• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN PERTIMBANGAN TERHADAP PERSOALAN YANG DIPERDEBATKAN

UPAYA PEMBAKUAN

Upaya-upaya pembakuan EBM yang dilakukan sejak tahun 2002 antara lain: (1) “Lokakarya Pemantapan Ejaan Bahasa Madura” tahun 2002, (2) revisi konsep EBM, dan (3) “Pemasyarakatan Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan” tahun 2005. Adapun hasil yang dicapai melalui upaya- upaya tersebut adalah sebagai berikut.

“Lokakarya Pemantapan Ejaan Bahasa Madura” yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Surabaya pada tanggal 31 Desember 2002 menghasilkan rumusan bahwa Konsep Ejaan Bahasa Madura hasil sarasehan tahun 1973 dapat dilaksanakan dengan penyempurnaan sebagai berikut.

(1) Vokal e peppet (/ə/) dan e talèng (/є/) perlu diberi tanda atau simbol yang berbeda (e dan è).

(2) Konsonan beraspirasi dan takberaspirasi diberi simbol yang berbeda.

(3) Bunyi pelancar (w, y, dan glotal) serta bunyi-bunyi lain yang muncul sebagai akibat proses afi ksasi atau pengimbuhan tidak ditulis.

Dengan ketiga penyempurnaan tersebut, secara otomatis, untuk penulisan bunyi hamzah atau glotal tetap menggunakan simbol yang digunakan dalam Konsep Ejaan Bahasa Madura hasil sarasehan tahun 1973, yakni menggunakan tanda apostrof (..’..).

Sebelum dicetak dalam bentuk buku

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan dan dipublikasikan secara terbatas dengan cara mengirimkan kepada para peserta lokakarya dan beberapa instansi terkait, terlebih dahulu dilakukan penyelarasan terhadap konsep EBM yang telah disusun oleh (1) RP. Abd. Sukur Notoasmoro, (2) Azis Sukardi, (3) Abdul Rachem, (4) Soegianto, dan (5) Slamet Riyadi. Tugas untuk melakukan penyelarasan diserahkan kepada saya (Akhmad Sofyan) dan Sri Ratnawati. Pada waktu melakukan tugas sebagai penyelaras, kami mengambil prakarsa untuk menambahkan catatan bahwa vokal /a/ ditulis dengan dua simbol, yakni a

untuk vokal bawah-depan dan â untuk vokal bawah-pusat.

S e t e l a h B a l a i B a h a s a Su r a b a y a mensosialisakan Keputusan Lokakarya Pemantapan Ejaan Bahasa Madura dan

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempur nakan, ada beberapa pihak yang mengajukan tanggapan, baik yang disampaikan secara lisan maupun secara tertulis atau resmi. Tanggapan yang disampaikan secara resmi diajukan oleh: Bapak RP. Abd. Sukur Notoasmoro (Sumenep) dan Yayasan “Pakem Maddhu” (Pamekasan).

Tanggapan Bapak RP. Abd. Sukur Notoasmoro adalah pada rumusan yang ketiga yakni “masalah penulisan bunyi pelancar”. Tanggapan dari Yayasan “Pakem Maddhu” antara lain: (1) revisi terhadap kesalahan ketik yang terdapat dalam EBM; (2) penulisan bunyi vokal bawah pusat dengan â karena tidak termasuk dalam hasil rumusan lokakarya; (3) konsonan post- alveolar bersuara takberaspirasi yang dalam ejaan BM ditulis d (d tanpa titik bawah), ditulis dengan d (d titik bawah); dan (4) Lokakarya Pemantapan

menambahkan huruf t (t titik bawah) untuk bunyi post-dental takbersuara.

Menyikapi tanggapan dan keberatan- keberatan tersebut, sebagai pemakalah pada acara “Pemasyarakatan Pedoman Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan” yang diselenggarakan pada tanggal 27 September 2005 di Hotel Elmi Surabaya yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Peduli Anak Indonesia Jawa Timur bekerja sama dengan Balai Bahasa Surabaya, atas permintaan panitia, saya melakukan beberapa revisi, antara lain: (1) menambahkan dua butir aturan (butir 8 dan 9) pada bab 4 sub b, (2) memperbaiki semua kesalahan ketik, kecuali untuk penulisan d (d titik bawah) dan t (t titik bawah) dan (3) menambahkan konsonan th pada bab 1 sub d sebagai simbol dari t yang diusulkan oleh Yayasan “Pakem Maddhu”.

Dalam “Pemasyarakatan Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan” yang diselenggarakan oleh Komnas Peduli Anak Indonesia bekerja sama dengan Balai Bahasa Surabaya pada tanggal 27 September 2005 di Hotel Elmi Surabaya, yang terjadi bukanlah “pemasyarakatan” tetapi lebih bersifat “semi-loka”. Sebab, ternyata masih terdapat banyak hal yang diperdebatkan dalam konsep EYD. Perdebatan yang terjadi dalam forum tersebut antara lain: (1) penulisan vokal e peppet (/ə/) dan etalèng (/є/), (2) penulisan vokal a, (3) penulisan bunyi glotal ([?]), (4) penulisan konsonan d, (5) penulisan bunyi post-dental takbersuara ([T]), (6) penulisan bunyi-bunyi bersuara beraspirasi, dan (7) penulisan bunyi pelancar, glotal, dan bunyi- bunyi lain yang muncul sebagai akibat dari proses afi ksasi. Dari ketujuh permasalahan yang menjadi perdebatan tersebut, tiga permasalahan yang pertama mencapai

kesepakatan, sedangkan empat permasalahan yang terakhir belum mencapai kesepakatan dan masih tetap menjadi perdebatan.

Bentuk kesepakatan yang dicapai sehubungan dengan: (1) penulisan vokal e peppet dan etalèng, (2) penulisan vokal a yang menggunakan dua simbol, dan (3) penulisan bunyi glotal ([?]), adalah sebagai berikut. (1) Vokal e peppet (/ə/) dan e talèng (/є/)

ditulis dengan simbol yang berbeda, yakni e dan è.

(2) Vokal a ditulis dengan dua simbol yakni

a dan â.

(3) bunyi glotal ([?]) yang merupakan fonem ditulis dengan simbol apostrof (..’..).

Bentuk perdebatan yang terjadi s e h u b u n g a n d e n g a n : ( 1 ) p e n u l i s a n konsonan d, (2) penulisan bunyi post-dental takbersuara ([T]), (3) penulisan bunyi-bunyi bersuara beraspirasi, dan (4) penulisan bunyi pelancar, glotal, dan bunyi-bunyi lain yang muncul sebagai akibat dari proses afi ksasi, adalah sebagai berikut.

(1) Mengenai penulisan konsonan d, satu pihak berpendapat bahwa penulisan konsonan d harus dibedakan antara d

(d tanpa titik bawah) dengan d (d titik bawah), sementara pihak yang lain berpendapat bahwa keduanya tidak perlu dibedakan dan digunakan simbol

d (tanpa titik bawah).

(2) Mengenai penulisan bunyi post- dental takbersuara ([T]), satu pihak berpendapat agar ditulis dengan t (t

titik bawah), sementara pihak yang lain berpendapat agar ditulis dengan th.

(3) Mengenai bunyi-bunyi bersuara beraspirasi ([bh], [dh], [Dh], [gh], dan [jh]),

ada yang berpendapat bahwa penulisan bunyi-bunyi tersebut tidak perlu dibedakan dengan bunyi-bunyi bersuara takberaspirasi; atau kalau memang harus Pemasyarakatan

dibedakan, hendaknya digunakan satu

huruf tidak menggunakan dua huruf

seperti yang digunakan pada konsep EYD, yakni: bh, dh, đh, gh, dan jh. (4) Mengenai penulisan bunyi pelancar,

glotal, dan bunyi-bunyi lain yang muncul sebagai akibat dari proses afiksasi, satu pihak berpendapat harus ditulis, sementara pihak lain berpendapat untuk tidak ditulis. Dengan perkembangan terakhir yang seperti itu, menurut hemat saya, terlepas dari beberapa tahapan dan rumusan yang telah dilakukan, kita harus menyikapi bahwa pembakuan ejaan BM masih belum fi nal dan masih berproses. Dengan sikap yang seperti itu, artinya kita tidak dapat menetapkan “harga mati” sehingga harus menolak setiap pendapat atau usulan yang tidak sesuai dengan apa yang telah dirumuskan sebelumnya. Untuk menyelesaikan polemik yang masih terjadi, saya kira akan lebih baik kalau segera diadakan “Lokakarya Pembakuan Ejaan Bahasa Madura”. Setelah itu, kita harus berhenti berpolemik.

P E N J E L A S A N D A N PERTIMBANGAN

Dalam melakukan pembakuan ejaan, satu hal yang perlu kita perhatikan adalah bahwa penyusunan ejaan suatu bahasa tidak berhubungan dengan penentuan dialek standar dalam bahasa tersebut. Artinya, pembakuan ejaan tidak semata-mata didasarkan atas kebiasaan penggunaan ejaan yang berlaku dalam dialek standar. Dalam kasus BM, walaupun yang disepakati sebagai dialek standar adalah dialek Sumenep, pembakuan ejaan BM tidak dapat hanya didasarkan atas kebiasaan penggunaan ejaan yang berlaku dalam dialek Sumenep. Pembakuan ejaan yang baik adalah yang penyusunannya didasarkan pada tiga dasar

norma atau pertimbangan utama, yaitu: (1) pertimbangan teoritis, artinya tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan teori-teori linguistik, khususnya teori mengenai fonem BM; (2) pertimbangan praktis, artinya mudah dalam pembacaan dan memperhatikan kekhasan-kekhasan yang terdapat dalam BM; dan (3) pertimbangan teknis, artinya penulisan dapat dilakukan secara relatif mudah dan cepat, dengan cara menggunakan simbol-simbol yang lebih sederhana (Samsuri, 1987).

Disepakati

Dalam bahasa Madura, vokal e peppet

([ə]) dan e talèng ([є]) merupakan fonem

yang berbeda. Sebab, kedua jenis vokal itu bersifat distingtif atau dapat dikontraskan pada pasangan minimal. Oleh karena itu, kedua jenis vokal itu harus diberi simbol yang berbeda, yakni e dan è. Sebagai bukti bahwa antara e dan è bersifat distingtif dapat dilihat pada bagan 2 berikut

Bagan 2

Kontras antara e ([ə]) dan è ([ε])

No TULISAN UCAPAN ARTI >< TULISAN UCAPAN ARTI

1. anteng [antəŋ] tenang >< antèng [antεŋ] anting 2. kèker [kεkər] bidik >< kèkèr [kεkεr] kikir

3. kerker [kərkər] mengkerut >< kèrkèr [kεrkεr] bayak luka 4. lempo [ləmpכ] gemuk >< lèmpo [lεmpכ] payah

simbol (a dan â)

Digunakannya dua simbol untuk vokal /a/ yakni a untuk vokal bawah-depan dan

â untuk vokal bawah-pusat didasarkan pada alasan praktis (untuk memudahkan pembacaan) dan untuk menghindari kesalahan dalam penulisan. Sebab dalam Penjelasan Persoalan yang Sudah

Vokal epeppet dan e talèng

banyak kasus, pada saat menulis BM, orang yang kurang menguasai masalah fonem BM cenderung menggunakan simbol e untuk bunyi [â].

Kecenderungan itu terjadi karena dari segi bunyi dan artikulasi, [â] memang lebih mirip dengan [ə] daripada dengan [a] (lihat Samsuri, 1987; Verhaar, 1981; Hyman, 1975; Lass, 1991). Bunyi [â] dan [ə] sama- sama merupakan vokal pusat, sedangkan [a] merupakan vokal depan. Padahal dalam BM bunyi [â] merupakan variasi dari vokal /a/ dan merupakan fonem yang berbeda dengan [ə].

simbol apostrof (..Ê..)

Bunyi hamzah atau glotal menggunakan tanda apostrof (..’..) karena di samping merupakan fonem yang berbeda dengan [k], distribusinya tidak hanya di akhir kata tetapi juga ada yang di tengah kata dan di antara dua vokal. Dengan distribusi yang seperti itu, kalau bunyi itu disimbolkan dengan huruf, maka akan menyulitkan dalam pembacaan karena tidak tampak sebagai konsonan akhir dari suku sebelumnya, tetapi tampak sebagai konsonan awal dari suku berikutnya.

yang Menjadi Perdebatan

Dalam bahasa Madura, antara bunyi post-dental bersuara ([d]) seperti pada kata dâlâ’ [dâlâ?] ‘sodomi’ dengan bunyi post-alveolar bersuara ([D]) seperti pada kata dâdâ [DâDâ] ‘dada’, dâpa’ [Dâpa?], dan mandi [manDi] ‘mandi’ merupakan dua fonem yang berbeda. Sebab, kedua bunyi tersebut dijumpai dalam pasangan minimal maupun dalam pasangan yang mirip. Oleh karena itu, kedua bunyi tersebut

perlu diberi simbol yang berbeda. Di antara kedua bunyi konsonan tersebut, yang sangat produktif penggunaannya adalah

/D/, sedangkan /d/ penggunaannya sangat terbatas, hanya dijumpai pada kata-kata tertentu. Oleh karena itu, agar secara teknis tidak menyulitkan, kalau memang dianggap perlu untuk dilakukan pembedaan penulisan, hendaknya yang diberi tanda khusus adalah konsonan yang penggunaannya lebih terbatas yakni /d/. Dengan pertimbangan kemudahan teknis tersebut, maka untuk menuliskan konsonan post-dentalbersuara ([d]) dapat didigunakan d (d titik bawah) atau đ, sedangkan untuk konsonan post-alveolar bersuara ([D]) cukup digunakan d (d tanpa tanda).

takbersuara ([T])

Dalam bahasa Madura, antara bunyi dental takbersuara ([t]) dengan dengan post-dental takbersuara ([T]) merupakan fonem yang berbeda. Kedua jenis bunyi tersebut bersifat distingtif. Sebagai dua fonem yang berbeda, keduanya harus diberi simbol yang berbeda. Menurut hemat saya, pemberian simbol yang berbeda untuk kedua fonem tersebut, yang secara teknis lebih mudah adalah t dan th. Penggunaan simbol

th untuk konsonan /T/ jauh lebih mudah dibandingkan dengan t(t titik bawah).

beraspirasi ([bh], [dh], [gh], dan

[jh])

Dalam bahasa Madura antara bunyi bersuara takberaspirasi ([b], [d], [g], dan [j]) dengan bunyi bersuara beraspirasi ([bh], [dh], [gh], dan [jh]) merupakan dua fonem yang

berbeda. Sebab, kedua jenis bunyi tersebut bersifat distingtif atau dapat dikontraskan pada pasangan minimal. Oleh karena itu, kedua jenis bunyi tersebut sebaiknya diberi Pertimbangan terhadap Persoalan

Penulisan bunyi glotal dengan

Penulisan bunyi post-dental

Penulisan konsonan d

simbol yang berbeda.

Adapun simbol untuk bunyi-bunyi bersuara beraspirasi yang secara teknis lebih mudah dilakukan adalah bh, dh, gh, dan dh.

Kalau kita berpegangan pada prinsip “satu fonem satu grafem”, secara teknis hal itu akan sangat menyulitkan. Sama halnya dengan fonem nasal-palatal dan nasal-velar yang lazim digunakan simbol ny dan ng. Kalau berpegangan pada prinsip “satu fonem satu grafem”, seharusnya digunakan simbol ñ

dan ŋ.

Selain itu, dalam BM juga terdapat bunyi post-alveolar bersuara beraspirasi ([Dh]) yang merupakan fonem yang berbeda

dengan bunyi post-dental bersuara beraspirasi ([dh]). Sebagai dua buah bunyi

yang merupakan fonem yang berbeda, maka keduanya sebaiknya diberi simbol yang berbeda pula. Oleh karena itu, untuk fonem post-alveolar bersuara beraspirasi perlu dicarikan simbol yang secara teknis relatif paling mudah. Alternatif yang dapat dipilih adalah đh atau dh. Di antara kedua jenis

simbol tersebut—berdasarkan pengalaman saya—yang secara relatif lebih mudah adalah simbol yang pertama, yakni đh.

dan [y]), glotal ([?]), dan bunyi- bunyi lain yang muncul sebagai akibat dari proses afiksasi

D a l a m p r o s e s m o r f o l o g i s B M , morfofonemis yang terjadi antara lain: (1) peluluhan fonem awal bentuk dasar, (2) peluluhan fonem awal bentuk dasar yang disertai dengan perubahan vokal, (3) asimilasi progresif, (4) pemunculan bunyi pelancar dan glotal, dan (5) geminasi atau perangkapan konsonan.

Peluluhan fonem awal bentuk dasar terjadi sebagai akibat dari prefiksasi {N- }. Misalnya: pèlè [pєlє] ‘pilih’ menjadi

mèlè [mєlє] ‘memilih’, tolès [tכlєs] ‘tulis’

menjadi nolès [nכlєs] ‘menulis’, sarè [sarє] ‘cari’ menjadi nyarè [ñarє] ‘mencari’, dan

kala’ [kala?] ‘ambil’ menjadi ngala’ [ŋala?] ‘mengambil’.

Peluluhan fonem awal bentuk dasar yang disertai dengan perubahan vokal, terjadi sebagai akibat dari prefi ksasi {N-} dan kaidah fonologis BM. Perubahan vokal yang terjadi, ada yang terjadi pada suku pertama, suku kedua, dan semua vokal yang terdapat pada bentuk dasarnya. Perubahan vokal pada suku pertama, terjadi apabila vokal pada suku pertama bentuk dasarnya berupa vokal atas (/i/ dan /u/) dan vokal bawah-pusat ([â]) dan konsonan pada suku keduanya selain /y/, /w/, /l/ atau /r/. Misalnya: bittha’ [biTTa?] ‘kuak’ menjadi mèttha’ [mєTTa?] ‘menguak’,

budi [budi] ‘belakang’ menjadi modi [mכdi] ‘terlambat, belakangan’, bukka’ [bukka?] ‘buka’ menjadi mokka’ [mכkka?] ‘membuka’,

bâbâ [bâbâ] ‘bawah’ menjadi mabâ [mabâ] ‘agak ke bawah, rendah’, dan bâgi [bâgi] ‘bagi’ menjadi magi [magi] ‘membagi’. Perubahan vokal pada suku kedua, terjadi apabila vokal pada suku pertama bentuk dasarnya berupa vokal tengah-pusat (/e/ atau [ə]) dan konsonan pada suku keduanya: /y/, /w/, /l/ atau /r/. Misalnya, belli [bəlli] ‘beli’ menjadi

mellè [məllє] ‘membeli’. Perubahan yang terjadi pada semua vokal yang terdapat pada bentuk dasarnya, terjadi apabila vokal pada suku pertama bentuk dasarnya berupa vokal atas (/i/ dan /u/) atau vokal bawah-pusat ([â]) dan konsonan pada suku keduanya: /y/, /w/, /l/ atau /r/. Misalnya, bâlâi [bâlâi] ‘beri tahu’ menjadi malaè [malaє] ‘memberi tahu’,

buwâ’ [buwâ?] ‘muat’ menjadi mowa’ [mכwa?] ‘memuat’, dan buwâng [buwâŋ] ‘buang’ menjadi mowang [mכwaŋ] ‘membuang’ (Sofyan, 2005).

Morfofonemis yang berupa asimilasi progresif terjadi pada sufiksasi {-na}. Misalnya: bhântal ‘bantal’ menjadi bhântalla

‘bantalnya’, ettas ‘tas’ menjadi ettassa ‘tasnya’, Penulisan bunyi pelancar ([w]

lajâr ‘layar’ menjadi lajârrâ ‘layarnya’, dan

pangkèng ‘kamar’ manjadi pangkèngnga

‘kamarnya’.

Bunyi pelancar w muncul apabila bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /o/ atau /u/ dilekati oleh sufi ks {-a}, {-è}, atau {-i}. Bunyi pelancar y muncul apabila: (a) bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /è/ atau /i/ dilekati oleh sufi ks {-a}, {-aghi}, {-ana}; (b) prefi ks {e-} bergabung dengan bentuk dasar yang berfonem awal a atau o. Bunyi glotal ([?]) muncul apabila bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /a/ dilekati oleh sufi ks {-a}, {-aghi}, {-ana}.

Geminasi atau perangkapan fonem akhir bentuk dasar terjadi apabila: (a) bentuk dasar yang berfonem akhir konsonan atau semi-vokal dilekati oleh sufi ks {-aghi} dan (b) bentuk dasar yang suku terakhirnya bervokal /e/ ([ə]) dan berupa suku tertutup dilekati oleh sufi ks yang berawal dengan vokal (-a, -ana, -è, dan -aghi). Contoh-contohnya, seperti ditampilkan pada bagan 3 berikut.

Bagan 3: Geminasi dalam BM

Dokumen terkait