• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEORETIK

3. Syarat Terjadinya Persepsi

Agar individu dapat menyadari dan dapat mengadakan persepsi, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi, yaitu:

a. Adanya Obyek yang dipersepsi

Obyek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat dibedakan menjadi dua yaitu stimulus yang datang dari luar, yang langs ung mengenai alat indera atau reseptor. Sedangkan, stimulus yang datang dari dalam langsung mengenai syaraf penerima yang berfungsi sebagai reseptor.

b. Alat indera atau reseptor

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. c. Perhatian

Perhatian merupakan langkah pertama dari suatu persepsi. Perhatian merupakan penyeleksian terhadap stimulus.

Dari syarat-syarat persepsi yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mengadakan persepsi diperlukan faktor fisik yang berupa obyek yang dipesepsi, faktor fisiologis yang berupa alat indera, dan faktor psikologis yang berupa perhatian.

B. NILAI MORAL 1. Nilai

a. Definisi dan Pengertian Nilai

Pengertian tentang nilai, pada umumnya orang sudah mengetahuinya, meskipun kadang masih kabur. Nilai (dari bahasa Inggris: value) dan ada orang yang memakai istilah “Goods” dan “Values”.

Dengan istilah “nilai” dapat dimaksudkan “Sifat” dari suatu hal, benda atau pribadi , contoh: keadaan yang baik, buku yang baik, orang yang baik. Tapi juga dapat dimaksudkan hal, benda, atau pribadi itu sendiri sebagai pemilik dari sifat itu: keadaan itu, buku itu, orang itu begitu bernilai sehingga merupakan nilai itu sendiri (Piet Go, 1990, 2-5). Jadi “nilai” tak hanya dapat dimaksudkan sifat baik tertentu yang patut dikejar, melainkan juga pemilik sifat itu sendiri. Keduanya merupakan kesatuan yang memang dapat dibedakan dan harus dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Sifat baik tidak otonom dan independen berada sendiri, melainkan melekat pada subyek pemilik yag disebut “apa yang baik”.

Untuk lebih memperjelas pengertian nilai ini, menurut Max Scheler (Wahana, 2004, 43) ada beberapa pokok keberadaan nilai, yang secara mendasar membedakan yang ada (being) dari nilai (value).

1). Keberadaan Nilai dalam Realitas

Di sini nilai dilihat berdasar tiga bidang besar realitas yaitu sebagai gejala psikis, hakikat, dan benda, Pertama, Gejala psikis yaitu memasukkan nilai pada pengalaman. Nilai disamakan dengan hal yang

menyenangkan, yang diinginkan, minat, yang termasuk pada gejala psikis. Jadi nilai termasuk pada pengalaman pribadi. Kedua nilai merupakan hakikat. Perkiraan nilai sebagai yang tidak sementara (intemporality) yaitu nilai tergolong pada obyek ideal, yang merupakan hakekat atau esensi. Ketiga, melihat nilai yang tak berada bukan pada dirinya sendiri, melainkan berada dalam benda-benda yang mengandungnya (carrier of value), nilai seolah-olah merupakan bagian dari benda yang bernilai tersebut, misal: keindahan tidak melayang di udara, melainkan menyatu pada obyek fisik, contoh: kain, marmer, perunggu.

2). Keberadaan Nilai sebagai Kualitas

Di sini, nilai membutuhkan sesuatu untuk mewujudkannya atau sesuatu sebagai pembawa nilai (carrier of value) tersebut, maka nilai tampak hanya sebagai kualitas dari pembawanya, misal: keindahan dari suatu gambar, kegunaan dari suatu alat (makanan, parfum, dll.).

3). Subyektivitas dan Obyektivitas Nilai

Permasalahan nilai hadir dalam kehidupan kita sehari-hari, di pasar, di lembaga perwakilan, keluarga-keluarga sederhana, meski dengan bahasanya masing- masing. Menurut para ahli (filosofis) ada dua pandangan: Pertama, Pandangan Subyektif: Cara pandang (penilaian) jika menerima eksistensinya dan kebenarannya dari perasaan atau sikap subyek. . Kedua, Pandangan obyektif: Cara pandang (penilaian) jika keberadaan/ eksistensinya dan kodratnya tidak tergantung pada subyek. Pada dasarnya persepsi tidak menciptakan obyek, tetapi menangkap obyek. Hal sama

terjadi pada permasalahan penilaian. Yang bersifat subyektif adalah penangkapan nilai, sedangkan nilai secara obyektif sudah ada sebelum ditangkap.

b. Tanggapan dan Peranan Nilai 1). Tanggapan Manusia Terhadap Nilai

Dalam perwujudannya nilai tidak berada pada dirinya sendiri, melainkan selalu tampak pada kita sebagai yang ada pada pembawa nilai, atau obyek bernilai. Manusia bukanlah penerima pasif impresi (kesan) terhadap suatu nilai, namun dinamis. Setelah nilai dapat ditangkap pikiran, kemudian dirasakan melalui intuisi emosional. Dalam menangkap dan memaha mi nilai, kita dapat merasakan hal yang sebenarnya dengan terang dan jelas, kemudian kita akan mengadakan proses tindakan, dan nilai dapat diketahui hanya melalui tindakan kita.

Demikian pula dalam hal moral, kita memperluas dan memperdalam penangkapan kita akan nilai- nilai moral melalui proses tindakan moral. Kita memahami kenyataan sikap moral kita tidak dengan suatu intuisi diri murni yang mendahuluinya, yang lepas sama sekali dari tindakan, melainkan hanya melalui tindakan kita sendiri.

2). Peranan Nilai bagi Manusia

Nilai memiliki peranan sebagai daya tarik serta dasar bagi tindakan manusia, serta mendorong untuk mewujudkan nilai- nilai yang ditemukannya dalam tindakan-tindakannya.

2. Moral

a. Definisi dan Pengertian Moral

Moral dapat ditelusuri dari kata Latin mos (jamak: moris) sebagai akar kata moral yang berarti adat-istiadat, kebiasaan, kelakuan atau cara hidup yang baik. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama kali dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: etika dari bahasa Yunani, moral berasal dari bahasa Latin.

Jadi, moral yaitu nilai- nilai dan norma- norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens, 1992, 7). Misal, perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan demikian dimaksudkan bahwa kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai baik-buruknya begitu saja, misal sebagai dosen, pegawai, olahragawan, pengusaha, seniman, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma- norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Maka dengan norma moral kita betul-betul dinilai. Itulah sebab

penilaian moral selalu berbobot. Kita tidak dilihat dari salah satu segi, melainkan sebagai manusia. Apakah seseorang adalah dosen yang baik, warga negara yang taat dan selalu bicara sopan belum mencukupi untuk menentukan apakah dia itu betul-betul seorang manusia yang baik. Barangkali ia seorang yang munafik. Atau ia mencari keuntungan. Apakah kita ini baik atau buruk itulah yang menjadi permasalahan bidang moral. b. Pembagian dari Moral

Moralitas manusia ada empat bagian:

1).Kebebasan manusia sebagai dasar moralitas ( berhubungan dengan tanggungjawab).

2). Kesadaran moral dalam diri yang terungkap dalam suara hati 3). Prinsip moral dasar (teori normatif).

4). Sikap-sikap dasar hati yang perlu dikembangkan agar kepribadian moral semakin kuat.

1). Kebebasan manusia sebagai dasar moralitas

Ada dua arti kata kebebasan, yaitu pertama, kebebasan yang kita terima dari orang lain (kebebasan sosial). Kedua kebebasan dalam arti kemampuan untuk menentukan tindakan kita sendiri (kebebasan eksistensial).

a). Kebebasan Sosial

Yaitu kebebasan yang kita hayati dalam hubungan dengan orang lain. Manusia bebas jika kemungkinan-kemungkinannya untuk bertindak tidak dibatasi orang lain. Karena kebebasan itu secara hakiki dihayati

dalam hubungan dengan orang lain. Yang mengancam kebebasan kita bukan kekuatan-kekuatan alam yang buta, bukan juga suatu tindakan kebetulan seseorang, melainkan maksud dan kehendak orang lain. Jadi kebebasan sosial adalah keadaan di mana kemungkinan kita untuk bertindak tidak dibatasi dengan sengaja oleh orang lain.

b). Kebebasan Eksistensial

Kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Sifatnya positif. Artinya, kebebasan itu tidak menekankan segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Kebebasan itu mendapat wujudnya yang positif dalam tindakan yang disengaja. Tindakan dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu, dengan kesadaran bahwa tergantung pada kitalah apakah kegiatan itu kita lakukan atau tidak. 2). Kesadaran moral dalam diri yang terungkap dalam suara hati

Dalam pusat kepribadian kita yang disebut hati, kita sadar apa yang sebenarnya dituntut dari kita. Meskipun banyak yang menyatakan pada kita apa yang wajib kita lakukan, tetapi dalam hati sadar bahwa akhirnya hanya kitalah yang mengetahuinya. Jadi kita berhak dan wajib untuk hidup sesuai dengan apa yang kita sadari sebagai kewajiban dan tanggungjawab kita. Jadi secara moral kita akhirnya memutuskan sendiri apa yang akan kita lakukan, kita tidak dapat melemparkan tanggungjawab pada orang lain. Apabila kita tidak berani mengikuti suara hati dan menyesuaikan diri dengan pendapat lain, kita merasa bersalah, artinya, kita sadar bahwa nilai kita sendiri berkurang. Nilai kita sebagai manusia tergantung pada

ketaatan kita terhadap suara hati. Jadi suara hati di sini adalah kesadaranku akan kewajiban dan tanggungjawabku sebagai manusia dalam situasi konkret.

3). Prinsip moral dasar (teori normatif).

Menurut Magnis (1992, 129-139) ada tiga prinsip moral dasar: pertama, Prinsip sikap baik, prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Dasarnya kita harus bersikap positif terhadap orang lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia, mempunyai struktur psikis manusia. Bersikap baik berarti: memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi saya, melainkan: menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan dan menunjang perkembangannya, mendukung kehidupan dan mencegah kematiannya demi dia itu sendiri. Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral karena hanya atas dasar prinsip itu masuk akal bahwa kita harus bersikap adil, jujur, setia kepada orang lain. Kedua, Prinsip keadilan, Adil berarti kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, karena semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama. Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Secara singkat keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk yang

baik, dengan melanggar hak orang. Ketiga, Prinsip hormat terhadap diri sendiri, manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasar bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi. Sebagai manusia tidak pernah boleh dianggap sebagai sarana semata- mata demi suatu tujuan, maka manusia wajib untuk memperlakukan dirinya sendiri dengan hormat. Kita wajib menghormati martabat kita sendiri.

4). Sikap-sikap dasar hati yang perlu dikembangkan agar kepribadian moral semakin kuat.

Kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar. Ada sebelas sikap atau keutamaan yang mendasari kepribadian yang kuat dan mantap, yaitu, pertama, religiositas adalah sikap dan kesadaran manusia bahwa dalam hidup ini ada kekuatan dan kekuasaan di atas manusia. Keberanian dan keterbukaan untuk mengakui adanya kekuatan dan kekuasaan tersebut mengarahkan manusia pada kenyataan akan hidup yang tidak terbatas pada tingkat lahiriah belaka. Manusia mempunyai dimensi lain dalam kehidupan yang disebut dimensi batin. Dimensi ini menyadarkan pada manusia bahwa manusia perlu menyadari akan adanya kekuatan dan kekuasaan yang melebihi kekuatan dan kekuasaan tersebut. Sikap inilah yang disebut religiositas. Kedua, tanggung jawab, berarti kesediaan untuk melakukan apa yang

harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Yang pertama, bertanggungjawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita, kita terikat untuk menyelesaikannya demi tugas itu sendiri meskipun orang tidak melihat. Yang kedua, sikap tanggungjawab mengatasi segala etika peraturan. Jadi bukan sekedar boleh atau tidak, tapi terikat pada yang perlu, nilai yang akan dihasilkan. Yang ketiga, Wawasan orang yang bersedia untuk bertanggungjawab secara prinsipil tidak terbatas. Ia bersedia mengerahkan tenaga dan kemampuan, bertanggungjawab di mana diperlukan, bersikap positip, kreatif, kritis dan obyektif. Yang keempat, kesediaan untuk bertanggungjawab termasuk kesediaan untuk diminta, untuk memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya.

Ketiga, kebenaran moral, kebenaran moral berarti kita tak pernah ikut- ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengan kebenarannya. Kita tidak sekedar ikut arus, apa yang biasa, yang enak, mudah, kurang bahaya. Baik faktor- faktor dari luar: lingkungan yang berpendapat lain, diancam, dipermalukan, maupun faktor dari batin kita: perasaan malu, oportunis, malas, emosi, pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan kita dari apa yang menjadi pendirian kita. Kebenaran moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengan apa adanya. Kekuatan untuk bagaimanapun juga tidak mau berkongkalikong dalam suatu urusan atau

permainan yang kita sadari sebagai tidak jujur, korup, atau melanggar keadilan. Benar secara moral berarti kita tidak dapat “dibeli” oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan, tapi tetap mencari yang hakiki.

Keempat, keberanian moral, sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral. Maka kemandirian terutama merupakan keutamaan intelektual atau kognitif. Sebagai ketekadan dalam bertindak sikap mandiri ini yang disebut keberanian moral. Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil risiko konflik. Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Keberanian moral tidak menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan yang ada kalau itu berarti mengkompromikan kebenaran dan keadilan.

Kelima, kerendahan hati, kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat kelemahannya, melainkan juga kekuatannya. Ia sadar bahwa kekuatannya dan kelemahannya terbatas, tapi telah menerima diri. Maka ia adalah orang yang tahu diri dalam arti yang sebenarnya. Dalam bidang moral, kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk

memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati, kita bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan seperlunya mengubah pendapat kita sendiri, karena penilaian moral kadang digelapkan pengaruh emosi-emosi dan ketakutan-ketakutan yang ada dalam diri kita. Jadi penilaian kita terbatas, maka tidak memutlakkannya. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting, maka berani untuk mempertaruhkan diri kita sudah meyakini sikapnya sebagai tanggungjawabnya.

Keenam, sosialitas adalah sikap yang perlu dikembangkan manusia dalam kehidupan bersama dan dijadikan sebagai nilai hidup. Manusia sebagai makhluk sosial perlu mengembangkan kepekaan dan nilai- nilai dalam kehidupan bersama. Nilai adalah suatu sikap yang diyakini dan mengarah kepada kebaikan dalam hidup baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama. Manusia tidak dapat hanya memikirkan dan memperhatikan diri sendiri namun juga harus memperhatikan dan menghargai manusia lain. Dalam kerangka hidup bersama inilah perlu dikembangkan sosialitas.

Ketujuh, Kejujuran, dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran manusia tidak dapat maju selangkahpun karena kita belum berani menjadi diri sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan itu berarti kita belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus. Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilainya. Bersikap baik pada orang lain, tanpa kejujuran adalah kemunafikan dan sering beracun. Begitu pula sikap

terpuji, sepi ing pamrih dan rame ing gawe menjadi sarana kelicikan dan penipuan jika tidak berakar dalam kejujuran yang bening. Bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: yang pertama, sikap terbuka, kedua bersikap fair. Bersikap terbuka berarti kita muncul sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan keyakinan kita, tidak menyembunyikan wajah kita sebenarnya, tidak menyesuaikan kepribadian dengan harapan orang lain, tidak egois. Terbuka berarti: orang boleh tahu, siapa kita ini. Terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair: memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Tetapi kita akan dapat jujur pada orang lain apabila kita jujur pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, kita berhenti membohongi diri sendiri dengan bersandiwara, berasionalisasi, mengadakan show berlebihan, tidak mengkompensasikan perasaan minder dengan menjadi otoriter dan menindas orang lain.

Kedelapan, nilai demokrasi yang pokok adalah non diskriminatif yaitu tidak membedakan perlakuan terhadap kelompok lain, suku, agama, gender, ekonomi, dll. Jadi sikap menghargai dan menerima perbedaan dalam hidup bersama, saling menghormati, dapat menerima kemenangan dan kekalahan dalam proses demokrasi. Non represif yaitu sikap tidak menindas atau menekan orang atau kelompok lain demi kepentingan sendiri, tidak memaksakan kehendak pada orang lain demi keuntungan sendiri atau kelompoknya. Penghargaan terhadap hak asasi manusia yaitu

orang menghargai hak orang lain dan tidak melanggar yang menjadi hak asasi orang lain (hak hidup, hak bicara, hak berkelompok, dll.).

Kesembilan, nilai keadilan. Adil pada hakekatnya berarti kita memberikan kepada siapa saja yang me njadi haknya. Karena semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentunya dalam situasi sama. Jadi prinsip keadilan adalah mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang dalam situasi yang sama dan menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Keadilan secara lebih luas dan konseptual perlu diperkenalkan. Adil bukan sekedar sama saja. Keadilan pada kenyataannya mempunyai sifat multidimensional dan bertujuan untuk perkembangan dan kesejahteraan hidup manusia.

Sepuluh, nilai kehati- hatian adalah suatu sikap yang hati-hati maksudnya memiliki daya ketelitian, kecermatan dan penuh perhitungan dalam menghadapi kesulitan/permasalahan, kemauan keras untuk mencapai sesuatu secara optimal, sungguh-sungguh, dan yakin bahwa segala sesuatu butuh proses dan usaha maksimal. Maka menjalankan tugas membutuhkan ketekunan dan ketelitian dalam waktu yang cukup panjang merupakan wahana untuk mengukurnya.

Sebelas, nilai kepentingan umum di atas kepentingan pribadi adalah sikap yang mengutamakan kepentingan umum/orang lain daripada kepentingan diri sendiri/ pribadi, mementingkan kehidupan bersama dapat

berjalan selaras. Berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bersama dan masyarakat, turut menentukan keselarasan hidup bersama, mentaati aturan bersama di atas aturan sendiri, meninggalkan keegoisan/pribadi untuk mencapai dan menciptakan keadaan yang kondusif umum.

Berdasar pengertian di atas, tampak bahwa orang yang bermoral adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan (tindakan) yang baik pula. Dengan demikian, bicara soal moral berarti usaha mengkaitkan dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi batiniah dan lahiriah. Maksudnya, sikap batin – yang seringkali dikaitkan dengan hati – seseorang yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula. Dengan kata lain, seseorang baru dapat dinilai bermoral secara tepat apabila sikap batin ma upun sikap lahirnya ditinjau secara bersama-sama. Disinilah letak kesulitannya. Mengapa? Karena, manusia hanya dapat menilai sesamanya dari sisi luarnya saja, yaitu dari perbuatan yang dilakukannya; sementara menilai hatinya, manusia hanya bisa menduga-duga saja. (Al. Purwa Hadiwardoyo, 1990, 13-14)

C. Pengajaran Akuntansi pada Sekolah Menengah Kejuruan 1. Pengajaran Akuntansi

a. Pengajaran

Pada zaman ini, pengajaran tidak lagi menjadi kegiatan spontan tanpa suatu pengorganisasian yang ketat dan terpadu. Proses pengajaran, baru dapat berlangsung karena adanya sarana terorganisir yang dilaksanakan

oleh masyarakat. Hal tersebut semakin tampak ketika para orangtua telah mengalihkan peranan dan fungsi pendidikan rumah (keluarga) pada sebuah institusi yang bernama sekolah (Imam Barnadib, 2002, 54). Realitas tersebut dapat terjadi karena pihak orangtua sudah tidak punya cukup waktu untuk melaksanakan pendidikan rumah secara efisien dan efektif. Misalnya : setiap orangtua dihadapkan pada tuntutan profesiona lisme di pelbagai bidang kehidupan yang digelutinya. Selain itu, pelembagaan pendidikan secara formal melalui institusi sekolah kini kian marak bermunculan (Hendrik Berbybe dalam Sindhunata, 2001, 27). Salah satu bentuk sekolah yang ada di Indonesia adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

b. Definisi Akuntansi

Akuntansi sering dikatakan sebagai bahasa perusahaan. Cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat kita yang kompleks ini, telah mengakibatkan makin kompleksnya “bahasa” yang dipergunakan untuk mencatat dan menafsirkan data-data ekonomi bagi perorangan, perusahaan, pemerintah, pengelompokkan dan pengikhtisarkan data tentang transaksi dan kejadian-kejadian dalam perusahaan. Definisi ini menunjukkan bahwa kegiatan akuntansi merupakan tugas yang kompleks dan menyangkut bermacam- macam kegiatan (Al.Haryono Yusuf, 2005). Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya akuntansi harus: (1) mengidentifikasikan data mana yang berkaitan atau relevan dengan keputusan yang akan diambil,

Dokumen terkait