BAB II LANDASAN TEORI
C. MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN
3. Perbedaan antara Model Pembelajaran Montessori
Pembelajaran Konvensional
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dilihat bahwa ada
perbedaan antara model pembelajaran Montessori dengan model
pembelajaran konvensional. Perbedaan tersebut dapat dirangkum dalam
Tabel 2
Perbedaan Model Pembelajaran Montessori dan Konvensional
Montessori Konvensional
Kelas diklasifikasikan dalam
rentang usia berbeda hingga
rentang tiga tahun
Klasifikasi kelas cenderung
dalam rentang usia yang sama
Berorientasi pada siswa Berorientasi pada guru
Siswa bebas memilih aktivitas dan
kelompok belajar yang akan
diikutinya
Siswa mengikuti aktivitas yang
telah dirancang oleh guru
Aktivitas dilakukan secara
individu atau kelompok kecil
sesuai pilihan aktivitas anak
Aktivitas dilakukan oleh seluruh
siswa
Lebih bersifat kooperatif Lebih bersifat kompetitif
Kontrol kesalahan ditemukan dan
dilakukan sendiri oleh anak
Kontrol kesalahan melalui
feedback dari guru
Pembelajaran lebih bersifat
praktis dengan memberikan
kesempatan pada anak untuk
memiliki pengalaman langsung
melalui alat-alat pembelajaran
yang dapat dimainkan sendiri oleh
anak
Pembelajaran lebih bersifat
abstrak dan teoritis melalui
Montessori Konvensional
Alat permainan dirancang
khusus agar memiliki kontrol
kesalahan sehingga anak dapat
menemukan kesalahannya
sendiri
Permainan dijadikan sebagai
salah satu metode pembelajaran
tanpa memperhatikan kontrol
pada kesalahan
Kesiapan sekolah membutuhkan keterampilan anak secara
menyeluruh, baik keterampilan fisik, kognitif, maupun sosioemosi anak
(National Education Goals Panel, 2004). Untuk dapat memenuhi
keterampilan yang dibutuhkan tersebut, maka perkembangan anak juga
harus optimal. Adanya kebebasan anak untuk memilih aktivitas yang
dilakukan menunjukkan bahwa Montessori memberikan kesempatan
anak untuk mengembangkan inisiatifnya sesuai dengan perkembangan
sosioemosi anak di usia prasekolah yakni tahap inisiatif vs rasa bersalah
(Erickson dalam Gunarsa, 1981). Sementara dalam metode konvensional,
aktivitas anak diarahkan oleh guru sehingga kurang dapat
mengembangkan inisiatif yang dimiliki anak.
Menurut teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh
Piaget, anak usia pra sekolah berada pada tahap perkembangan
pra-operasional dimana anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk
mempresentasikan sesuatu yang tidak ada (Crain, 2007). Tahap
Montessori dengan menghadirkan alat-alat atau materi-materi
pembelajaran yang bersifat praktis dimana anak dapat memanipulasi,
yaitu menyentuh, menggerakkan, memindah dan mengubah alat tersebut
sehingga menghadirkan pengalaman belajar langsung pada anak. Dengan
mendapat pengalaman belajar langsung dan dikerjakan sendiri oleh anak,
anak bisa memperoleh makna dari aktivitas yang dilakukan sehingga
memperoleh pemahaman tentang apa yang dipelajari. Sementara pada
pembelajaran konvensional, media atau alat pembelajarannya masih
banyak yang berbentuk paper and pencil sehingga terkesan abstrak bagi
anak karena harus membayangkan sendiri kejadian nyatanya dan
akhirnya sulit bagi anak untuk memahami materi pembelajaran tersebut.
Alat pembelajaran di Montessori dirancang agar memiliki kontrol
atas kesalahan sehingga anak dapat menemukan dan memperbaiki sendiri
kesalahannya (Yus, 2011). Untuk dapat memperbaiki kesalahannya, anak
harus dapat memahami bagaimana seharusnya alat tersebut berfungsi.
Melalui alat yang dirancang seperti ini, anak belajar bagaimana
mengidentifikasi suatu masalah dan mencari solusi yang tepat serta
mengembangkan pemahaman anak mengenai lingkungan disekitarnya.
Hal ini akan membantu anak dalam mencapai tugas perkembangan
tentang mengerti mengenai konsep realita fisik dan sosial (Havighurst,
1953). Sementara dalam pembelajaran konvensional yang diterapkan di
TK, kesempatan untuk melakukan eksplorasi langsung pada suatu materi
dan bukan anak sendiri sehingga mereka kurang dapat mengidentifikasi
kesalahannya dan cenderung memerlukan bantuan orang lain juga untuk
bisa menemukan solusi yang tepat. Model pemebelajaran yang seperti ini
cenderung akan lebih mengembangkan rasa bersalah dalam diri anak
karena dievaluasi secara terus menerus diabndingkan mengembangkan
inisitifnya.
Untuk mendukung perkembangan anak dalam berinteraksi dengan
orang lain, racangan kelas Montessori yang menerapkan kelas antar
rentang usia hingga tiga tahun (Chattin-McNichols, 1992)
memungkinkan anak mengembangkan kemampuannya berinteraksi
secara lebih luas. Anak tidak hanya berinteraksi dengan teman sebaya
saja seperti yang terjadi pada kelas konvensional, tetapi juga berinteraksi
dengan teman yang usianya lebih tua atau lebih muda. Kebebasan yang
diberikan pada anak untuk memilih aktivitasnya sendiri yang diterapkan
di Montessori (Crain, 2007) juga akan lebih melatih mereka untuk
berinteraksi dengan orang dewasa (dalam hal ini guru) jika dibandingkan
dengan pembelajaran konvensional karena anak yang mendapatkan
pembelajaran Montessori terbiasa untuk menerima dan menyampaikan
informasi kepada orang lain.
Montessori juga memliki beberapa karakteristik program
pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi. Salah satu karakteristiknya
adalah terdiri dari kelas kecil yang juga diterapkan di kelas-kelas
memungkinkan anak untuk melakukan aktivitas yang berbeda, maka
rasio guru dan murid pun tidak boleh terlalu besar. Rasio guru dan murid
yang tidak terlalu besar seperti ini juga menjadi karakteristik lain dari
program pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi. Guru-guru
Montessori juga dituntut untuk dapat memahami kebutuhan dan
perkembangan anak agar dapat memfasilitasi keinginan belajar anak
secara tepat (Yus, 2011), yang juga merupakan karakteristik lain dari
program pendidikan usia dini berkualitas tinggi. Program pendidikan usia
dini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan sekolah
anak. Laporan NEA yang ditulis oleh Roekel menyampaikan bahwa
mengikutsertakan anak dalam program pendidikan usia dini yang
berkualitas tinggi merupakan langkah awal yang baik dalam
mempersiapkan anak memasuki sekolah.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran Montessori lebih banyak memberikan kesempatan kepada
anak untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan anak untuk
memasuki SD (Sekolah Dasar) sesuai dengan dimensi-dimensi kesiapan
sekolah dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Untuk itu,
penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran Montessori dapat
mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai
kesiapan sekolah secara lebih optimal dibandingkan model pembelajaran