Transformation ofati IntellectualTradition (1982), mengusulkanpola terbentuknya masyarakat Islam yang dijiwai dengan semangat
kemodernan
model Madinah. Demikian pula berbagai gagasan tentang format kemasyarakatan dan peradaban, menjadi pem-bahasan Yusufal-Qardlawi danMuhammad
al-Ghazali, melalui berbagai kajian hadisnya.Sementaraitu, pada dimensispiritualitas, pluralisme, dialog
keberagamaan,
dan
format pergaulanyang
dijiwaidengan
semangat inklusifitas, banyak diserukan, misalnya oleh Sayyed Hosein Nasr,Muhammad
Isa Nurdin, dan lain-lain, termasukMohammed
Arkoun,ilmuwan
dari Aljazair yangmenyuarakan
pemikiran-pemikirannyasecara atraktif, progresifserta bercorak rekonstruktif-dekonstruktif tentang Islam dari kota Sorbonne,Prancis.
Marshal GS. Hodgson memiliki komentarmenarik tentang kondisi peradaban masyarakat muslim di bawah hegemoni peradaban Barat. Menurut Hodgson
(1977: I, 96), pada masa teknis modem (1789-sekarang), "Warisan tertinggi
dalamdunia teknik modem dengan dampak (benturan) dari tatanan dunia baru yang dibawa Barat modem, kondisi-kondisi historis dunia peradaban yang bercorak Islam telah sirna. Alih-alih sebuah masyarakat komprehensif yang berkesinambungan.Justru Islam memilikisebuah warisanyang dimilikibersama dalam sebuah tatanan yang lebih luas di masa kaum muslimin merupakan sebuahminoritas,sebuahminoritasyangtidakdiuntungkanjustruoleh peristiwa-peristiwa itu, yangsambil menciptakan tatanan baru, membawa kemakmuran
bagi Barat baru."
Generasi lebih lanjut sekarang ini, terdapat banyak intelek-tual dengan berbagai gagasannya, seperti Hassan Hanafi, Asghar
Ali Angeenir, Nasr
Hamid Abu
Zaid, Shahrour, dan sebagainya, yangmencoba
mengusulkan berbagai proyek guna mengeluar-kan masyarakatmuslim
dari krisis peradaban.7Gagasan-gagasanpara intelektual abad20
dan
21M
sampaisaat ini masih bersifat kontroversial.
Namun
tampaknya,dari-pada terus berkutat dalam nostalgia
masa
keemasan Islam era klasik, lebih baik berbuat sesuatuyang mengarahkan
kepada peradaban yang lebih baik dari sekarang. Sebagai seorang inte-lektual-atau sebutan lain menurut Dr. Mukti Ali, seorang guru-mereka tidak peduli apakah gagasan-gagasannya itu diterima atau tidak, dianggap sesuai atau tidak untuk masanya, disetujui atau tidak.Yang
penting ia melontarkan pendapat dan teguh,kokoh berpegang pada pendapatnya itu. Sebab
mungkin
walaumasanya belum
sesuai, hal yang dilontarkan itu akan memiliki urgensi paradigmatik bagimasa
berikutnya. Kewajiban seorang guru adalahselalumenambah
ilmu sehingga ia harus berani ber-buatsesuai dengan ilmunya sekalipun berbeda dengankemauan
banyakorang. Seorang gurudengan ilmunya berani mengatakansesuatu sekalipun perkataannya itu tidak dimengerti orang. Ilmu-lah yang menjadi tujuan, bukanorang (Mukti Ali, dalam Shidiqi,
1997: vii-x; juga 1971: bab terakhir).
7 Pemikiran keislamantokoh-tokohkontemporer, seperti Arkoun,Nashr AbuZaid, Hanafi, Shahrour, Ahmed an-Na'im, Mahmud Thaha, dan sejenisnya memang
terkesan dekonstruktif. Akan tetapi, patut disayangkan bahwa-menurut pe-nuturan Prof. Dr. Masykuri Abdillah pada kuliah Islam dan Peradaban Global,
Ahad8Januari 2006-pemikiranmereka tidak berbasispadakeahlianyang mereka
miliki. Artinya, hasil-hasil pemikiran mereka "tidak otoritatif", karena tidak sesuai dengan keahlian yang mendasari pemikiran dan keahlian yang digeluti sehari-hari. Sebab, dalam mengapresiasi pemikiran seseorang, yang patut di-perhatikan adalah konteksaturan, konseasus, etika ilmiah, danbatasan-batasan lain secara akademis, yang dalam hal ini juga memerhatikan secara ketat dasar keahlianseseorang.Misalnya, tokohsepertiMahmudThaha danShahrour adalah insinyur,yang bukanahlidalambidang ‘ulumAlQuran,AbuZaid adalahseorang ahli bahasa, dan an-Na'im adalah ahli hukum internasional, bukan ahli syariah dan pemikiran Islam sejenisnya. Oleh karenanya, apa yang disebut sebagai pe-mikiran Islam yang rekonstruktif, dekonstruktif, dan scbagaianya dari mereka harus dipandang sebagai "kurang/tidak otoritatif'. Apalagi-menurut Prof. Masy-kuri-sebagian dari mereka, dalam hal aplikasi syariat, seperti shalat memang
diragukan konsistensi pelaksanaannya. Berarti bahwa konsistensi "ketaatan"
dengan "apa yangdisampaikan sebagai hasil pemikiran" dari mereka masih dira-gukan.
Perbedaan sudut pemikirandan
pemahaman memang
tidakbisa dihindarkan dengan pangkal tolak
bahwa
Islammerupakan
sistem atau jalan hidup yang lengkap, serta memiliki proporsi
se-imbang antara nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya, dan dalam
ta-taran realitassosial iamemiliki garissekularisme (secularism-riddeti)
(Ahmad
[Ed.], 1981:xiii), yang menjadi landasanperkembangan
duniamuslim
pada masa-masa berikutnya.Jadi, justru dikarenakan Islam
merupakan
sistem syar'i yang lengkap itu,maka
iamembuka
diri pada berbagai wacana pemi-kiran untukmewujudkan
kesempurnaan sistem yang dijanjikan tersebut. Dari sini dapat dipahami asumsibahwa
Islam adalahagama
yang dari sisi universal bersifat hanif Sementara secara partikular, iamerupakan agama
ishlah, yakni suatu tatanan yangselalu menuntut perbaikan dalam sikap
maupun
pertumbuhan.Ini berarti secara kultural
dan
historis, ia harus selalu bersifat reformatif, tidak boleh mmideg. Maka, di sini dibutuhkan inovasi-inovasi dan kreativitas pemikiran yang selalu makin meningkat dalam rangka menciptakan cita-cita peradaban Islam yang hege-monik.Dan
inilah tugas besar pemikiranIslammenyongsong
eramilenium ketiga mendatang, sebagai era "milik" para
perumus
peradaban Islam yanglebihmajudibandingyangsekarangterjadi.Olehkarenanya, dalam kondisi seperti itu, peran dialog anta-ra Islamdan Barat menjadihal yangsangat pentingdalam
interak-si antarperadaban
dewasa
ini, terutama untuk meraih kembali kemajuanperadaban Islamyang telahsekian lamasurut.Sekarangini bukan lagi era konfrontasi bagi percaturan peradaban. Pola-pola dialog, dan saling melengkapi, tampaknya menjadi alternatif bagi terwujudnya peradaban yang lebih baik bagi kemanusiaan.
Peradaban Islam memiliki
kemungkinan
untukmendomi-nasi kembalijika
mampu memberikan
jawabanatas transisiyangterkaitdengan nilai-nilai budaya, yang mendominasi sistem
per-adaban Barat
dewasa
ini. Transisi itu, dalam analisaKuhn
meli-batkanapayangdisebut "perubahanparadigma",suatu perubah-an penting dalam pemikiran, persepsi, dannilai-nilai yangmem-bentuk suatu visi realitas tersendiri.8
8 Untuk pembahasan secara panjang lebar tentang berbagai paradigma tersebut, lihat Thomas Kuhn (1970).
Paradigma yang kini sedang terus berubah itu,
mendomi-nasi peradaban Baratyang telah berusia ratusan tahun, dan telah