• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA MEMBELAH TEMPURUNG REDUKSI AGAMA

Listiyono Santoso

PENGANTAR

Membincangkan agama memang selalu menarik. Tidak saja karena di dalamnya mengandung problema perenialis sepanjang peradaban kemanusiaan, tetapi juga terkait di dalamnya tawaran kebenaran dan ajaran keselamatan yang bersifat abadi. Bagi pemeluknya, tawaran kebenaran dan keselamatan yang diberikan agama –apapun namanya- adalah bersifat kepastian. Tidak ada tawar menawar didalamnya. Apalagi ketika tawaran kebenaran dan keselamatan itu datangnya dari Tuhan sebagai Sang Pemiliki Kebenaran. Karena memberikan tawaran kebenaran dan keselamatan (di dunia), utamanya di akhirat, maka agama kemudian dikonstruksikan sebagai sesuatu yang suci (sakral).

Tidak jelas secara pasti, apakah kedua sisi tersebut lahir secara bersamaan atau yang satu merupakan implikasi logis dari yang lainnya. Inklusivitas muncul karena adanya paham eklusivitas, atau sebaliknya, * Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Kampus B, Jl. Dharmawangsa Dalam Se;atan Surabaya 60286, Tlp 031-5035676, email: alisyo00@yahoo.com

eklusivitas merupakan akibat langsung dari paham inklusivitas. Yang jelas keduanya merupakan dua entitas yang saling bertalian sebagai sebuah dialektika sejarah, yang dalam bahasa Hegel; tesis-antitesis-sintesis. Artinya, pemahaman keagamaan kita seringkali dihadapkan pada munculnya dua arus utama yang (ironisnya) bersifat –meminjam terminologi Ferdinand De Saususre-

binary opposition. Selalu saja akan muncul paradigma ‘melawan’ arus mainstream yang akan berhadapan vis a vis. Sayangnya, umat Islam –dalam banyak hal- tidak dibiasakan untuk memahami secara sadar munculnya berbagai bentuk pemikiran-pemikiran alternatif (lain) sebagai suatu keniscayaan sejarah, meski seringkali pemikiran tersebut berbanding terbalik secara ‘hitam-putih’.

Munculnya pemikiran baru akan dipahami secara stigmatig sebagai bentuk penyimpangan dari arus utama yang berkembang. Arus mainstream diletakkan sebagai ‘juru tafsir’ satu-satunya yang sah atas penafi sran agama. Pemikiran (keagamaan) yang dominan dianggap sebagai satu-satunya kebenaran tafsiran, yang menolak munculnya tafsiran baru. Dilihat dari sudut sosiologis,

-meminjam terminologi Mohammad Sobary (1988: 34) - terutama dalam kaitan dengan proses sosial yang masih terus berlangsung –dan memperlihatkan bahwa segala sesuatu pada dasarnya masih sibuk ‘membentuk’ dirinya- pemahaman seperti itu mengakibatkan kebekuan dan tidak menarik. Soalnya, dalam hidup, sesuatu –termasuk model pemikiran- yang sudah jadi (mapan) dan hegemonik, sering tidak bersedia diajak; “tawar-menawar’. Sekali ‘jadi’ tetap ‘jadi’, dan perspektif lain, karenanya tidak boleh ‘hadir’ bahkan ‘dihadirkan’.

Dalam terminologi ini, maka memahami lahirnya paradigma Islam Inklusif versus Islam Eksklusif (misalnya) secara binary oposition –meski keduanya memang bertolak belakang- akan melahirkan benturan- benturan yang sifatnya konterproduktif. Seharunya, keduanya dipahami sebagai suatu bentuk kewajaran dalam kreativitas pemikiran manusia –dalam koridor tertentu- tanpa harus saling ‘menghardik’ dan ‘menghakimi’, apalagi dalam konteks pemahaman keagamaan. Hal ini karena persoalan keagamaan seringkali berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya personal; yang tidak hanya berkaitan dengan rasionalitas, melainkan juga rasa yang berurusan dengan wilayah unspekable yang melembaga di bagian terdalam diri manusia: hati dan intuisi.

Truth claim penafsiran keagamaan pada akhirnya justru mereduksi absolutivitas kebenaran Tuhan, yang sifatnya dogmatik. Padahal kita tidak ingin hidup di bawah tirani kesadaran normatif idiil –apalagi yang sekedar tafsiran manusia- seperti itu. Maka jalan keluar harus dibangun betapapun sukarnya, agar kebebasan –dalam pemikiran maupun pemahaman atas perkara hidup: termasuk pemahaman keagamaan- bisa dinikmati. Kita tidak ingin agama yang ramah, yang turun ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan manusia itu,

dipahami secara konterproduktif menjadi sesuatu yang malah serba menakutkan (Mohammad Sobary, 1988: 35).

Terlepas dari persoalan ini, prolog panjang ini hanya untuk mengantarkan kita pada suatu pendekatan komprehensif atas munculnya fenomena Islam Inklusif sebagai keniscayaan sejarah yang mesti diterima secara wajar, tanpa euphoria dan tanpa sebuah kecurigaan mendasar. Artinya, sudah saatnya, umat Islam membangun suatu dialog konstruktif; agar proses pencarian kebenaran Mutlak (milik Tuhan) dapat dijalankan secara terus menerus. Bukan persoalan siapa yang benar, melainkan bagaimana proses pencarian kebenaran itu ditemukan; bukan siapa melainkan bagaimana.

Barangkali Erich Fromm (1950: 26) benar tatkala menyatakan bahwa dengan melihat kenyataan adanya naluri beragama dari manusia –agama apapun dia- termasuk

‘ersatz religion’, ‘religio illicita’ dan ‘religio equivalents’ seperti Fasisme, Nazisme dan Marxisme- maka persoalannya bukanlah terutama bagaimana mendorong manusia untuk bergama, melainkan bagaimana manusia dapat menemukan agama atau cara memeluk agama dan menghayatinya begitu rupa sehingga tidak membuatnya lumpuh secara kerohanian, melainkan yang akan mengembangkan lebih lanjut nilai kemanusiaannya sendiri dan membuat mekar potensi spesifi knya sebagai manusia.

Dengan demikian, jenis (penafsiran) k e a g a m a a n y a n g j e l a s s e k a l i t i d a k dikehendaki dan tidak dapat diterima ialah (tafsiran) agama yang membuat seseorang tunduk patuh dan pasrah total kepada sesama manusia dan membuatnya terasing dari dirinya sendiri meskipun semuanya dilakukan dalam ‘kedok’ menyembah Tuhan (Erich Fromm, 1950: 21 dan Edy A. Effendy, ed., 1999: 24). Kepasrahan total pada seseorang akan melahirkan suatu

seolah memperoleh suatu pencerahan

(aufkalrung) setelah lama terlelap oleh tidur dogmatisnya. Betapa tidak? Liberalisasi pemikiran Islam Inklusif dalam banyak hal sanggup melakukan ‘dekonstruksi’2

atas bahasa-bahasa agama yang selama ini terlembaga secara ‘kaku’. Liberalisasi Islam Inklusif dalam artian sederhana diletakkan pada upaya untuk melakukan pendekonstruksian atas wacana keislaman yang selama ini dianggap beku. Namun, dekonstruksi yang dilakukan, sepertinya bukan untuk menihilkannya, melainkan untuk menuju apa yang disebut Komaruddin Hidayat (dalam Edi A Eff endi, 1999: 91- 100) sebagai rekonstruksi konseptual dan pendakian rohani menuju Realitas Absolut.

Bagi penganut Islam Inklusif, liberalisasi pemikiran dalam (penafsiran) atas Islam akan mendorong terciptanya ‘suasana’ kehidupan ke(ber)agamaan yang damai dan toleran atas agama lain di tengah pusaran pluralitas keagamaan. Inklusivitas pemaknaan agama menjadi suatu keharusan ditengah realitas kemajemukan agama. Agama (Islam) yang Inklusif memberikan makna mendalam bagi terciptanya suasana ‘dialog’ antar agama, yang mungkin secara epistemologis tidak dapat disatukan.

Disadari betapa lahirnya Islam Inklusif merupakan antitesa dari adanya pemahaman keagamaan (selama) ini yang kaku; yang cenderung hitam-putih; bahwa ‘kita’ benar, ‘mereka’ salah, kita lurus mereka sesat. Kekakuan pemahamaan keagamaan menimbulkan suatu persoalan besar tatkala dihadapkan pada realitas kemajemukan, karena berakibat fatal timbulnya berbagai bentuk konflik berkepanjangan. Sejarah menjadi bukti tipikal pemahaman keagamaan

2. Pemaknaan dekonstruksi disini lebih diletakkan sebagai upaya untuk membaca ulang bahasa-bahasa agama, dan harus dibedakan dengan terminologi destruksi. gejala kultus (cult), yaitu bentuk gerakan

spiritual (dan keagamaan) dengan sistem pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolutistik, dan dengan sendirinya, kurang toleran kepada kelompok lain. Gejala kultus ini pada akhirnya memunculkan ‘gundukan’ fundamementalisme1 cara beragama.

D I S C O U R S E I S L A M I N K L U S I F :

Dokumen terkait