• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.2 Kajian Pustaka

2.2.9 Model Pendidikan Antikorupsi

Penelitian pengembangan yang mengintegrasikan pendidikan anti korupsi belum banyak kita temukan di negara kita. Penelitian semacam ini pernah dilakukan oleh Prof. Dr. Pranowo yang mengintegrasikan pendidikan antikorupsi dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk SMA. Pranowo berpendapat bahwa ada 18 butir nilai yang harus ditanamkan kepada anak agar memiliki sikap antikorupsi, yaitu (1) religiusitas, (2) kebijaksanaan, (3) kerendahan hati, (4) kedermawanan, (5) kesimpatian, (6) kejujuran, (7) toleransi, (8) cinta tanah air, (9) disiplin, (10) semangat kebangsaan, (11) peduli pada sesama. (12) kerja keras, (13) kemandirian, (14) tanggung jawab, (15) menghargai prestasi, (16) kreatif dan inovatif, (17) bekerja sama, dan (18) kepemimpinan (Pranowo, 2010). Delapan belas nilai inilah yang menjadi dasar pengintegrasian pendidikan antikorupsi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMP.

Cara penyampaian dan pendekatan pembelajaran yang dipergunakan sangat berpengaruh pada keberhasilan penanaman nilai-nilai antikorupsi di sekolah. Oleh karena itu, model pendidikan yang akan digunakan harus dipertimbangkan dengan baik. Jangan sampai model pendidikan yang kita

gunakan nanti justru membebani anak didik. Kelebihan dan kekurangannya pun perlu dipertimbangkan dengan matang.

Menurut Elwina dan Riyanto (2008) ada lima model yang dapat kita gunakan. Pertama, model sebagai mata pelajaran tersendiri. Dalam model ini, pendidikan anti korupsi disampaikan sebagai mata pelajaran tersendiri seperti bidang studi yang lain. Dalam hal ini guru bidang studi pembelajaran antikorupsi harus membuat Garis Besar Pedoman Pengajaran (GBPP), Satuan Pelajaran (SP), Rencana Pengajaran (RP), metodologi pengajaran, dan evaluasi pengajaran. Selain itu, pembelajaran anti korupsi sebagai mata pelajaran harus masuk dalam jadwal yang terstruktur.

Keunggulan pendidikan antikorupsi sebagai mata pelajaran adalah materi lebih terfokus dan terencana dengan matang. Dengan demikian, pelajaran lebih terstruktur dan terukur sebagai informasi. Ada jam yang sudah ditentukan sebagai kesempatan untuk memberikan informasi secara pasti. Guru dapat membuat perencanaan dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya.

Kelemahan dari model ini adalah tuntutan yang ketat sehingga pembelajaran antikorupsi lebih banyak menyentuh aspek kognitif belaka, tidak sampai pada kesadaran dan internalisasi nilai hidupnya. Hal seperti ini dapat mengakibatkan bidang studi pembelajaran antikorupsi hanya sebatas pengetahuan yang dangkal dan ini berarti pembelajaran anti korupsi menjadi gagal.

Kedua, model terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Penanaman nilai antikorupsi dalam pendidikan antikorupsi juga dapat disampaikan secara terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Guru dapat memilih nilai-nilai yang akan ditanamkan melalui materi bahasan mata pelajarannya. Nilai-nilai antikorupsi dapat ditanamkan melalui beberapa pokok atau sub pokok bahasan yang berkaitan dengan nilai-nilai hidup. Dengan model seperti ini, semua guru adalah pengajar pembelajaran antikorupsi tanpa kecuali.

Keunggulan model ini adalah semua guru ikut bertanggung jawab akan penanaman nilai-nilai anti korupsi kepada siswa. Kelemahan dari model ini adalah pemahaman dan persepsi tentang nilai-nilai anti korupsi yang akan ditanamkan harus jelas dan sama bagi semua guru. Tidak boleh ada perbedaan persepsi dan pemahaman tentang nilai karena bila hal ini terjadi maka justru akan membingungkan anak.

Ketiga, model di luar pembelajaran. Penanaman nilai dengan model ini lebih mengutamakan pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk dibahas dan dikupas nilai-nilai hidupnya. Model ini dapat dilaksanakan oleh guru sekolah yang bersangkutan yang mendapat tugas tersebut atau dipercayakan pada lembaga di luar sekolah untuk melaksanakannya, misalnya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pendidikan antikorupsi dapat ditanamkan melalui kegiatan-kegiatan di luar pembelajaran misalnya dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan insidental.

Keunggulan metode ini adalah anak sungguh mendapat nilai melalui pengalaman-pengalaman konkret. Pengalaman akan lebih tertanam dalam jika

dibandingkan sekadar informasi apalagi informasi yang monolog. Anak-anak lebih terlibat dalam menggali nilai-nilai hidup dan pembelajaran lebih menggembirakan. Kelemahan metode ini adalah tidak ada struktur yang tetap dalam kerangka pendidikan dan pengajaran di sekolah, membutuhkan waktu lebih banyak.

Model ini juga menuntut kreativitas dan pemahaman akan kebutuhan anak secara mendalam, tidak hanya sekadar acara bersama belaka, dibutuhkan pendamping yang kompak dan mempunyai persepsi yang sama. Dan kegiatan semacam ini tidak bisa hanya diadakan setahun sekali atau dua kali tetapi berulang kali.

Keempat, model pembudayaan, pembiasaan nilai dalam seluruh aktivitas dan suasana sekolah. Penanaman nilai-nilai antikorupsi dapat juga ditanamkan melalui pembudayaan dalam seluruh aktivitas dan suasana sekolah. Pembudayaan akan menimbulkan suatu pembiasaan. Untuk menumbuhkan budaya anti korupsi sekolah perlu merencanakan suatu kebudayaan dan kegiatan pembiasaan. Pembiasaan adalah alat pendidikan. Bagi anak yang masih kecil, pembiasaan sangat penting. Karena dengan pembiasaan itulah akhirnya suatu aktivitas akan menjadi milik anak di kemudian hari.

Menanamkan kebiasaan yang baik memang tidak mudah dan kadang-kadang membutuhkan waktu yang lama untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi melalui pembiasaan pada anak-anak. Tetapi sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sukar pula untuk mengubahnya. Karena itu adalah penting, pada awal kehidupan anak, menanamkan nilai-nilai anti korupsi melalui

kebiasaan-kebiasaan yang baik dan jangan sekali-kali mendidik anak berdusta, tidak disiplin, menyontek dalam ulangan dan sebagainya.

Kelima adalah model gabungan yang berarti menggunakan gabungan antara terintegrasi dan di luar pembelajaran secara bersama-sama. Penanaman nilai lewat pengakaran formal terintegrasi bersama dengan kegiatan di luar pembelajaran. Model ini dapat dilaksanakan baik dalam kerja sama dengan tim oleh guru maupun dalam kerja sama dengan pihak luar sekolah.

Keunggulan model ini adalah semua guru terlibat dan bahkan dapat dan harus belajar dari pihak luar untuk mengembangkan diri dan siswa. Anak mengenal nilai-nilai hidup untuk membentuk mereka baik secara informatif dan diperkuat dengan pengalaman melalui kegiatan-kegiatan yang terencana dengan baik.

Kelemahan model ini adalah menuntut keterlibatan banyak pihak, banyak waktu untuk koordinasi, banyak biaya dan kesepahaman yang mendalam, terlihat apabila melibatkan pihak luar sekolah. Selain itu, tidak semua guru mempunyai kompetensi dan keterampilan untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi.

Dalam penelitian kali ini, peneliti akan menggunakan model kedua yaitu pembelajaran terintegrasi dengan mata pelajaran. Dalam hal ini peneliti mengkhususkan integrasi pendidikan anti korupsi dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang tetap berpegang pada kurikulum yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar model ini bisa menjadi suplemen bagi setiap guru mata pelajaran bahasa Indonesia.

Model ini memiliki kelebihan, yaitu guru tetap berpegang pada buku BSE tapi jika ingin memasukan pendidikan antikorupsi (karena dalam buku BSE belum ada materi antikorupsi) guru dapat menggunakan buku ini, tidak perlu ada mata pelajaran baru, tidak mengubah kurikulum, tidak mengubah buku pelajaran yang sudah ada.

Dokumen terkait