• Tidak ada hasil yang ditemukan

CAGAR BUDAYA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pelestarian Lingkungan

Untuk membatasi pengerusakan hutan dan lingkungan yang sifatnya jangka panjang, maka pada tahun 1987 World Comission on Environment and Development

(WCED) atau dikenal dengan Brundtland Commision memberikan enam sudut pandang bagi masalah lingkungan dan pembangunan, yaitu :

a. Keterkaitan (interdependency); masalah polusi, penggunaan bahan-bahan kimia, kerusakan sumber plasma nuftah, peledakan tumbuhan kota dan konservasi sumber alam tidak lagi terbatas dalam batas-batas negara;

b. Berkelanjutan (sustainability); berbagai pengembangan sektoral seperti pertanian, kehutanan, industri, energi, perikanan, investasi, perdagangan, bantuan ekonomi, memerlukan sumberdaya alam yang harus dilestarikan kemampuannya untuk menunjang proses pembangunan secara berkelanjutan;

c. Pemerataan (equity); desakan kemiskinan mengakibatkan eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, sehingga perlu diikhtiarkan kesempatan merata untuk memperolah sumberdaya alam bagi pemenuhan kebutuhan pokok, seperti sumber air, tanah dan yang lain;

d. Sekuriti dan Resiko Lingkungan; perlombaan persenjataan memperbesar potensi kerusakan lingkungan. Begitu pula cara-cara pembangunan tanpa memperhitungkan dampak-dampak negatif kepada lingkungan turut memperbesar resiko lingkungan;

e. Pendidikan dan komunikasi; pendidikan dan komunikasi berwawasan lingkungan dibutuhkan untuk ditingkatkan di berbagai tingkat pendidikan dan lapisan masyarakat;

f. Kerjasama international; pola kerja sama internasional dipengaruhi oleh pendekatan pengembangan sektoral, sedangkan pertimbangan lingkungan kurang diperhitungkan (Hardjasoemantri, 1988 : 14).

WCED membuat suatu definisi tentang pembangunan berkelanjutan, dan menjabarkan bahwa pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Diberikan prioritas dan usaha untuk memenuhi kebutuhan esensial atas kemiskinan dan menyadari keterbatasan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang (Hardjasoemantri, 1988 : 15).

Konsep tentang pembangunan berkelanjutan diperjelas dengan adanya Agenda 21 yang merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan. Rencana kerja global itu meliputi isu ekonomi, sosial dan lingkungan yang berbeda. Tujuan setiap kegiatan Agenda 21 adalah mengentaskan kemiskinan, kelaparan, pemberantasan penyakit, pemberantasan buta huruf di seluruh dunia, dan menghentikan kerusakan ekosistem penting bagi kehidupan manusia (Hardjasoemantri, 1988 : 23).

Diketahui bahwa belakangan ini kawasan Padanglawas yang dahulu termasuk dalam kawasan hutan (remaining forest) sudah tidak lagi lestari, dan peninggalan budaya yang ada serta sumberdaya alam yang bersifat non-renewable dikuatirkan akan mengalami kepunahan. Dikuatirkan pula masyarakat, di sekitar Kawasan Padanglawas khususnya, tidak dapat lagi menikmatinya, dan hal ini sangat bertentangan dengan Deklarasi Rio Prinsip 1, yang menyebutkan bahwa manusia merupakan perhatian utama dari pembangunan berkelanjutan, mereka berhak mendapatkan suatu kehidupan yang baik dan produktif yang harmonis dengan alam. 2

Untuk itu semua pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara diharapkan ikut berikhtiar bagi pelestarian lingkungan di Kawasan Padanglawas. Dalam Agenda 21 pasal 28 dikaitkan bahwa berhubung banyak masalah beserta penyelesaiannya berakar pada kegiatan lokal, keikutsertaan pemerintah daerah akan merupakan faktor yang sangat menentukan (Anonim, 1999).

Kerjasama dan keikutsertaan pemerintah daerah di dalam mengelola sumberdaya budaya dan sumberdaya alam yang ada di Kawasan Padanglawas sangat ditentukan oleh adanya international of law of ecodevelopment yang mengemukakan tiga kewajiban negara, yakni : (1) mengintergrasikan manajemen lingkungan ke dalam kebijakan pembangunan; (2) meningkatkan sumberdaya alam; dan (3) mengevaluasi pembangunan dengan memperhatikan kemampuan lingkungan (Anonim, 1999).

Ke tiga kewajiban tersebut di atas berhubungan dengan pengelolaan Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) yang mempunyai konteks wawasan baru. Ke semuanya diharapkan mengarah pada terwujudnya tahapan pengelolaan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism management) yang mengisyaratkan prinsip- prinsip berikut.

1. Prinsip pengelolaan berpijak pada dimensi pelestarian dan berorientasi ke depan (jangka panjang);

2. Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi masyarakat lokal; 3. Prinsip pengelolaan aset/sumber daya yang tidak merusak;

4. Kesesuaian antara kegiatan pengelolaan pariwisata dengan skala, kondisi dan karakter suatu area yang dikembangkan;

5. Keselarasan dan sinergi antara kebutuhan wisatawan lingkungan hidup dan masyarakat lokal;

6. Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan yang terjadi akibat pengelolaan pariwisata;

7. Pengelolaan harus didasari perencanaan dan difokuskan untuk memperkuat potensi lokal; dan

8. Pengelolaan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih peka dari masyarakat terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup (Kusworo, 2005).

Di dalam pengelolaan ODTW diharapkan ada perhatian terhadap pengelolaan cagar budaya. Ada beberapa prinsip pelestarian yang mencakup (1) pemeliharaan (preservation, conservation); (2) perlindungan; (3) pendokumentasian (foto, film dan gambar); dan (4) daya dukung (carrying capacity) (Mundardjito, 2002).

2.2.1. Pemeliharaan

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab I Pasal 1 Butir 27 disebutkan bahwa pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari. Juga dalam pasal 76 disebutkan bahwa (1) pemeliharaan dilakukan dengan cara merawat Cagar Budaya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau

perbuatan manusia; (2) pemeliharan Cagar Budaya dapat dilakukan di lokasi asli atau di tempat lain, setelah lebih dahulu didokumentasikan secara lengkap; (3) perawatan dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya, (4) perawatan Cagar Budaya yang berasal dari air harus dilakukan sejak proses pengangkatan sampai ke tempat penyimpanannya dengan tata cara khusus; (5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat mengangkat atau menempatkan juru pelihara untuk melakukan perawatan Cagar Budaya.

Pemeliharaan terhadap benda cagar budaya dilakukan dengan cara perawatan sehari-hari atau pengawetan untuk mencegah benda tersebut dari kerusakan dan atau pelapukan. Perawatan sehari-hari dapat dilakukan secara manual, dapat pula secara kimiawi. Di dalam kegiatan pemeliharaan biara yang pada umumnya terbuat dari bahan bata atau batu andesit, pemeliharaannya dapat dilakukan melalui dua cara yaitu, secara manual atau dengan menggunakan bahan kimia. Secara manual, linkungan situs/biara cukup dibersihkan dengan sapu lidi, dan tanaman yang tumbuh dicabut, sedangkan secara kimiawi hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan kimia seperti AC 322 (Setianingsih, 2003).

Pemeliharaan terhadap bangunan yang terbuat dari bata umumnya dilakukan untuk menghambat proses pelapukan dan kerusakan. Metode konservasi yang dilakukan harus memperhatikan faktor-faktor penyebab pelapukan, sehingga proses pelapukan dapat dihambat melalui pengendalian faktor-faktor tersebut. Pengendalian faktor penyebab pelapukan dilakukan dengan terencana dan memperhatikan dampak-

dampak yang timbul. Salah satu faktor pelapukan utama pada bangunan yang terbuat dari bata adalah penggaraman. Ada usaha yang dapat meminimalkan terjadinya penggaraman, yaitu dengan pemilihan bata pengganti yang berkualitas, atau dengan meminimalisasi aktivitas air dalam material. Serta memperhatikan penggunaan bahan-bahan kimia (Setianingsih, 2003).

Jika bahan tinggalan budaya tersebut terbuat dari kayu, pengawetannya dapat dilakukan dengan cara yang tradisional yaitu, dengan menggunakan air rendaman tembakau atau juga dapat menggunakan air rendaman bunga cengkih. Bahan ini lebih ramah lingkungan, dan lebih dianjurkan, karena dapat membuatnya tetap tahan lama (sustainable) (Setianingsih, 2003). Hal tersebut di atas sesuai dengan uangkapan yang terdapat dalam kode Etik Pariwisata Dunia (Global Code of Ethics for Tourism) yang menyebutkan bahwa ”...pemeliharaan secara khusus harus diberikan guna pelestarian dan peningkatan monumen...... (Anonim: 22).

Pelestarian pada hakekatnya adalah berbagai upaya untuk mempertahankan suatu benda dari proses kerusakan dan kemusnahan, sehingga tetap terjaga kelestariannya baik secara fisik maupun nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam menjaga kelestarian diharuskan mengacu kepada 4 (empat) prinsip keaslian (authenticity) yaitu,

- Keaslian bahan (authenticity in material);

- Keaslian bentuk (authenticity in design);

- Keaslian teknologi pengerjaan (authenticity in workmanship); dan - Keaslian tata letak (authenticity in setting) (Mundardjito, 2002)

Bangunan historis dan arkeologis yang mengalami kerusakan dapat disebabkan karena 3 faktor, yaitu :

1. Mekanik, yaitu faktor yang berasal dari atau ditimbulkan oleh kegiatan- kegiatan alam seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi;

2. Kimia, yaitu kerusakan yang ditimbulkan oleh proses kimia, misalnya pengaruh oksidasi; dan

3. Biologi, yaitu kerusakan yang disebabkan oleh perlakuan benda-benda hidup seperti tanaman, binatang dan manusia (Mundardjito, 2002).

Oleh karena itu diupayakan adanya pelestarian, yang berdasarkan tingkat penanganannya dapat dikategorikan dalam :

- Pelestarian secara menyeluruh (total preserved), yaitu melestarikan benda dalam keadaan utuh dalam arti bentuk, wujud maupun tata letaknya sesuai dengan keberadaannya (existing condition) masih tetap dipertahankan;

- Pelestarian sebagian (partial preserved), yaitu melestarikan pada sebagian saja yang masih dapat dipertahankan; dan

- Pelestarian dengan cara pendokumentasian (preserved by record), yaitu perlakuan bila keberadaan benda sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Biasanya pelestarian dengan cara pendokumentasian diberlakukan pada kasus dimana kepentingan pembangunan yang berdampak pada kelestarian benda dirasa lebih penting daripada dipertahankan, yang berdasarkan atas potensi dan kondisi ketahanannya (survival condition) sudah tidak mungkin dipertahankan lagi (Mundardjito, 2002).

2.2.2. Perlindungan

Program pelestarian mencakup tigal hal yang amat penting dan saling berkaitan yaitu perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Pada hakekatnya pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Pasal 1 butir 23).

Perlindungan pada prinsipnya mengandung dua aspek, yakni perlindungan hukum dan perlindungan fisik. Perlindungan hukum dilakukan melalui peraturan- peraturan sesuai perundang-undangan yang berlaku, dan dimaksud untuk memberikan legalitas hukum tinggalan arkeologis dan historis, sehingga eksistensinya terjaga. Langkah perlindungan hukum dapat direalisasikan melalui program zonasi atau pemintakatan, yakni penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Perlindungan fisik dilakukan karena adanya ancaman proses alam, dan dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan (preservation); konservasi (conservation); dan pemugaran (restoration) (Keputusan Menteri Republik Indonesia nomor 063/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya).

Pemeliharaan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menjaga kondisi keterawatan benda, situs dan kawasan dari pengaruh alam, unsur kimiawi, dan jasad renik; dan kegiatan ini harus dilakukan secara terus menerus. Sedangkan konservasi merupakan kegiatan perawatan dengan cara pengawetan yang dilakukan

terhadap peninggalan - peninggalan budaya yang mengalami kerusakan atau pelapukan, baik secara mekanis, khemis, maupun biotis. Tekanan tindakan lebih bersifat kuratif atau pengobatan dan penanggulangan terhadap kerusakan.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan Bab I butir 3 menyebutkan bahwa perlindungan adalah upaya pencegahan dan penanggulangan yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, dan kepunahan kebudayaan berupa gagasan, karya budaya termasuk harkat dan martabat serta hak budaya yang dapat diakibatkan oleh perbuatan manusia ataupun karena proses alam. Bab III, Pasal 9 juga menyebutkan bahwa perlindungan dapat dilakukan melalui usaha (a) mencatat, menghimpun, mengolah, dan menata informasi kebudayaan; (b) registrasi; (c) pendaftaran atas hak kekayaan intelektual; (d) legalitas aspek budaya; (e) penelitian; dan (f) penegakan peraturan perundang-undangan (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, 1999).

2.2.3. Pengembangan

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Pasal 78 menyebutkan bahwa (1) Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya; (2) Setiap orang dapat melakukan Pengembangan Cagar Budaya setelah memperoleh: (a) izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan

(b) izin pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya. (3) Pengembangan Cagar Budaya dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat; (4) setiap kegiatan pengembangan Cagar Budaya harus disertai dengan pendokumentasian.

Dalam implementasinya pengembangan kawasan diwujudkan melalui pengaturan peringkat peruntukan lahan dengan batas-batas yang dikenal sebagai sistem zonasi. Dalam sistem zonasi diperlukan pendekatan yang berbeda di setiap kawasan/situs sesuai dengan karakter yang dimiliki, misalnya kawasan urban tentu berlainan penanganannya kawasan di daerah pinggiran/kawasan/situs perbukitan atau pegunungan.

Sistem zonasi terdiri atas (a) zona inti, area perlindungan utama untuk menjaga bagian terpenting Cagar Budaya; (b) zona penyangga, area yang melindungi zona inti; (c) zona pengembamgan, area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi cagar budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi alam, lanskap budaya, dan kepariwisataan; dan (d)zona penunjang, area yang diperuntukan bagi sarana dan prasarana penunjang untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.

2.2.4. Pemanfaatan

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Pasal 85 dikatakan bahwa (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial,

pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata, (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang dilakukan oleh setiap orang, (3) Fasilitasi berupa izin pemanfaatan, dukungan Tenaga Ahli Pelestarian, dukungan dana, dan/atau pelatihan, (4) Promosi dilakukan untuk memperkuat identitas budaya serta meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan masyarakat.

Demikian pula dalam Keputusan Menteri Republik Indonesia Nomor 062/U/1995 Bab VII Pasal 10, dikatakan bahwa pemanfaatan benda cagar budaya diberikan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; dan penggandaan dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian benda cagar budaya. 4Berkenaan dengan pemanfaatan cagar budaya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan yang selanjutnya merupakan dasar hukum dalam skala nasional untuk pedoman pengembangan dan pengelolaan pariwisata di Indonesia, menyatakan bahwa keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar. Penyelenggaraan kepariwisataan selanjutnya tetap memelihara kelestarian dan mendorong upaya peningkatan mutu lingkungan hidup serta obyek dan daya tarik wisata (Hardjasoemantri, 1997).

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Pasal 87 dikatakan bahwa Cagar Budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

Pemanfaatan Cagar Budaya dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang memiliki dan/atau menguasainya.

Pemahaman cagar budaya yang pada saat ditemukan ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Pemanfaatan dapat digunakan untuk kepentingan kepariwisataan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan. Pehamaman bahwa Cagar Budaya mengandung beberapa aspek nilai penting adalah sebagai berikut, pertama aspek kesejarahan, yakni sejauhmana Cagar Budaya dilatarbelakangi peristiwa sejarah yang dianggap penting serta berkaitan secara simbolis dengan peristiwa terdahulu. Kedua adalah aspek ilmu pengetahuan, yakni deposit mutu serta keluasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada Cagar Budaya. Kemudian ketiga adalah aspek kebudayaan, yakni peran penting Cagar Budaya pada suatu masyarakat, terutama berkaitan dengan tradisi, kesenian, maupun kepercayaan setempat. Adapun yang keempat, adalah aspek sosial ekonomi, berkenaan dengan peran penting Cagar Budaya bagi aspek nilai dan kehidupan masyarakat, seperti pendidikan, jatidiri, dan citra kawasan.

Sumberdaya budaya masih sangat terbatas pemberdayaannya, dan penggaliannya belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu obyek-obyek yang ada, perlu terus digali agar dapat meningkatkan kualitas kepariwisataan, karena sumberdaya budaya adalah produk,

- Pola hidup masyarakat (tata hidup masyarakat); - Senibudaya; dan

- Sejarah bangsa, ditekankan pada budaya (Brahmana, 2002).

Pemanfaatan dan pengembangan cagar budaya juga harus memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Anonim, 1997) yaitu,

- Konservasi (conservation);

- Peningkatan (amelioration);

- Kehati-hatian dan pencegahan (precaution and prevention); dan - Perlindungan (protection)

- Pencemar pembayar(the polluter pays).

2.2.5. Pendokumentasian

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan Bab I Butir 12 menyebutkan bahwa pendokumentasian adalah upaya menghimpun, mengolah, menata informasi kebudayaan dalam bentuk rekaman berupa tulisan, gambar, foto, film, suara, atau gabungan unsur-unsur tersebut (multimedia) (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, 1999). Bila suatu tinggalan budaya tidak dapat dikonsevasi atau dipugar, maka perlu diadakan pendokumentasian lewat foto, gambar atau video. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika suatu saat bangunan atau tinggalan tersebut punah/tidak ada lagi, dokumentasinya masih ada.

Untuk itu pengambilan data harus dilakukan sedetail mungkin, diambil pada setiap sisi, sudut atau hal-hal yang dianggap menjadi ciri khasnya.

2.3.Komuniti

Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk melibatkan komuniti (masyarakat lokal) dalam pariwisata. Penerapan strategi-strategi itu atas berbagai lapisan masyarakat memungkinkan.

1. Menjadikan masyarakat sumber tenaga kerja utama di sektor pariwisata;

2. Menjadikan kelompok masyarakat sebagai pemasok barang dan jasa pariwisata; 3. Mendorong masyarakat untuk menjual barang dan jasa wisata secara langsung

kepada wisatawan;

4. Mendorong masyarakat menjadi pemilik dan pelaku usaha jasa pariwisata;

5. Terbentuknya infrastruktur pariwisata yang memungkinkan masyarakat memperoleh keuntungan;

6. Memperkerjakan masyarakat dalam perusahaan penyedia jasa wisata dengan cara memberikan pelatihan;

7. Mendorong munculnya entitas kelembagaan baru yang mewadahi kepentingan masyarakat lokal; dan

8. Mengoptimalkan potensi-potensi lokal untuk mengganti kegiatan karitas dalam pembangunan pariwisata (Damanik, 2005).

Sebuah organisasi pemerhati pariwisata (REST - Responsible Ecological Sosial Tours) mengarisbawahi bahwa pariwisata berbasis masyarakat is managed by the community, with the purpose of enabling visitors to increase their awareness and learn about the community and local -ways of life (Damanik, 2002). Ini sesuai dengan isi Deklarasi Yogyakarta 1992 (The Yogyakarta Declaration on National Cultures

and Universal Tourism 1992) yang menyatakan bahwa pengembangan pariwisata

harus diatur dalam perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat luas dengan menjamin keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan kebudayaan. Deklarasi Yogyakarta 1992 secara tegas memberi gambaran bahwa dalam pengembangan pariwisata ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu (1) kelestarian lingkungan; (2) keselarasan hubungan antara wisatawan, lokasi, dan masyarakat setempat; (3) keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan keberadaan manusia; (4) peran serta pemerintah, masyarakat, dan swasta (Nuryanti, 1997).

Senada dengan itu, Nuryanti (1997) juga berpendapat bahwa pembangunan pariwisata yang mengikutsertakan pengembangan masyarakat lokal didasarkan pada lima kriteria berikut,

a. Memajukan tingkat hidup masyarakat sekaligus melestarikan identitas budaya dan tradisi lokal;

b. Meningkatkan tingkat pendapatan secara ekonomi sekaligus mendistribusikan secara merata pada penduduk lokal;

daya serap tenaga kerja besar dan berorientasi pada teknologi tepat guna; d. Mengembangkan semangat kompetisi sekaligus kooperatif; dan

e. Memanfaatkan pariwisata seoptimal mungkin sebagai agen perubahan sosial, budaya, dan lingkungan ke arah perubahan yang positip dengan meminimalisasikan dampak negatip seminimal mungkin (Nuryanti, 1999).

Pengembangan pariwisata dengan pendekatan partisipasi didasarkan pada pertimbangan bahwa karakter masyarakat lokal secara fisik dan sosial budaya merupakan sumber daya utama. Masyarakat lokal sebagai sumber daya yang berkembang dinamis harus dapat berperan sebagai subyek dan bukan hanya sebagai obyek. Nasikun (1997) menuturkan bahwa pengembangan pariwisata yang melibatkan partisipasi masyarakat setempat dapat dilakukan melalui penerapan pendekatan manajemen global. Prinsip dalam pendekatan manajemen global ini adalah pendekatan manajemen terpadu yang membantu menyalurkan energi masyarakat ke dalam proses kemandirian yang maju. Dengan demikian masyarakat diberi kesempatan untuk memberdayakan segenap potensi yang dimilikinya sehingga mampu untuk menganalisis keadaan mereka sendiri, menghasilkan jalan keluar bagi masalah, merencanakan pembangunan daerah mereka sendiri, dan menilai hasil- hasilnya.

Masyarakat selain diberdayakan juga diharapkan ikut serta dalam pelestarian kebudayaan, seperti yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pedoman

Pelestarian Kebudayaan Bab IV, Pasal 16, dalam butir (2) yang menyatakan peran serta masyarakat yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui perorangan, organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan dan/atau forum komunikasi kebudayaan di propinsi, kabupaten/kota, dan desa. Begitupun ayat (3) yang menyebutkan bahwa peran serta masyarakat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi (a) berperan aktif dalam menanam pemahaman kebhinekaan, memperkokoh jati diri bangsa, menumbuhkan kebanggaan nasional, dan mempererat persatuan bangsa; (b) berperan aktif dalam mengembangkan kebudayaan melalui dialog, temu budaya, sarasehan, dan lain sebagainya; serta (3) memberikan masukan dan membantu kepala daerah dalam pelestarian kebudayaan (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, 2009).

Konsep ekomuseum mencakup museum; pelestarian lingkungan dan masyarakat. Menurut Corsane, prinsip dasar ekomuseum adalah (1) revalonzation; (2) transmisi/penyebaran; (3) komunikasi; (4) pelestarian sebagai saksi dari masa lalu untuk sekarang; (5) sebuah wilayah dengan mempunyai hak istimewa; (6) lanskap alam yang unik; (7) warisan budaya; dan (8) seorang museumlog yang berkewajiban mengelolanya (Corsane, 2008).

Adapun indikator ekomuseum menurut Davis adalah,

1. Ekomuseum dikelola dan diberdayakan oleh masyarakat setempat;

2. Ekomuseum dapat dijadikan sebagai sebuah sarana partisipasi masyarakat secara demokrasi;

dan pemerintah;

4. Apakah ekomusuem memberikan tekanan di dalam prosesnya daripada produknya; 5. Apakah ekomuseum sudah melibatkan pengrajin, seniman, penulis dan pemusik 6. Ekomuseum sudah dependen secara sukarela;

7. Ekomuseum mempunyai identitas lokal dan tempat yang berguna;

8. Ekomuseum mencakup kawasan teritori secara geografi yang mempunyai karateristik tertentu;

9. Ekomuseum berhubungan pada masa lalu, sekarang dan masa akan datang; 10. Ekomuseum berhubungan dengan bangunan dan situs;

11. Ekomuseum mempromosikan pelestarian, pemeliharaan dan perlindungan kawasan secara in situ;

12. Ada perhatian terhadap warisan sumberdaya intangble;

13. Ekomuseum memperhatikan pengembangan berkelanjutan di dalam penggunaan sumberdaya alam dan budaya;

14. Kawasan dapat berubah dan berkembang bagi masa depan, baik bagi situs maupun masyarakat setempat; dan

15. Ekomuseum memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, seperti rasa bangga, regenerasi dan menambah ekonomi (Davis, 1999).

Kawasan Padanglawas untuk sekarang ini belum termasuk dalam kriteria sebuah ekomuseum, karena masih adanya beberapa indikator yang menyatakan sebuah area/situs bukan sebuah ekomuseum, yakni :

1. Situs tersebut masih dikelola sendiri oleh pemilik (dalam hal ini pemerintah) dan tidak melibatkan masyarakat;

2. Merupakan sebuah penempatan kembali dari sumberdaya warisan budaya sebagai sebuah museum terbuka (open-air museum); dan

3. Di sekitar lokasi tersebut masyarakat belum mendapatkan pemasukan yang memadai (Davis, 1999).

Harmin dan Hulander menyebutkan adanya 18 karakteristik ekomuseum, masing-masing adalah,