• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengelolaan Ekomuseum Dalam Kerangka Pemanfaatan Kawasan Padanglawas

PARTISIPASI DAN KARAKTERISTIK LOKAL

4.10. Model Pengelolaan Ekomuseum Dalam Kerangka Pemanfaatan Kawasan Padanglawas

Kawasan Padanglawas mempunyai tinggalan budaya fisik dan non fisik. Tinggalan budaya fisik berupa biara, situs, arca, prasasti dan fragmen-fragmen keramik dan gerabah. Ada 25 biara/situs cagar budaya yang terdapat di Kawasan Padanglawas yang merupakan bahan penelitian dalam disertasi. Ke-25 biara/situs cagar budaya tersebar di seluruh Kawasan Padanglawas seluas 7.810.79 yang tercakup dalam 2 kabupaten, yakni Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara.

Kata biara berasal dari kata vihāra (sansekerta) yang artinya tempat ibadah, tempat bersenang-senang para budha atau tempat tinggal para bhiksu dan bhiksuni. Tinggalan budaya di Kawasan Padanglawas ini menggunakan kata biara dan tidak menggunakan kata candi seperti pada umumnya pada bangunan suci agama Hindu dan Budha di Jawa. Pemakaian kata biara di Kawasan Padanglawas dalam penulisan disertasi disebabkan karena empat hal, pertama karena di prasasti Sitopayan I disebutkan adanya ...barbwat byara sātap..., adanya perbuatan biara satu atap; kedua dengan ditemukannya arca perunggu di Biara Bahal I yang merupakan seni arca India Selatan dan mempunyai kemiripan dengan arca di Salihundam, daerah Ganjam yang merupakan figur perempuan yang lagi memberikan hadiah ke vihāra.

Ketiga dapat diketahui dari adanya temuan atap bangunan di dekat Biara Bahal II yang memperlihatkan bahwa dahulu ada rumah atau tempat tinggal bagi para bhiksu dan bhiksuni atau pendeta yang dekat dengan biara/situs cagar budaya; dan

keempat penyebutan nama biara dapat diketahui dari kebiasaan masyarakat setempat yang biasanya menyebut dengan nama biaro.

Ke 25 biara/situs cagar budaya tersebut merupakan tinggalan agama Hindu dan Budha aliran Tantrayana yang dianut oleh penduduk Kawasan Padanglawas pada abad ke-11 sampai ke-14. Untuk tinggalan budaya non fisik dalam dilihat dari tradisi yang ada di Kawasan Padanglawas yakni adanya permainan anak-anak; pembuatan keranjang dari bahan tanaman palma; dan juga kearifan lokal tentang kebersihan di lingkungan sendiri dan di lingkungan sekitarnya.

Sebagian besar sekitar biara/situs cagar budaya ditumbuhi alang-alang (Imperata cylindrica), juga ada jenis tumbuhan Macaranga, Melastoma, Mytrtaceae,

Euphorbiaceae, Asteraceae, Piperceae (Piper aduncum) yang lebih mendominasi daerah Kawasan Padanglawas, yang merupakan tipe ekosistem belukar dengan bioma hutan hujan (Vita, 2010). Dari berberapa tumbuhan ada yang termasuk tanam yang hanya tumbuh dekat dengan biara/situs cagar budaya, yaitu pohon balaka (Phyllanthus emblica – foto dapat dilihat di halaman 125).

Ada kesengajaan pohon balaka ditanam dekat biara. Menurut kitab Weda dan dilihat dari segi kesehatan, pohon balaka banyak mengandung berbagai macam rasa, yaitu rasa amla (asam); katu (pedas); madhura (manis); shita (mendinginkan tubuh). Serta pohon balaka dapat digunakan untuk berbagai obat herbal ayurveda, termasuk buah, biji, daun, akar, kulit dan bunganya.

Di daerah Andra Pradesh, buah balaka digunakan untuk masakan dal atau amle

pohon suci yang disembah sebagai ibu bumi, yaitu Dewi Laksmi. Di daerah Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara, masyarakat sekitar menggunakannya untuk masakan kuliner lokal, yaitu holat.

Buah balaka (amla) berfungsi untuk membuat keseimbangan vata (udara) dan

kapha (lendir) ada rasa asam. Itu semua dapat membuat umur panjang dari hasil

peremajaan (rasayana), juga meningkatkan pencernaan (dipanapachana), menyembuhkan sembelit (anuloma), menurunkan panas tubuh (jvaraghna), membersihkan darah (raktaprasadana), menurunkan batuk (kasahara), meredakan asma (svasahara), menguatkan jantung (hrdaya), mencerlangkan mata

(chakshushya), merangsang pertumbuhan rambut (romasanjana), menenangkan

tubuh (jivaniya), meningkatkan kepandaian (medhya).

Penganut agama Hindu dan Budha mendirikan biara/situs cagar budaya di Kawasan Padanglawas telah mempertimbangkan kondisi geologi yang sangat menunjang. Ada sumberdaya alam, seperti batu dan air yang melimpah. Hal ini ditunjang oleh hasil penelitian Fadhlan yang menyebutkan bahwa lokasi sumber bahan baku batu pasir untuk pembuatan biara berasal dari sekitar biaro Si Pamutung atau dahulu merupakan kawasan Padanglawas. Sedangkan untuk bahan baku bata, lempung, dan pasir berasal dari Sungai Barumun yang mengalir dekat biara/situs cagar budaya. Dari perencanaan penanaman pohon balaka hingga pengambilan bahan baku bagi pendirian biara/situs cagar budaya memperlihatkan bahwa penganut agama Hindu dan Budha pada masa itu, yang mendirikan biara/situs cagar budaya, sudah beradaptasi saling terkait dengan lingkungan.

Antara manusia dengan lingkungan mempunyai kaitan dua arah, ini berarti bahwa manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungannya dan sebaliknya manusia mempunyai kemampuan untuk mengubah lingkungan tersebut. Pengaruh langsung manusia terhadap lingkungannya dapat dilihat dari umpan balik di mana daya dukung lingkungan menjadi lebih baik, sehingga memungkinkan pelestarian budaya fisik maupun non fisik. Tetapi sebaliknya, pengaruh langsung manusia dapat pula menyebabkan daya dukung lingkungan menjadi jelek, sehingga tidak mungkin menanggung pelestarian budaya fisik dan non fisik.

Sejak abad ke-14, ke-25 biara/situs cagar budaya tersebut ditinggalkan oleh penganutnya, sebagai akibatnya biara/situs cagar budaya tidak dipelihara lagi, menjadi rusak dan runtuh. Kemudian baru pada akhir abad ke-19 Kawasan Padanglawas menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda dan pemeliharaan dilakukan oleh jawatan yang didirikan oleh orang Belanda yakni, Jawatan Purbakala

(Oudheidkundige Dienst) dengan membuat peraturan perundang-undangan yang

tertuang dalam Monumenten Ordonnantie Stadblad 1931.

Pengelolaan warisan budaya periode kolonial dari tahun 1901 sampai dengan 1945 memperlihatkan bahwa Jawatan Purbakala atau Oudheidkundige Dienst pada saat itu hanya memperhatikan temuan artefak saja yang ada di seluruh Indonesia. Serta dalam pengelolaannya mereka juga mengirim dan meletakkan beberapa sarjana yang mengurus hasil temuan artefak. Para sarjana umumnya adalah bangsa Belanda serta mempunyai tugas untuk membuat laporan perjalanan mereka, laporan penelitian, laporan kegiatan mereka sehari-hari (Notulen), laporan

ekskavasi/penggalian, yang kesemuanya disertai dengan pendokumentasian yang pada saat itu sudah dianggap lengkap. Bagi bangunan dilakukan pemugaran atau restorasi. Tak lupa pada saat dilakukan pemugaran harus dilengkapi dengan pencatatan dan pendokumentasian yang lengkap. Pada saat itu hanya ada beberapa biara saja yang dipugar, misalnya biara Si Pamutung, dan biara Tandihat I. Semua data dicatat dan dipublikasikan dalam Notulen; Rapporten Oudheidkundige Dienst

(ROD); Rapporten Oudheidkundige Comissie (ROC); Tijdschrift Bataviaasch Genootschaap (TBG); Bataviaasch Koninklijk Indische (BKI); dan Oudheidkundig Verslag (OV).

Kemudian pada tahun 1945 – hingga tahun 1999, pengelolaan dipegang oleh Bangsa Indonesia, karena para ahli bangsa Belanda harus kembali ke negerinya. Dalam upaya pengelolaannya didirikan instansi Jawatan Purbakala di daerah, yaitu di daerah Prambanan (Jawa Tengah). Jawatan Purbakala mempunyai tugas melakukan penelitian, inventarisasi, dokumentasi, perlindungan dan restorasi. Pengelolaan tinggalan arkeologi terus berlanjut hingga tahun 1999, dan ada beberapa temuan yang disimpan ke dalam museum (Sulistyanto, 2008).

Pada saat biara/situs cagar budaya dikelola oleh bangsa Indonesia, beberapa bangunan biara di Kawasan Padanglawas dipugar dan ditata dengan diberi pagar keliling dari kawat berduri. Pemugaran biara dilakukan di Biara Bahal I; Biara Bahal II, Biara Bahal III; Biara Si Pamutung; dan Biara Tandihat I. Adapun biara/situs cagar budaya lainnya masih belum dipugar.

Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Tahun 1999 hingga sekarang, dilakukan oleh Lembaga Arkeologi, dalam hal ini di pusat di Jakarta adalah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Direktorat Peninggalan Purbakala yang menjadi pusat pengelolanya. Sedangkan di daerah, yang merupakan Unit Pelaksana Tehnis adalah Balai Penelitian Arkeologi dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Instansi tersebut di dalam pengelolaannya mempunyai tiga kepentingan yaitu, kepentingan ideologis; kepentingan akademis; dan kepentingan ekonomis. Kepentingan ideologis menitikberatkan simbol, nilai dan unsur lokal genius, sedangkan kepentingan ekonomi menitikberatkan pada infra struktur lainnya.

Lembaga Arkeologi tersebut di dalam pengelolaannya tidak saja memperhatikan artefaknya saja tetapi sudah menyangkut pula situs dan wilayah sekitar warisan budaya itu berada. Semua kegiatan tersebut direkam dalam bentuk laporan dan juga diterbitkan dalam bentuk laporan penelitian dan dan terbitan agar khalayak nasional dan international dapat mengetahui kekayaan warisan budaya bangsa Indonesia.

Khususnya bagi bangunan biara/situs cagar budaya sesudah tahun 1999 dipelihara dan dikelola oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3, dahulu bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala), pengelolaan hanya sebatas pada bangunan biara/situs cagar budaya saja hingga pagar keliling yang terbuat dari pagar kawat berduri. Pengelolaan meliputi perlindungan, pemugaran, pendokumentasian dan pemeliharaan terhadap biara/situs cagar budaya yang ada, baik yang sudah dipugar maupun yang belum dipugar. Pengelolaan belum memperhatikan lingkungan

sekitar dan juga tidak melibatkan masyarakat yang tinggal di dekat biara/situs cagar budaya.

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya disebutkan bahwa pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Upaya melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan Cagar Budaya di Kawasan Padanglawas belum dikelola. Hal ini terlihat dari keadaan di Kawasan Padanglawas saat ini, yaitu terjadinya perubahan tata guna lahan, lahan digunakan untuk menanam kelapa sawit. Perubahan lahan dikuatirkan akan mempengaruhi keberadaan tinggalan biara/situs cagar budaya yang ada. Pengolahan kebun kelapa sawit dengan menggunakan kendaraan berat dan besar akan merusak temuan artefak, baik yang ada di permukaan, maupun yang masih berada di dalam tanah.

Selain itu kerusakan dapat terjadi saat dilakukan kegiatan atraksi wisata, misalnya keyboard dangdut yang menggunakan panggung atau perwara di Biara Bahal I sebagai panggungnya. Pada saat itu juga, bata di Biara Bahal I dipaku untuk mendirikan tenda. Ini sangat merusak bangunan biara kalau dilakukan secara terus menerus dan tidak dilakukan pencegahan.

Bangunan bata harus diupayakan untuk dilindungi sebagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi segala kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan Cagar Budaya yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, baik secara fisik

maupun hukum. Serta dapat dikembangkan sebatas tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian. Perlindungan ekosistem serta fungsi lingkungan dengan sumber daya alam diharapkan agar mampu menopang proses pembangunan berkelanjutan. Hutan, pantai, tanah, serta hewan dan tumbuh-tumbuhan, bisa diperbaharui, sehingga pemanfaatan bisa berkelanjutan asalkan fungsi lingkungan terpelihara.

Pengelolaan pemerintah daerah pun belum ada upaya dalam peningkatan atraksi wisata, dan hampir dikatakan tidak ada. Wisatawan yang datang ke Kawasan Padanglawas hanya melihat bangunan biara/situs cagar budaya dan lingkungan sekitar. Dari hasil kuesioner dapat diketahui bahwa masyarakat mempunyai kegiatan tari-tarian atau kesenian tradisonal yang dapat ditampilkan pada saat diadakan aktraksi wisata.

Kawasan Padanglawas memang patut untuk dilestarikan dan dimanfaatkan mengingat kondisi alam lingkungannya yang menarik serta peninggalan cagar budaya yang berasal dari periodisasi masa masuknya agama Hindu dan Budha ke tanah Sumatera. Ketika itu populasi manusia yang tinggal di daerah tersebut masih sangat sedikit, dan lingkungan masih merupakan hutan primer. Berkembangnya manusia di Kawasan Padanglawas membutuhkan daerah hutan untuk dikonversi. Kebutuhan lahan yang tidak sedikit sangat berdampak pada populasi flora dan fauna di daerah tersebut. Bermunculannya berbagai aktivitas kehidupan di Kawasan Padanglawas perlu mendapatkan perhatian karena terkait erat dengan kondisi hutan atau lingkungan alam, masyarakat dan juga peninggalan cagar budaya.

Menjadikannya obyek wisata berarti juga harus memperhatikan dan memenuhi beberapa persyaratan. Hendaknya mempresentasikan atraksi wisata dengan cara yang baik dilakukan dengan mengatur perspektif ruang, perspektif waktu, dan perspektif sosial-budaya. Memulainya dengan perspektif ruang, yang berarti mengupayakan agar aktraksi wisata itu lebih enak dan lebih mengesankan untuk disaksikan. Untuk itu lingkungan harus membantu, dan itu dilakukan dengan mengatur komposisi bentuk dan warna maupun posisi. Mengatur perspektif waktu berkenaan pengenalan sejarah atraksi wisata, dapat dilakukan secara lisan oleh pramuwisata, secara tertulis maupun melalui brosur.

Tanggapan masyarakat positip atas keberadaan obyek wisata di daerah Kawasan Padanglawas dan ditunjukkan dengan keinginan untuk juga memelihara berbagai potensi yang ada di wilayahnya. Sebagian anggota masyarakat berkeinginan juga untuk ikut ambil bagian dalam mendukung keberadaan obyek wisata dalam konteks peningkatan kesejahteraan sekaligus melestarikan potensi-potensi budaya setempat agar tidak tergilas modernisasi yang tidak sesuai dengan budaya setempat. Masyarakat diajak untuk tetap menjadi ”pemilik” obyek (peningkatan sense of

belonging/rasa memiliki), masyarakat juga hendaknya diberi kesempatan untuk

mendapatkan bagian secara ekonomis dalam pemanfaatan obyek itu bagi kepariwisataan.

Masyarakat di Kawasan Padanglawas menjadi sumber tenaga kerja utama di sektor pariwisata, juga menjadikan kelompok masyarakat sebagai pemasok barang dan jasa pariwisata, mendorong masyarakat untuk menjual barang dan jasa wisata