• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Penutup, Kesimpulan, dan Saran

B. Model Semiotik Roland Barthes

Roland barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang gigih mempraktikan model liguistik dan semiologi saussurean.19 Menurut Barthes Bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu. Untuk menganalisis teks pada rubrik dalam majalah Aulia, penulis menggunakan analisis menurut metode Roland Barthes, denotasi, konotasi dan mitos.

Pendekatan semiotik Roland Barthes secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan atau speech yang disebut sebagai mitos. Menurut barthes, bahasa membutuhkan kondisis tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua atau the second order semiological system, penanda-penanda berhubungan dengan petanda - petanda sedemikian sehingga memghasilkan tanda, selanjutnya tanda - tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda - penanda yang berhubungan pula dengan petanda - petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi tataran kedua inilah mitos berada.

Aspek material mitos, yakni penanda-penanda pada the second order semiological system itu, dapat disebut sebagai retorik atau konator-konator,

18

Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet 1, hal. 6. 19Alex Sobur, M.Si, “ Semiotika Komunikasi”,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), cet ke-4, hal. 63.

yang tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama, sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi.20

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.

Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies nya secara tegas dibedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja.

1. Signifier atau Penanda 2. Signified atau Petanda

3. Denotative Sign atau Tanda Denotatif 4. Connotative Signifier

atau Penanda Konotatif

5. Connotative Signified atau Petanda Konotatif 6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Tabel 2.1 : Peta Tanda Roland Barthes

Penjelasan gambar: dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif pada nomer 3 terdiri atas penanda pada nomer 1 dan petanda pada nomer 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga

20

Kris Budiman, semiotika visual “konsep, isu, dan problem ikonisitas”, (yogyakarta: jalasutra, 2011), cet- 1, hal. 38.

penanda konotatif pada nomer 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.21

Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi tanda tertentu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intrasubjektif.

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja dengan mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami kepada aspek tentang realitas atau gejala alam.22

Dapat dipahami bahwa denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, konotasi adalah bagaimana menggambarkannya, dan mitos adalah pemahaman akan beberapa aspek realitas atau gejala alam yang mudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat.

21

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), cet. Ke-4, h.69.

22

Yasraf amir piliang, hipersemiotik: tafsir cultural atau matinya makna, (Bandung: jala Sutra, 2003), hal. 127-128.

Menurut konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Konotasi identik dengan operasi ideologi yang

disebut sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

Makna denotative bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada intinya disebut sebagai gambaran sebuah pertanda. Makna konotatif adalah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkannya. Di dalam mitos sebuah petanda dapat memiliki beberapa petanda.

Menurut Okke Koyuma Sumantri zaimar dikemukakan oleh barthes bahwa ada tiga cara berbeda dalam membaca mitos, contoh penerapannya diambil dari teks yang dikemukakan barthes, yaitu :

1. Pembaca menyesuaikan diri dengan penanda yang kosong, ia membiarkan konsep mengisi bentuk tanpa ambiguitas, dan ia akan berhadapan dengan system yang sederhana. Disini pemaknaan bersifat harfiah. Contoh: prajurit kulit hitam yang memberi hormat pada bendera prancis adalah contoh kebesaran prancis. Cara pembacaan seperti ini adalah yang dilakukan oleh si pembuat mitos, yang mulai dengan konsep, kemudian mencari bentuk yang sesuai dengan konsep itu.

2. Apa bila pembaca menyesuaikan diri dengan penanda yang penuh, artinya telah ada bentuk dan arti disitu, dan mulai dari deformasi yang terjadi pada

pemaknaan tahap ke dua, ia mengungkapkan signifikasi mitos-mitos prajurit kulit hitam yang memberi hormat pada bendera prancis itu merupakan alibi demi kebesaran prancis orisini pembaca beerlaku sebagai ahli mitos, ia menganalisis mitos, ia memahami adanya deformasi.

3. Akhirnya, apabila si pembaca mitos menyesuaikan diri dengan penanda mitos yang terdiri dari bentuk yang sudah menyatu dengan arti, ia mendapati makna ambigu, ia mengikuti mekanisme pembentukan mitos, benar-benar sebagai pembaca awan: selalu kulit hitam itu bukan lagi contoh kebesaran prancis ataupun alibi kebesaran itu melainkan merupakan gambaran tentang kebesaran itu.

Bedasarkan penjabaran tersebuut, dalam membaca mitos dapat dilakukan seseorang dengan menentukan dirinya.

a. Pembuat Mitos

Pesan yang disampaikan adalah untuk mencapai tujuan tertentu. b. Ahli Mitos

Menjelaskan tujuan disebarkannya pesan tersebut. c. Pemirsa mitos

Pesan dianggap sebagai konsep alamiah (penerima ideologi).

Dokumen terkait