi. Sepanjang DAS Tangsi merupakan daerah yang subur dan sesuai untuk lahan pertanian. Sumber kesuburan tanah berasal dari pasokan mineral tanah dari Gunung Sumbing di masa lampau saat masih aktif. Peta 2 di atas menggambarkan kawasan sub-DAS Tangsi dan wilayah desa target Pride.
1.2.2 Iklim dan Cuaca
Iklim di sepanjang pegunungan Sumbing hingga perbukitan potorono bersuhu 21–320 C dengan curah hujan rata-rata per tahun sebesar 2000 mm. Cuaca di kawasan Potorono tergolong sejuk (http://jawa.tengah.id.wikiax.biz/).
1.3 Kondisi Umum Ekosistem Potorono
1.3.1 Karakteristik Ekosistem Hutan Potorono
Secara umum, ekosistem Potorono didominasi dan dibentuk oleh hutan sekunder dan monokultur yang dihuni oleh tegakan vegetasi utama berdasarkan kelas perusahaan Perum Perhutani berupa Mahoni, Pinus dan Damar. Perubahan menjadi hutan sekunder dimulai tahun 1960 an sejak mulai berdirinya Perum Perhutani. Kondisi awal ekosistem Potorono adalah hutan alami yang memiliki
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
5
bermacam vegetasi hutan dataran rendah sampai tinggi, termasuk dominasi rotan, aren, bambu, pakis dan beragam vegetasi lain termasuk jenis ara. Berdasarkan sejarah tutur dari masyarakat, di masa hutan primer, hutan Potorono merupakan tempat hidup dari berbagai jenis satwa liar mulai dari luthung, macan tutul, betet, ayam hutan hijau hingga berjenis – jenis burung dan mamalia lainnya.
Saat ini, ekosistem Potorono tidak hanya dibentuk oleh hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Kedu Utara, namun juga dibentuk oleh hutan rakyat, persawahan, serta tegalan. Hutan rakyat (hutan milik pribadi yang dikelola masyarakat ) disusun oleh vegetasi berupa tanaman kayu (sejenis Mahoni, Albizia, Waru, Suren), tanaman tahunan seperti buah-buahan, rempah-rempah, dan empon-empon. Sementara itu, ekosistem persawahan terdiri dari tanaman padi dan palawija. Ekosistem tegalan dengan tanaman dominan berupa jagung dan ketela pohon, serta di dataran tinggi sebagian besar ditanami oleh sayuran (kentang, kubis, loncang, bawang putih) juga tanaman lain, seperti kesemek dan cemara udang.
Ekosistem Potorono merupakan salah satu pemasok sumberdaya air bagi Sub DAS Tangsi yang merupakan pendukung dari DAS Progo. Kawasan Sub-DAS Tangsi sendiri merupakan ekosistem dataran tinggi hingga rendah. Daerah aliran sungai meliput ekosistem hutan dataran tinggi dan perbukitan, hutan dataran rendah, persawahan, sungai beserta danau atau kolam. Keberadaan hutan dataran tinggi dan perbukitan sangat mempengaruhi keberlanjutan aliran sungai. Secara langsung keberadaan hutan Potorono mempengaruhi kondisi air di DAS Progo yang menjadi sumber air bagi ratusan desa dan perkampungan sepanjang aliran hingga daerah hilir di pesisir pantai selatan.
Sebagian besar hutan di Jawa, termasuk Hutan Potorono adalah Hutan Tanaman Industri yang dikelolakan kepada Perum Perhutani. Hutan di Jawa tidak banyak dibicarakan ketika menilik kondisi hutan dalam skala nasional. Pengejawantahan HUTAN yang diartikan sebagai pengkondisian tegakan tanaman dan pohon dalam berbagai jenis, ukuran, strata tajuk serta indikator lain yang menyatakan suatu kewilayahan yang disebut sebagai hutan telah
”meminggirkan” bentuk dan kondisi hutan Jawa yang lebih banyak dihuni oleh tanaman monokutur serta terbatasnya jenis hewan liar yang menjadi ciri lain ”HUTAN”.
Secara umum, kondisi hutan Potorono menggambarkan permasalahan klasik pengelolaan hutan yang belum lestari. Adanya pemanfaatan hasil kayu yang tidak didasari kepada prosedur atau tata aturan kelestarian hutan mengakibatkan degradasi hutan Potorono. Pemanfaatan hasil kayu telah berlangsung sejak dahulu ketika kondisi hutan masih alami dengan cara menebang pohon untuk diambil sebagai kayu bakar, hingga kemudian berlanjut ketika hutan menjadi hutan sekunder tetapi orientasi pemanfaatan hutannya adalah untuk mendapatkan kayu. Kegiatan ini digolongkan sebagai faktor langsung yang memiliki pengaruh kuat pada kondisi ekosistem, luasan dan tingkat urgensi atau kesegeraan untuk ditangani.
Persepsi ideal hutan memang tidak banyak ditemukan di Jawa. Potret yang tersedia lebih banyak menyuguhkan halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon yang seragam jenisnya. Persepsi ini juga dikuatkan dengan semakin menyusutnya luasan tutupan hutan di Jawa. Beberapa persoalan mendasar atas nilai kehilangan hutan (forest loss values) berdampak pada nilai lingkungan (enviromental values). Nilai lingkungan secara faktual dapat disuguhkan dalam berbagai bentuk, mulai ketersediaan air, stabilisasi iklim dan cuaca, filter pencemaran udara dan bentuk lain. Kehilangan nilai lingkungan pada hakekatnya berdampak pada keseimbangan alam dan keberlangsungan hidup manusia pada umumnya.
1.3.2 Keanekaragaman Hayati
Pada kawasan hutan Potorono yang menjadi bagian dari sub-DAS Tangsi, ekosistem dataran tinggi ditandai dengan adanya tanaman paku jenis suplir (Adianthum philipense) dan rotan endemik (Calamus melanoma ). Setelah terjadi konversi hutan, tanaman daerah ini dicirikan dengan tanaman tembakau (Nicotianae tobaccum) serta tanaman sayuran seperti kentang (Solanum sp) atau kubis (Brasicca olercea) serta tanaman lain seperti jagung (Zea mays), nilam (Pogostemon cabin), kelapa (Coccos nucifera), waru (Albizzia procera), aren (Arenga pinnata) dan
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
6
jarak (Jatropha curcas). Pola pertanian dataran tinggi dan pegunungan dengan sistem monokultur dikembangkan mulai dari pengembangan jenis kakao (Theobroma cacao L.), kopi (Coffea
canephora), jati (Tectona grandis) dan sengon (Albizia Sp).
Selanjutnya, pola ekosistem dataran rendah terbagi dalam bentuk ekosistem yang berdasarkan pada tujuan penggunaan lahan. Pengelolaan lahan tersebut membentuk beberapa jenis ekosistem yang meliputi ekosistem persawahan, dengan ciri lahan yang dibuat tidak sarang atau porous dan dibatasi dengan pematang-pematang untuk membentuk lahan tetap tergenang. Tanaman yang dapat dijumpai dicirikan jenis tanaman padi (Oryza sativa) serta berbagai tanaman lain seperti pisang (Mimmosa sp), kangkung (Ipomea aquatica), genjer (Lymnochoris flava), serta beberapa macam satwa seperti tikus sawah (rattus tiomanicus).
Ekosistem kedua yang ada di dataran rendah berupa ekosistem air tawar yang ada di sungai dan kolam serta danau. Kolam atau danau ini dicirikan dengan lekukan sungai atau badan air tawar. Tanaman yang mencirikan ekosistem sungai, kolam dan danau berupa kayu apu (Salvinia
molesta), enceng gondok (Eichornia crassipes), dan jenis pandan duri (Pandanus sp).
Sebagian besar kolam yang ada di DAS Tangsi merupakan ekosistem yang sengaja dibuat untuk membudidayakan berbagai macam jenis ikan seperti ikan mas (Cyprinus carpio), ikan nila
(Oreochromis nilotica), ikan mujair (Cichlosoma nigrofasciatum), ikan gurame (Tilapia mariae). Selain itu, ditemui juga beberapa jenis ikan lain seperti ikan gabus (Channa striata), Bader
(Ctenopharyngodon idella), ikan tempel batu (Hyposarcus sp), serta dijumpai satwa seperti burung raja udang (Rhynchospora corymbosa), tiram air tawar (Corbicula javanica), keong (Lymnea
rubiginosa). Satwa yang ada di sungai meliputi bulus (Amyda cartilaginea) dan lele lokal (Clarias batraschus).
Ekosistem tegalan/tanah kering serta ekosistem padang rumput terbatas. Jenis ekosistem ini dicirikan dengan tanaman lahan kering seperti singkong (Manihot utilisima), cabai (Piper
retroiractum), pepaya (Carica papaya) mangga (Mangifera indica), manggis ( Garcinia mangostana), pakel ( Mangifera sp), serta padang rumput dengan tanaman penciri berupa
lapangan rumput seperti alang-alang (Imperata cylindrica) dan rumput teki (Cyperus brevifolius). Dengan jenis tumbuhan dari jenis buah, umbi, ubi hingga jenis tanaman biji-bijian, menyediakan ragam makanan bagi banyak satwa. Rata-rata daerah yang ideal untuk tumbuh dan
berkembangnya berbagai jenis tumbuhan akan diikuti dengan jenis-jenis satwa yang beraneka ragam. Hal ini berhubungan dengan kompetisi antar spesies, proses evolusi serta proses penyebaran satwa yang didukung oleh ragam tumbuhan penyedia makanannya. Jenis satwa eksotik yang dapat dijumpai di ekosistem ini mulai dari rusa (Cervus timorensis), Rusa bawean (Axis kuhli) macan tutul (Panthera pardus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Semnopithecus auratus), trenggiling (Manis javanica), Landak (Hystrix javanica) dan berbagai jenis burung mulai dari Jalak (Leucopsar sp), ayam hutan hijau (Gallus varius), guwek/burung hantu (Phodilus badius), srigunting (Dicrurus leucophaeus), pelatuk (Reinwardtipicus validus).
1.4 Deskripsi Masyarakat di Target Lokasi
1.4.1 Populasi dan Demografi
Jumlah populasi total di 8 desa yang menjadi target program ini adalah sebesar 20.517 jiwa (BPS Magelang, 2005). Secara umum masing-masing desa dapat memiliki kondisi demografi yang berbeda satu dengan yang lain. Desa Sukomakmur; Berpendidikan formal rata-rata sekolah dasar atau bahkan tidak tamat, bermata pencaharian sebagai petani terutama sayuran, dan tanaman semusim lainnya. Kondisi di pemukiman padat dengan jarak antar rumah satu dengan yang lain sangat dekat atau bahkan sambung. Mata pencaharian utama dari bertani, berdagang dan sebagai buruh pengusaha di agrobisnis tanaman pakis. Desa Sutopati; Tingkat pendidikan utama sebagian besar masyarakat tidak lulus Sekolah Dasar. Pemukiman penduduk di beberapa dusun dari 13 dusun cukup padat dan jarak rumah satu dengan yang lain sangat dekat. Desa Sukorejo; Mata pencaharian utama dari bertani terutama lahan sawah dan tegal, sebagian lan menjadi buruh, pegawai atau pedagang. Rata-rata masyarakat mengenyam pendidikan sampai
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
7
sekolah dasar dan 10% tidak mengenyam pendidikan. Pemukiman penduduk untuk di salah satu dusun dari 3 dusun yang ada cukup padat dan rapat. sedang untuk dua dusun yang lain tidak begitu rapat, lebih banyak di pisahkan oleh pekarangan. Desa Krumpakan; Mata pencaharian utama dari bertani terutama pertanian lahan sawah serta dari beternak dan hasil hutan non kayu. Sebagian lain berprofesi sebagai pegawai, buruh dan pedagang. Tingkat pendidikan formal masyarakat rata-rata hingga SMP atau SMA. Desa Banjaragung; Sebagian besar masyarakat telah mengenyam pendidikan dasar sampai menengah. Bermata pencaharian terutama dari pertanian lahan sawah. Pemukiman penduduk dapat dikatakan agak rapat, tetapi masih cukup ruang antar rumah satu dengan yang lainnya. Sangat kuat dalam agama, dicirikan dengan keberadaan pondok pesantren di desa banjaragung. Desa Sukomulyo; Kondisi masyarakat di data kabupaten merupakan desa miskin yang tertinggal. sebagian besar masyarakat hanya mengenyam pendidikan dasar, tetapi ada beberapa yang mengenyam pendidikan hingga tingkat tinggi, sebagian besar bekerja di sektor pertanian, sebagian lainnya sebagai pedagang, buruh, pengrajin, penjahit, industri rumahan, serta pegawai. Desa Mangunrejo; Sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup dari pertanian lahan sawah, serta hutan rakyat, sebagian lain bermatapencaharian sebagai pedagang, pegawai swasta dan pegawai negeri. Pemukiman sudah mulai padat dengan jarak antar rumah sangat berdekatan. Desa Sambak; Dari 11 dusun yang ada sebagian masyarakat bermatapencaharian sebagai petani, dan sebagian yang lain bermata pencaharian sebagai pedagang, home industry, pegawai, buruh. Pemukiman sudah mulai agak rapat, tetapi masih memiliki jarak antar rumah satu dengan yang lain.
1.4.2 Sosial-budaya dan Ekonomi
Masyarakat di target lokasi hampir semuanya berasal dari suku Jawa yang menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari, sedangkan Bahasa Indonesia juga digunakan pada saat kegiatan atau acara formal. Mayoritas penduduk menganut agama Islam. Selain itu ada juga yang beragama Kristen dan Katolik. Ada sebagian masyarakat yang menganut aliran atau kepercayaan yang berasal dari warisan budaya Jawa, yang lazim disebut Islam Kejawen. Masyarakat sub DAS Tangsi memiliki budaya berhutan yang mengakar sejak zaman dahulu. Pola budaya berhutan subsisten terutama dikembangkan dalam pengelolaan hutan rakyat yang juga menjadi salah satu sumber penghidupannya. Sistem berhutan yang dikembangkan lebih mirip dengan hutan campur di Jawa Barat yang disebut sebagai “talun”, dengan mengembangkan beragam jenis tanaman dengan perkiraan panen secara bergantian. Prinsip hutan rakyat lebih ditekankan pada budidaya tanaman di tegalan atau kebun secara campuran. Masyarakat secara umum menamakan budaya hutan rakyat ini sebagai “kebon”/“tegal” atau dalam bahasa
Indonesia disebut kebun atau tegalan. Budaya ini masih dianut oleh sebagian besar masyarakat disini.
Pengembangan kebun atau tegalan memprioritaskan tanaman budidaya seperti misalnya kakao, melinjo, kopi, cengkeh dan kelapa. Sedangkan tanaman yang umum dijumpai untuk diambil kayunya adalah diantaranya sengon atau albasia, waru, mahoni, jati dan suren.
Di sisi lain masyarakat untuk mendukung kehidupan sehari-hari juga membudidayakan tanaman semusim subsisten. Tanaman yang dikembangkan sebagai campuran hutan rakyat antara lain; nilam, empon-empon ( sejenis jahe, kapulaga, kencur, kunyit) , rempah-rempah (sejenis
lada/merica, kayu manis ), turut dikembangkan berupa pakan ternak sejenis dengan rumput gajah, setaria, kolonjono, kaliandra, gliricide, ketela tahun (Manihot sp).
Selain lahan yang difungsikan untuk hutan rakyat, masyarakat juga menggunakan lahannya untuk pengembangan tanaman pangan dan hortikultura serta palawija. Beberapa tanaman pangan yang dikembangkan adalah antara lain jagung, ketela pohon dan padi. Tanaman hortikultura yang dikembangkan adalah misalnya kubis, cabai, semangka, dan daun bawang. Palawija yang dikembangkan semisal kacang panjang, kedelai, kacang tanah.
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
8
1.4.3 Sistem Politik
Masyarakat di sub DAS Tangsi lebih mengutamakan demokrasi kerakyatan. Ini dicirikan dengan aktivitas masyarakat yang mengedepankan pertemuan–pertemuan untuk membahas kepentingan bersama. Pertemuan yang menjadi tradisi masyarakat misalnya pertemuan rukun tetangga ( RT ), pertemuan desa, pertemuan kelompok tani, kumpulan ibu-ibu, kumpulan pemuda, dan sebagainya. Pertemuan masyarakat dalam bentuk kelompok–kelompok ini sifatnya rutin diadakan dalam jangka waktu tertentu.
Pemilihan kepala desa, dilakukan secara demokratis dengan sistem pemungutan suara langsung. Seorang Kepala Desa memiliki masa jabatan selama 6 tahun. Pemilihan kepala desa yang baru akan dilakukan pada bulan Maret 2007. Biasanya proses pemilihan kepala desa ini tidak akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan masyarakat.
1.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan
1.5.1 Sejarah Pengelolaan Hutan
Sejarah pengelolaan sumberdaya alam di Pulau Jawa dapat dibagi dalam beberapa fase atau periode. Fase-fase tersebut umum berlaku dari Jawa Timur hingga Jawa Barat. Fase pertama disebut fase prehistoric, yang merupakan pengelolaan sumberdaya alam saat jaman prasejarah, fase kedua adalah fase historic, yang merupakan fase pengelolaan sumberdaya alam oleh penduduk lokal atau masyarakat asli Jawa hingga zaman terbentuknya kerajaan-kerajaan di Jawa yang disebut fase kerajaan. Fase keempat adalah fase intervensi oleh VOC dan dilanjutkan oleh kolonial Belanda atau fase perkebunan. Fase kelima adalah fase pengalihan penguasaan oleh Pemerintah Inggris atau fase konservasi dan fase keenam saat Orde Baru atau fase Revolusi Hijau hingga sekarang.
Indikator kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati secara umum dapat dilihat dari pengelolaan hutannya. Untuk kondisi kehutanan di Jawa mulai rusak saat dikelola Vereniging Oost-Indische Compagnie (VOC) yang mengeksploitasi hutan alam di Jawa, mengakibatkan hutan di Jawa rusak berat. Kerusakan diperparah ulah pejabat pemerintah kolonial dan berkembangnya bisnis pribadi antara karyawan dan eks karyawan VOC dengan Bupati guna memperkaya diri akibatnya kas Kerajaan Belanda tak terisi. VOC dibubarkan tahun 1796 dan pengelolaan hutan di Jawa diambil alih Kerajaan Belanda.
Pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, awal tahun 1800-an hutan tanaman, khususnya jati, dibangun. Tahun 1865 Daendels mengeluarkan Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura. Tahun 1892 Daendels membentuk organisasi teritorial kehutanan, Houtvesterij dan Djatibedrijfs (Perusahaan Jati). Langkah Daendels dimantapkan dengan disusunnya rencana perusahaan pertama oleh Bruisma.
Pada saat pemerintahan Gubernur Jendral Raffless dari Inggris, permasalahan eksploitasi sumberdaya hutan dan kehancurannya di antisipasi dengan membuat beberapa wilayah konservasi. Titik dasar dari pengembangan area konservasi adalah dengan membangun
beberapa tempat cagar alam. Pemilihan lokasi dengan melihat kondisi kehutanan setempat. Maka dipilihlah daerah Jawa Barat sebagai pusat konservasi tersebut. Beberapa warisan Raffles yang masih ada misalnya Kebun Raya Bogor. Untuk wilayah Jawa Tengah, hal tersebut tidak dilakukan, mengingat kehutanan di Jawa Tengah telah mengalami degradasi dan telah di alihfungsikan menjadi hutan sekunder dan perkebunan.
Pasca kemerdekaan, pengelolaan 90% Kehutanan Negara dimandatkan kepada Perum
Perhutani, yang juga menjadi BUMN tertua di Indonesia. Selanjutnya, lebih dari 70% luasan hutan negara difungsikan sebagai hutan produksi. Skala prioritas Perum Perhutani merujuk pada 4 jenis tanaman usaha, yaitu mahoni, jati, kayu putih dan pinus. Sistem hutan monokultur menyebabkan hilangnya habitat dan sumber pakan beberapa satwa endemik. Tidak mengherankan jika banyak satwa yang telah menghilang terutama di sepanjang sub-DAS Tangsi. Beberapa satwa yang telah dianggap hilang antara lain Harimau Jawa (Panthera tigris sp) yang oleh masyarakat disini
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
9
dipercaya masih menghuni hutan Gunung Sumbing enam-puluh-tahunan yang lalu, serta betet jawa (Ucilus sp) yang terakhir terlihat di Sumbing tahun 2001 (Bird Life, 2001).
1.5.2 Kepemilikan lahan dan isu-isu seputarnya
Secara umum, status lahan di kawasan ini dapat dibedakan menjadi tiga tipe kepemilikan.
Pertama, lahan dengan status kepemilikan pribadi yang dikelola oleh masyarakat. Biasa dikenal
dengan tanah “persil” atau lahan yang dikenai pajak oleh negara dengan status kepemilikan oleh orang umum. Penggunaan lahan persil ini biasanya untuk budidaya tanaman-tanaman penyokong hidup masyarakat, dapat berupa lahan basah yang ditanami padi hingga tegal atau kebun yang ditanami tanaman lahan kering serta tegakan-tegakan pohon.
Khusus untuk beberapa spot di wengkon atau pangkuan desa Sutopati dan Sukomakmur, lahan persil di sewakan kepada sebuah perusahaan swasta produsen tanaman agribisnis berupa tanaman sejenis pakis yang tidak begitu diketahui peruntukannya. Penyewaan lahan kepada perusahaan telah berlangsung sejak lama dalam area yang cukup luas. Pengusahaan lahan persil kepada perusahaan produsen pakis dicirikan dengan pengusahaan skala perusahaan swasta yang sarat modal dan teknologi. Ciri utama dengan melihat macam tanaman yang diusahakan berupa tanaman monokultur berupa pakis, dinaungi dengan jaring “paranet” , serta menyerap tenaga kerja atau buruh dari masyarakat sekitar. Tidak jarang juga, buruh yang bekerja adalah pemilik lahan atau yang menyewakan lahan.
Kedua, lahan dengan kepemilikan oleh tuan tanah atau orang kaya desa, dicirikan dengan
pengusahaan lahan atau penggunaan lahan oleh orang lain dengan sistem sewa atau bagi hasil. Untuk penggunaan lahan sebagai tempat tinggal, di kawasan Sub DAS Tangsi lebih familier menggunakan istilah “ngindung” atau ikut memakai lahan milik orang lain untuk bermukim dengan cara sewa.
Untuk Sistem pengolahan lahan produksi tanaman pangan dengan sistem bagi hasil biasa dilakukan dengan perjanjian non tertulis berdasarkan andil masing-masing orang atau sesuai kesepakatan. Andil disini bisa dengan cara pemilik lahan menutup semua kebutuhan faktor produksi budidaya tanaman yang diusahakan, sehingga pemilik mendapat bagian yang besar. Penyewa lahan dalam situasi tersebut lebih diposisikan sebagai pelaksana dan penanggung jawab proses produksi lahan.
Selain itu dikenal juga sistem bagi hasil dengan cara penyewa mengusahakan sebuah kegiatan produksi tanaman pertanian dengan memenuhi semua atau sebagian besar faktor produksi. Sewa lahan dibayarkan dengan hasil dari aktivitas produksi yang dilakukan.
Ketiga, lahan dengan status kawasan milik negara, dengan ciri utama pengelolaan lahan
biasanya berupa kawasan hutan untuk tujuan tertentu. Pengelolaan lahan negara merunut pada konsensi pembentukan Perum Perhutani setidaknya ada 3 tujuan utama:
Pengelolaan lahan hutan negara dengan tujuan produksi hasil hutan baik kayu dan non kayu. Secara umum ada 5 jenis tanaman yang menjadi prioritas utama pengusahaan, meliputi kayu putih, jati, mahoni, pinus dan damar. sedangkan yang terjadi di kawasan perbukitan Potorono adalah pengelolaan lahan hutan produksi dengan tujuan hasil berupa kayu dengan penanaman pohon Mahoni dan untuk hasil hutan non kayu berupa penanaman pinus dan damar.
Pengelolaan lahan hutan negara untuk tujuan hutan lindung. Pengelolaan ini mendasarkan pada fungsi dasar hutan sebagai daerah tangkapan air. Untuk kawasan hutan lindung, maka semua proses eksploitasi sumberdaya hutan dilarang untuk dilakukan di kawasan ini.
Pengelolaan hutan negara untuk tujuan kawasan cagar alam atau suaka marga satwa. Di kawasan Potorono belum ada kawasan yang diperuntukkan sebagai cagar alam atau suaka marga satwa.
Penerapan pengelolaan lahan hutan di wilayah Potorono untuk tujuan produksi dipandang sebagai salah satu penyebab berubahnya ekosistem kawasan ini. Konflik yang terjadi akibat penerapan pengelolaan lahan negara dengan pola vegetasi monokulltur. Ditambah lagi dengan
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
10
adanya kegiatan-kegiatan diluar prosedur yang menyebabkan kerusakan lahan dan berdampak pada masyarakat secara langsung. Dampak yang terjadi dapat berupa; semakin berkurangnya debit air dan kerusakan ekosistem dan menghilangnya berbagai macam satwa.
Sejak tahun 2001 Perum Perhutani telah mengambil kebijakan untuk mengelola lahan hutan negara berdasarkan prinsip PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat). Untuk implementasi di Kawasan Potorono, PHBM masih belum menyentuh secara utuh sampai saat ini. Kalaupun ada pengangkatan kesepakatan dengan pihak desa, hanya sampai dengan tersusunnya LMDH (lembaga masyarakat desa hutan) secara formal. Implementasi lebih lanjut dalam kerangka perencanaan pengelolaan hutan, masyarakat sekitar kawasan masih belum dilibatkan. Dilain sisi intervensi masyarakat ke hutan negara dalam menjawab persoalan kekurangan sumberdaya penyokong hidup baik berupa sumberdaya air maupun sumberdaya alam dengan jalan mengelola hutan negara.
1.5.3 Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lembaga Lain yang Ada
Di kawasan Potorono telah dilakukan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat dan konservasi hutan. Beberapa lembaga yang telah dan sedang melakukan kegiatan di kawasan ini antara lain:
• Dinas Pertanian melakukan kegiatan di bidang pertanian dengan mengucurkan bantuan berupa bibit tanaman hortikultura terutama di Desa Sukomakmur dan Sutopati serta Sukorejo. Untuk kegiatan yang berhubungan dengan rehabilitasi lahan dan hutan, Dinas Pertanian melakukan satu program yang dinamakan Gerakan Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GNHRL). Kegiatan ini dilakukan dengan pendampingan masyarakat melalui pemberian bantuan berupa pemberian bibit tanaman kayu dan buah-buahan.
• Pemerintah tingkat Kecamatan masih melakukan kegiatan pengembangan sarana dan prasarana desa. Kegiatan yang telah dijalankan seperti pembangunan jembatan, pembangunan jalan desa dan pembangunan MCK umum desa. Kegiatan ini dikemas dalam bentuk kegiatan PPK (Proyek Pengembangan Kecamatan)
• KIPPK (kantor informasi penyuluhan pertanian dan kehutanan) melakukan kegiatan pendampingan pertanian dan kehutanan dengan mendampingi masyarakat dalam pembudidayaan tanaman pertanian dan kehutanan. KIPPK telah melakukan kegiatannya selama lebih dari 3 tahun.
• PDPP (Program Desa Pendampingan Partisipatif)-DAFEP/World Bank telah melakukan kegiatan pendampingan desa Sambak berupa perencanaan dasar pembangunan desa selama satu setengah tahun. Program ini mengacu pada pengembangan potensi desa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. • UPN Veteran Jogja masih melakukan aktivitas pendampingan desa Sambak
dalam kerangka pengembangan desa wisata berbasis masyarakat selama 15 tahun. Pengambangan desa wisata ini berdasarkan pada kajian potensi desa dan kawasan serta pemetaan desa.
• UMM Magelang telah melakukan kegiatan berkala dalam kerangka pengembangan study lembaga pendidikan tinggi. Kegiatan yang telah dilaksanakan diantaranya pengembangan demplot tanaman buah-buahan di desa Sambak.
• KSM Agrowanawisata desa Sambak, merupakan kelompok swadaya masyarakat yang berkegiatan dalam pengembangan desa mandiri berwawasan lingkungan hidup dalam wadah kegiatan pertanian dan kehutanan. Aktivitas riil yang dilaksanakan berupa pengembangan kawasan desa menjadi tempat pembelajaran /wahana lingkungan hidup.
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
11
• Lembaga pengelola air Dharmo Tirto Warih memiliki kegiatan berupa pengelolaan sumberdaya air di 9 desa yang bertujuan pada distribusi dan perlindungan sumberdaya air bersih bagi masyarakat.• YBL MastA-PKHR UGM selama lebih dari 2 tahun telah melakukan kegiatan pendampingan Desa Sambak dan desa sekitarnya untuk pengembangan hutan rakyat berbasis managemen hutan. Kerangka program ini disebut Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari.
• ESP-USAID saat ini melakukan kegiatan pengelolaan sub-DAS Tangsi dengan isu utama air dan kesehatan masyarakat. Kegiatan yang dikembangkan berprinsip kepada hubungan hulu dan hilir termasuk diantaranya pengelolaan daerah tangkapan air, pengembangan kesehatan masyarakat, peningkatan kapasitas masyarakat, dan monitoring kualitas air.
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
12
2 PENILAIAN KAWASAN
2.1 Analisa Matriks Pemangku Kepentingan
Tokoh formal dan informal, yang mewakili masyarakat sebagai bagian dari stakeholder (pemangku kepentingan) lokal telah dilibatkan di dalam proses perencanaan kegiatan ini, sebagai usaha untuk mendorong rasa ‘kepemilikan’ terhadap program, juga untuk memperoleh masukan informasi dan perspektif masyarakat setempat di kawasan yang akan menjadi target. Usaha ini dilakukan untuk dapat memotivasi partisipasi aktif masyarakat di dalam pelaksanaan program ini.
Untuk benar-benar mendapatkan tokoh masyarakat yang dapat mewakili kepentingan masyarakat dan juga memahami secara lengkap kondisi kawasan, diperlukan suatu analisa. Analisa ini merupakan upaya untuk memahami keputusan pelibatan seorang anggota masyarakat dalam lokakarya pemangku kepentingan. Analisa didasarkan kepada beberapa faktor seperti: kepentingan apa yang dibawa orang tersebut, kontribusi atau sumbangsih apa yang kemungkinan dapat diperoleh terutama ketika program sudah berjalan, dan kendala apa yang kemungkinan timbul bagi program jika keikutsertaannya dibatasi.
Stakeholder workshop pertama tentang kondisi hutan Potorono di kecamatan Kajoran, Magelang dilakukan di Desa Krumpakan pada 2 Oktober 2006 Pertemuan ini dihadiri oleh kurang lebih 32 peserta yang mewakili ke-8 desa target. Di antara yang hadir adalah perwakilan PKK, Guru, Perum Perhutani, ESP-USAID, LSM Hijau, Kelompok Tani, Pemuda serta KSM Agrowanawisata dan Lembaga Pengelola Air. Pada pertemuan ini, dikembangkan sebuah Model Konsep awal tentang kondisi dan faktor yang mempengaruhi hutan Potorono.
Tabel 3 berikut ini adalah daftar para peserta dalam pertemuan pemangku kepentingan yang pertama, serta gambaran issu yang dibawa, motif, potensi kontribusi,dan konsekuensi dari kehadiran pemangku kepentingan tersebut di dalam perencanaan program.
Tabel 1. Matriks Analisa Pemangku Kepentingan (pada pertemuan pertama)
No Lembaga / instansi Nama Isu yang dibawa Motif Potensi Kontribusi Konsekuensi
1 ESP (WSM) Sigit
Integrasi kegiatan spesifik Pride dalam mendukung konservasi daerah tangkapan air oleh Masyarakat Program yang saling berkaitan Informasi Data kawasan, Integrasi kegiatan, Dukungan Kerjasama & integrasi program yang baik dan kesepahaman mengenai pendekatan Pride
2 ESP ( POC ) Aryo
Integrasi kegiatan Pride dalam publikasi aktivitas masyarakat di daerah tangkapan air Program Pride mendukung program ESP dalam konservasi secara lebih spesifik Publikasi dan data Dukungan publikasi keluar dan hubungan dengan media massa
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
13
4 Perum Perhutani Fatnan Pengelolaan Kehutanan terjaga dan produktif Pride menjadi jembatan kerjasama kolaboratif antara Perhutani dan Masyarakat untuk suksesnya PHBM (Program pengelolaan hutan ber-sama masya-rakat ) Data sebaran Hutan negara serta potensi sumber penghidupan masyarakat dari hutan; Alternatif perspektif dalam pengelolaan SDA secara lestari Dukungan data, dukungan legalitas kelembagaan pengelola hutan, dukungan material pengelolaan hutan negara. 5 Forum pengelola air di 9 desa (Dharmo Tirta Warih) Hery Subrastawa, Zuna Eliyah
Pride menjadi meto-de pembelajaran bagi masyarakat di 8 desa terutama dalam mengako-modir kearifan lokal
Program Pride mendukung penyadaran masyarakat untuk men-jaga SDA dan peningkatan pengetahuan masyarakat Potensi pendidikan lingkungan hidup dan partispasi masyarakat serta dukungan kepada pelestarian kearifan lembaga pengelola air. Dukungan mate-rial kebudayaan lokal sebagai strategi komu-nikasi pendidikan perlindungan ala 6 Lurah Desa Sutopati, Sukorejo, Krumpakan Hartono, Titik Qomariyah, H. Samsudin Mekanisme konservasi sebagai pendukung ekonomi rakyat; posisi program kampanye di antara berbagai program konservasi yang sudah ada di wilayahnya Program kampanye mendukung AgroWana Wisata dalam konteks pengangkatan budaya lokal; ingin mendapat kepastian bahwa pro-gram nantinya akan membawa keuntungan/m anfaat bagi wilayah dan masyarakat-nya Dukungan program dan kesediaan sebagai site learning; potensi untuk pengetahuan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam Fasilitasi desa sebagai study learning centre; kepemilikan program dan partisipasi masyarakat; kontak person untuk terlibat dalam program
No Lembaga / instansi Nama Isu yang dibawa Motif Potensi Kontribusi Konsekuensi
7 Camat Kajoran Harsono
Pemberdayaan masyarakat; pengentasan kemiskinan Program dapat mendukung alur program pembangunan dari pemerin-tah Kabupaten Magelang; pengetahuan mengenai isu struktural & anggaran daerah Dukungan pro-gram, data, fasili-tasi tempat; peta issu dan perma-salahan wilayah terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam Memperoleh pers-pektif kecamatan dalam pengem-bangan wilayah dan kaitannya dengan konser-vasi; Informasi dan dukungan fasilitasi kelembagaan
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
14
8 Pemuda Arso Penguatan sektor pertanian sebagai sumber penghidupan yang layak diperjuangkan Program da-pat membuka ruang pe-mikiran ma-syarakat un-tuk optima-lisasi potensi dan konser-vasi Dukungan program untuk mengkam-panyekan Keterlibatan dalam program9 Tokoh agama Gus Solah, Gus Nurul Pendidikan masyarakat untuk mandiri Program da-pat menginte-grasikan pola budaya masyarakat untuk perba-ikan hidup Dukungan program melalui dakwah Dukungan moril dan kontribusi pendidikan dengan ceramah agama dan lingkungan hidup 10 Perwakilan KSM Agrowanawisa ta Irwanto, Makpul Kampanye dapat mendorong pemahaman program Agro Wana Wisata Program sesuai dengan tujuan KSM untuk mewujudkan cita-cita kemandirian desa Dukungan aktivitas melalui fasilitasi komponen agrowanawisata di bagian pendidikan lingkungan Keterlibatan dalam program, nara-sumber pendidikan lingkungan hidup 11 KIPPK (Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan) Wiyoto,
Gatot Pemberdayaan masyarakat Tani
Kelembagaan masyarakat desa yang kuat Dukungan data dan dukungan penyuluhan pertanian dan kehutanan Fasilitasi penyuluhan kehutanan dan pertanian
12 Hijau Panji/Melir Publikasi aktivitas masyarakat Sub_DAS Tangsi Mekanisme kolaborasi pendidikan lingkungan Dukungan material Publik Outreach, Integrasi dan kolaborasi pendidikan lingkungan
13 Dinas Pendidikan Suwandi Kurikulum belajar sekolah dasar
Mekanisme pengembanga n metode pendidikan Dukungan bagi sekolah, guru dan murid untuk pendidikan lingkungan Ketertarikan dengan program sebagai pendidikan alternatif
No Lembaga / instansi Nama Isu yang dibawa Motif Potensi Kontribusi Konsekuensi
14 Kepala sekolah SD / MI/TK Sutopati, Banjaragung, Mangunrejo, Sukomakmur P.Sunaryo-ko, Bu Mukhlas, Siti Zuhri-yah, Juwandi Pendidikan dini untuk anak-anak tentang lingkungan hidup, pembelajaran nyata untuk anak
Mengetahui metode lain dalam men-didik siswa, keinginan memahami pendidikan lingkungan Dukungan ma-terial untuk pendidikan anak Media pembe-lajaran bagi peserta didik untuk dapat berpikir nyata tentang alam dan lingkungan hidup, Media pembela-jaran peserta didik, pengemba-ngan kreativitas peserta didik, agen untuk perubahan. 15 BPS Magelang Sutoyo Ketertarikan kepada program Aplikasi data bagi
masya-rakat Dukungan data, statistik dan demografi Data tentang demografi
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
15
16 Dinas Pertanian Kismanto, Heru Ketertarikan kepada program
Program men-jadi alat bantu dalam penya-daran masya-rakat untuk perbaikan lingkungan Dukungan data dan implementasi Dukungan dan fasilitasi penyuluhan, Dukungan material pendukung implementasi teknis berupa bibit
17 PKK Sumijah, Liswanti
Pemberdayaan perempuan; kegi-atan memberi ke-untungan/manfaat bagi perempuan Pembelajaran konservasi untuk peles-tarian sum-berdaya alam; mencari kesempatan pengembanga n diri & peningkatan pendapatan alternatif Peran perempuan dalam pe-ngelolaan sumber daya alam; alternatif kegia-tan untuk pe-ningkatan kapa-sitas perempuan Pengambilan ke-putusan dalam kehidupan seha-ri-hari yang ber-imbang gender Dukungan akti-vitas program Perspektif perempuan dalam pengelolaan SDA di kawasan; kontak person; Ikut terlibat dalam program
18 BP DAS Progo Sujono
Ketertarikan program dalam penggunaan sarana informasi sebagai konsep penyadaran masyarakat Pengembanga n DAS Progo dari penguatan masyarakat hilir Dukungan data dan informasi
Data tentang kon-disi dan potensi Sub-DAS Tangsi, dukungan program dalam pengelolaan DAS Progo
19 LMDH Desa Sutopati dan Sukorejo
Jamil ,
Langen Penguatan Lembaga Kehutanan Desa
Penyadaran masyarakat tentang konservasi Sumberdaya Hutan Dukungan data kehutanan dan aktivitas kelompok
Data kondisi riil lapangan;
dukungan program pengelolaan kawasan hutan
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
16
Gambar 4: Peserta Lokakarya Stakeholder Pertama Membuat Analisa Ancaman
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
17
2.2 Focus Group Discussion
Secara umum Focus Group Discussion (FGD) adalah suatu metoda penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan dan menggali secara kualitatif secara sistematis isu-isu yang spesifik atau sensitif.
FGD dilakukan dengan melakukan wawancara group yang berhubungan langsung dengan persoalan atau isu yang terkait dengan penebangan liar yang terjadi, tidak adanya reboisasi dan alih ffungsi lahan hutan yang dilakukan.
Pada prinsipnya proses ini dilakukan dengan sebisa mungkin mengajak peserta dalam ruang dan tempat yang khusus untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan serta jauh dari gangguan. Hal ini diharapkan bahwa diskusi yang dilakukan menghasilkan data kualitatif yang benar-benar spesifik sesuai dengan isu yang ada.
Kondisi peserta FGD dalam melakukan diskusi dibimbing dalam bentuk setengah lingkaran, dipandu oleh seorang fasilitator dan ada seorang yang bertugas sebagai blocker untuk mengatasi gangguan dari luar serta seorang pengamat sekaligus pendokumentasi kegiatan.
Proses FGD (focus group discussion) dilaksanakan di 7 desa dengan penekanan pada kasus kehutanan di ekosistem Potorono kaki Gunung Sumbing. Tema difokuskan pada 3 persoalan yang dianggap paling luas dampak dan aktivitasnya, intensitas dan frekuensi dari fakktor langsung ancaman yang mempengaruhi kondisi ekosistem Potorono di kaki Gunung Sumbing. Proses ini di mulai dengan mengenal subyek yang berperan langsung dengan faktor ancaman, dengan menempatkan pelaku sebagai subyek untuk membangun pengertian data yang konkrit. Validitas data yang diperoleh akan sangat membantu dalam pemahaman persoalan sensitive dari sumber yang langsung. Pengenalan subyek ini tidak dapat serta merta diperoleh, tetapi dengan rekomendasi desa, kemauan untuk berbagi dari subyek, serta faktor individu yang hampir seragam, mulai dari jenis kelamin, umur, aktivitas serta peran dalam kaitannya ancaman yang terjadi.
Peserta diambil mendasarkan kontak dari person yang ada di perwakilan site atau fokus daerah untuk mendapatkan kepercayaan dan pemahaman lebih dalam dalam menentukan actor (narasumber) FGD. Kontak person sering ikut sebagai peserta untuk ikut memahami dan memberikan beberapa masukan dalam proses FGD yang dijalankan. Kontak person berasal dari beberapa kriteria, pertama dari pemerintah desa, misal Lurah desa, Carik/sekretaris desa, kedua pemandu desa ESP, ketiga kontak aktivis desa yang peduli dengan lingkungan hidup desa. Dari kontak person inilah yang kemudian merekomendasikan siapa yang sesuai untuk proses FGD yang dilakukan dengan kriteria yang telah dijelaskan oleh Manager Kampanye Pride beserta tim.
2.2.1 Deskripsi Responden
Responden berasal dari masyarakat yang menjadi pelaku atau saksi dari 3 isu sensitif hasil dari penilaian saat Stakeholders Workshop yaitu pelaku penebangan liar, alih fungsi lahan dan tidak ada reboisasi. Responden atau peserta FGD direkomendasikan oleh nara sumber dari masyarakat, dengan kriteria seperti tertera pada tabel 5 berikut ini.
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
18
Tabel 2. Deskripsi responden
Topik FGD Karakteristik peserta Jumlah Peserta
setiap diskusi Jumlah Diskusi Tim
1 (Penebangan liar)
Petani, Tukang kayu usia 30 s/d 45 tahun yang berhubungan langsung dengan penebangan di Potorono 5 – 7 orang 3 kali (Krumpakan, Sukomulyo, Sukorejo) 1 2 (Pembukaan lahan)
Petani Hutan usia 30 s/d 40 tahun yang mengelola lahan kehutanan dan memahami perubahan fungsi hutan.
5 – 7 orang 3 kali (Sutopati, Krumpakan, Sukomakmur)
2
Petani hutan usia 25 hingga 40 tahun yang memahami persoalan rehabilitasi hutan dan lahan
5 – 7 orang 2 kali ( Desa Sukomakmur dan Sutopati )
3 3 (Tidak ada
reboisasi)
Ibu-ibu usia 30-45 tahun yang memahami sejarah penghijauan desa
5-7 orang 3 kali (Sambak, Sukomakmur, Mangunrejo)
3
Agar proses FGD dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan topik yang ingin diperdalam, maka disusun pertanyaan-pertanyaan panduan seperti terlihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 3: Pertanyaan Panduan per Topik FGD Jenis
Pertanyaan TOPIK 1: Penebangan TOPIK 2: Alih Fungsi lahan TOPIK 3: Tidak ada Reboisasi
1. Pembuka Perkenalan: mohon sebutkan nama Anda
Kegiatan apa saja yang anda lakukan selama bulan puasa ini?
Perkenalan: mohon sebutkan nama Anda
Kegiatan apa saja yang anda lakukan selama bulan puasa ini?
Perkenalan: mohon sebutkan nama Anda Kegiatan apa saja yang anda lakukan selama bulan puasa ini? 2. Pertanyaan
pembuka Kegiatan apa saja yang biasanya Anda lakukan di dalam hutan?
Bagaimana anda mengelola lahan hutan?
Kegiatan apa saja yang biasanya Anda lakukan di dalam hutan?
Seperti apakah keikutsertaan anda dalam mengelola lahan hutan?
Jika Anda mendengar kata ”reboisasi’, apa
pengertian anda tentang hal tersebut
3. Pertanyaan
transisi 1. Menurut Anda, apakah masyarakat tergantung pada kelestarian hutan Potorono? 2. Seperti apa bentuk ketergantungan tersebut? 3. Bagaimana kondisi hutan saat ini jika dibandingkan 5 atau 10 tahun yang lalu? 4. Apakah disebabkan karena penebangan hutan?
1. Menurut Anda, apakah masyarakat tergantung pada kelestarian hutan Potorono? 2. Seperti apa bentuk ketergantungan tersebut ? 3. Bagaimana kondisi lahan hutan saat ini jika
dibandingkan 5 atau 10 tahun yang lalu?
4. apakah karena hutan dibuka untuk ditanami tanaman bukan tanaman hutan?
1. Menurut Anda, apakah masyarakat tergantung pada kelestarian hutan Potorono?
2. Seperti apa bentuk ketergantungan tersebut ?
3. Bagaimana kondisi pohon dan tumbuhan hutan saat ini jika dibanding dengan kondisi 5 atau 10 tahun lalu? 4. Pertanyaan 1. Bagaimana menurut anda 1. Alasan apa saja yang 1. Pentingkah ada
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
19
kunci penebangan hutan itu? 2. Apakah yang
me-nyebabkan orang melakukan penebangan?
3. Budaya masyarakat yang seperti apa yang
mempengaruhi kondisi hutan Potorono sehingga tidak dapat mendukung kehidupan masyarakat ?
4. Apakah perburuan hewan di hutan juga mempengaruhi kondisi ekosistem Potorono dan berdampak langsung pada masyarakat? 5. Hewan apa saja yang dapat ditemui dan dapatkah dihubungkan dengan kese-imbangan alam hutan potorono?
6. Hewan unik apa yang anda ketahui pernah menghuni hu-tan Potorono 10 tahun lalu? Masihkah dapat ditemui sekarang? Dimana?
membuat para petani membuka lahan hutan menjadi kebun?
2. Apakah akibat yang saat ini dirasakan dari perubahan lahan karena ditanami tanaman bukan pohon? 3. Budaya masyarakat yang seperti apa yang
mempengaruhi kondisi hutan Potorono sehingga tidak dapat mendukung kehidupan ma-syarakat ?
4.Apakah perburuan hewan di hutan juga mempengaruhi kondisi ekosistem Potorono dan berdampak langsung pada masyarakat?
5. Hewan apa saja yang dapat ditemui dan dapatkah
dihubungkan dengan keseimbangan alam hutan potorono?
reboisasi di tempat tinggal Anda? Menurut Anda, manfaat apa saja yang akan diterima dari adanya penanaman hutan kem-bali?
2. Apakah yang me-nyebabkan tidak adanya reboisasi di sini? 3. Budaya masyarakat yang seperti apa yang mempengaruhi kondisi hutan Potorono sehingga tidak dapat mendukung kehidupan masyarakat ?
5. Pertanyaan
penutup Menurut anda bagaimana sebaiknya hubungan antara masyarakat dengan hutan agar tetap lestari, dan ma-syarakat tetap mendapat manfaat dari kelestarian tersebut?
Menurut anda bagaimana sebaiknya hubungan antara masyarakat dengan hutan agar tetap lestari, dan masya-rakat tetap mendapat manfaat dari kelestarian tersebut?
Cara-cara apa yang Anda sarankan agar kita dapat mendorong berjalannya kelestarian hutan hingga sampai cucu-cucu kita nantinya.
2.2.2 Analisa Hasil Focus Group Discussion
Penebangan, alih fungsi lahan dan tidak adanya kegiatan reboisasi merupakan tiga ancaman utama yang menyebabkan perubahan kondisi hutan Potorono. FGD dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai ketiga ancaman utama tersebut. Dari rangkaian FGD yang dilakukan, diperoleh bbeberapa informasi yang penting seperti:
1. Para peserta FGD dari desa Krumpakan, Sukomulyo dan Sukorejo menyatakan bahwa penebangan liar disebabkan oleh beberapa faktor seperti: faktor ekonomi, kurangnya kesadaran menjaga hutan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kebutuhan akan kayu bakar, lemahnya hukum dan pengawasan, serta kebijakan pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan.
2. Sementara itu para peserta FGD yang lain dari desa Sukomakmur, Krumpakan dan Sutopati menyatakan bahwa penyebab terjadinya alih fungsi lahan adalah: faktor ekonomi, pertambahan penduduk, peningkatan jumlah ternak yang dipelihara, naiknya harga satu atau beberapa komoditas pertanian, lemahnya kebijakan pembangunan, berkurangnya produktifitas lahan, rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tingkat pendidikan masyarakat.
3. FGD yang dilakukan untuk Desa Sambak, Sukomakmur dan Mangunrejo memberikan informasi bahwa tidak adanya kegiatan reboisasi disebabkan oleh: kekurangan biaya untuk membeli bibit, kualitas sumber daya manusia yang terbatas, kurangnya keterlibatan perempuan, lemahnya dukungan pemerintah, lahan bukan milik masyarakat, ketidaksesuaian tanaman, ketidak sesuaian musim, rendahnya kesadaran dan pendidikan masyarakat, serta lemahnya kelembagaan masyarakat.
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
20
4. Selain itu, FGD juga menyinggung topik lain seperti perburuan liar yang disebabkan oleh faktor ekonomi, hobi, menjadi sumber bahan pangan, anggapan hewan sebagai hama, serta penyebab lain seperti beralihanya fungsi hutan menjadi hutan produksi dan penggunaan pestisida berlebihan.Hasil FGD menyimpulkan bahwa kerusakan hutan memiliki pola sebagai berikut: dimulai dari penebangan seluruh hutan alami kemudian berubah menjadi lahan kontrak yang ditanami tanaman semusim. Perubahan peruntukan lahan dari lahan hutan menjadi lahan pertanian pangan dan tanaman semusim berdampak kepada rusaknya ekosistem hutan, menurunnya debit air serta hilangnya satwa endemik. Perbedaan pandangan dalam pengelolaan lingkungan hutan desa dapat ditemui di semua desa. Perbedaan ini muncul ketika masyarakat memahami bahwa diperlukan kerjasama dalam pengelolaan hutan negara. Masyarakat setempat adalah subyek yang langsung berhubungan dan penerima dampak dari pengelolaan hutan yang dijalankan oleh Perum Perhutani. Selain itu pemahaman tentang kelembagaan kehutanan (dalam kerangka program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat atau PHBM) masih lemah dalam tingkat komunikasi dan hubungan timbal balik antara Perum Perhutani dan masyarakat. Dampaknya adalah kurangnya rasa pemahaman mengenai fungsi hutan dan rendahnya rasa memiliki hutan desa.
Dengan demikian diperlukan kelembagaan kehutanan desa yang kuat sehingga mampu mengelola hutan desa untuk kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, ditingkat masyarakat masih terjadi silang pendapat tentang peran masyarakat dalam pola PHBM ini. Selain itu, ditemukan juga ketidaksesuaian antara kebijakan pengelolaan lahan hutan dengan pelaksanaan di tingkat lapangan. Hal ini disebabkan diantaranya oleh kurangnya tingkat pemahaman masyarakat mengenai PHBM, kebijakan kehutanan yang kurang jelas dan lemahnya kualitas sumberdaya manusia.
Beberapa masukan yang muncul dari FGD untuk pengelolaan hutan yang lebih baik adalah dibangunnya payung hukum di tingkat desa (peraturan desa/Perdes) dan di tingkat kabupaten (Perda) untuk menaungi kegiatan masyarakat dalam menjaga dan mengelola hutan desa. Selain itu, diperlukan penyuluhan dan pendidikan lingkungan hidup untuk meningkatkan pemahaman masyarakat. Selanjutnya dibutuhkan juga dukungan dalam bentuk penguatan kelembagaan kehutanan desa.
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
21
2.3 Survei Masyarakat
2.3.1 Pra Campaign Survey
Tujuan dari dilakukannya survei ini adalah untuk mendapatkan informasi kuantitatif mengenai kawasan, dan data-data penting yang berkenaan dengan KAP (knowledge-attitude-practice) dari masyarakat di kawasan target. Data KAP sangat penting untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat, sikap dan perilaku saat ini yang berguna untuk menentukan sejauh apa perubahan yang diinginkan melalui program kampanye nanti. Oleh karena itu, survei ini juga bertujuan untuk menentukan data awal (baseline data) yang akan digunakan sebagai pembanding pada akhir kegiatan kampanye ini.
Survei dilakukan di 8 desa dengan jumlah kuesioner yang disebarkan sebanyak 530. Satu lembar kuesioner terdiri dari 7 halaman dan secara keseluruhan terdapat 35 pertanyaan. Secara umum pertanyaan ini terdiri dari pertanyaan demografi seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan utama, dan tingkat pendidikan. Kemudian ada kelompok pertanyaan yang berhubungan dengan pilihan media seperti media cetak berupa koran dan majalah, media elektronik berupa televisi dan radio serta serta tingkat kepercayaan pada sumber informasi. Selanjutnya ada pula kelompok pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan seperti pengetahuan tentang kondisi lokal daerah, jenis satwa yang ada serta pengetahuan tentang usaha tani. Kelompok pertanyaan mengenai sikap seperti misalnya kondisi air, keamanan hutan, kondisi satwa lokal. Pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku juga dimasukkan misalnya perilaku responden terhadap
perusakan sumberdaya alam dan perilaku responden terhadap tanggung jawab pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu, berkenaan dengan misi umum ESP, ada juga kelompok pertanyaan kesehatan dan pola penggunaan air. Bentuk pertanyaan dapat dilihat pada lampiran.
Gambar 6 : Proses Pra Campaign Survey
Survei ini dilakukan selama 3 hari dengan melibatkan 21 enumerator. Dari 530 kuesioner yang disebarkan kepada masyarakat target, keseluruhannya kembali. Untuk jumlah populasi 20,517, penghitungan jumlah sampel dengan LOC (level of confidence) 95% dan interval 5% adalah
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
22
sebesar 378. Maka sejumlah inilah kuesiner yang dimasukkan ke dalam komputer untuk diolah datanya. Kelompok kontrol (control group) berasal dari masyarakat di Desa Botosari dan Desa Kaliombo, Pekalongan yang kurang lebih berjarak 250 km dari masyarakat desa target.
2.3.2 Proses Survei Pasca Kampanye
Proses survei pasca kampanye yang dilakukan persis sama dengan proses survei pra kampanye. Survei ini menggunakan daftar pertanyaan yang sama dengan tujuan untuk melihat tingkat perubahan yang ada di masyarakat target. Jumlah distribusi kuesioner di Kawasan target juga sama yaitu 530 buah. Survei ini dibantu oleh 20 orang relawan masyarakat di kawasan. Sebelum pelaksanaan survei pasca kampanye dilakukan juga pelatihan selama 1 hari pada tanggal 7 Februari 2008. Survei Pasca Kampanye dilaksanakan pada tanggal 9 – 11 Februari 2008 di 8 desa target. Survei serupa juga dilakukan di desa kontrol dengan jumlah kuesioner 100 buah. Data kuesioner yang valid diisikan ke program SurveyPro sebanyak 378 buah dari desa target dan 60 buah dari desa kontrol.
2.4 Model Konsep Kawasan Potorono
Model Konsep adalah suatu pemahaman diagramatis terhadap kondisi suatu kawasan, dalam hal ini adalah hutan Potorono dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Model Konsep dapat menggambarkan sudut pandang masyarakat terhadap kawasannya. Model Konsep yang baik setidaknya dapat dinilai dari enam faktor yaitu: menampilkan gambaran situasi kawasan, memperlihatkan kaitan antara faktor-faktor yang mempengaruhui target kondisi,
menggambarkan ancaman langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi target kondisi, menampilkan hanya faktor-faktor yang relevan, merupakan hasil kerja tim dan berdasarkan kepada informasi dan data yang baik.
Pengembangan Model Konsep ini didasari oleh konsep yang dicetuskan oleh Richard Margoluis dan Nick Salafsky dari Foundations of Success (FOS) di dalam bukunya “Ukuran Keberhasilan” (diterjemahkan oleh Yayasan Kehati dari “Measures of Success: Designing, Managing, and Monitoring Conservation Development Projects”, terbitan Island Press tahun 1998). Pendekatan ini telah diadaptasi untuk digunakan oleh staff Rare maupun para Manajer Kampanye Pride untuk kepentingan penilaian kawasan proyek.
Setelah mengkaji informasi FGD, menganalisa data survey dan melakukan observasi langsung di lapangan, model konsep yang dikembangkan di awal mengalami revisi. Gambar 6 berikut menunjukkan model konsep untuk hutan Potorono setelah revisi.
Dokumen Laporan Akhir Kampanye Bangga di Hutan Potorono-Sumbing, Magelang Panji Anom (YBL Masta)
23
Gambar 7 : Model konsep akhir kegiatan Kampanye Bangga di Potorono.
HUTAN POTORONO KECAMATAN KAJORAN Kebakaran tidak ada reboisasi Perburuan Penebangan Liar
Alih Fungsi Lahan
Wisata tidak ramah lingkungan Kekeringan Sosial ekonomi Pertumbuhan penduduk Kesadaran Hukum Kesadaran lingkungan Pendidikan Sistem nilai budaya Kesejahteraan Keimanan Iklim/Cuaca Pengawasan Kebijakan Alih Fungsi Hutan Kebutuhan Kayu Bakar Jumlah Ternak
Pengaruh Pasar pada Jenis Tanaman Pertanaian Sumberdaya Air Budaya Berhutan Pembibitan Peran Perempuan Kurang lahan Kelembagaan Pengetahuan pengeleloaan sumber daya hutan ancaman tidak langsung yg dituuju Ancaman langsung yg akan dipengaruhi ancaman tidak langsung ancaman langsung