• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISIS DATA

4.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data penelitian, peneliti membahas beberapa hal yang berkaitan dengan persepsi siswa terhadap pendidikan antikorupsi, persepsi siswa terhadap topik-topik antikorupsi, hasil wawancara terhadap guru, dan wawancara terhadap siswa.

4.3.1 Pembahasan Persepsi Siswa terhadap Pendidikan Antikorupsi

Dalam penelitian pengembangan, peneliti perlu mengetahui terlebih dahulu minat dan kebutuhan subjek penelitiannya. Oleh karena itu, peneliti membutuhkan persepsi siswa terhadap pendidikan antikorupsi. Di bawah ini dipaparkan persepsi siswa kelas VII semester 2 SMP Joannes Bosco Yogyakarta terhadap pendidikan antikorupsi.

Tabel 4.1

Tabulasi Persepsi Siswa Terhadap Pendidikan Antikorupsi Kelas VII Semester 2 SMP Joannes Bosco Yogyakarta Keterangan:

1. Selalu 3. Kadang-kadang 2. Tidak pernah 4. Tidak tahu

No. Pernyataan Jawaban

1 2 3 4

1. Ketika mengajar, guru bahasa Indonesia saya menanamkan nilai kejujuran kepada siswa agar tidak tumbuh bibit korupsi dilingkungan siswa. 10 37,04% 2 7,41% 14 51,85% 1 3,70% 2. Marteri pelajaran bahasa Indonesia yang

diajarkan dikelas saya selalu difokuskan pada masalah bahasa dan sastra Indonesia, tetapi isinya berkaitan dengan nilai-nilai

7 25,92% 0 0% 16 59,26% 4 14,81%

kejujuran agar siswa tidak korupsi. 3. Ketika mengajarkan bahasa Indonesia,

guru saya mengutamakan penguasaan materi pelajaran kepada siswa.

19 70,37% 3 11,1% 5 18,52% 0 0% 4. Ketika mengajarkan bahasa Indonesia,

guru saya jugamemberikan sisipan nilai materi yang berkaitan denga nilai-nilai kedisp;inan, tanggung jawab, budi pekerti luhur, dan sebagainya.

19 70,37% 1 3,70% 7 25,92% 0 0%

5. Guru bahasa Indonesia saya terkesan tidak memiliki tanggung jawab terhadap terjadinya korupsi di Indonesia.

1 3,70% 12 44,44% 7 25,92% 7 25,92% 6. Materi yang diajarkan guru bahasa

Indonesia saya selalu mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari.

8 29,63% 4 14,81% 15 55,55% 0 0% 7. Teks bacaan yang diberikan oleh guru

saya ada yang berkaitan dengan masalah kejujuran. 7 25,92% 1 3,70% 17 62,96% 2 7,41% 8. Pendidikan anti korupsi juga ikut

diajarkan melalui materi pelajran bahasa Indonesia di sekolah. 5 18,52% 3 11,1% 17 62,96% 2 7,41% 9. Sikap teman-teman saya ketika

membicarakan masalah korupsi cenderung anti korupsi.

9 33,33% 4 14,81% 10 37,04% 4 14,81% 10. Ada teman saya yang berpihak pada

koruptor ketika sedang membicarakan korupsi. 0 0% 14 51,85% 7 25,92% 6 22,2%

Berdasarkan tabel di atas, persepsi siswa bahwa pelajaran bahasa Indonesia selalu menyinggung nilai kejujuran sebesar 37,04% dan yang beranggapan kadang-kadang sebesar 51,85%. Berdasarkan persepsi siswa tersebut membuktikan bahwa sebenarnya guru belum secara maksimal mengajarkan nilai antikorupsi kepada siswa. Para pendidik masih mengabaikan pentingnya nilai kejujuran untuk ditanamkan sejak dini. Mereka belum memiliki kesadaran bahwa dunia pendidikan seharusnya tidak mengembangkan sisi akademis saja tetapi juga sisi non-akademis khususnya

kepribadian siswa untuk bertindak jujur. Guru belum menyadari bahwa kejujuran adalah poin yang penting karena kejujuran adalah bibit kuat untuk penanaman sikap antikorupsi.

Persepsi tersebut semakin dikuatkan dengan jawaban siswa terhadap pernyataan “Teks bacaan yang diberikan oleh guru saya ada yang berkaitan dengan masalah kejujuran”, ternyata siswa yang beranggapan bahwa guru bahasa Indonesia kadang-kadang memberikan teks yang berkaitan dengan nilai kejujuran adalah sebesar 62,96%. Jawaban tersebut semakin menguatkan bahwa guru belum spesisfik mengaitkan nilai kejujuran ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Hal yang sama juga terjadi pada jawaban siswa terhadap penyataan no. 3. Siswa yang menjawab selalu berjumlah 19 orang atau dengan persentase sebesar 70,37%. Ini menandakan bahwa guru hanya berfokus pada penguasaan materi (kognitif), penguasaan dari segi afeksi belum diperhatikan terutama penanaman nilai positif pada diri siswa.

Pada pernyataan no. 4 berbunyi “Ketika mengajarkan bahasa Indonesia, guru saya juga memberikan sisipan nilai materi yang berkaitan dengan nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, budi pekerti luhur, dan sebagainya”. Persepsi siswa yang menjawab selalu terhadap pentingnya nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan budi pekerti dijawab siswa sebanyak 70,37%. Jika jawaban siswa ini benar-benar objektif, berarti pembelajaran di kelas cukup menggembirakan karena guru juga memperhatikan beberapa nilai budi pekerti luhur dalam pembelajaran di kelas. Namun, perlu ditinjau lebih

lanjut apakah nilai-nilai yang diajarkan tersebut masih umum atau sudah menujurus pada tujuan penanaman antikorupsi.

Pada pernyataan no.5 yang berbunyi “Guru bahasa Indonesia saya terkesan tidak memiliki tanggung jawab terhadap terjadinya korupsi di Indonesia”, siswa yang menjawab kadang-kadang sebesar 44,44%. Persentase tersebut cukup banyak, mungkin saja guru belum sadar bahwa ia memiliki tanggungjawab yang besar atas terjadinya korupsi di negara kita. Guru juga memiliki tanggungjawab untuk memberantasnya.

Persepsi siswa terhadap pernyataan “Materi yang diajarkan guru bahasa Indonesia saya selalu mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari” sedikit menggembirakan. Sebanyak 55,55% siswa menjawab kadang-kadang. Ini berarti, guru pernah mencoba memasukkan realita kehidupan sehari-hari ke dalam pembelajaran di kelas.

Berkaitan dengan pernyataan mengenai ”Teks bacaan yang diberikan oleh guru saya ada yang berkaitan dengan masalah kejujuran”, jawaban siswa juga cukup menggembirakan. Sebanyak 17 siswa (62,96%) menjawab kadang-kadang. Ini juga menandakan bahawa guru juga pernah memberikan bacaan berkaitan dengan kejujuran namun intensitasnya belum tinggi. Oleh karena itu pemilihan bacaan berkaitan dengan kejujuran perlu ditingkatkan lagi.

Persepsi siswa terhadap pengintegrasian materi antikorupsi dalam pelajaran bahasa Indonesia, siswa yang menjawab kadang-kadang sebesar 62,96%. Ini membuktikan bahwa guru belum memberikan materi antikorupsi

secara eksplisit. Padahal ketika siswa ditanyai mengenai persepsi mereka terhadap pernyataan "Ada teman saya yang berpihak kepada koruptor ketika sedang membicarakan korupsi", siswa yang menjawab tidak pernah sebesar 51,85%. Ini merupakan hasil yang menggembirakan. Sebagian besar siswa sadar bahwa koruptor harus diberantas. Kesadaran mereka untuk tidak memihak koruptor cukup tinggi. Oleh karena itu, kesadaran seperti ini harus selalu dibina dan diakomodasi oleh guru dengan bahan ajar yang sesuai agar idealisme mereka tidak luntur.

4.3.2 Pembahasan Pilihan Siswa terhadap Topik-topik Antikorupsi

Peneliti memerlukan persepsi siswa terhadap topik-topik antikorupsi untuk mengetahui minat siswa terhadap pendidikan antikorupsi yang nantinya akan digunakan sebagai tema dalam materi pembelajaran. Di bawah ini dipaparkan persepsi siswa kelas VII semester 2 SMP Joannes Bosco Yogyakarta terhadap topik-topik antikorupsi.

Tabel 4.2

Tabulasi Persepsi Siswa Terhadap Topik-topik Antikorupsi Kelas VII semester 2 SMP Joannes Bosco Yogyakarta

No. Topik Jawaban Jumlah

Setuju Tidak setuju 1. Nasihat untuk tidak korupsi. 27

(100%)

0 27

2. Menghargai prestasi sebagai bentuk keadilan. 26 (96,3%) 1 (3,7%) 27 3. Biasakan member, jangan meminta. 24

(88,9%)

3 (11,1%)

27 4. Menempatkan kepentingan bangsa

dan negara di atas kepentingan pribadi. 22 (84,6%) 4 (15,4%) 26

5. Menggunakan uang iuran kelas untuk kepentingan pribadi menjadi bibit

6 (22,2%)

21 (77,8%)

korupsi.

6. Mencontek ketika ulangan, menyemai bibit korupsi pada diri sendiri.

13 (48,1%)

14 (51,9%)

27 7. Berpikir kreatif, menjauhkan sikap

berani korupsi. 25 (92,6%) 2 (7,4%) 27 8. Koruptor sebagai pengkhianat

bangsa. 26 (96,3%) 1 (3,7%) 27 9. Lebih baik hidup miskin daripada

makan uang haram.

25 (92,6%)

2 (7,4%)

27 10. Memberi remisi (ampunan) pada

narapidana korupsi adalah kebesaran jiwa suatu bangsa.

9 (33,3%)

18 (66,7%)

27

11. Berilah upah kepada pekerja sebelum keringat kering. 21 (80,8%) 5 (19,2%) 26 12. Menumbuhkan kemandirian agar

hidup jujur.

27 (100%)

0 27

13. Hukuman mati untuk koruptor kelas kakap. 22 (81,5%) 5 (18,5%) 27 14. Kejujuran musuh utama koruptor. 22

(81,5%)

5 (18,5%)

27

15. Semangat kerja keras. 27

(100%)

0 27

16. Semangat cinta tanah air. 27 (100%)

0 27

17. Taat beribadah sebagai penangkal korupsi. 25 (92,6%) 2 (7,4%) 27 18. Koruptor lebih jahat daripada teroris. 15

(55,6%)

12 (44,6%)

27 19. Peranan media massa terhadap

pemberantasan korupsi. 23 (85,2%) 4 (14,8%) 27 20. Menayangkan wajah koruptor

bersama keluarganya ditelevisi.

14 (51,9%)

13 (48,1%)

27 21. Keteladanan pimpinan untuk tidak

korupsi.

27 (100%)

0 27

22. Kenaikan gaji bagi para pejabat negara. 4 (14,8%) 23 (85,2%) 27 23. Menumbuhkan rasa handarbeni

terhadap bangsa dan negara.

26 (100%)

0 26

24. Menanamkan rasa nasionalisme pada bangsa dan negara.

27 (100%)

0 27

25. Mewajibkan setia pejabat untuk

menulis topik “seandainya saya bukan koruptor”. 21 (77,8%) 6 (22,2%) 27

Tabel di atas merupakan persepsi siswa terhadap topik-topik antikorupsi yang disediakan oleh peneliti. Peneliti berharap semua siswa (27

orang) dapat menjawab semua pernyataan di kuesioner. Namun kenyataannya masih ada 1 orang siswa yang tidak memberikan jawaban pada pernyataan kuesioner nomor 4, 11, dan 23. Meskipun demikian, pengaruhnya tidak terlalu besar karena masih ada 26 siswa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas jawaban mereka.

Peneliti mengambil topik-topik yang dipilih siswa dengan persentase 80% ke atas sebagai topik yang layak dan berpengaruh dalam membuat rancangan pembelajaran antikorupsi. Dari dua puluh lima (25) topik berkaitan dengan antikorupsi yang diberikan oleh peneliti, siswa memilih tujuh belas (17) topik yang layak dibahas dalam buku teks. Dari data tersebut dapat kita ketahui bahwa sikap siswa terhadap pentingnya pemberantasan korupsi sangat jelas dan tegas. Sikap tegas seperti itu, sangat bagus dan perlu segera diakomodasi agar dapat diwujudkan dalam pendidikan secara formal.

Pemikiran yang baik mengenai ketegasan siswa terhadap pemberantasan korupsi harus dipertahankan agar tidak hilang. Salah satu yang memungkinkan untuk mewujudkan idealisme siswa adalah disediakannya buku teks yang di dalamnya berisi pendidikan antikorupsi. Materi pelajaran yang disediakan di dalam buku teks harus bersumber dari tema-tema yang telah dipilih siswa. Tema-tema tersebut dikembangkan menjadi tema-tema yang berkaitan dengan pendidikan antikorupsi. Keterkaitan tema-tema tersebut dapat diterapkan ke dalam seluruh aspek materi pembelajaran, seperti naskah berita, naskah puisi, naskah drama, naskah wawancara, teks bacaan, penggalan novel, cerita pendek, dongeng, dsb.

Peneliti menginginkan agar pembelajaran antikorupsi dapat berkesinambungan dari awal hingga akhir, sementara topik yang dipilih siswa cukup banyak. Oleh karena itu ketujuh belas topik tersebut hendaknya dapat disebarkan ke seluruh kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa di kelas VII semester 2. Materi yang akan ditampilkan dalam buku teks hendaknya disusun sedemikian rupa agar tidak menyimpang dari kompetensi dasar yang sudah ditetapkan.

Dalam penelitian ini, pembelajaran antikorupsi diintegrasikan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Agar buku ajar yang tersusun dapat digunakan dengan maksimal, hendaknya sebelum mengernbangkan buku ajar perlu dipetakan terlebih dahulu kesesuaian kompetensi dasar dengan topik yang perlu diajarkan agar seluruh topik dapat dibahas dan seluruh kompetensi dasar dapat diselesaikan.

4.3.3 Pembahasan Hasil Wawancara dengan Guru

Guru Bahasa Indonesia di SMP Joannes Bosco Yogyakarta belum secara spesifik mengajarkan pendidikan antikorupsi kepada siswa. Menurut peneliti, hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (a) guru belum mengetahui cara-cara mengintegrasikan antikorupsi ke dalam pembelajaran, (b) guru belum mampu merumuskan aspek afektif ke dalam rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan (c) keterbatasan bahan ajar yang menyinggung sikap antikorupsi.

sesekali pernah menyisipkan bahan ajar berkaitan dengan antikorupsi namun intensitasnya masih terlalu kecil sehingga penguasaan siswa mengenai nilai-nilai luhur belum maksimal. Oleh karena itu, guru perlu diberi bekal yang cukup mengenai wawasan yang berkaitan dengan nilai-nilai antikorupsi secara konkret, misalnya kejujuran untuk tidak melakukan korupsi. Dengan demikian, kesadaran tugas guru sebagai pendidik dapat dilakukan secara konkret.

4.3.4 Pembahasan Hasil Wawancara dengan Siswa

Wawancara dengan siswa dilakukan untuk mengetahui kebutuhan siswa sebelum model pembelajaran dibuat. Dari lima pertanyaan yang diajukan dapat kita ketahui bahwa siswa telah memiliki sikap yang tegas terhadap korupsi. Mereka kecewa dan berharap korupsi segera dibasmi dengan cara memberikan hukuman seberat-beratnya kepada para koruptor agar mmereka jera dan takut melakukan korupsi.

Jawaban-jawaban tersebut menunjukkan bahwa generasi muda jaman sekarang, khususnya siswa masih memiliki cara pandang yang baik mengenai sikap antikorupsi. Mereka secara tegas menolak korupsi dan mengharapkan pemerintah dapat memberikan sanski yang tegas kepada para koruptor seperti hukuman penjara atau hukuman mati.

Siswa juga memiliki harapan untuk memberantas korupsi melalui pendidikan formal di sekolah. Namun, kenyataannya selama ini pihak sekolah khususnya guru belum memfasilitasinya. Guru belum mengintegrasikan pendidikan antikorupsi ke dalam pelajaran di kelas. Sikap guru yang seperti ini

tidak akan bisa membantu siswa mewujudnyatakan keinginan mereka untuk memiliki kesadaran antikorupsi sejak dini.

Berdasarkan jawaban wawancara tersebut, peneliti telah mendapatkan informasi mengenai kebutuhan siswa. Oleh karena itu, peneliti akan membuat pembelajaran antikorupsi yang terintegrasi ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

BAB V

MODEL PEMBELAJARAN

Bab ini merupakan pemaparan model pembelajaran antikorupsi yang terintegrasi dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Hal-hal yang dipaparkan dalam bab ini meliputi dasar desain pembelajaran, pengembangan prototipe buku pelajaran Bahasa Indonesia, dan hasil uji coba produk.

Dokumen terkait