• Tidak ada hasil yang ditemukan

WILAYAH EPISTEMOLOGIS AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "WILAYAH EPISTEMOLOGIS AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP ELING DALAM SERAT WULANG PUTRI

MARGINALISASI WANITA MADURA: IMPLIKASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI DESA BANYUWULU (SEBUAH PARADIGMA ETNOSAINS)

MENIMBANG DIFABELISME SEBAGAI KRITIK SOSIAL

PENGGUNAAN STRATEGI-STRATEGI KRITIK DALAM BAHASA INDONESIA PADA MASYARAKAT DWILINGUAL INDONESIA-JAWA DI SURABAYA

UPAYA PEMBAKUAN EJAAN BAHASA MADURA DAN PERTIMBANGAN TERHADAP PERSOALAN YANG DIPERDEBATKAN

USING HI-FREQUENCY ITEM ANALYSIS-BASED SELF-LEARNING METHODOLOGY TO OBTAIN THE TOEFL SCORE EXCELLENCE

MENERJEMAHKAN SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DAN HUBUNGANNYA DENGAN MODEL-MODEL DALAM TERJEMAHAN

RESENSI BUKU: KRITIK (MATERIALISME) ATAS “AGAMA”: UPAYA MEMBELAH TEMPURUNG REDUKSI AGAMA

Sri Ratnawati ~ 82

Eni Sugiarti ~ 89

Edy Jauhari ~ 114 Slamet Thohari ~1505111

Akhmad Sofyan ~ 123

Amir Fatah ~ 132

Listiyono Santoso ~ 148 Husein Shahab ~ 142

(2)
(3)

DAN ILMU PENGETAHUAN

Soedarso*

Abstract

Science does not put factor of God in its clarifications about nature because it is outside of its methodological competence. Science explains the experienced phenomenon as far as empiric research gone through, a dissimilar field with the field which is often represented by religion. God is The Most Perfect, but the understanding of human being about God is imperfect. In other word, it is impossible to have perfect knowledge about God. Even about this nature itself human being never reach a perfect knowledge.

benar ilmu pengetahuan harus berbicara tentang Tuhan, adakah metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk itu? Pertentangan yang muncul sebagaimana telah diuraikan mencerminkan masih samarnya hubungan antara wilayah epistemologi ilmu pengetahuan dengan agama.

Berdasarkan metodologi yang ditempuh-nya, ilmu pengetahuan memiliki basis dan wilayah epistemologis yang berbeda dengan agama. Tetapi, mengapa sering terjadi percampuradukkan? Bagi ilmuwan, jelas bahwa mereka hanya bermaksud memahami berbagai fenomena dunia empiris, yakni sejauh terindera oleh pengalaman dan Sebagian kalangan agamawan menolak

penjelasan dalam ilmu pengetahuan bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya. Logikanya setiap hal termasuk alam, pasti ada yang menciptakan, yakni Tuhan. Alam bukan penyebab yang terakhir karena ada penyebab lain yang mendahului. Penjelasan para ilmuwan yang menyatakan bahwa alam terjadi dengan sendirinya tidak dapat diterima oleh agamawan karena dianggap mengingkari adanya Tuhan (Heriyanto, 2003).

Apakah benar penjelasan ilmu pengeta-huan menyangkal keberadaan Tuhan? Apakah

* Jurusan MKU Fakultas MIPA Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, HP 08123116822 Pendahuluan

Persoalan Epistemologi

(4)

pengamatan hidup manusia umum. Ilmu pengetahuan tidak pernah berbicara hal-hal yang di luar empiri manusia umum, seorang ilmuwan bukanlah seorang nabi, pengetahuannya tidak diperoleh melalui wahyu melainkan melalui metode tertentu yang biasa disebut dengan metode ilmiah. Ilmu pengetahuan hanya sebatas persoalan tentang alam ini, bukan yang lainnya. Ilmu pengetahuan hanya mempelajari sifat-sifat alam dan menggunakannya untuk kepentingan manusia. Ilmu pengetahuan bersifat teoritik dan operasional, didasarkan pada data dan argumentasi, agar dapat dibuktikan kebenarannya secara konkrit.

Ilmu pengetahuan alam, khususnya fi sika, sejauh ini tidak pernah membahas tentang Tuhan. Penjelasan bahwa alam berasal dari dalam dirinya sendiri, tanpa sebab-sebab yang lain, berdasarkan asumsi bahwa alam sebagai kenyataan yang ultima

secara epistemologis. Dan hal ini tidak bisa disimpulkan begitu saja bahwa mereka (ilmuwan) tidak mengakui adanya Tuhan. Para ilmuwan hanya tidak harus menyebutkan tentang Tuhan dalam berbagai penjelasannya mengenai alam, karena dengan alam saja sudah dapat diperoleh gambaran yang cukup secara epistemologis.

Tentu akan sangat sulit jika para ilmuwan harus memasukkan konsep-konsep ketuhanan dalam teori-teorinya, oleh karena terlebih dahulu harus menjelaskan tentang Tuhan, yang dalam hal ini tidak mungkin dilakukan oleh ilmuwan melalui metode ilmiahnya. Sejauh mana data-data yang diperolehnya, maka sejauh itu pula penjelasan yang di kemukakan para ilmuwan.

Bahwa ilmuwan mengingkari adanya Tuhan adalah suatu kesimpulan yang dibuat oleh para agamawan bukan para ilmuwan

an sich. Para agamawan menganggap bahwa ilmuwan mengingkari Tuhan. Bandingkan dengan keadaan senyatanya bahwa dengan

keilmuannya, seseorang tidak harus mening-galkan agama (Sudarminta, 2003). Dengan kata lain, dalam seorang yang berilmu dan beragama keduanya dapat menyatu. Bukti ini sangat jelas, dimana terdapat banyak orang beragama yang sekaligus ilmuwan.

Sayangnya, pandangan bahwa ilmuwan mengingkari Tuhan oleh agamawan justru yang dipepulerkan dalam pendidikan-pendidikan agama termasuk dalam perguruan tinggi. Hal ini menimbulkan dampak serius yang seolah-olah antara agama dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang berten-tangan. Agama dianggap tidak cocok dengan ilmu pengetahuan, demikian sebaliknya. Sama seperti pertentangan agama dan ilmu pengetahuan mengulang peristiwa kasus Galileo pada abad ke-17 dan kasus Charles Darwin pada abad ke-19 (Barbour, 1966).

Inilah sebetulnya isu yang tidak menguntungkan bahkan sangat merugikan bagi kedua belah pihak. Kebenaran ilmiah yang nyata-nyata menjadi penopang utama kehidupan modern, namun disia-siakan oleh agamawan. Hal inilah barangkali sebagian dari persoalan hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan alam yang perlu sesegera mungkin dipecahkan.

Ilmuwan melalui metode keilmuan-nya hakeilmuan-nya mempelajari dunia, dan tidak memungkinkan sejauh ini mempelajari tentang Tuhan, karena metodenya belum diketemukan (Leahy, 1991). Sehingga, ilmuwan tidak mungkin pula menyimpulkan tentang Tuhan. Yang disimpulkan ilmuwan hanya tentang alam ini saja. Dalam posisi sebagai ilmuwan tidak dimungkinkan mengiyakan tentang adanya Tuhan atau pun sebaliknya menolak, karena metode ilmiah tidak memungkinkan untuk itu. Jika Ilmuwan Tidak Berwenang

(5)

terdapat seorang ilmuwan yang memberikan penjelasan bahwa Tuhan itu ada atau tidak ada, maka ia bertindak bukan atas dasar keilmuannya, bukan kesimpulan ilmiah, melainkan sekedar pendapat pribadinya. Metode ilmiah sejauh ini tidak bisa menjang-kau penjelasan tentang Tuhan.

Penjelasan tentang Tuhan diluar kemampuan dan kompetensi metodologis dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam tidak bermaksud menolak atau pun menerima penjelasan yang dilakukan oleh agama, melainkan sekedar menjelaskan alam berdasarkan metode yang dimilikinya. Seorang ilmuwan dapat saja sangat beriman tentang Tuhan melalui agama yang dianut-nya, namun bukan dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan. Bahkan bisa terjadi ilmu pengetahuan justru menguatkan keimanan seseorang. Seorang ilmuwan yang menemui keajaiban-keajaiban alam yang dilihatnya melalui disiplin ilmunya bisa menjadi lebih beriman kepada Tuhan dengan perspektif yang lebih baru karena telah melihat rahasia-rahasia alam yang akan sangat sulit dilihat oleh orang awam (Supeli, 2003).

Melalui pembagian wilayah epistemo-logis dengan demikian maka menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam sebenarnya tidak bermaksud mencampuri urusan agama, termasuk pada saat melakukan penjelasan tentang alam. Ilmu alam hanya bermaksud mencari hukum-hukum yang bekerja pada alam. Kalaulah hukum-hukum tersebut dimaknai sebagai ‘kreasi Tuhan’ oleh para agamawan, secara epistemologis bukan merupakan persoalan ontologis bagi ilmuwan.

Ilmuwan dilain pihak juga tidak pernah memaksakan teori-teorinya, tidak pula merasa paling tahu meskipun telah menemukan banyak pengetahuan tentang hukum-hukum alam. Yang ilmuwan tahu dan sadari bahwa kebenaran yang ditemukan hanyalah

bersifat hipotetik, artinya sejauh belum ada penemunan lain yang menggugurkannya. Dalam setiap pengetahuan yang ditemukan terdapat lebih besar lagi misteri yang belum diungkapkan, oleh karena itu ilmuwan tidak pernah sekalipun berhenti untuk meneliti. Meneliti dan terus meneliti untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan, itulah pekerjaan setiap ilmuwan.

Agamawan juga tidak seharusnya merasa paling tahu tentang kebenaran alam dan tentang Tuhan. Bisa jadi apa yang disampai-kan ilmuwan hakikatnya sama dengan yang dikemukakan agamawan. Bagi manusia: alam dan Tuhan senantiasa merupakan misteri yang tidak bisa sepenuhnya terung-kap, karena sekaligus hal ini menunjukkan keagungan-Nya, yang begitu jauh dari jangkauan manusia untuk memahaminya secara sempurna.

Teori evolusi yang dikemukan Darwin dan para pengikutnya telah pernah sempat menggemparkan kalangan agama. Teori evolusi dituduh ateis, karena menolak penjelasan adanya campur tangan ‘Tuhan’ terhadap alam ini, sebagaimana keyakinan kalangan agamawan pada umumnya. Bagi agamawan: kehidupan dan alam seisinya ini bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Seandainya ada penjelasan tentang alam ini yang tanpa melibatkan Tuhan sebagaimana yang terjadi pada teori evolusi adalah suatu kesalahan yang sulit dimaafkan.

(6)

(1225-1274) yang dikenal dengan prinsip

exnihilo yang berarti antara lain: dunia diciptakan bukan dari suatu bahan dasar, tetapi bergantung pada Allah, penciptaan oleh Allah tidak terbatas pada satu saat saja (Salam, 2000). Menurut teori kreasionisme ini, alam merupakan kreasi Tuhan. Tuhan selalu mencipta kapan dan dimanapun tidak pernah henti. Hanya Tuhan dan Tuhan yang berkuasa atas alam dan hidup ini, bukan yang lain, bukan alam itu sendiri.

Baik teori evolusi maupun teori kreasio-nisme sebetulnya berpotensi ‘mengekang Tuhan’; Tuhan seolah-olah ‘dipaksa’ harus demikian adanya. Padahal, dalam kenyataan tidak sepenuhnya berisi keberaturan nan eksak, tidak pula sepenuhnya ketakberaturan nan misterius. Keberaturan yang belum terpahami akan tampak sebagai ketakber-aturan. Eksak yang belum terungkap akan tampak sebagai misteri. Manakala ketakber-aturan terungkap maka akan terlihatlah keberaturan, dan manakala misteri telah dibongkar akan terlihatlah sebagai sesuatu yang eksak. Tidak bisa diperoleh gambaran yang fi nal tentang dunia, apalagi tentang Tuhan. Ada jarak yang jauh antara pengeta-huan manusia dengan variasi terdalam yang terdapat pada setiap fenomena.

Jika sebagian kecil hukum-hukum Tuhan yang bekerja pada dunia ini telah terpahami, atau ilmuwan menyebutnya sebagai hukum alam, bukan berarti itu sebuah jawaban final; karena hukum-hukum tersebut masih dapat digugurkan jika ditemukan hukum baru yang lebih kuat. Hukum-hukum ilmiah pada saat tertentu akan nampak memiliki sejumlah kelemahan. Selalu masih ada berbagai hal yang harus diungkapkan lagi. Selamanya tidak akan dipahami sepenuhnya bagaimana alam ini. Dengan demikian, tidak dapat diketahui pula apa yang diperbuat Tuhan untuk alam dalam arti yang sesungguh-sungguhnya.

Mau berbuat apalah Tuhan, itu adalah hak prerogratif Tuhan; akan menjadi salah kalau manusia membatasinya dengan teori-teori.

Biarkanlah ilmu pengetahuan selamanya mencoba mempelajari alam di satu pihak, dan biarkan pula agama memaknai perbuatan Tuhan di pihak lain. Semuanya dalam satu kerangka bersama yaitu usaha mencoba mengungkapkan, bukan memastikan atas pengetahuan-pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui agama maupun melalui ilmu pengetahuan tidak akan pernah mutlak.

Teori evolusi terbukti efektif untuk menjelaskan berbagai gejala alam tidak hanya di bidang Biologi, tetapi bidang lainnya, bahkan dalam bidang ilmu sosial. Teori evolusi adalah salah satu usaha mengungkap misteri alam, yang sejauh ini cukup teruji kebenarannya. Sejauh ini telah banyak perhitungan dan prediksi yang menggunakan prinsip dan dasar dari teori evolusi (Iskandar, 2003). Demikian sebaliknya, tidak perlu menolak teori kreasionisme, karena nyata pula misteri yang dianggap sebagai ‘cipta Tuhan’ tersebut selalu dijumpai, bahkan jelas dalam penjelasan keilmuan sekalipun terkadang tidak sepenuhnya dalam artian yang eksak.

Teori evolusi yang mewakili pandangan ilmuwan, tidak perlu dipertentangkan dengan teori kreasionisme yang biasanya dianut agamawan. Semua berpadu sebagai realita cara pandang manusia tentang kehidupannya. Mempertentangkan keduanya sama halnya dengan ‘memenjara’ Tuhan dalam persepsi-persepsi manusia.

EPISTEMOLOGI KEILAHIAN DI LUAR AGAMA

(7)

metafisika berarti juga suatu metafisika; analog dengan hal ini, penolakan adanya Tuhan adalah tetap merupakan pengakuan adanya Tuhan dalam suatu versi yang lain. Penolakan terhadap keberadaan Tuhan dapat disejajarkan dengan membuat penjelasan tersendiri tentang-Nya meskipun barangkali tanpa harus menyebutkan nama-Nya.

Mengapa demikian? Tuhan sebagai yang ultima sangat mungkin memperoleh penjelasan berbeda-beda. Jika ada seseorang menyatakan: “saya tidak percaya adanya Tuhan, yang saya percayai hanyalah alam ini”; maka ia sebenarnya telah menuhankan alam ini, alam sebagai yang ultima. Orang yang tidak mempercayai Tuhan, hanya mempercayai bahwa hidup ini mengalir begitu saja, maka ia pun menuhankan hal itu, yakni hidup yang mengalir dipandang sebagai yang ultima. Jika ada seseorang mempercayai adanya Tuhan sang penguasa alam ini, maka ia jelas menuhankan “Sang penguasa alam ini” sebagai yang ultima.

Dalam pemahaman melalui agama sekalipun, penjelasan tentang Tuhan tidak pernah gamblang, hanya seolah-olah saja terlihat gamblang. Perhatikan contoh-contoh berikut ini:

a. Dari segi penyebutan: Tuhan dalam agama Islam disebut Allah, dalam agama Katholik/Kristen disebut Yesus, dalam Yahudi disebut Yahwe, dalam Hindu disebut Hyang Widi, dalam Taoisme disebut Tao dan seterusnya; a p a k a h s e m u a s e b u t a n - s e b u t a n tersebut hakikatnya berbeda? Kalau yang menciptakan alam ini adalah Tuhan, maka nama-nama Tuhan dalam berbagai agama tersebut hakikatnya tidak berbeda, karena sama-sama merujuk kepada sang Pencipta Alam. b. Penjelasan dalam agama tentang Tuhan

dalam kaitannya dengan kejahatan. Jika dipertanyakan apakah Tuhan maha

kuasa atas tiap-tiap sesuatu? Agamawan bisa menjawab “ya”, tetapi pada saat selanjutnya dipertanyakan: termasuk adanya kejahatan? Jawabnya biasanya “tidak”. Pertanyaannya, bagaimana kita memandang Tuhan maha kuasa sementara disisi lain kejahatan di luar kuasanya?

c. Pe r t a n y a a n - p e r t a n y a a n s e p e r t i : Apakah Tuhan maha pencipta? Yang berarti sanggup menciptakan batu yang sangat besar sekali yang Tuhan sendiri tidak mampu mengangkatnya? Kalau jawabnya “ya”, berarti Tuhan maha pencipta, bisa menciptakan apa pun, tetapi memiliki kelemahan yakni tidak mampu mengangkat batu yang diciptakannya tersebut. Jika jawabnya “tidak”, maka Tuhan dalam hal ini berarti tidak maha pencipta karena tidak mampu menciptakan batu yang sangat besar sebagaimana dimaksud (Katsoff , 1992).

Dari contoh-contoh tersebut sama sekali tidak bermaksud menunjukkan kelemahan Tuhan, melainkan yang dimaksud adalah menunjukkan kelemahan manusia dalam memahami Tuhan. Karena kelemahan manusia, maka penjelasan tentang Tuhan selalu mengundang sejumlah pertanyaan, artinya penjelasannya tidak pernah benar-benar gamblang. Belum lagi, antara satu agama dengan yang lainnya terkadang memberi penjelasan sendiri yang berbeda-beda antara satu dan lainnya: terdapatnya bermacam agama dalam dunia ini yang berarti terdapat bermacam penjelasan yang berbeda tentang Tuhan. Pertanyaannya: penjelasan manakah yang layak diikuti? Jawabnya hanya dengan iman masing-masing.

(8)

apa mempercayai suatu pemaknaan tertentu? Singkatnya, kalau di dunia ini misalkan ada tujuh agama (kenyataannya lebih), dan ketujuh agama tersebut sama-sama memberikan penjelasan tentang Tuhan. Dalam hal ini, jika mengikuti cara berpikir keilmuan, maka orang tidak dapat memilihnya karena semuanya tidak dapat diverifi kasi. Namun, jika sebagai seorang penganut agama, maka perlu mengimani penjelasan yang ada dalam agama yang dianut tanpa harus memaksakannya kepada orang lain yang tidak menganutnya. Agama akan sangat membantu memenuhi kehausan manusia akan suatu misteri besar kehidupan yang tidak terjamah oleh ilmu pengetahuan.

TUHAN DALAM PEMAHAMAN AKAL YANG TERBATAS

Meski setiap orang mengakui adanya Tuhan, tetapi dapatkah memahamiNya? Kalau tidak dapat, lalu apa sebenarnya yang diakuinya itu? Hanya sekedar nama? Inilah permasalahan epistemologis dan sekaligus ontologis. Mengakui tidak identik dengan memahami (Soedarso, dkk, 2004). Pemahaman melalui agama sama-sama menggunakan penjelasan akal untuk mendukung pengakuan tentang Tuhan. Tetapi ternyata pemahaman tersebut memiliki kelemahan sebagaimana telah dikemukan dalam contoh-contoh dalam sub-bab sebelumnya. Perlukah pendekatan lain untuk memahami Tuhan?

Menurut Krisnamurti akal tidak pernah menyelesaikan masalah justru akal itu sendiri sumber masalah (Bohn, 1986). Sifat akal hanya memecah-mecah dan membagi-bagi sesuatu, hanya efektif untuk sebagian penjelasan tentang alam, tetapi tidak untuk menjelaskan tentang Tuhan. Dengan demikian akal menjadi berhenti, dan mulailah wilayah ‘keimanan’.

Dalam keimanan akal tidak dapat berbuat banyak termasuk pada saat harus mempercayai bahwa: “Tuhan mampu memasukkan bumi ini ke dalam sebuah gelas!” (Ungkapan yang muncul dalam Sufisme). Itulah keimanan, pengakuan yang terdalam. Akal yang serba memecah-belah dan sumber konflik antar sesame, perlu ditanggalkan. Dalam keimanan yang demikian semua manusia berpadu dan tidak perlu berkonfl ik satu sama lain atas nama agama.

SIMPULAN

Ilmu pengetahuan tidak memasukkan unsur Tuhan dalam penjelasan-penjelasannya tentang alam karena diluar kompetensi metodologisnya. Adalah sangat sulit jika ilmu pengetahuan harus menjelaskan tentang Tuhan karena metode ilmiah untuk itu belum ada. Dalam hal ini ilmu pengetahuan pengetahuan tidak dapat disimpulkan menolak atau menerima konsep tentang Tuhan semata-mata karena diluar kewenangan epitemologisnya. Ilmu pengetahuan menjelaskan fenomena alam sejauh penelitian empiris yang ditempuhnya, diluar itu merupakan wilayah lain yang dalam ini sering merupakan wilayah agama dan fi lsafat.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Barbour, Ian G. 1966. Issues in Science and Religion, Prentice-Hall, Inc.

Bohn, David. 1986. Th e Future of Humanity: Two dialogues between J. Krisnamurti / David Bohm, Krisnamurti Foundation Trust Ltd., London.

Heriyanto, Husein. 2003. Pemetaan Hubungan Sains dan Agama dalam Perspektif Kemanusiaan, Makalah Workshop ‘Agama dan Sains’ PPs UGM, Yogyakarta.

Iskandar, Djoko T. 2003. Evolusi: Dahulu dan Sekarang, Makalah Workshop ‘Agama dan Sains’ PPs UGM, Yogyakarta. Kattsoff , Louis O. 1992. Pengantar Filsafat,

terjemah dari Element of Philosophy

oleh Soejono Soemargono, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.

Leahy, Louis. 1991. Esai Filsafat untuk Masa Kini: telaah masalah materi-roh berdasarkan data empiris baru, Pustaka Utama Grafi ti, Jakarta.

Salam, Burhanuddin. 2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Soedarso, Heri Santoso. 2007. Filsafat Ilmu dan Etika, Penerbit Rasmedia, Yogyakarta.

Sudarminta, Dr.j. 2003. Agama dan Kosmologi: Sama-sama Berkisah Tentang Keagungan Tuhan, Makalah Workshop ‘Agama dan Sains’ PPs UGM, Yogyakarta.

(10)

Sri Ratnawati*

Abstract

A Javanese language manuscript populary called the Serat Wulang Putri was specifically written for teaching the Javanese high class women. As widely assumed that the Javanese women with high social status are inherently attributed to the Javanesse-based noble characters, including the self-consciousness as authentic Javanese women the so-colled Eling. In this view point, the term eling is genetically part of the world view Javanese people in general which has nowadays been eliminated among the contemporary Javanese wpmen. Therefore, it is required that research to revive the authenticity of wisdom among Javanese women as presented in text of Serat Wulang Putri be inevitably conducted, so that they can heritage it for their future and not to be eliminated from their own authentic cultural root.

Keywords: women, education, morality

PENDAHULUAN

Serat Wulang Putri merupakan sebuah manuskrip yang ditulis oleh Paku Buwono IV dalam bahasa dan aksara Jawa. Salah satu butir nilai yang diamanatkan adalah kata eling. Kata tersebut punya makna fi losofi s berdasarkan budaya Jawa. Orang Jawa dikenal dengan sikap “olah roso” dalam upaya membentuk kepribadian yang tangguh, berwibawa dan bermoral. Konsep tersebut berlaku baik bagi laki maupun perempuan yang punya keinginan untuk menjadi insan mulia.

Peran sosial antara wanita dengan laki-laki di lingkungan budaya Jawa dibedakan secara signifi kan. Perempuan ditempatkan dalam ranah domestik, yaitu perannya

sebagai tiyang wingking (subordinat). Kondisi demikian tidak usah dipermasalahkan apalagi digugat, sebaliknya dipandang sebagai satu kehormatan. atau kemulyaan. Oleh karena perempuan punya peran penting sebagai

character building generasi yang tangguh dan bermoral, ada pepatah mengatakan bahwa

Wanita Sebagai Tiang Negara. Generasi muda menjadi tangguh tergantung bagaimana perempuan mencetak putra-putrinya.

Jauh sebelum muncul teori gender yang mengatur soal peran laki-laki dan perempuan, Paku Buwono IV sudah terlebih dahulu merumuskan, kedudukan dan keberadaan perempuan dengan kosmologi Jawa, yaitu menempatkan posisi wanita secara terhormat, mulia tanpa harus meninggalkan kodratnya. Dengan pertimbangan wanitalah sebagai pendidik utama bagi putra-putri, dan wanita pulalah yang mengenalkan anak pertama kali * Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya

(11)

merasa, berpikir dan berbicara.

Serat Wulang Putru (atau disingkat SWP) dibuat dengan tujuan untuk mencer-daskan wanita. Dengan cara belajar nembang itu sama halnya dengan belajar untuk tahu, memahami apa itu kodrat, peran sebagai perempuan. Mengingat perempuan punya fungsi ganda sebagai istri, ibu dan dirinya sendiri. Dualisme peran seperti itu bukalah hal yang mudah melainkan perlu dipelajari. Salah satu pembelajaran yang biasa dilakukan budaya Jawa adalah dengan cara nembang.

Menembang merupakan salah satu sarana atau media pembelajaran bagi putra-putri raja khususnya. Pendidikan selalu diarahkan pada kemasalahatan sang putra-putri dengan tujuan positif, konstruktif, normatif. Agar nantinya mereka ini dapat menjelma menjadi sosok perempuan yang berakhalkulkarimah. Oleh karena itu PB IV sebagai orang tua dan sekaligus raja, punya kewajiban memberi pedoman hidup melalui eling. Kata tersebut punya kaitan dengan kesadaran eksistensi sebagai perempuan yang punya peran dwifungsi peran. Oleh karenanya, diperlukan adanya kesadaran akan dwifungsi peran yang pada dasarnya membutuhkan spirit guna menciptakan hidup seimbang lahir dan batin.

Eling punya makna universal (lihat: Serat Wulangreh: 2002). Jika kemudian dalam SWP juga menyebut eling, tak lain karena konsep pemikiran tersebut punya makna general dan kiranya perlu juga dipahami oleh wanita, karena didalamnya memuat rumusan berupa kerangka norma dan pedoman hidup yang dikategorikan sebagai pengetahuan etik dan etika. SWP semacam sarana orientasi bagi para putri raja khususnya dan perempuan pada umumnya dalam usahanya untuk menjawab pertanyaan yang fundamental, yaitu bagaimana harus bertindak (Suseno, 1995:13). Para wanita diharapkan dapat membatin nilai-nilai

tersebut dengan cara dinamis sebagaimana hakikat budaya Jawa sendiri yang dinamis. Teks SWP merupakan kekayaan bangsa tiada harganya di masa lalu dan masa kini dan masa yang akan datang. Sekarang teks tersebut tersimpan dalam museum Sono Budaya Yogyakarta dengan nomor inventarisasi No. kol.:SK.20, tulisan tangan dalam aksara dan bahasa Jawa, bentuknya tembang. Teks diciptakan 4281 Caka yang bunyinya obahing para wanodya, esthining driya yang diterjemahkan tahun 1902 M.

Seperti situasi sekarang ini, dengan makin gencarnya kritik terhadap peran dan kedudukan wanita yang lebih popular dengan istilah menggugat gender. Modernisme telah menjauhkan wanita dari akar budayanya, banyak kaum wanita yang berusaha menang-galkan nilai-nilai kultural yang dianggapnya sebagai penghambat karier. Akibatnya terjadi disorientasi, ini dapat diamati dari merebak-nya perselingkuhan atau tindak kriminal yang dilakukan oleh wanita, maka kiranya perlu konsep eling perlu dimunculkan kembali. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penafsiran terhadap SWP perlu ditafsir ulang. Terlepas dari pro dan kontra, teks semacam itu memberi bekal etik dan pendidikan moral bagi wanita masa kini yang cenderung punya pandangan hidup prgmatis. Persoalan yang menyangkut “hak dan kewajiban” dijadikan issu ideologis. (Lori, 2000).

FILOSOFI ELING

Dalam budaya Jawa eling, merupakan satu aktivitas mengenal diri sendiri. Suatu aktivitas yang mangandalkan kekuatan pikiran yang dibarengi kekuatan batin. Dalam SWP kata-kata eling berkali-kali diucapkan mengiringi konteks wanita itu

(12)

wusing budi” (terjemahan bebasnya, sabar merupakan suatu kekayaan, bersyukur, rela dan legawa menciptakan keutamaan budi). Memang tidak mudah menjadi orang

sabar ngalah, legawa, dan halus, diperlukan pemecahan dan pemikiran lebih arif dan lebih sejalan dengan makna spiritualitas yang mengharuskan orang beriman lebih bertaqwa dengan melakukan segala amal kebaikan. Bersikap sabar, legawa, halus, mengalah bukanlah sikap bawaan sejak lahir atau bukan tumbuh dari dalam diri, melainkan harus dilatih, membutuhkan proses terus menerus guna menumbuhkan kasih sayang kepada sesama. Bukan berarti menyerah, bersikap pasif menerima apa adanya, melainkan memasrahkan pada kehendak maha kuasa. Hidup sudah ada ketentuan, manusia tinggal menjalani dan berusaha. Sikap demikian selayaknya dimiliki setiap manusia, menahan diri menghadapi nafsu marah dari tindakan-tindakan negatif.

Eling berangkat dari sebuah konsep kosmologi Jawa dalam upaya mengenal diri sendiri. Eling arti harfiahnya ingat, tahu, sadar, konsep tersebut dapat disejajarkan dengan ajaran Tao (jalan) dalam fi lsafat Cina atau eksistensi (tahu, sadar) dalam aliran Eksistensialisme. Konsep eling ditulis oleh seorang putra Jawa yang berusaha memberi jalan untuk mengenal diri sendiri, sadar akan eksistensi dirinya dalam melakukan sesuatu hendaknya eling, bahwa menjadi wanita harus mampu menjalankan peran di luar dirinya, seperti menjadi isteri, ibu dan peran sosial lainya. Realitasnya, menjalani peran yang demikian kompleks tidaklah mudah. Terlebih bagi wanita Jawa dari kalangan keraton, status sebagai anak raja harus ditampakkan dengan perilaku santun, intelek, berwibawa layaknya orang tuanya dan yang terpenting sanggup menguasai diri sendiri, karena sikap ini mempunyai kaitan logis dengan nilai keseimbangan,

keselarasan hidup dalam bermasyarakat. Berbekal pandangan kosmologi Jawa tersebut diharapkan wanita dapat menjalani peran secara ikhlas yang pada puncaknya akan menciptakan pola hidup harmoni baik untuk dirinya, suami dan keluarga dan masyarakat..

Secara konseptual eling dapat diseja-jarkan dengan kesadaran eksistensialisme dalam Filsafat Eksistensialisme, Taoisme dalam Filsafat Cina, yaitu menekankan penguasaaan terhadap diri sendiri dalam merespon sesuatu yang bermakna. Konsep penguasaan diri punya kaitan logis dengan nilai keseimbangan dalam arti orang sanggup menguasai dririnya sendiri akan sanggup menciptakan keseimbangan serta keselarasan hidup dengan masyarakat. Oleh karena itu manusia hendaknya selalu berusaha

“eling” menguasai nafsu demi menciptakan keseimbangan batin, sehingga yang tampak dari luar adalah sikap halus, lemah lembut sebagaimana digariskan dengan jelas dalam SWP.

Dalam teks di atas secara ekspilist dikemukakan konsep eling sebagai upaya meredam nafsu. Eling menyediakan suatu jalur atau jalan masuk yang bermanfaat untuk memahami diri sendiri. Eling memberi tempat berpijak di dalam diri kita sendiri. Dalam ajaran ini, tampaknya lebih ditekankan pada aspek kesadaran mental (kemampuan kognitif ) kematangan emosi, ketepatan sikap. Kematangan emosi, ketepatan sikap merupakan bagian dari aspek emosi (afektif ) yang erat kaitannya dengan aspek perilaku. Dalam segala tindakan harus menggambarkan alam sistem budaya, kognitif, psikologis dan sistem budaya Jawa.

(13)

dirinya, sebaliknya mereka ini lebih memilih di balik layar sesuai dengan spirit sepi ing pamrih karena mengggap tugas sebagai ibu rumah tangga adalah hal biasa dan itu sebuah konsekwensi hidup yang harus dilakukan oleh setiap wanita. Sebagai makhluk yang terakhir sebagai wanita, hendaknya diterima secara ikhlas, karena hal itu merupakan kekuasaan atau takdir (Wulangereh, 1986). Tahu akan asal usul dirinya (sejatining urip) sebagaimna dikemukakan bahwa “menjadi perempuan” termasuk suatu kepastian dari yang kuasa, karenanya jangan disesali atau dipertanyakan, semua itu sudah “angadhang takdiring widi”

oleh karena itu harus dijalankan sesuai dengan syariat agama, moral.

Seorang wanita haruslah cerdas, mau berpikir. Untuk menjadi wanita utama

(baca:wanito utomo) memang dibutuhkan kecerdasan batiniah di samping kecerdasan intelektual. Kedua-duanya saling melengkapi. Hanya wanita-wanita yang eling yang dianggap cerdas, karena ia dapat menempatkan diri dimana saja dan kapan saja dengan ikhlas dan total tanpa harus berkonfl ik dengan dirinya sendiri. Hanya orang-orang yang punya kadar spiritualitas tinggi yang dapat menjalankan konsep tersebut dengan baik. Atas alasan itulah Paku Buwono IV mendahuluinya atau mendasarinya dengan pengetahuan spiritualis terlebih dahulu.

Pengenalan dasar teologis diberikan sebagai usaha membentuk wanita yang m e m i l i k i k e u t a m a a n b u d i ( w a n i t a utama). Aspek moral keagamaan sudah ditanamkan sejak kecil. Dasar pendidikan dikembangkan, pertama tentang spirit hidup. Para putri raja diperkenalkan nilai teologis, seperti keberadaan Sang Hyang Widi, Hyang Murbeng, Hyang Sukma. Percaya adanya kekuasaan diluar dirinya bahwa sikap tindakan, ucapan, pengetahuan semuanya didasari atas nilai ketuhanan. Pengalaman keagamaan yang membawa

ajaran mencerahkan kesempitan ruang gerak perempuan. Memahami makna yang tersirat dalam eling tersebut berimplikasi pada pembangunan identitas pribadi melahirkan beberapa tingkat kesadaran tinggi, yang menurut istilah psikologi disebut the personal self (Gerungan, 2002), dalam teks SWP diwujudkan dengan saling tolong menolong, rukun dan menerima perbedaan.

Kalaupun kecenderungan wanita memilih diam dan menghindari konflik, itu bukan berarti wanita itu pasif, pasrah melainkan strategi untuk bertahan (devensif ) demi menghindari percekcokan atau keributan. Mencipkan situasi menjadi harmoni lebih merupakan upaya penghalusan dan pendalaman rasa yang terus menerus. Jika dihubungan dengan butir nilai yang dalam SWP yang dianggap sebagai sumber segala nilai kewanitaan,seperti ungkapan berikut ini: “ Yen tinandak tanpa usul/asalaing nalar naluri/nalurining kang lakon/yen tinalar dalam luwih/winulya purbaning sukma/sukma dipun katitis”. Maksudnya, jika akan melakukan sesuatu haruslah dipikir atau dinalar, hal demikian jauh lebih baik. Terbukti dalam teks juga disebutkan bahwa wanita haruslah berpikir yang berarti wanita itu harus cerdas. Kecerdasan kognitif melainkan juga diimbangi dengan kecerdasan intuisi (rasa). Proses pendidikan yang menekankan pada kekuatan batiniah dan bersifat individual sejalan dengan pandangan kejawen, gerak diri harus mengalir dari luar ke bagian dalam, dari penguasaan yang lahir ke pengembangan yang batin yang berujung pada penampakan kepribadian yang peka terhadap situasi sosial (Simuh:2002)

(14)

banyak wanita modern seperti sekarang ini yang kehilangan orientasi hidup, mengejar nilai emansipasi barat yang dalam praktiknya justru menciptakan hidup tidak seimbang dan tidak harmoni. Ketidakseimbangan ini sekarang mulai digugat dengan motto “keadilan” hak antara pria dan wanita. Melihat kondisi demikian, kearifan kuno yang namanya eling perlu dipahami lebih dalam dikembangkan nilai-nilai yang dianggap positif dan masih relevan dengan situasi wanita masa kini. Kearifan kuno tentang wanita yang dikemukakan dalam teks tersebut di atas perlu dikaji kembali agar supaya wanita yang hidup masa kini dapat mengetahui dan menjadikan sebagai pedoman hidupnya sepanjang waktu.

Hal inilah sebenarnya yang akhirnya dikenal sebagai peran ganda, yaitu sebagai ibu, sebagai istri sekaligus sebagai dirinya sendiri. faktor inilah yang membedakan peran antara perempuan dengan laki-laki. Maka dari itu tidak salah jika wanita ditekankan untuk wani noto (berani ngatur). Ungkapan tersebut mengandung makna fi losofi s yang positif.

Disadari tidak mudah mengatur peran dan waktu bagi wanita. Untuk selalu menjadi wanita utama (baca wanito utomo) perlu secara terus menerus sadar atau ingat akan kodrat sekaligus peran sosial. Untuk itulah Paku Buwono menuliskan konsep eling. Konsep berbau fi losofi tersebut lahir dari perenungan dan pikiran jernih dari seorang yang memiliki tingkat olah rasa dan olah pikir tingkat tinggi. Paku Buwono punya unsur tersebut dengan sempurna, sehingga ia mampu menciptakan SWP dengan estetis, sublimmasi sempurna.

Eling punya makna universal (lihat: Serat Wulangreh: 2002). Jika kemudian dalam SWP juga menyebut eling, tak lain karena konsep pemikiran tersebut punya makna general dan kiranya perlu juga

dipahami oleh wanita, karena didalamnya memuat rumusan berupa kerangka norma dan pedoman hidup yang dikategorikan sebagai pengetahuan etik dan etika. SWP semacam sarana orientasi bagi para putri raja khususnya dan perempuan pada umumnya dalam usahanya untuk menjawab pertanyaan yang fundamental, yaitu bagaimana harus bertindak (Suseno, 1995:13). Para wanita diharapkan dapat membatin nilai-nilai tersebut dengan cara dinamis sebagaimana hakikat budaya Jawa sendiri yang dinamis.

SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN

Menurut Mardawarsito, (1989) kata

“wulang” artinya mengajar atau mendidik. Sesuai dengan namanya Wulang Putri merupakan sebuah teks memuat tentang ajaran atau wejangan tentang etika dan moral dalam versi Jawa. Di dalamnya dijelaskan secara detil mengenai tahapan menuju kesempurnaan budi yang lebih dikenal dengan sebutan wanita utama (baca wanito utomo). Untuk itulah, Paku Buwono IV merumuskan nilai etika dan moral yang ditransformasi dari nilai kultur Jawa, salah satunya berupa konsep eling sebagai salah satu cara membentuk kepribadian putri atau wanita.

(15)

tentunya harus lebih mampu menampakkan citra sebagai wanita kalangan atas. Senantiasa mencitrakan kewibawaan layaknya orang tuanya. Mereka harus mampu menunjukkan sikap keutamaan budi, kehalusan perilaku, tutur kata, penampilan yang berbeda dengan putri rakyat kebanyakan.

Salah satu pendidikan di lingkungan keraton pada umumnya meliputi kemampuan dalam bernyanyi yang dalam tradisi Jawa akrab dengan sebutan nembang. Putri raja atau wanita kalangan keraton di anjurkan untuk belajar nembang. Cara ini merupakan strategi agar dipandang sebagai wanita terpelajar di zamannya. Belajar nembang sekaligus sekaligus mencerap nilai pengetahuan yang ada di dalamnya, terkait dengan nilai etik dan etika moral.

Metode belajar demikian memiliki sisi efektivitas, yaitu atas kesadarannya sendiri berusaha mewujudkan nilai moral tersebut dalam perilaku keseharianya. Corak pengajaran mengedepankan tata lingkungan nilai yang merupakan tata kehidupan nilai, baik nilai kemasyrakatan, sosial keagamaan yang hidup dianut akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap proses dan hasil pendidikan. Adapun tujuannya diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, yaitu tujuan pendidikan. Tujuan ini bisa menyangkut kepentingan sang putri maupun kepentingan raja, atau keduanya.

Adanya teks SWP membantu para putri dalam mengembangkan diri, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya. Kalau dahulu SWP dibuat untuk kepentingan kerajaan dan sekarang kerajaan tidak ada lagi, bukan berarti kandungan fi losofi s dan moral yang terangkum dalam SWP tidak bermanfaat. Sebaliknya masa-masa sekarang ini kiranya perlu kaum wanita membaca ulang atau menafsir ulang teks tersebut di atas. Berhubung kandungan nilainya

masih relevan sampai saat ini. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman rasa (intuisi) dan kesadaran diri.

Kata lakuning ati lebih menekankan pada eling bukan satu-satunya konsep nilai yang ada dalam SWP melainkan berkaitan dengan konsep nilai lainya seperti sabar, halus, legawa, ikhlas yang secara budaya dikontruksi untuk wanita. Jika eling mendapat prioritas dalam penulisan ini dengan pertimbangan,

eling dapat dianggap semacam pintu gerbang menuju pemahaman hidup yang lebih luas, dalam membangun kepribadian menjadi wanita utama. Wanita Jawa khususnya wanita keraton dituntut berpenampilan halus mencitrakan kewibawaan ayahandanya yang seorang raja. Untuk bersikap demikian sejak dini sudah diingatkan atau disadarkan (eling)

akan siapa dirinya, dan asal usul keluarganya melalui ajaran eling tersebut.

maningsira angandhepi ing raba ibu ta nini tegese sira nucekna iya sariranireki dene dennya nglakoni eneng eninga ing kalbu awas eling supaya sirna nepsu ta nini

anganak ana sih kalwan amirah

Terjemahan bebasnya:

apabila engkau menghadap ibumu

yaitu harus menyucikan jawa raga dengan menjalani keheningan hati dengan selalu eling, waspada supaya napsu hilang

dan membangun kaasih sayang

(16)

pengetahuan semata. Proses pendidikan demikian sengaja dipilih, karena berdasarkan pengalaman orang tuanya yang juga adalah turunan raja yang dalam tradisinya lebih banyak pelaksanakan tapa brata.

SIMPULAN

Dari ajaran Paku Buwono IV yang tertuang dalam SWP patut direnungkan kembali, mana yang sudah dimakan zaman dan mana yang masih relevan hingga atau untuk sekarang. Pada masa SWP diciptakan pada abad ini, maka ajaran moralnya disesuaikan dengan dan situasi di masa itu. Ketika teks tersebut dibaca sekarang, maka nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya dibaca dengan cara pandang sekarang. Filosofi yang diwariskan kepada wanita sejak zaman dahulu hingga kini sedikit ataupun banyak telah mengalami pergeseran atau sebagaimana perubahan sebagaimana berubahnya sistem politik, social ekonomi termasuk perubahan pemahaman akan nilai-nilai keagamaan, moral dan hubungan individu.

DAFTAR PUSTAKA

Gerungan, 2002. Psikologi Sosial, Bandung, Penerbit Rafi ka.

Harsono, Andi, 2005. Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, Yogyakarta: Pura Pustaka.

Handayani, Christina dkk. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Jogyakarta: LkiS. Handaran. Lori M. 2000. ”Teori Gender

Menggugat Feminisme Ideologi”

Gerbang Vol.06 no. 08

Mardiwarsito. 1989. Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Ende Flores: Penerbit Nusa Indah.

Muyono, Sri. 1989. Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, Jakarta. Masagung

Mulder, Niels. 1980. “Holy Mother, Mother Dear” Basis, Edisi ke-39.

Simuh, 2002. Sufisme Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya.

Suseno, Magnis Franz,. 1999. Etika Jawa.

Jakarta: Pustaka Utama

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , 1 9 8 9 . E t i k a D a s a r .

Yogyakarta: Kanisius

(17)

IMPLIKASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA

DI DESA BANYUWULU

(SEBUAH PARADIGMA ETNOSAINS)

Eni Sugiarti*

Abstract

Marginalization of Madura women related to the failure of the Family Planning Program in Banyuwulu village. This failure is not a solely mistaken of the Family Planning Program. From the aspect of ethno science this failure is because of the differences viewpoint between government and society about that program. This successful and failure of the program is related to social culture.

Keywords: marginalization, family planning program, ethno science.

PENDAHULUAN

Berawal dari sebuah pengalaman hidup penulis ditengah-tengah “masyarakat Madura“ atau orang–orang Madura yang ada di wilayah Banyu Wuluh kecamatan Waringin Bondowoso, Jawa Timur. Berangkat dari adanya adanya kejadian penolakan masyarakat Banyuwulu untuk mengikuti program Keluarga Berencana. Menurut penuturan bidan desa di Banyuwulu problem ini sudah lama berlangsung dan belum mendapat solusinya. Permasalahan Keluarga Berencana untuk beberapa hal merupakan hal yang sudah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia secara umum apalagi pada masa orde baru yang sangat gencar mensukseskan program Keluarga Berencana. Fenomena

sosial yang dihadapi penulis sangat menarik untuk dikaji dengan menggunakan teori dan konsep kebudayaan.

Dalam penelitian ini kegagalan program Keluarga berencana berhubungan dengan adanya proses marginalisasi wanita Madura yang dalam beberapa hal mereka sebagai kelompok masyarakat yang termajinalisasi secara social. Implikasinya adalah adanya perbedaan hak dan kewajiban yang terbentuk secara social. Proses marginalisasi wanita Madura membentuk adanya pola-pola social yang termanifestasikan dalam bentuk sikap dan tingkah laku yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila kita menengok di wilayah-wilayah Madura dan juga wilayah-wilayah lain yang mayoritas pendudukanya berasal dari etnis Madura seperti di Bondowoso, Situbondo dan lainnya program Keluarga Berencana * Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya

(18)

banyak mengalami hambatan kalau tidak dikatakan mengalami kegagalan. Kegagalan ini tidak semata-mata karena program ini tidak menyentuh daerah-derah “pedalaman”, wilayah yang sulit untuk dijangkau, belum masuknya program ini ditengah-tengah masyarakat, ataupun kurangnnya tenaga kader yang menangani program di desa-desa tersebut. Ketidakmampuan secara ekonomi untuk ikut sebagai peserta program keluarga Berencana rupanya bukan sebagai satu faktor penyebab dari kegagalan ini, hal ini tidak relevan dengan kenyataan dilapangan dimana program kerluarga Berencana tersebut tidak dipungut biaya, kalaupun ada biaya yang harus dibayar misalnya untuk ikut program KB spiral seorang ibu akan mendapatkan suplai dana dari desa. Dari sudut yang berbeda penulis mencoba untuk melihat permasalahan yang ada di Banyuwulu dengan menggunakan pendekatan etnosains.

Tulisan ini akan mencoba menyoroti permasalahan Keluarga Berencana di Banyuwulu dari sudut etnoekologi, dengan dua bagian pokok kajian yaitu bagaimana kondisi social masyarakat Banyuwulu yang akan dikaitkan dengan munculnya perpektif terhadap program Keluarga Berencana terutama dengan adanya proses marginalisasai wanita madura.

Tulisan ini dimaksudkan memberi-kan suatu gambaran yang berbeda dalam mensikapi terhadap suatu problemati-ka social yang berkembang dalam suatu masyarakat dengan lebih mendekatkan pada permasalahan pemahaman terhadap pengetahuan dan prinsip-prinsip, aturan, norma, yang secara sadar atau tidak yang ada didalam sebuah struktur social masyarakat yang akan mempengaruhi terhadap muncul-nya pola-pola sikap dan tingkah laku dalam menerima atau menolak suatu fenomena. Dengan demikian tujuan dari tulisan ini memberikan suatu gambaran tentang sudut

suatu suku atau sekelompok masayarakat dalam hal ini masyarakat Desa Banyu wulu terhadap program Keluarga Berencana dengan menghubungkan pada adanya pola-pola di dalam masyarkat desa tersebut yang membangun tatananan social dalam bentuk marginalisasi terhadap wanita-wanita yang ada di desa tersebut.

Etnosains berasal dari kata ethnos dalam bahasa Yunani yang berarti bangsa dan kata scienta berasal dari bahasa Latin yang berarti pengetahuan (Heddy, 2005: 30). Menurut Heddy Shri Ahimsa Putra yang merujuk pada pendapat Sturtevart (1991) bahwa etnisains kurang lebih berarti pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih atau lebih tepatnya lagi satu suku bangsa atau kelompok social tertentu. Dalam penjelasannya Sturtevart mendefinisikan etnosains sebagai “ system of knwolegde and cognitions of a given culture”Sturtevart menekankan pada system dan perangkat pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat,karena berbeda dengan pengetahuan masyarakat yang lain (Heddy, 2005: 30).

Lebih lanjut Heddy mejelaskan bahwa sebagai sebuah kajian antropologi,paradigma etnosains berujuan untuk mengetahui paling tidak ada tiga pusat kajian yaitu

pertama, etnosains memusatkan perhatian pada kebudayaan yang didefi nisikan sebagai

(19)

mereka gunakan untuk memahami suatu lingkungan dan situasi yang dihadapi, yang menjadi landasan bagi tingkah laku mereka disadur dari Tyler (Heddy, 2005: 32).

Frake lebih lajut menyebutkan bahwa pada asetiap masyarakat, suku bangsa atau kelompok social tertentu pada dasarnya membuat klasifikasi yang berbeda atas lingkungan yang sama. Dengan mengetahui klasifi kasi dan pengkatagorian dari berbagai macam gejala social dalam lingkungan ini akan dapat diketahui juga peta kognitif dunia dari suatu masyarakat tertentu (Frake dalam Haddy, 2005: 32). Dalam kajian ini peneliti berusaha mengungkap struktur-struktur yang digunakan untuk mengklasifikasi lingkungan, baik fi sik maupun social.

Kajian yang kedua, mengarahkan pada kajian yang lebih difokuskan pada kebudayaan sebagai “whatever it is one has to know or believe in order to operete in a manner acceptable to its members”, atau hal-hal yang harus diketahui oleh seseorang agar dia dapat mewujudkan perilaku atau melakukan sesuatu dengan cara yang dapat diterima oleh pendukung kebudayaan tersebut. Kajian budaya difokuskan pada cara-cara, aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai yang membolehkan atau sebaliknya yang melarang, serta mengarahkan atau menunjukan suatu hal.

Kajian ketiga memuasatkan pada perhatian kebudayaan sebagai “a set of principles for creating dramas, for writing scripts, and of course, for recruiting player and audiences” atau seperangkat prinsip-prinsip untuk menciptakan, membangun peristiwa, untuk mengumpulkan individu-individu atau orang banyak. Dalam kajian ini penelitian akan difokuskan pada prinsip-prinsip yang mendasari berbagai macam kegiatan dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya untuk memahami struktur yang tidak disadari dan berada pada tataran nirsadar namun

mempengaruhi atau menentukan perwujudan perilaku dan tindakan sehari-hari.

Etnosains bertujuan untuk mendeskrip-sikan, melukiskan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, suku bangsa atau kelompok social tertentu mengenai salah satu bagian atau unsure dari lingkungnnya. Perbedaaan gender (gender diff erences) yang dinyatakan oleh Ann Oakley dalam buku

Sex, Gender and Society bahwa gender differences manusia antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Terjadinya perbedaan gender

melalui saluran-saluran sosial dan kultural yang ada di dalam masyarakat. Perbedaan

gender menjadi masalah saat salah satu pihak baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari ketidakadilan karena perbedaan jenis kelamin ini. Perbedaan gender bukan mengacu pada adanya perbedaan sexual dalam arti pebedaan kodrati sebagi laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender

yang mengakibatkan adanya ketidakadilan diakibatkan karena perbedaan perilaku (behavioral diff ernces) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang diciptakan oleh oleh manusia melalui proses sosial dan kultural (Fakih, 2001: 71).

(20)

sebagi posisi yang secara sosial dirugikan. Wanita-wanita diposisikan sebagai kelompok yang tidak penting dan akan mengakibatkan

marginalisasi peran seorang wanita dalam aspek-aspek kehidupannya.

Marginalisasi merupakan proses pemiskinan. Dalam pengertian disini proses marginalisasi sosial yang tidak hanya mengacu pada pemiskinan secara ekonomi tetapi dalam pengertian sebagai pemiskinan dalam arti yang lebih luas menyangkut masalah pemiskinan secara sosial, ekonomi, politik dan peran budaya. Menurut Mansour Fakih, proses marginalisasi merupakan proses eksploitasi dalam bentuk pemiskinan atas jenis kelamin yang bersumber dari kebijakan pemerintah, tafsir agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi-asumsi dari ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Fakih menggambarkan bentuk-bentuk

marginalisasi terjadi dalam bentuk eksploitasi, pemiskinan,atau bentuk keterpinggiran lainnya (Fakih, 1997. hlm. 14 -15).

Pemusatan pada kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada peran laki-laki (androcentris) dan wanita sebagai second sex merupakan sebuah penggambaran adanya perilaku sosial masyarakat yang secara sadar maupun tidak telah melakukan pengekploitasian dengan mengurangi peran yang sesungguhnya tanpa adanya pengakuan peran yang dijalankan oleh seorang perempuan. Marginalisasi menjadi hal yang dianggap wajar dalam sebuah masyarakat (Kuntowijoyo, 2003:91-113).

Berkaitan dengan masalah margina-lisasi perempuan menurut Nunuk P. Murniati menyatakan bahwa sistem patriar-khi memberikan kecenderungan yang besar untuk terjadinya marginalisasi yang dialami perempuan. Seorang perempuan kan ditempatkan pada area pelayanan domestik rumah tangga dan adanya kodrat wanita untuk mengandung, melahirkan dan menyusui sehingga seorang wanita akan lebih

baik ditempatkan pada posisi yang stabil di dalam rumah (Murniati, 2005: 54).

Hal senada dengan dikatakan oleh Murniati tentang marginalisasi perempuan di kemukakan oleh Kuntjooroningrat bahwa proses marginalisasi perempuan dapat dilakukan dan dapat terjadi di dalam wilayah keluarga, rumah tangga atau dalam bentuk jaringan-jaringan sosial yang banyak melibat-kan anggota masyarakat dalam sistem organisasi sosial yang berkembang. (Kuntjo-roningrat, 1998: 54). Marginalisasi yang terjadi pada para perempuan dalam sebuah jaringan-jaringan sosial dimana ketidakadil-an tersosialisasi secara mketidakadil-antap dapa kaum laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu sebagai kodrat, dan akan tercipta struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “diterima “ dan sudah tidak lagi dapat dirasakan ada sesuatu yang salah.

Wanita pada sistem patriarkhi ditempat-kan sebagai objek oleh laki-laki. Dengan demikian dari banyak kasus tentang margina-lisasi, posisi wanita selalu menjadi objek dari proses marginalisasi yang ada di dalam sebuah masyarakat (Engineer, 2005: 97). Dominasi kekuasaan dan kekuatan laki-laki atas perempuan terjadi dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek-aspek lainnya. Dominasi laki-laki terhadap perempuan merupakan suatu hal yang mengakar kuat pada sistem patriarkhi

yang berkembang pada sebuah masyarakat (Muhadjir, 2001: 251-252).

(21)

dan dibebankan pada masing-masing jenis kelamin (Bashin, 2003:3)

Masalah analisis gender dalam tafsir agama menjadi suatu hal yang perlu dikaji dengan baik. Menurut Fakih ada kecederung dalam menafsirkan suatu ketidakadilan akibat gender dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang ada di dalam sistem patriarkhi sehingga menghasilkan suatu penafsiran tentang agama yang menempatkan dalam perspektif patriakhi juga sebagai contoh Tuhan “ seolah-olah “ sebagai sosok laki-laki (Fakih, 2001: 129-130).

Masri Singarimbun dalam tulisannya yang berjudul Keluarga BerencanaIndonesia sampai Abad XXI: Beberapa Aspek Progrm dan Sosial Budaya menyinggung mengenai tumbuh dan berkembangnya program Keluarga Berencana dan mengapa program ini pada mulannya lebih ditujukan di daerah Jawa dan Madura. Masri juga memaparkan mulai dari munculnya program ini dan tujuan yangingin dicapai oleh pemerintah yaitu adanya penekanan angka kelahiran. Beberapa kalangan masyarakat mempunyai pendapatnya dan mensikapi keberadaaan program ini. Bagaimana perpektif masyarakat yang bermacam-macam muncul dan bagaimana usaha pemerintah dalam hal memberikan penjelasan tentang program ini. Disamping itu pemerintah menjadikan program Keluarga Berencana sebagai salah satu program Pelita I 1969/70 – 1974/75 (Masri, 1988: 3).

Dalam sebuah makalah Masri Singarim-bun yang berjudul Keluarga Berencana menjelaskan mengenai keragaman yang besar dalam program ini di negara-negara seperti Cina,Amerika utara, Jerman, Hongaria, Indonesia dengan memberikan suatu perbandingan yang dihubungkan dengan program pemerintah dan juga permasalahan perspektif masyarakat terhadap program ini. Dibeberapa Negara yang dikemukakan Masri

melihat adanya keberhasilan yang dicapai oleh pemerintah Indonesia terhadap program Keluarga Berencana, dengan mengedepan-kan peranan pemerintah dan juga adanya kemapanan struktur masyarakat yang sudah terbentuk sebelumnya serta pemanfaatan secara maksimal struktuk ke bawah dalam masyarakat (Masri, 1990:1-7).

Salah satu hasil penelitian dari Proyek Penelitian Madura Depdikbud yang bekerja-sama dengan Belanda tentang program Keluarga Berencana dan Kesehatan di Pulau Madura menyimpulkan bahwa program keluarga Berencana yang ada di Madura pada tahub 1977 masih memerlukan adanya penanganan yang serius hal tidak semata-mata pada permasalahan Materi dari program tersebut adadalam penelitian tersebut dapat memmetakan adanya beberapa factor yang berkaitan dengan kegagalan dan keberha-silan dari program keluarga Berencana di Madura. Namun demikian dalam hasil penelitian ini kurang menyoroti bagaima-na perpektif masyarakat dalam konteks sebagai masyarakat budaya yang akan memberikan perspektif terhadap program Keluarga berencana, sehingga tulisan ini kurang melihat pemahaman masyarkat dalam konteks budaya sehingga factor pendukung dan penghambat dalam program ini seperti sebuah hal yang bersifat kausalitas saja dan kurang memberikan dapat mendeskriptifkan dalam perpsektif budaya masyarakat.

KONDISI LINGKUNGAN DI DESA BANYUWULU

(22)

berasal dari etnis Madura dan mempunyai ikatan cultural yang sangat kuat dengan kultur madura. Kondisi alam di banyu wulu secara geografis kurang mengun-tungkan karena wilayahnya yang berada dipuncak bukit. Sarana transportasi dan sarana komunikasi masih kurang memadai. Hal ini akan terlihat sangat perah pada saat musim kemarau. Tanah yang bergunung-gunung dengan struktur tanah yang mudah longsor dan bercampur batu menyebabkan tanah tidak produktif sebagai lahan pertani-an. Masyarakat lebih memilih tanaman ladang dan tanaman yang cocok untuk tegalan seperti ketela pohon, dan jagung. Pada wilayah-wilayah tertentu saja teruta-ma yang dekat dengan sumber teruta-mata air akan ditanami tembakau. Sumber airpun sangat minim. Masyarakat mengandalkan kebutuhan air pada mata air sumber yang alirannya akan mengecil pada saat musim kemarau. Pemukiman di daerah menyebar dengan membentuk kelompok-kelompok kecil seperti pola pemukiaman beji pada masyarakat Madura. Kelompok-kelompok pemukiman menyebar yang biasanya akan membentuk kesatuan hidup berdasarkan pada ikatan kekerabatan yang berasal dari

oreng dalam (saudara dengan ikatan kekelu-argaan yang masih dekat dan ada hubungan darah)dan oreng loar (ikatan persaudaraan yang tidak ada hubungan darah secara langsung. Pola-pola pemukiaman semacam ini sangat lazim di daerah Banyuwulu.

Pola pemukiman di wilayah Banyuwulu secara umum terbagi menjadi dua yaitu pola

kampong Meji dan pola Taneyan Lanjang. Teritori sebuah desa di Madura terdiri dari beberapa subdesa, yang terdiri dari beberapa

kampong meji dan kampong meji terdiri dari beberapa keluarga. Desa-desa di Madura tinggal dalam kelompok-kelompok yang masing-masing kelompok biasanya masih ada hubungan kekeluargaan.

Kelompok-kelompok pemukiman dalam sebuah desa antara satu dengan yang lainya saling terisolasi. Dengan pola pemukiman yang demikian inilah maka ikatan solidaritas desa (sense of community) di Banyu Wulu cenderung rendah dan sangat longgar. Ikatan solidaritas sosial akan sangat kuat pada kelompok-kelompok tempat tinggal yang terdiri dari beberapa keluarga yang masih ada hubungan genealogis.

Kampong Meji biasanya terdiri dari empat sampai delapan rumah. Rumah-rumah ini akan menghadap ke selatan. Deretan rumah-rumah dengan lahan yang sempit akan dibangun dengan formasi melingkar. Adanya solidaritas yang sangat kuat dalam kampong meji merupakan suatu bentuk kontrol sosial yang baik dalam sebuah kelompok masyarakat dimana anggota satu anggota keluarga akan menjadi pengontrol bagi anggota yang lain. Sebagai contoh pada saat terjadi perseteruan individu dengan kelompok yang lain maka akan dimaknai sebagai perseteruan antar kelompok kampong meji.

Pola pemukiman yang lain yang dikenal masyarakat Maadura adalah pola taneyan lanjang. Taneyan lanjang merupakan satu unit sosial di Madura. Taneyan lanjang termasuk pekarangan besar dengan rumah-rumah yang dibuat berjajar dalam satu pekarangan yang memanjang. Kelompok-kelompok yang tinggal di taneyan lanjang adalah berasal dari satu kelompok geneologis, pasangan yang sudah menikah akan diharuskan untuk tinggal taneyan lanjang bersama dengan orang tua pihak perempuan dalam satu rumah yang khusus dibangun untuk anak-anak mereka.

(23)

anak perempuan yang suah menikah akan tetap tinggal di pekarangan orang tuanya sementara anak laki-laki yang sudah menikah akan tinggal di pekarangan orang tua pihak istri atau mertua (Latif, 2002: 42).

Selain pertimbangan banyaknya anak perempuan dalam satu keturunan, pola

taneyan lanjang hanya dibangun oleh keluar-ga-keluarga yang mempunyai kemampuan secara ekonomis. Biasanya dalam satu taneyan lanjang terdiri lebih dari empat rumah dan tidak melebihi dari delapan rumah namun dalam beberapa taneyan lanjang ada yang lebih dari delapan rumah.

Kelompok rumah-rumah yang ada di dalam sebuah taneyan lanjang akan dibangun memanjang dari barat ke timur. Rumah -rumah tersebut menghadap ke arah selatan seperti layaknya rumah-rumah di kampong meji. Penempatan rumah huni diurutkan menurut kelahiran, jadi seorang anak perempuan yang paling tua akan menempati rumah yang paling barat, sedangkan anak perempuan yang paling muda akan menempati rumah yang paling timur. Hal itu juga mengandung nilai fi losofi s bahwa arah barat adalah terbenamnya matahari atau berakhirnya satu rotasi kehidupan, sehingga anak yang paling tua juga diletakkan pada posisi yang paling barat. Pola pemukiman taneyan lanjang di wilayah tidak banyak dijumpai hanya beberapa seperti taneyan lanjang yang dimiliki oleh kepala desa Banyuwulu dan beberapa keluarga yang mampu di desa Banyuwulu.

KEDUDUKAN WANITA DI BANYU WULUH: KONSTRUKSI SISTEM SOSIAL DAN AGAMA

Peranan dan kedudukan wanita dalam kebudayaan yang berkembang di masyarakat Indonesia cenderung berpotensi untuk diperlakukan secara tidak adil. Masyarakt

Indonesia yang mempunyai kecenderungan pada sistem patriarkhi menempatkan posisi wanita pada posisi di bawah kekuasaan laki-laki. Sistem patriarkhi memberikan andil yang besar terjadi adanya peminggiran peran wanita-wanita yang ada dalam masyarakat

Sistem patriarkhi secara umum menempatkan kedudukan wanita yang identik dengan hal-hal yang bersifat pelayan-an domestik dpelayan-an seorpelayan-ang wpelayan-anita identik dengan segala hal yang bersifat feminim. Seorang wanita menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden). Perempuan mengelola, mejaga dan memelihara kerapian, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyara-kat bahwa mereka harus bertanggungjawab dan terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Seorang wanita harus menyele-saikan tugas-tugas rumah tangga, mengatur rumah tangga dan juga tanggung jawab mendidik dan membesarkan anak. Beban itu akan semakin besar apabila seorang wanita juga bekerja di luar rumah.

Sebaliknya seorang laki-laki ditempatkan di atas wanita sebagai titik lawan dari peran wanita. Laki-laki pada posisi publik, maskulin, dan sebagai penentu kebijakan baik dalam rumah tangga maupun dalam lingkungan sosial masyarakat. Laki-laki tidak dibebani oleh tanggung jawab domestik, dan di beberapa tradisi masyarakat laki-laki dilarang untuk terlibat dalam pekerjaan domestik.

Konsekuensi dari adanya penerapan sistem ini, di dalam masyarakat Madura interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan yang ada digiring pada hubungan sosial yang dominasi oleh laki-laki dan wanita berada di bawah kekuasaan laki-laki.

(24)

yang lebih luas. Dominasi dan peranan pokok dalam kehidupan masyarakat Madura menjadi laki-laki sebuah kekuatan kekuasaan penentu kebijakan domestic dalam keluarga maupun kebijakan publik dalam masyarakat. Wanita-wanita Madura dalam struktur masyarakat dikondisikan pada posisi domestik sekitar dapur dan mengurus anak dan pelayan keluarga. Sebaliknya laki-laki Madura berada di depan dan menguasai peranan publik yang banyak berhubungan dengan dunia luar dan penentu kebijakan, dunia luar seakan-akan menjadi wilayah maskulin dari masyarakat Madura.

Seorang laki-laki Madura akan menempatkan diri sebagai pelindung dan penjaga martabat wanita-wanita yang ada di bawah “ kekuasaannya”.. Sistem dan struktur masyarakat Madura mengkondisikan wanita-wanitannya mempunyai hubungan ketergantungan yang besar terhadap laki-laki. Wanita dikondisi dalam struktur sosial dalam posisi yang lemah, sedang laki-laki sebaliknya.

Sistem sosial masyarakat yang ada di Madura akan berkaitan erat dengan muncul-nya konsep harga diri yang sedemikian besar pada diri seorang laki-laki Madura terlihat dari adanya sikap proteksi yang demikian ketat terhadap wanita-wanita Madura.

Proteksi yang kuat pada wanita-wanita Madura seringkali dirasakan sebagai suatu bentuk ketertindasan hak wanita-wanita. Proteksi terhadap wanita-wanita Madura sering dibarengi dengan sikap yang berlebihan dari laki-lai madura dengan prasangka terhadap kemungkinan–kemungkinan terjadinya penyelewengan dan pelecehan terhadap wanita.

Bagi seorang laki-laki untkapan harga diri terdapat dalam konsep “ malo ” (malu) dan juga konsep pada masyarakat Madura yang dijadikan dasar dalam segala aspek kehidupan adalah ango’an poteya tolang

etembang poteya mata (lebih baik mati dari pada menanggu malu). Pusat dari malo

diletakkkan pada wanita-wanita Madura. Proteksi yang kuat pada wanita-wanita Madura dan peranan yang sangat dominan dari laki-laki Madura akan menggiring pada pembatasan-pembatasan ruang gerak dari wanita-wanita Madura. Peminggiran ruang gerak wanita-wanita Madura mengakibatkan

marginalisasi (pemiskinan) sosial dalam arti terjadi adanya penekanan peran sosial dari wanita-wanita Madura, demikian juga marginalisasi ekonomi (pemiskinan) secara ekonomi serta marginalisasi peranan politiknya.

Marginalisasi peranan wanita Madura juga didukung oleh sistem sosial yang ada yang terkecil yaitu keluarga. Keluarga inti maupun keluarga luas. Salah satu bentuk

marginalisasi wanita yang dilakukan oleh laki-laki dan masyarakat secara umum di Madura tercermin dalam pola-pola pemukiman masyarakat Madura.. Proteksi dalam pola rumah orang-orang Madura lebih diarahkan pada keberadaan ruang gerak wanita-wanita Madura.

Stratifikasi sosial didasarkan pada pemahaman agama merupakan Stratifi kasi sosial ini penting untuk dikaji karena akan sangat berkaitan dengan pola pikir dari budaya Madura seperti pada penduduk Bnayuwulu yang mesih memmegang erat budaya Madura dan masih sangat terpenga-ruh oleh keberadaan Agama dalam hal ini agama Islam. Stratifi kasi sosial berdasarkan pada agama terdiri dari dua penggolong-an yaitu santre (santri) dan banne santre

(25)

biasanya mempunyai kemampuan suprana-tural, mereka biasanya mempunyai lembaga pendidikan agama berupa pesantren. Selain itu Bindarah dianggap sebagai kelompok menengah dibawah Keyae. Ketiga adalah

santre, kelompok ini terdiri dari orang-orang yang menjadi murid atau sedang belajar agama.

Penduduk desa Banyuwulu merupakan masyarakat yang banyak terpengaruh oleh ajaran agama Islam. Seperti yang dikemukakan oleh Fakih bahwa agama dapat mempengaruhi terhadap sistem nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam suatu masyarakat. Masyarakat Banyuwulu melihat keberadaan gender di tempat berdampingan erat dengan pengamalan agama Islam. Masyarakat Banyuwulu melihat sistem

patriarkhi yang ada dalam praktek kehidupan sehari-hari dicampurkan dengan ajaran-ajaran Islam yang menempatkan posisi laki-laki sebagai kelompok yang lebih tinggi dan dominan. Keberadaan laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan seolah-olah membetuk adanya stratifi kasi sosial tersendiri meskipun mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan stratifi kasi ini.

Stratifikasi ini didukung oleh ajaran agama yang digunakan untuk mengukuhkan keberadaan posisi laki-laki dalam masyarakat dan mendeskritkan perempuan sebagai kelompok yang ada di bawah laki-laki. Penggambaran seperti ini membentuk adanya pemahaman yang semu seolah-oleh kekuasaan laki-laki sebagai suatu kekuasaan pemuka agama yang kata-katanya sering kali sebagai sebuah dogma yang tak terbantahkan. Sebagai contoh adalah sikap penghormatan seorang wanita pada laki-laki dalam berkomunikasi. Seorang wanita harus abasa menggunakan bahasa yang halus dan menggunakan bahasa yang baik dan digunakan untuk menghormati orang-orang yang dianggap mempunyai status sosial yang

tinggi. Sebaliknya seorang laki-laki akan

mapas (tidak menggunkan bahasa halus untuk penghormatan pada wanita). Laki-laki akan mapas (menggunakan bahasa kasar) jika berkomunikasi dengan seorang wanita.

Dengan demikian secara terstruktur masyarakat Madura sudah membiasakan para wanita untuk menerima perbedaan status antara laki-laki dan perempuan (gender)

sebagai sebuah pengakuan terhadap sistem yang sudah selayaknya, seharusnya diterima oleh para wanita Madura. Berkaitan dengan permasalah dalam penelitian ini, penggu-naan bahasa abasa oleh kaum perempuan terhadap suami atau laki-laki memberikan pembatasan-pembatasan seorang wanita Madura untuk mengekspresikan keinginan, perasaannya dan mungkin tindakannya. Seorang wanita yang ingin mengekspresikan kemarahnnya, tidak terekspresikan lewat bahasa karena pembatasan etika dan sopan santu yang terkandung dalam penggunaan bahasa tersebut. Sebaliknya seorang laki-laki biasanya akan menggunakan bahasa Mapas dalam berkomunikasi dengan istri atau para wanita pada umumnya. Menurut Siegel bahasa Mapas memberikan kebebasan dalam berkomunikasi secara leluasa untuk mengungkapkan keinginan, perasaan, yang tergambaran dalam penggunaan dan pemilihan kata yang lebih banyak dan ekspresif.

Laki-laki secara hirarkis berada di atas perempuan karena penefsiran agama menganggap demikian. Asumsi teologis dan dikembangkan menjadi asumsi budaya yang sering memojokkan perempuan dengan pernyataan bahwa Hawa diciptakan untuk memenuhi hasrat laki-laki, Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, Adam terjerumus karena Hawa.

(26)

masyarakat Madura yang cenderung fanatik dan menerima apa ajaran agama seperti apa yang dikatakan oleh pemimpinan agama sebagai kebenaran yang mutlak. Dogma agama yang terbentuk karena penghormatan yang besar terhadap status keyae. Pada saat seorang keyae mengajarkan

Para wanita desa Banyuwulu terkondi-sikan oleh sistem yang ada untuk menerima ketidakadilan gender dalam posisi yang termar-ginalisasi. Para wanita menerima kedudukan sosial diposisikan di bawah kedudukan laki-laki sebagai bentuk pengamalan agama dan dianggap sebagai keharusan yang dilandasi oleh ajaran-ajaran agama.

Pemaknaan simbol-simbol status sosial berdasarkan gender yang ada pada masyarakat Madura diwujudkan dengan adanya gender diff erence adalah sebagai hasil pemaknaan simbol-simbol sosial dengan konstruk agama. Perempuan desa Banyuwulu terpojokan dalam kehidupan masyarakat, sedang laki-laki berperanan sebagai fi gur yang berkuasa dan sangat dominan. Seorang wanita Madura harus patuh kepada laki-laki (suami) dengan menyamakan kepatuhan mereka pada apa yang dikatakan oleh seorang ulama (keyae).

Penggambaran kepatuhan seorang perempuan (istri) pada saat peneliti berada di tengah-tengah masyarakat Madura. Ketika program Keluarga Berencana masuk di desa-desa seorang bidan desa-desa mengeluh karena sulitnya mendapatkan aseptor yang mau ikut serta dalam program tersebut. Apa yang dikeluhkan oleh bidan disaksikan sendiri oleh peneliti di Desa Banyuwulu kecamatan Waringin seorang wanita yang sebenarnya mau mengikuti program Keluarga Berencana tetapi akhirnya memutuskan tidak ikut karena dilarang oleh suami yang katanya tidak boleh oleh keyae anutannya. Kasus ini tidak hanya dijumpai oleh satu dua orang saja tetapi rata-rata wanita-wanita desa lebih menuruti apa yang dikatakan oleh suami dari

pada menuntut hak sebagai perempuan. Agama seringkali disalahgunakan sebagai alat untuk mengontrol tingkah laku dan sikap serta tindakan-tindakan yang akan diambil untuk memgesahkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi perempuan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakadilan dalam kehidupan wanita-wanita Madura.

Peranan sentral yang dimiliki oleh seorang ulama dalam membentuk suatu wacana yang akan diberikan pada masyarakat sangat dominan. Namun berbeda dengan kedudukan seorang pemuka agama baik

Keyae, bindarah, dan para santre, mereka adalah kelompok-kelompok pemimpin informal tetapi mempunyai kekuasaan riil, mempunyai pengikut yang setia dan loyal.

Guru agama, ulama dan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren memmpunyai andil yang besar didalam membentuk wacana perempuan sebagai kelompok sosial masyarakat yang terpinggirkan oleh keberadaan nilai-nilai budaya dan agama. Sebagai salah satu contoh konkrit yang ada di pesantren-pesantren di Madura di ajarkan tentang bagaimana seharusnya seorang wanita dan bagaiman posisi wanita yang terdapat dalam kitab

Gambar

Tabel 2 di atas memperlihatkan betapa
disiplin Tabel 3
Tabel 4Selanjutnya, bagaimana dengan situasi-
Penggunaan Strategi Off Record Tabel 5Strategi bald on record tidak ditemukan penggunaannya pada situasi-1, -2, -3, -4,

Referensi

Dokumen terkait

Kelurahan yang memiliki luas lahan terbesar yang masuk dalam kelas sangat sesuai yaitu Kelurahan Sorosutan dengan luas 130,94 Ha sedangkan yang paling sedikit yaitu Kelurahan

[r]

Seperti saat teman-teman dari jurusan tari akan mengadakan pertunjukan dalam rangka membantu perpisahan KKN Universitas Muhammadiyah Malang yang pada saat itu juga sedang

Variable(s) entered on step 1: Ukuran_KAP_X1, Opini_Audit_X2, Profitabilitas_X3, Debt_to_Equity_Ratio_X4,

Metode yang digunakan adalah dengan membandingkan jumlah konflik yang terjadi dengan karakteristik pergerakan di persimpangan, yaitu pergerakan membelok, waktu

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.arya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber... 1 BAB I PENDAHULUAN

Penelitian ini dilakukan dengan menguji perkembangan kuat tekan beton high volome fly ash pada umur 14 hari, 28 hari dan 56 hari dan sebagai pembanding yaitu kuat tekan

Oleh karena itu, biasanya pada daerah yang memiliki kecepatan arus yang tinggi jumlah jenis makrozoobenthos yang hidup didalamnya sedikit.. Sebaliknya pada daerah