• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENERJEMAHAN

HUBUNGANNYA DENGAN MODEL-MODEL DALAM TERJEMAHAN

MODEL PENERJEMAHAN

Ada banyak model penerjemahan yang biasanya digolong-golongkan menurut fase dalam proses penerjemahannya. Fase penjajakan misalnya terdiri dari berbagai model penerjemahan antara lain model

hermeneutik, situasional dan stilistik. Karena berbagai macam keterbatasan, sudah barang tentu tulisan singkat ini tidak dapat menguraikan semua model yang ada. Tulisan ini akan mencoba mengungkapkan lima model penerjemahan yang menurut pendapat penulis penting untuk diketahui:

Model Hermeneutik

Menurut model ini, pesan dalam SL yang akan diterjemahkan ke dalam TL harus dilakukan dengan empat cara, yaitu; percaya bahwa pesan yang ada memang pantas untuk disampaikan, meresapi dan memahami arti yang ada, menyampaikan dalam TL, melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan kaidah yang terdapat pada TL Singkatnya, keempat cara atau langkah di atas menunjukkan suatu pandangan bahwa penerjemahan hendaknya diawali dengan suatu kesiapan bahwa apa yang akan dilakukan memang layak untuk dilakukan. Dengan sikap awal ini penerjemah akan membaca teks SL dengan seksama, mengalihbahasakan ke TL dengan cermat, dan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. Model Harfi ah (kata-demi-kata)

Larson dan Smalley menamakan model ini dengan glossing atau interlinear translation. Yang dilakukan penerjemah dalam model ini adalah mencari padanan arti kata satu dengan satu. Dengan sendirinya hasil yang diperoleh bukan merupakan hasil akhir sebab langkah yang dilakukan penerjemah kemudian adalah melakukan penyesuaian-penyesuaian yang dapat diterima oleh TL. Kendatipun demikian,

tidak jarang pula model terjemahan harfi ah ini menghasilkan terjemahan yang baik. Bathgate meyakini model yang disebutnya dengan literal translation ini sebagai uji coba pertama penerjemahan. Bila hasilnya baik, penerjemahan dianggap berhasil. Setidak-tidaknya model penerjemahan kata- demi-kata ini membuat penerjemah semakin peka terhadap makna yang terkandung dalam setiap kata, dan bahwa usaha mencari padanan kata yang setepat-tepatnya mutlak perlu.

Model Interlingua

Sesuai dengan namanya, model ini mengisyaratkan adanya bahasa ketiga selain SL dan TL yang berperan sebagai bahasa pendukung terjemahan. Di dalam kaitannya dengan penerjemahan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, bahasa ketiga yang sering menjadi bahasa pendukung adalah bahasa Jawa, Batak, Arab dan sebagainya. Kata

pirsawan yang sering menjadi padanan kata spectator atau viewer merupakan kata pendukung yang berasal dari bahasa Jawa, sementara kata literal dalam bahasa Inggris biasanya diterjemahkan dengan kata harfi ah

yang merupakan kata asli bahasa Arab. Model Modulasi

Model penerjemahan ini merupakan suatu kiat atau strategi menerjemahkan frase, klausa, atau kalimat. Menurut Newmark (1988: 88), dengan model ini penerjemah memandang pesan dalam kalimat SL dari sudut dan pola pikir yang berbeda. Biasanya model ini dilakukan apabila penerjemah harfiah gagal mencapai hasil terjemahan yang wajar dan dapat diterima. Perbedaan pandang dan budaya biasanya akan menjadi salah satu penyebab timbulnya perbedaan di dalam cara mengungkapkan sesuatu. Perhatikan contoh berikut:

She broke her arm in a traffic accident

Kalimat ini biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi:

Lengannya patah dalam suatu kecelakaan lalu lintas

Dengan menggunakan strategi modula- si, penerjemah menitik beratkan masalah penerjemahan pada obyek yaitu ‘lengan’ dan bukan subyek ‘she.’ Hanya dengan cara demikian, yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, maka kalimat di atas dapat diterje- mahkan sesuai dengan pesan aslinya.

Terlepas dari semua yang dapat diungkap dalam tulisan ini, kewaspadaan serta kehati-hatian di dalam melakukan suatu penerjemahan mutlak harus dimiliki setiap penerjemah. Kesalahan didalam mendalami makna yang terdapat dalam suatu SL, boleh jadi menimbulkan akibat serius dalam terjemahan. Retmono (1977: 28-36) mengingatkan: ‘jarang ada sebuah bahasa yang mempunyai hanya satu arti bagi setiap kata dalam bahasa itu, baik arti sesungguhnya maupun arti kiasan.’

Bersamaan dengan peringatannya, Retmono memberikan sebuah contoh iklan yang tidak tepat sehingga hampir saja membuat sebuah perusahaan susu bangkrut. Iklan itu berbunyi:

Our Milk Has Stable Flavor All Year Round.

Kata stable dapat diartikan stabil selain juga berarti kandang kuda. Bayangkan saja, andaikata yang dipahami orang bukan arti yang pertama!

M O D E L S E M A N T I S D A N KOMUNIKATIF

Orang yang pertama kali mengajukan model terjemahan semantis dan komunikatif adalah Peter Newmark (1981, 1988). Di

dalam salah satu pernyataannya (Newmark, 1991), ia mengakui model ini sebagai salah satu sumbangan yang paling penting pada teori penerjemahan.

Menurut Newmark, bahasa adalah suatu sistem komunikasi dengan bunyi, dengan menggunakan lambang-lambang bunyi yang memiliki arti-arti sembarang berdasarkan agreement atau kesepakatan.

Di dalam memperkenalkan terjemahan semantis, Newmark membandingkannya dengan terjemahan komunikatif. Berikut adalah bagan atau diagram yang sering digunakan Newmark di dalam rangka memperkenalkan kedua konsep terjemahan ini

Berpihak pada SL Berpihak pada TL Kata – demi - kata (literal) Bebas (free)

Setia (loyal) idiomatik (idiomatic) semantis komunikatif

Di a g r a m d i a t a s m e n u n j u k k a n bagaimana ragam terjemahan ditinjau dari derajat kecendrungan atau keberpihakan- nya terhadap teks atau kepada pembacanya. Terjemahan yang cendrung berpihak pada teks SL termasuk terjemahan harfi ah atau terjemahan kata – demi - kata. Tanpa memperhitungkan tingkat kewajaran- nya dalam TL, terjemahan jenis ini akan mempertahankan style atau gaya serta makna yang ada dalam teks SL. Seberapa besar terjemahan seperti ini dapat dimengerti oleh pembaca biasanya juga diabaikan. Perhatikan contoh di bawah ini:

SL : It is wrong to think that Indonesian people

do not understand what human rights is. Terjemahan semantis: adalah keliru untuk berpikir

bahwa masyarakat Indonesia tidak mengerti apa hak-hak asasi manusia

Di sisi yang lain, terjemahan komuni- katif cenderung berpihak pada TL. Tujuan

terjemahan adalah suatu hasil terjemahan yang dapat dibaca oleh pembaca TL. Gaya bahasa asli pada SL biasanya diabaikan. Bahkan, gaya bahasa dan contoh-contoh tidak jarang berubah asalkan hal ini dapat mempermudah pembaca. Contoh kalimat di atas akan diterjemahkan:

Kelirulah jika kita berpikir bahwa masyarakat Indonesia tidak memahami arti hak-hak asasi manusia.

Sekalipun terjemahan komunikatif berusaha mencapai efek pikiran atau tindakan tertentu pada pembacanya, terjemahan ini tidak lepas dari kelemahan. Salah satu kelemahan itu adalah subyektifitas yang terjadi pada proses penerjemahannya. Boleh jadi, karena subyektifi tas ini, maka sebagian makna teks SL menjadi hilang. Menurut Newmark (1981: 51) makna mempunyai lapis-lapis yang banyak, bersifat fleksibel dan sekaligus kompleks. Sebuah kata yang dikaitkan dengan kata lain, bisa menimbulkan interpretasi bermacam-macam. Sehubungan dengan hal ini, setiap usaha menyederhanakan seperti yang dilakukan dalam penerjemahan komunikatif, pasti akan berkonsekuensi hilangnya sebagian makna ini.

Dari kedua model terjemahan ini, kita tidak akan mengatakan mana yang akan lebih bagus atau jelek dari yang lain. Itu bukanlah tujuan penulisan artikel ini. Yang jelas, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri. Jika model semantis berpijak pada utuhnya struktur semantis dan sintaktis serta makna kontekstual dari teks SL, model komunikatif bertitik tolak pada keluwesan, pemahaman pembaca TL sekali- pun harus ada yang terpaksa dikorbankan. Sekali lagi, perhatikan contoh bagaimana kedua model terjemahan berbeda dalam pendekatannya:

SL : Beware of the dog

Semantis : Hati-hati terhadap anjing

SIMPULAN

Disamping keempat ketrampilan bahasa (speaking, listening, reading dan writing), penerjemahan (translation) merupakan salah satu ketrampilan yang tak kalah pentingnya. Di dalam kehidupan perguruan tinggi, kegiatan ini tak dapat diabaikan mengingat kenyataan bahwa penguasaan membaca teks berbahasa asing (terutama bahasa Inggris) masih rendah sekali.

Untuk dapat melakukan tugas terjemah- an dengan baik, seorang penerjemah perlu membekali dirinya dengan penguasaan SL dan TL yang baik, mampu menggunakan berbagai alat penerjemahan seperti kamus umum dan kamus khusus, kamus elektronik dan komputer, bahkan jasa internet.

Dengan semua kemampuan di atas, ditambah pula dengan mengenal budaya dan latar belakang kedua bahasa, memahami berbagai proses penerjemahan yang ada, menguasai topik terjemahan dan sikap kehati-hatian yang tinggi, penerjemahan akan mencapai hasil yang bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Catford, J. C. 1969. Linguistic Theory of Translation. Oxford: Oxford University Press.

Larsson, L. Mildred. 1984. Meaning Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. Lanham: University Press of America.

McGuire, Susan Basnett. 1980. Translation Studies. London: Mcqueen & Co. Ltd.

Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press.

Nida, Eugene A. dan Charles R. Taber. 1982.

Th e Th eory and Practice of Translation. Leiden: E. J. Brill.

Rachmadie, Sabrony., Zuchridin Suryawinata, dan Achmad Efendi. 1988. Materi Pokok Translation, Modul 1 – 6. Jakarta: Penerbit Karumka dan Universitas Terbuka.

Savory, Th eodore. 1969. Th e Art of Translation. London: Jonathan Cape Ltd.

Widyamartaya, A. 1993. Seni Menerjemahkan.

Buku Agama itu bukan Candu karya Eko P. Darmawan,Resist Book (2005)

KRITIK (MATERIALISME) ATAS “AGAMA”:

Dokumen terkait