• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monoesisme dan dioecisme

Dalam dokumen Bahan Kuliah Ekologi Hutan buku (Halaman 171-200)

Sistematik Random

Outcrossing 3: Monoesisme dan dioecisme

Banyak tumbuhan tropis mendorong outcrossing dengan monoesisme (contohnya beberapa Meliaceae; Styles, 1972; Styles dan Khosla, 1976) atau merubah monoesisme harus dengan dioesisme (contoh, Cariaceae; Baker, 1976). Pada bunga-bunga uniseksual dari beberapa taksa monoecious telah berkembang baik, tetapi organ-organ seks lawannya lidak berfungsi, membuatnya sulit untuk menduga sifat alam seksualitas dari pemeriksaan kasual morfologi bunga. Dengan demikian, berdasarkan studi berikut, banyak spesies dari hutan-hutan tropis yang bersifat hermaprodit pada bunga-bunga tua, telah ditemukan dapat menghasilkan bunga- bunga yang berfungsi secara uniseksual (Styles, 1972; Bawa dan Opler, 1975; Styles dan Khosia, 1976; Bawa, tidak dipublikasikan). Kesamaan antara bunga-bunga staminate dengan pistiltat (bertentangan dengan yang ditemukan pada proses penyerbukan oleh angin pada pohon-pohon hutan temperate) kemungkinan dibutuhkan kedua macam bunga untuk rnenyesuaikan diri dalam mencari bentuk yang sama oleh hewan polinator-polinator (serangga, burung, kelelawar) dari pohon-pohon tropis ini.

Uniseksualitas dari bunga-bunga tersebut akan lebih jelas pada spesies berkayu dibandingkan pada taksa herbaceous (termasuk epifit). Sebuah survei flora di Pulau Barro, Colorado, Croat (1978) melaporkan proporsi dari spesies diocious dalam flora (semua bentuk hidup bersarna) adalah 9%, (115 dari 1265 spesies). Penulis yang sama (Croat, 1979) telah membuat analisis lebih jauh dan menunjukkan bahwa diantara pohon yang berukuran sedang

hingga besar, 21% adalah diocious (berumah dua) dan 15% adaiah monoecious (berumah satu). Angkanya rnengecil menjadi masing-masing 7% dan 12%, untuk pohon-pohon kecil (dan semak), 8% dari tumbuhan scandent adalah dioecious dan 12% adalah monoecious.

Dalam studi mengenai hutan kering di propinsi Guanacaste, Costa Rica, Bawa dan Opler (1975) menemukan 22% dari spesies pohon adalah diocious. Mereka mengulangi dan dana diperoleh 40% untuk hutan hujan di Nigeria dan 26% (termasuk beberapa spesies hermaprodit dikogamus) untuk hutan hujan campuran dipterocarpa dataran rendah di Serawak Tengah (masing-masing adalah data dari Jones, 1955 dan Ashton, 1969). Jelasnya, diosisme lebih lazim diantara pohon-pohon daerah-daerah temperate, dan kemungkinan lebih lazim pada pohon-pohon besar dibandingkan pada bentuk hidup lainnya. Alasan-alasan ini telah dikemukakan oleh Bawa dan Opler (1975), Bawa (1981) dan Beach (1981).

Pohon-pohon dioecious tropis menunjukkan variabilitas yang tidak teratur daiam ekspresi seks, dimana manifestasi dari satu seks (biasanya staminate) menghasilkan beberapa bunga yang hermaprodit atau lebih jarang dari seks lawannya. Selanjutnya dalam Carica papaya, ada kecenderungan mempakan pohon-pohon staminate, pada akhir periode pernbentukan bunga, untuk menghasilkan bunga-bunga hermaprodit dimana buah-buah yang membawa benih terbentuk. Benih-benih dari buah-buah ini meningkatkan progeni staminate mapun pistillate, yang artinya datam mempertahankan keberadaan kedua seks dalam areal lokal telah diteliti oleh Baker (1976).

Pada beberapa spesies dari pohon-pohon hutan hujan tropis, individu-individu hermaprodit, sama halnya dengan pistillate (bunga berkelarnin betina) dan staminate (bunga berkelamin jantan), dapat terjadi pada dasar reguler (contohnya, Coccoloba padiform'ts (Polygonaceae), atau individu-individu pohon dapat beragam dalam keadaan seksual dari waktu ke waktu. Beberapa dari taksa pohon

didaftar oleh Yampolsky dan Yampolsky (1922) sebagai polyamodioecious. Di areal Pulau Barro, Colorado (Panama), Croat (1978) menemukan ada 54 spesies (4% dari flora) dalam suatu kondisi. Belum jelas arti adaptif dari variasi semacam itu dalam ekspresi seks.

Pohon-pohon tropis dioecious menunjukkan beberapa hubungan seks dimorphisme dalam ciri reproduktif seperti jumlah bunga per inflorescecncec, ukuran bunga, warna dan bentuk dari petal (kebanyakan khususnya pada Ccarica, dimana bunga staminatenya adalah gamopetalus sedangkan bunga pistillatenya adalah polypetalous), dalam sejumiah nektar yang dihasilkan, dan dalam tingkat herbivory pada bagian-bagian floral (Bawa dan Opler, 1975; 1978; Baker, 1976). Bawa dan Opler (1975) telah mencatat perbedaan- perbedaan dalam jumlah nektar yang dikeluarkan oleh bunga- bunga staminate dan pistillate, tetapi Carica spp, menunjukkan opposite lengkap, disini bunga-bunga pistillate tidak menghasitkan nektar sedangkan suplainya baik pada bunga-bunga staminate (Baker, 1976). Dalam kasus Carica, dikatakan bahwa ini membuat pengunjung bunga berbahaya, seperti hummingbird (Trochilidae) dan lebah Trigonia, jauh dari bunga-bunga pistillate dimana ovari mudah rusak mengisi bunga. Penyerbukan yang bemasil dilakukan oleh ngengat yang mengunjungi bunga pistillate karena kesalahan dalam pencahayaan yang kurang.

Baker (1978a) telah mertunjukkan bahwa mungkin ada perbedaan-perbedaan nyata antara pohon-pohon pistillate dan staminate dari spesies yang sama pada rasio sukrosa terhadap heksosa dalam nektar bunga mereka (contohnya pada

Triplaris americana, Polygonacceae). Arti dan tingkat perbedaan-perbedaan semacam itu akan terbukti dengan studi lebih lanjut.

Kebanyakan pohon dioeccious tropis yang telah diteliti menunjukkan rasio seks yang bias, umumnya berlaku seks staminate (Opler dan Bawa, 1978). Pada beberapa kasus, hanya tumbuhan bunga berkefamin betina yang diketahui

(Tomlinson, 1974) dan disini apomiksis harus dicurigai.

Apomiksis

Reproduksi apomiksis, biasanya melibatkan agamospermi (pembentukan embrio tanpa fusi/peleburan seksual) yang telah diketahui untuk individu tropis spesies berkayu dan herbaceous sejak abad ke-19. Reproduksi apomiksis pertama kali ditemukan oleh Smith (1841), yang mengamati penyusunan biji pada tumbuhan berbunga betina (bunga berkelamin betina) yang diisolasi, yaitu spesies yang sekarang dikenai sebagi Alchornea ilicifolia

(Euphorbiaceae). Daftar spesies dengan satu mekanisme apomistik atau lebih telah dipublikasikan oleh Nygren (1954, 1967) dan sekurangnya terdapat 30 genera tropis (terutama rumput-rumputan) tercantum dalam daftar ini. Mekanisme yang lazim/umum adalah embriony liar (adventitious), yang berlawanan dengan apomiksis di bagian-bagian dunia dimana musim pertumbuhan singkat, yang bergantung pada diplospori atau apospori pada setiap kasus yang diikuti oleh diplotid partenogenesis (Baker, tidak dipubl.). llustrasi mengenai mekanisme embriony liar (adventitious) pada pohon hutan tropis ditunjukan oleh

Pachira oleaginea (sekarang dikenai sebagai Bombacopsis glabra (Bombacaceae) oleh Baker (1960)}.

Penjelasan-penjelasan eko-evolusioner untuk perbedaan yang berhubungan dengan iklim ini akan dipertirnbangkan di bagian lain, tetapi yang perlu mendapat perhatian adalah beberapa macam apomiksis dapat "menghentikan" heterozygositas (juga heterosis) yang telah dihasilkan dari persilangan di luar pada reproduksi seksual (amphimistik) tumbuhan induk(moyang). Akibatnya, demonstrasi oleh Ashton (1977) dan Kaur dkk. (1978) tentang tingkat kemungkinan apomiksis tinggi pepohonan di hutan klimaks Malaysia, dimana reproduksi amphimistik mungkin sulit karena pemisahan fisik dari individu- individu conspesifik, menyatakan bahwa frekuensi

terjadinya sistem perkembangbiakan ini harus diselidiki secara teliti di hutan tropis lain.

S. Appanah (dalam Kavanagh, 1979) menemukan bahwa pepohonan Dipterocarpaceae di Malaysia diserbuki oleh trips (Thysanoptera). Jumlah serangga ini tidak banyak, dan akan meningkat pesat pada saat sekumpulan spesies dipterokarpa berbunga. Namun demikian, spesies pohon pertama dalam unjtan pembentukan bunga, contohnya Shorea macmptera, dihadapkan pada kelangkaan trip sehingga kenyataan tersebut menunjukkan pohon-pohon dari spesies ini adalah apomistik.

Ekologi penyerbukarn Anthecology)

Awal pembentukan dan perkembangan bunga (antesis)

Permulaan pembentukan bunga melibatkan dua fase berbeda: "induksi" pada tumbuhan dengan kesiapan untuk menghasilkan kuncup-kuncup bunga (seringkali dikendalikan oleh fotoperiode, sepanjang suhunya cocok), dan "diferensiasi" ujung vegetatif sebelum menjadi kuncup bunga (Hilman, 1962; Salisbury, 1963}. Antesis (perkembangan bunga} mungkin langsung terjadi atau tertunda (dormansi kuncup}.

Pendorong fotoperiode, jika ada, pada tumbuhan tropis dapat berasal dari perubahan yang sangat kecil pada proporsi cahaya terhadap gelap pada lamanya hari (McClelland, 1924; Sunning, 1948; Njoku, 1958; dll) Tetapi, apapun faktor pemicunya, mungkin "induksi", "diferensiasi" atau "antesis" kebanyakan tumbuhan tropis berbunga secara diskontinu, dengan kecenderungan berbunga pada musim tertentu (Holturn, 1952; Daubenmire, 1972; Frankie dkk., 1974 Opler dkk. 1976b, 1980; Stiles, 1978; dan referensi lain dalam Frankie dkk., 1974}. Tumbuhan minoritas pada habitat-habitat lebih lembab berbunga secara kontinu, setidaknya pada dasar popuiasi, dan inilah yang paling sering dijumpai pada komunitas-komunitas seral pionir pada zona-zona hutan yang lebih basah.

Pecahnya masa dormansi kuncup bunga yang mengarah pada antesis pada tumbuhan tropis telah menjadi bahan perdebatan. Kelihatannya, lebih dari satu jenis stimulus yang terlibat dalam pemecahan masa dormasi kunbup bunga. Api (Hopkins, 1963), perubahan fotoperiode (juga Hopkins, 1963), penurunan suhu (Kerling, 1941; Holttum, 1952; Went, 1957}, dan pergerakan tekanan air (Aivim, 1960,1964; Holdsworth, 1961; Daubenmire, 1972; Opler dkk., 1976a, 1980; Opler, 1981), semuanya dilaporkan memecahkan masa dormansi. Kelihatannya ada juga ritme endogenous yang terlibat, sehingga beberapa tumbuhan hutan tropis berbunga lebih dari satu kali setahun (Holttum, 1852; Frankie dkk., 1974; Opler dkk., 1976a, 198C; Opler, 1981), sedangkan yang lainnya turnbuh untuk beberapa tahun atau dalam waktu yang lama tanpa pembentukan bunga (termasuk bambu telah disinggung sebelumnya). Bambu, dan beberapa pohon, adalah monokarpik (Foster, 1977). Di Ghana, pohon-pohon dari ekotipe savanna Ceiba pentandra (Bombacaceae) berbunga setahun sekali; pohon-pohon besar dari ekotipe hutan tetap vegetatif untuk beberapa tahun antara tahapan pembentukan bunga (Baker, 1965b). Gentry (1974b) telah mensurvei tipe- tipe pembentukan bunga pada Bignoniaceae neotropis.

Sinkroni berikut yang dipicu oleh stimulus lingkungan yang kuat seperti badai hujan tropis pada akhir musim kering sangat penting dalam mempertahankan aliran gen intraspesifik dalam spesies pohon tertentu yang agak umum. Juga memungkinkan pembentukan bunga oleh spesies yang berbeda dengan perpindahan temporal/sementara yang sebaliknya akan menyaingi penyerbuk tertentu yang sama (Frankie, 1975; Opler dkk. 1976a; Frankie dan Haber, in pre.). Stiles (1978) memperlihatkan bahwa dalam areal hutan basah (La Selva, costa Fiba), urutan pembentukan bunga oleh spesies hummingbird penyerbuk akan berubah dari tahun ke tahun akibat perbedaan iklim namun kontinuitas suplai sumberdaya dipertahankan.

atau malam untuk setiap spesies tumbuhan berbunga dan mungkin memakan waktu 24 jam penuh. Sesuai dengan kehangatan malam di daerah tropis, proporsi tumbuhan hutan yang berbunga pada malam hari lebih tinggi dibandingkan pada daerah temperate, sehingga kelelawar dan ngengat mempunyai peran penting sebagai penyerbuk. Kehangatan juga dtrefleksikan dengan membuka/mekarnya beberapa bunga diurnal khusus seperti Thevetia ovata (Apocynaceae) pada kegelapan sebelum senja. Tumbuhan malam seperti Inga vera

(Fabaceae, Minosoideae) membuka/memekarkan bunganya pada tengah sore hari dan tetap mekar sepanjang malam, tumbuhan tersebut memiliki sejumlah pengunjung mulai dari lebah hingga kelelawar (Salas, 1974). Bunga-bunga dari beberapa tumbuhan dioecious menunjukan ciri khusus, karena bunga jantan (staminate) mekar beberapa jam sebetum bunga betina (bunga berkelamin betina)(Bawa dan Opler, 1975).

Panjang waktu (lamanya) yang diperlukan bunga untuk tetap dapat menghasilkan serbuk/tepung sari (polen) atau lebih penting lagi untuk menerimanya, sangat bervariasi antar spesies. Anggrek epifit terkenal karena bunganya tetap segar dalam waktu yang lama; kebalikannya yang sangat ekstrim ialah spesies Passiflora yang bunganya hanya dapat bertahan beberapa jam dan penyerbukannya hanya beberapa menit setelah bunga mekar (Janzen, 1968). Namun demikian, secara umum benar bahwa bunga tunggal pada pohon tropis biasanya bertahan kira-kira 1 hari. Pengecualian untuk aturan ini diperlihatkan oleh beberapa spesies protandous dan protoginus yang bunganya memiliki androecia dan gynaecia yang berfungsi pada hari (malam) yang berbeda. Beberapa spesies memiliki bunga yang terus menyokong (kontribusi) daya tarik irtflorescense (warna) walaupun telah "dipakai'Vdiserbuki. Misalnya Lantana camara (Verbenaceae) dimana bunga-bunga yang sedang diserbuki berwarna kuning, dan bunga yang telah diserbuki dan masih bertahan beberapa hari berwarna oranye kemerahan. Contoh yang lebih jauh (further) adalah

Byrsonima crassifolia (Malpighiaceae) dengan perubahan warna yang tidak terlalu mencolok antara bunga yang belum dan sudah diserbuki.

Individu tumbuhan spesies monoecious biasanya memperlihatkan pemisahan temporal dalam antesis bunga jantan dan betina. Demikianlah Schmid (1970) menemukan ciri tersebut pada palma Asterogyne martiana di hutan basah Costa Rica. Pada Capania guatemalensis

(Sapindaceae), Bawa (1977) menunjukkan bahwa setiap individu tumbuhan mempunyai dua periode anthesis yang terpisah, namun dalam waktu singkat, dimana bunga jantan mekar dan di antara periode tersebut bunga betina mekar dalam waktu yang lebih tama.

Fenologi Dan Keteraturan Masa Berbunga

Sampai saat ini perilaku periodik tumbuhan di lingkungan tropik kurang mendapat perhatian (Holttum, 1952; Rees, 1964; McClure, 1966a; Gibbs dan Leston, 1970; Nevling, 1971; Burger, 1974; Frankie dkk., 1974; Opler dkk., 1980). Tanggapan mengenai kejadian-kejadian fenologi yang terkait dengan biologi reproduktif seringkali hanya sebagai Catalan singkat dalam sebuah tulisan panjang untuk topik lainnya (contohnya Beard, 1946; Ducke dan Black, 1953). Informasi lain mengenai kejadian-kejadian fenologi khusus dapat diternukan pada perlakukan-perlakuan floristik (contohya Alien, 1956; Little dan Wadsworth, 1964; dan yang sangat terkenal pada Croat, 1978). Sumber informasi fenologi lainnya terdapat pada tulisan yang mengetengahkan kepentingan ekonomi suatu spesies (yaitu Broekmans, 1957; Rees, 1964; Lamb, 1966; Purglove, 1968, 1975). Pada beberapa studi, data mengenai periodisitas dari sejumlah kecil spesies telah dikumpulkan sebagai usaha untuk merefleksikan kecenderungan fenologi umum pada tipe-tipe vegetasi tertentu (sebagai contoh J.R.Baker dan I. Baker, 1936; Hopkins, 1963; Daubenmlre, 1972; berbagai referensi pada Richards, 1952).

Baru-baru ini beberapa usaha dilakukan untuk dapat membedakan pola-pola komuniktas secara umum dalam pembentukan daun, bunga dan buah untuk banyak spesies yang secara khusus membentuk tipe-tipe hutan tertentu. Beberapa studi telah dilakukan di Afrika oleh Boaler (1966), pada lahari hutan deciduous miombo di Tanzania, dan oteh Burger (1974) pada 4 tipe hutan di Ethiopia. Di Asia, Ng (1977) mempelajari fenologi pada hutan dipterocarpaceae di Malaya, dengan studi-studi lain di Malaya oleh Medway (1972) dan di Sri Langka oleh Koelmeyer (1959). Di daerah neotropik, studi fenologi diiakukan di hutan lembab semi- evergreen Panama oleh Croat (1969,1978} dan oleh Foster (1974). Di Costa Rica, studi fenologi pepohonan telah diiakukan oleh Janzen (1967) di hutan kering, di hutan lembab oleh Fournier dan Salas (1966), dan di hutan basah dan kering oleh Frankie dkk. (1974) dan Opler dkk. (1980) melakukan studi fenologi semak dan treelet. Nevling (1971) mempelajari fenologi hutan elfin di Puerto Rico, sedangkan Jackson (1978) mengamati hutan hujan pegunungan yang lebih rendah (secara teknik hanya pada subtropis) di Brazil. Dengan beberapa pengecualian dari penelitian di Sri Langka oleh Koelmeyer (1959) dan di Malaya oleh Medway (1972), seperti studi-studi di Costa Rica yang diiakukan Baker, pola-pola ini diternukan hanya dalam jangka pendek (biasanya sekitar 2 tahun).

Analisis-analisis fenologi pohon hutan Costa Rica (Frankie dkk., 1974), fenologi semak dan treelet (Opler dkk.. 1980) dapat diringkaskan. Pada hutan basah (Finca La Selva), terdapat dua puncak rnasa berbunga yang tampak pada spesies kanopi dan tiga puncak di tingkat bawah. Masa berbunga terjadi di dua musim basah dan pada musim-musim yang tidak terlalu kering, dengan sedikit kesesuaian (synchrony) di antara dua lapisan. Semak dari hutan basah menunjukkan masa berbunga yang lebih sering dan bunganya secara umum dapat digolongkan sebagai "aseasonal" {tidak bermusim). Pada hutan kering (Guanacaste), dua puncak masa

berbunga terlihat pada pepohonan; satu periode yang luas selama musim kering yang panjang dan puncak kedua pada awal musim hujan. Semak hutan kering, sebaliknya menunjukkan hanya sekali puncak masa berbunga utama yaitu pada awal musim hujan, sebelum dinaungi oleh munculnya daun-daun muda pohon desiduous. Selama musim kering yang panjang semak cenderung berada pada kondisi dorman, kemungkinan karena kekeringan lebih berat bagi semak dibandingkan bagi pohon yang berakar lebih dalam. Hutan ripari di Guanacaste cenderung menunjukkan perilaku fenologi semak, dan pepohonan intermediate (menengah) sesuai dengan ketersediaan suplai air yang cukup.

Di hutan basah, setiap bulannya dalam.setahun ditemukan sejumlah besar pohon yang berbuah masak, meskipun puncak masa berbuah pada musim kering kedua (Agustus-Oktober). Pada hutan kering, puncak produksi buah masak terjadi pada akhir musim kering yang panjang (dengan hasil benih akan tersedia pada lantai hutan pada awal musim hujan). Semak di hutan kering memperlihatkan dengan jelas pola pembentukan buah bimodal, puncaknya pada pertengahan musim kering dan musim basah. Hutan ripari di Guanacaste, yang kelembabannya berada di antara hutan kering dan basah, umumnya juga menunjukkan pola fenologi intermediate "menengah".

Di Panama, pola fenologi di Pulau Barro Colorado juga intermediate, saat ini secara klimatik antara hutan basah dan kering Costa Rica, dan pengamatan fenologi oleh Croat (1978) pada bentuk hidup semua Eumbuhan menunjukkan bahwa herba lantai hutan mencapai puncak masa berbunga pada awal musim hujan, dan epifit sebagian besar berbunga pada pertengahan hingga akhir musim kering. Tumbuhan perambat memiliki pola pembentukan bunga yang lebih menyebar. Liana rnencapai puncak masa berbunga pada awal musim kering: puncak masa berbunga untuk pohon yang lebih besar berada pada musim kering. Puncak masa berbunga pada semak dicapai pada awal musim hujan. Musim berbuah dari berbagai bentuk

kehidupan ini berjalan mengikuti musim berbunga (herba, pada pertengahan hingga akhir musim hujan; epifit terutama pada akhir musim kering; liana juga akhir musim kering; pohon-pohon menunjukkan dua puncak, pada awal musim basah dan pertengahannya; semak pada musim basah).

Di hutan Cagar Alam Pasoh Malaysia, pohon-pohon Dipterocarpaceae menunjukkan suatu urutan masa berbunga yang tumpang tindih dengan durasi dua sampai tiga minggu untuk setiap spesies, meskipun pematangan dan jatuhnya buah terjadi bersamaan (H.T. Chan dalam Kavanagh, 1979). Rangkaian/urutan masa berbunga berhubungan dengan pemanfaatan penyerbuk yang sama (trip) oleh berbagai pohon dipterokarpa.

Berbagai usaha telah dilakukan untuk meneliti aspek- aspek fenologi dari interaksi-interaksi yang terjadi antara tumbuhan dan binatang pada tingkat komunitas, pada paleotropis oleh Putz (1979) dan yang lain, dan pada neotropis oleh beberapa peneliti seperti Snow (1965), Janzen (1967), Smythe (1970), Gentry (1974b, 1976), Heithaus (1974, 1979), Stiles (1975, 1978), dan Frankie (1975, 1976). Studi-studi terinci mengenai ekologi hummingbird dalam hubungannya dengan fenlogi tumbuhan telah dibuat oleh Snow dan Snow (1972). Feinsinger (1976, 1978), Stiles (1978) dan Feinsinger dan Colwell (1978). Rangkaian tulisan Frankie dan Haber (in prep.) mengkarakteristikkan interaksi-interaksi antara pengunjung anthofilus dengan pohon-pohon di hutan kering Costa Rica (juga semak, liana dan tumbuhan perambat terpilih). Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa kelimpahan musiman lebah-lebah besar dan ngengat rajawali (hawkmoth) berkaitan erat dengan pola temporal dan spasial ketersediaan sumber pembentukan bunga.

Penemuan-penemuan Stiles (1978) didasarkan pada studi pembentukan bunga oleh 59 spesies dari tumbuhan yang didatangi hummingbird selama kira-kira 4 tahun di hutan basah Finca La Selva, Costa Rica. Puncak ketersediaan

bunga terjadi pada musim kering dan awal musim basah, sedikitnya bunga terjadi pada bulan-bulan terbasah pada setiap tahun. Meskipim demikian, spesies tumbuhan pangan yang berbeda secara bersamaan akan memenuhi kebutuhan burung-burung sepanjang tahun. Yang menarik, variasi curah hujan dari tahun ke tahun menyebabkan beberapa perubahan dalam urutan masa berbunga suatu spesies, namun kontinuitas tetap dipertahankan.

Di masa yang akan datang, kita mengharapkan studi- studi fenologi dapat berkembang datam jangka waktu yang lebih panjang, karena dapat memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang penyebab bervariasinya pola-pola dari tahun ke tahun, dan pengaturannya yang mendasar. Hal ini juga memungkinkan pengertian yang lebih baik mengenai pola pembentukan bunga dan buah pada tumbuhan yang tidak berbunga setiap tahun. Pemicu yang membawa kepada antesis akan dapat teriihat lebih jelas. Studi-studi perbandingan mengenai pola fenologi pada habitat yang terganggu dan tidak terganggu penting agar kita dapat mengatur hutan tropis dengan lebih tepat, demikian pula untuk memahami interaksi-insteraksi antara berbagai organisme yang mendiarninya. Interaksi-interaksi kompetitif antara tumbuhan dalam hubungannya dengan penggunaan polen dan vektor benihnya (dan penghindaran interaksi kompetitif dengan pembuatan jarak sementara) akan dipelajari lebih intensif pada batasan yang diusulkan oleh penelitian Stiles (1975, 1978). Feinsinger (1978), Feinsinger dan Colwell (1978) untuk penyerbuk, dan oleh Foster (1974), Howe dan Primack (1975), Howe (1977) dan Howe dan Eslabrook (1977) untuk penyebar buah.

Vektor-vektor polen/serbuk sari

(1) Penyerbukan oleh angin. Sebagian besar studi mengenai penyerbukan di hutan tropis tertuju pada tumbuhan zoophilous dan binatang yang berhubungan dengannya, karena sebagian besar tumbuhan hutan tropis diserbuki

binatang. Penyerbukan oleh angin agak jarang terjadi di hutan yang lebih basah dimana penyebaran individual conspesifik secara luas, ditambah lagi dengan penampakan fisik pohon-pohon yang tidak berhubungan satu sama lain, menjadikan anemofili sebagai suatu sistem yang tidak efisien (Whitehead, 1969; Janzen, 1975). Pada tingkat/level permukaan tanah, kurangnya pergerakan udara mungkin merupakan faktor yang menghalangi penyerbukan oleh angin, lagipula rumput- rumputan yang ditemukan pada tingkat ini, yang tumbuh berkala, sebagian besar diserbuki oleh serangga (Sodestrom dan Calderaon, 1971; Karr, 1976).

Anemofili telah dijelaskan pada beberapa pohon di hutan deciduous yang dibatasi oleh savana dimana faktor-faktor yang tidak menguntungkan berada pada tingkat minimum (Daubenmire, 1972; Bawa dan Opler, 1975). Beberapa spesies pohon Moraceae di hutan semi- desiduous tropis di Afrika dan Asia juga termasuk anemofili (D. Leston, kom.prib., 1978; Corner, 1952), demikian pula beberapa Rhizophoraceae di hutan-hutan mangrove (Tomlinson dkk., 1978). Penyerbukan angin di hutan hijau abadi (basah) dataran rendah neotropis baru-baru ini telah dilaporkan oleh Bawa dan Crisp (1980) untuk Trophis involucrata (Moracaceae) dan ada indikasi beberapa spesies lainnya berada pada tingkat bawah dari hutan basah Amerika Tengah (Bawa, tidak dipubl.). Beberapa palma termasuk Trinax spp., tampaknya diserbuki oleh angin (Uhl dan Moore, 1977), tetapi apa yang umumnya dipercayai, yaitu bahwa Arecaceae secara keseluruhan anemophilus, ternyata tidak benar (Schmid, 1970; Uhl dan Moore, 1977).

Tekanan-tekanan selektif yang berkaitan dengan evolusi anemofili pada beberapa spesies di daerah lembab di hutan evergreen tidak jelas. Kompetisi untuk penyerbuk-penyerbuk dan pembatas energetik pada produksi bunga dan alat-alat pemikat penyerbuk, dapat

diseleksi untuk penyerbukan oleh angin. Pada lapisan tingkat bawah tidak seluruhnya kurang angin dan dalam kenyataannya angin yang tertalu keras mengganggu efisiensi penyerbukan. Hal ini juga memungkinkan anemofili berkembang pada famili seperti Moraceae dan Arecaceae di bawah kondisi lingkungan yang berbeda, namun berlangsung setelah migrasi ke dalam hutan.

(2) Penyerbukan oleh serangga, Kisaran serangga antofilus di hutan tropis adalah kumbang, lebah (minimal 2 kategori fungsional yang dapat dibedakan), tawon, ngengat (dengan sphingids dan "ngengat pengatur'" (settling moth), kupu-kupu dan berbagai jenis talat. Namun, hampir seluruh informasi yang berhubungan

Dalam dokumen Bahan Kuliah Ekologi Hutan buku (Halaman 171-200)

Dokumen terkait