BAB II LANDASAN TEORI
C. MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN
1. Model Pembelajaran Montessori
a. Sejarah Montessori
Model pembelajaran Montessori pertama kali diperkenalkan
oleh seorang filsuf pendidikan bernama Maria Montessori. Maria
tahun 1870-1952 di Italia. Ketertarikan Montessori pada dunia anak
bermula saat ia bekerja di sebuah klinik psikiatri yang khusus
menangani anak berkebutuhan khusus dan gangguan mental. Dari
sini lah kemudian Montessori memiliki pemikiran untuk membantu
anak dengan gangguan mental melalui pendidikan. Ia percaya bahwa
gangguan mental yang terjadi pada anak-anak bukan sekedar
masalah medis semata namun lebih merupakan masalah yang
berkaitan dengan pendagogik. Pemikiran Montessori tersebutlah
yang kemudian memberikan sumbangan besar bagi dunia
pendidikan.
Pada tahun 1907, Montessori kemudian mendirikan sebuah
sekolah khusus bagi anak dengan gangguan mental. Sekolah tersebut
didirikan di daerah kumuh di Roma dengan nama Casai dei Bambini
yang berarti Rumah Anak-anak (Children’s House). Pembelajaran di
tempat itu dirancang agar memungkinkan anak didik yang berusia
kurang dari lima tahun melakukan berbagai kegiatan. Sekarang ini,
materi belajar di Ca sai dei Bambini bukan lagi hanya diperuntukkan
untuk anak dengan gangguan mental tetapi juga digunakan untuk
mengukur akurasi diskriminasi sensoris.
b. Karakteristik Montessori
Model pembelajaran Montessori menerapkan pembelajaran
yang lebih menekankan pada masa peka dan kebebasan yang
masing-masing untuk mempelajari sesuatu sehingga mereka akan memilih
sendiri aktivitas yang akan mereka lakukan di kelas tanpa perlu
diarahkan. Guru cukup menyediakan media atau alat bantu
pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak dan berperan
sebagai observer. Dengan demikian, aktivitas belajar lebih banyak
dilakukan secara individu atau dalam kelompok kecil.
Kelas Montessori dirancang untuk memungkinkan anak
belajar secara individu maupun dalam kelompok kecil sesuai dengan
aktivitas yang dipilihnya masing-masing (Chattin-McNichols, 1992).
Selain itu, Chattin-McNichols (1992) juga menyebutkan bahwa
kelas-kelas Montessori memungkinkan anak belajar dalam kelas
rentang lintas usia hingga tiga tahun. Melalui rancangan kelas yang
seperti ini, diharapkan anak yang usianya lebih tua dapat membantu
anak lain yang usianya lebih muda, dan sebaliknya anak yang lebih
muda dapat belajar dari anak yang usianya lebih tua. Dengan
demikian, kelas Montessori dirancang berdasarkan prinsip kerjasama
antar anak dan bukan persaingan.
Pemberian instruksi maupun penggunaan instrumen
pembelajaran juga memiliki karakteristik tersendiri di kelas
Montessori. Guru tidak memberikan instruksi pada anak melainkan
memfasilitasi anak melakukan aktivitas yang mereka inginkan sesuai
dengan perkembangannya (Yus, 2011). Guru Montessorian tidak menerapkan penghargaan dan hukuman (reward-punishment) pada
anak karena dianggap dapat merusak independensi anak dan
membuat anak bergantung pada otoritas di luar dirinya (Crain,
2007). Penggunaan media atau alat pembelajaran di sekolah
Montessori menggunakan alat-alat manipulatif yang telah dirancang
khusus oleh Montessori sendiri (Lopata, 2005). Alat tersebut
dirancang agar memiliki kontrol atas kesalahan sehingga anak dapat
menemukan dan memperbaiki sendiri kesalahannya (Yus, 2011).
Sebagai contoh, pada permainan memasangkan silinder pada
tempatnya dirancang apabila anak salah menempatkan silinder maka
akan ada silinder yang tersisa. Program Montessori tidak
menggunakan buku cetak, lembar kerja siswa, atau ujian-ujian dalam
pembelajarannya (Haines, 1995 dalam Lopata, 2005).
c. Teori Perkembangan Montessori
Montessori mengembangkan sebuah pandangannya sebagai
sebuah teori mengenai perkembangan anak. Menurutnya, anak
memiliki cara mereka sendiri untuk belajar yang muncul dari
dorongan kedewasaan mereka (Montessori, 1964). Teori yang
dikembangkan oleh Montessori memiliki komponen utama berupa
konsep mengenai periode kepekaan atau periode sensitif (Crain,
2007). Yus (2011) mencantumkan sebuah tabel yang diberikan oleh
Montessori sebagai panduan mengenali periode peka yang terbagi
Tabel 1
Tahapan Perkembangan Anak
Usia
(Tahun)
Perkembangan
1,5 Masa penyerapan total (absorbed mind), perkenalan,
dan pengalaman sensoris/panca indera
1,5 – 3 Perkembangan bahasa
1,5 – 4 Perkembangan dan koordinasi antara mata dan otot-ototnya
Perhatian pada benda-benda kecil
2 – 4 Perkembangan dan penyempurnaan gerakan-gerakan
Perhatian yang besar pada hal-hal yang nyata
Mulai menyadari urutam waktu dan ruang 2,5 – 6 Penyempurnaan penggunaan pancaindra
3 – 6 Peka terhadap pengaruh orang dewasa 3,5 – 4 Mulai mencorat-coret
4 – 4,5 Indra peraba mulai berkembang 4,5 – 5 Mulai tumbuh minat membaca
d. Dasar Pendidikan Montessori
Ada 3 aspek yang menjadi dasar pendidikan Montessori,
1) Pendidikan Sendiri (Pedosentris)
Montessori beranggapan bahwa anak memiliki potensi
untuk berkembang secara mandiri. Anak memiliki keinginan
untuk belajar, bekerja, sekaligus bersenang-senang yang muncul
dari dalam dirinya sendiri. Keinginan tersebut muncul sebagai
dorongan batin dan bukan sekedar dari rancangan pembelajaran
di sekolah. Mereka akan selalu mencari hal baru yang lebih
menantang untuk dikerjakan. Menurut Montessori, seorang anak
tidak akan mendapatkan pengalaman dan keterampilan dalam
pemecahan masalah apabila anak hanya pasif melihat orang lain
melakukan sesuatu.
2) Masa Peka
Keyakinan Montessori adalah bahwa seorang anak
memiliki masa peka atau sensitif di awal tahun-tahun awal
kehiduapan. Masa peka ialah masa dimana seorang anak siap
mengembangkan potensi yang dimilikinya. Jika masa peka ini
muncul, maka anak harus segera difasilitasi dengan alat
permainan yang sesuai dengan potensi yang akan dikembangkan
oleh anak. Misalnya, saat masa peka anak untuk belajar
membaca muncul, maka guru dapat memberikan bantuan
3) Kebebasan
Pada pembelajaran Montessori, anak diberikan
kebebasan untuk berpikir, berkarya, dan berlatih sesuka hatinya.
Hal ini berkaitan dengan kemunculan masa peka yang tidak
terduga dan berbeda antara satu anak dengan anak lainnya.
Selain itu, kebebasan ini juga bermaksud agar pendidikan tidak
menjadi suatu hal yang membebani anak. Untuk itu, lingkungan
pembelajaran di sekolah-sekolah Montessori memungkinkan
anak untuk mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi diri
anak didiknya secara bebas sehingga mampu mendukung
perkembangan fisik, mental, dan spiritual anak.
e. Peran Montessori dalam Membangun Kesiapan Sekolah
Kualitas pendidikan anak usia dini merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh pada kesiapan sekolah anak. Berdasarkan
uraian di atas terlihat bahwa model pembelajaran Montessori
memiliki beberapa karakteristik program pendidikan usia dini yang
berkualitas tinggi. Kebebesan yang diterapkan dalam pembelajaran
Montessori dianggap mampu mendukung perkembangan anak baik
secara fisik maupun psikologis melalui eksplorasi diri yang
dilakukan anak (Yus, 2011). Pembelajaran Montessori juga sangat
memperhatikan perkembangan anak dalam pembelajarannya,
terutama perkembangan masa peka anak (Yus, 2011). Sebagian
aktivitas individu dan kelompok kecil (Chattin-McNichols, 1992)
sehingga kelas-kelas Montessori pun terdiri dari kelas kecil dengan
rasio guru dan murid yang besar untuk memungkinkan guru
Montessorian memperhatikan setiap anak. Guru Montessorian
berperan sebagai fasilitator yang memfasilitasi anak untuk belajar
sesuai dengan keinginan yang muncul dari dalam diri anak, sehingga
guru harus dapat memahami kebutuhan setiap anak (Yus, 2011).
Kelas-kelas dalam model pembelajaran Montessori terdiri
atas rentang usia hingga tiga tahun (Chattin-McNichols, 1992).
Rancangan kelas seperti ini diharapkan anak yang lebih dewasa
dapat membantu anak yang lain yang usianya lebih muda. Hal ini
sesuai dengan teori yang disampaikan Vygotsky yang
menyampaikan bahwa perkembangan kognitif anak diperoleh
melalui interaksi sosial, yakni anak akan belajar menguasai dan
menginternalisasi pelajaran dengan bantuan dan arahan dari orang
dewasa.