• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mohammed Arkoun, ilmuwan dari Aljazair yang menyuarakan pemikiran-pemikirannya secara atraktif, progresif serta bercorak

Dalam dokumen FILSAFAT DAN METAFISIKA DALAM ISLAM; (Halaman 47-50)

Transformation ofati IntellectualTradition (1982), mengusulkanpola terbentuknya masyarakat Islam yang dijiwai dengan semangat

kemodernan

model Madinah. Demikian pula berbagai gagasan tentang format kemasyarakatan dan peradaban, menjadi

pem-bahasan Yusufal-Qardlawi dan

Muhammad

al-Ghazali, melalui berbagai kajian hadisnya.

Sementaraitu, pada dimensispiritualitas, pluralisme, dialog

keberagamaan,

dan

format pergaulan

yang

dijiwai

dengan

semangat inklusifitas, banyak diserukan, misalnya oleh Sayyed Hosein Nasr,

Muhammad

Isa Nurdin, dan lain-lain, termasuk

Mohammed

Arkoun,

ilmuwan

dari Aljazair yang

menyuarakan

pemikiran-pemikirannyasecara atraktif, progresifserta bercorak rekonstruktif-dekonstruktif tentang Islam dari kota Sorbonne,

Prancis.

Marshal GS. Hodgson memiliki komentarmenarik tentang kondisi peradaban masyarakat muslim di bawah hegemoni peradaban Barat. Menurut Hodgson

(1977: I, 96), pada masa teknis modem (1789-sekarang), "Warisan tertinggi

dalamdunia teknik modem dengan dampak (benturan) dari tatanan dunia baru yang dibawa Barat modem, kondisi-kondisi historis dunia peradaban yang bercorak Islam telah sirna. Alih-alih sebuah masyarakat komprehensif yang berkesinambungan.Justru Islam memilikisebuah warisanyang dimilikibersama dalam sebuah tatanan yang lebih luas di masa kaum muslimin merupakan sebuahminoritas,sebuahminoritasyangtidakdiuntungkanjustruoleh peristiwa-peristiwa itu, yangsambil menciptakan tatanan baru, membawa kemakmuran

bagi Barat baru."

Generasi lebih lanjut sekarang ini, terdapat banyak intelek-tual dengan berbagai gagasannya, seperti Hassan Hanafi, Asghar

Ali Angeenir, Nasr

Hamid Abu

Zaid, Shahrour, dan sebagainya, yang

mencoba

mengusulkan berbagai proyek guna mengeluar-kan masyarakat

muslim

dari krisis peradaban.7

Gagasan-gagasanpara intelektual abad20

dan

21

M

sampai

saat ini masih bersifat kontroversial.

Namun

tampaknya,

dari-pada terus berkutat dalam nostalgia

masa

keemasan Islam era klasik, lebih baik berbuat sesuatu

yang mengarahkan

kepada peradaban yang lebih baik dari sekarang. Sebagai seorang inte-lektual-atau sebutan lain menurut Dr. Mukti Ali, seorang guru-mereka tidak peduli apakah gagasan-gagasannya itu diterima atau tidak, dianggap sesuai atau tidak untuk masanya, disetujui atau tidak.

Yang

penting ia melontarkan pendapat dan teguh,

kokoh berpegang pada pendapatnya itu. Sebab

mungkin

walau

masanya belum

sesuai, hal yang dilontarkan itu akan memiliki urgensi paradigmatik bagi

masa

berikutnya. Kewajiban seorang guru adalahselalu

menambah

ilmu sehingga ia harus berani ber-buatsesuai dengan ilmunya sekalipun berbeda dengan

kemauan

banyakorang. Seorang gurudengan ilmunya berani mengatakan

sesuatu sekalipun perkataannya itu tidak dimengerti orang. Ilmu-lah yang menjadi tujuan, bukanorang (Mukti Ali, dalam Shidiqi,

1997: vii-x; juga 1971: bab terakhir).

7 Pemikiran keislamantokoh-tokohkontemporer, seperti Arkoun,Nashr AbuZaid, Hanafi, Shahrour, Ahmed an-Na'im, Mahmud Thaha, dan sejenisnya memang

terkesan dekonstruktif. Akan tetapi, patut disayangkan bahwa-menurut pe-nuturan Prof. Dr. Masykuri Abdillah pada kuliah Islam dan Peradaban Global,

Ahad8Januari 2006-pemikiranmereka tidak berbasispadakeahlianyang mereka

miliki. Artinya, hasil-hasil pemikiran mereka "tidak otoritatif", karena tidak sesuai dengan keahlian yang mendasari pemikiran dan keahlian yang digeluti sehari-hari. Sebab, dalam mengapresiasi pemikiran seseorang, yang patut di-perhatikan adalah konteksaturan, konseasus, etika ilmiah, danbatasan-batasan lain secara akademis, yang dalam hal ini juga memerhatikan secara ketat dasar keahlianseseorang.Misalnya, tokohsepertiMahmudThaha danShahrour adalah insinyur,yang bukanahlidalambidang ‘ulumAlQuran,AbuZaid adalahseorang ahli bahasa, dan an-Na'im adalah ahli hukum internasional, bukan ahli syariah dan pemikiran Islam sejenisnya. Oleh karenanya, apa yang disebut sebagai pe-mikiran Islam yang rekonstruktif, dekonstruktif, dan scbagaianya dari mereka harus dipandang sebagai "kurang/tidak otoritatif'. Apalagi-menurut Prof. Masy-kuri-sebagian dari mereka, dalam hal aplikasi syariat, seperti shalat memang

diragukan konsistensi pelaksanaannya. Berarti bahwa konsistensi "ketaatan"

dengan "apa yangdisampaikan sebagai hasil pemikiran" dari mereka masih dira-gukan.

Perbedaan sudut pemikirandan

pemahaman memang

tidak

bisa dihindarkan dengan pangkal tolak

bahwa

Islam

merupakan

sistem atau jalan hidup yang lengkap, serta memiliki proporsi

se-imbang antara nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya, dan dalam

ta-taran realitassosial iamemiliki garissekularisme (secularism-riddeti)

(Ahmad

[Ed.], 1981:xiii), yang menjadi landasan

perkembangan

dunia

muslim

pada masa-masa berikutnya.

Jadi, justru dikarenakan Islam

merupakan

sistem syar'i yang lengkap itu,

maka

ia

membuka

diri pada berbagai wacana pemi-kiran untuk

mewujudkan

kesempurnaan sistem yang dijanjikan tersebut. Dari sini dapat dipahami asumsi

bahwa

Islam adalah

agama

yang dari sisi universal bersifat hanif Sementara secara partikular, ia

merupakan agama

ishlah, yakni suatu tatanan yang

selalu menuntut perbaikan dalam sikap

maupun

pertumbuhan.

Ini berarti secara kultural

dan

historis, ia harus selalu bersifat reformatif, tidak boleh mmideg. Maka, di sini dibutuhkan inovasi-inovasi dan kreativitas pemikiran yang selalu makin meningkat dalam rangka menciptakan cita-cita peradaban Islam yang hege-monik.

Dan

inilah tugas besar pemikiranIslam

menyongsong

era

milenium ketiga mendatang, sebagai era "milik" para

perumus

peradaban Islam yanglebihmajudibandingyangsekarangterjadi.

Olehkarenanya, dalam kondisi seperti itu, peran dialog anta-ra Islamdan Barat menjadihal yangsangat pentingdalam

interak-si antarperadaban

dewasa

ini, terutama untuk meraih kembali kemajuanperadaban Islamyang telahsekian lamasurut.Sekarang

ini bukan lagi era konfrontasi bagi percaturan peradaban. Pola-pola dialog, dan saling melengkapi, tampaknya menjadi alternatif bagi terwujudnya peradaban yang lebih baik bagi kemanusiaan.

Peradaban Islam memiliki

kemungkinan

untuk

mendomi-nasi kembalijika

mampu memberikan

jawabanatas transisiyang

terkaitdengan nilai-nilai budaya, yang mendominasi sistem

per-adaban Barat

dewasa

ini. Transisi itu, dalam analisa

Kuhn

meli-batkanapayangdisebut "perubahanparadigma",suatu perubah-an penting dalam pemikiran, persepsi, dannilai-nilai yang

mem-bentuk suatu visi realitas tersendiri.8

8 Untuk pembahasan secara panjang lebar tentang berbagai paradigma tersebut, lihat Thomas Kuhn (1970).

Paradigma yang kini sedang terus berubah itu,

mendomi-nasi peradaban Baratyang telah berusia ratusan tahun, dan telah

Dalam dokumen FILSAFAT DAN METAFISIKA DALAM ISLAM; (Halaman 47-50)