• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motivasi Pengangkatan Anak dalam Masyarakat Etnis Tionghoa

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA

D. Motivasi Pengangkatan Anak dalam Masyarakat Etnis Tionghoa

Di dalam masyarakat termasuk dalam hal ini masyarakat etnis Tionghoa kehadiran seorang anak merupakan pelengkap dari suatu keluarga. Apabila dalam sebuah keluarga telah dikaruniai seorang anak, hendaknya dalam keluarga tersebut juga memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun perkembangan dalam lingkungan sosialnya.

Tujuan membentuk suatu keluarga adalah melanjutkan keturunan merupakan hak dari setiap orang. Konsekuensi dari adanya suatu hak adalah timbulnya suatu kewajiban, yakni kewajiban antara suami isteri dan kewajiban antara orang tua dan

anak. Bagi setiap keluarga, anak merupakan sebuah anugerah yang paling diharapkan kehadirannya karena dengan hadirnya seorang anak akan melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah tumpuan harapan bagi kedua orang tuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga.

Kehadiran seorang anak dalam keluarga anak tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu, juga merupakan keinginan yang sudah melembaga sebagai naluri setiap manusia. Oleh karenanya, rasanya kurang lengkaplah sebuah keluarga tanpa kehadiran seorang anak.

Di dalam masyarakat termasuk dalam hal ini etnis Tionghoa tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri. Akan tetapi, karena berbagai hal keinginan memperoleh anak dalam perkawinan tidak dapat diwujudkan oleh pasangan suami isteri sehingga menimbulkan kecemasan. Oleh karena itu, kemudian dilakukan dengan cara mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut.65 Cara memperoleh anak dengan mengambil alih anak orang lain dan dimasukkan ke dalam anggota keluarganya dikenal dengan pengangkatan anak yang merupakan objek penelitian ini.

65Dessy Balaati, Prosedur Dan Penetapan Anak Angkat Di Indonesia, Lex Privatum,

Pada mulanya pengangkatan anak akan dilakukan semata–mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak lebih ditujukan demi kesejahteraan anak.

Di dalam masyarakat hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari dari sepupu laki-laki dari paman, karena nantinya anak adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama.

Namun demikian, di dalam KUHPerdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai Pasal 290 KUHPerdata. lembaga pengangkatan anak merupakan bagian dari hukum yang hidup dalam masyarakat, maka pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan tersendiri tentang adopsi tersebut, maka dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917, yang semua hanya mengatur tentang pengangkatan anak khusus bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa saja, tetapi dalam perkembangannya ternyata banyak masyarakat yang ikut menundukkan diri padaStaatsbladtersebut.

Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 (S.1917:129) khususnya Pasal 5 sampai dengan pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengatur hukum adat yang mengatur mengenai pengangkatan anak (adopsi).

Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kekeluargaan.

Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan untuk mengangkat anak dari keluarga lain, yang tampak dari dipakainya nama keluarga yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama keluarga lain. Selain itu, kebanyakan dari masyarakat Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkat orang lain. Kecuali apabila keluarga merasa tidak mampu lagi memberikan nafkah untuk kebutuhan anak-anaknya.66

66Sumiati Usman, Kedudukan Hukum Anak Angkat Terhadap Hak Waris, Lex Privatum,

Apabila ditelaah ketentuan pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yaitu pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam ketentuan Staatsblad 1917 No. 129 tampak bahwa peraturan itu menghendaki agar setiap pengangkatan anak memenuhi persyaratan tertentu yang bersifat memaksa (Compulsory), sehingga tidak dipenuhinya persyaratan dimaksud akan mengakibatkan batalnya pengangkatan itu. Ordonansi dalam stbl.1917 No.129 mengatur tentang pengangkatan anak pada Bab II yang berkepala“Van adoptie”.

Bab II ini terdiri dari 11 pasal, yaitu dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 sebagai berikut :

1. Yang dapat mengangkat anak adalah : suami, istri, janda, atau duda (Pasal 5). 2. Yang dapat diangkat anak, ialah : hanya orang Tionghoa laki-laki yang tidak

beristri dan tidak beranak dan yang belum diadopsi oleh orang lain (Pasal 6). 3. Yang diadopsi harus sekurang-kurangnya delapan belas tahun lebih muda dari

suami dan sekurang-kurangnya lima belas tahun lebih muda dari istri atau janda yang mengadopsinya (Pasal 7 ayat (1)).

4. Adopsi hanya dapat dilakukan dengan Akta Notaris (Pasal 10 ayat (1)).

5. Anak adopsi demi hukum harus memakai nama keluarga orang tua angkatnya (Pasal 11).

6. Adopsi menyebabkan putusnya hubungan hukum antara orang tua adopsi dengan orang tua kandungnya (Pasal 14).

7. Adopsi terhadap anak perempuan dan adopsi dengan cara lain selain daripada Akta Notaris adalah batal demi hukum (Pasal 15 ayat (2)).67

Berdasarkan ketentuan dan uraian di atas, jelaslah bahwa pengangkatan anak (adopsi) bagi kalangan masyarakat Tionghoa, yang antara lain mengatur seorang laki- laki beristri atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya pengangkatan anak tersebut harus dilakukan oleh seorang suami, bersama- sama dengan istrinya atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri anak yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain orang yang diangkat harus berumur paling sedikit 18 tahun lebih muda daripada suami dan paling sedikitnya pula 15 tahun lebih muda daripada si istri atau si janda yang mengangkatnya.

Apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun yang keluarga luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang kedua belah pihak bersama, harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, sebelum ia diangkat pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum. Ketentuan ini sebenarnya berangkat dari satu

67Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012,

kepercayaan adat Tionghoa, bahwa anak laki-laki itu dianggap sebagai penerus keturunan keluarga di kemudian hari. Di samping itu, anak laki-laki diyakini oleh kepercayaan mereka sebagai yang dapat memelihara abu leluhur orang tuanya.

E. Syarat-syarat dan Prosedur Pengangkatan Anak Perempuan pada Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Medan

Pengangkatan anak sebagaimana dijelaskan sebelumnya bukan merupakan hal yang baru di Indonesia karena hal ini sudah lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hanya saja cara dan motivasinya yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut didaerah yang bersangkutan. Pengangkatan anak (adopsi) akhir- akhir ini banyak diperbincangkan dan sudah mendapat perhatian pula dari pihak termasuk dikalangan warga etnis Tionghoa. Keanekaragaman hukum yang mengatur masalah pengangkatan anak di Indonesia ini akan tampak jika diteliti secara cermat ketentuan-ketentuan tentang lembaga pengangkatan ini dari berbagai sumber hukum yang berlaku, baik hukum Barat dari BW dan hukum Adat yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia, maupun hukum Islam yang banyak dianut masyarakat Indonesia.

Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema masyarakat, terutama menyangkut masalah ketentuan hukumnya. Lembaga pengangkatan anak telah lama di kenal dalam masyarakat adat termasuk dalam masyarakat etnis Tionghoa yang pelaksanaannya pada umumnya dengan suatu upacara adat dan pemberian benda- benda sebagai tanda peralihan kekuasaan dari orang tua kandung kepada orang tua

angkat tersebut. Namun demikian, anak yang berkedudukan sebagai anak angkat, apakah ia berhak mewarisi harta dari orang tuanya, akan ditentukan oleh hukum adatnya masing-masing daerah hukum adat itu di pertahankan oleh penganutnya.

Dari penelitian yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa pada salah satu suku bangsa etnis Tionghoa di Kota Medan termasuk yang berasal dari suku Hainan. Suku Hainan berasal dari pulau Hainan yang terletak di wilayah China. Walaupun terdiri dari berbagai suku etnis Tionghoa dan terdapat perbedaan dialek, namun memiliki kebiasaan adat yang sama. Josh Chen mengatakan bahwa Hainan dikenal cukup luas di Indonesia dan Asia Tenggara karena kuliner khas’nya, yaitu ‘nasi Hainan’ ada yang menyebut ‘nasi hainam’. Letak perbedaan lafal “nan” dan “nam” hanyalah pengaruh dialek saja. Lafal Mandarin memang di sebut NAN yang berarti selatan (南), yang pengucapannya menjadi NAM dalam dialek provinsi-provinsi Selatan

China, terutama Hokkian, walaupun kadang diucapkan juga dengan “lam”.68

Pulau Hainan merupakan rumah bagi Etnis Li (黎族, Li Zu, baca: Li Cu), yang

mencapai jumlah sekitar 1.247.814 jiwa, mayoritas bertempat tinggal di Tongze, ibukota HainanLi-Miao Autonomous Prefecture. Selain di sini, Etnis Li juga tersebar di seluruh wilayah China, berbaur dengan etnis yang lain. Keberadaan suku Hainan tersebar di 25 negara dari benua Amerika, Australia, Eropa dan Asia. Kini, suku

68Josh Chen, Suku Hainan Etnis Tionghoa, http://baltyra.com/2010/04/11/56-etnis-suku-di-

Hainan sudah berada di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Inggris, Australia serta sejumlah negara lainnya.

Masyarakat Tionghoa suku Hainan juga melakukan pengangkatan anak pada umumnya dilakukan berdasarkan adat Tionghoa.

Pengangkatan anak perempuan secara adat Tionghoa suku Hainan di kota Medan dilakukan dengan memenuhi beberapa persyaratan yaitu :69

a) Mencocokkan shio antara anak dengan orang tua yang akan mengangkatnya. Hal ini dilakukan guna menghindari hal-hal negatif yang dapat terjadi di dalam keluarga, karena menurut kepercayaan etnis Tionghoa terdapat aturan mengenai antar shio yang memiliki kecocokan dan ketidakcocokan.

b) Melaksanakan ibadah sembahyang kepada Tuhan, dengan mempersiapkan beberapa material yaitu:

i. Meja berwarna merah yang biasa di pakai untuk melakukan sembahyang. Berwarna merah karena merah melambangkan kebahagiaan.

ii. Lilin, sebagai lambang penerangan sedang berlangsungnya suatu upacara sembahyang.

iii.Teh 3 cangkir,sebagai lambang penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

iv. Buah-buahan 3 macam dengan 3 buah tiap macam. Biasanya buah yang dipakai adalah buah jeruk (melambangkan kekekalan), buah apel

69Wawancara dengan Ven Vipasyana Jnana Sthavira, Suhu vihara Borobudur Medan, pada

(melambangkan ketentraman) dan buah Nenas (melambangkan kesejahteraan).

v. Dupa, merupakan suatu penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. c) Sembayang kepada leluhur yang telah meninggal dengan mempersiapkan

lilin,dupa dan 3 gelas teh serta pembakaran kertas sembahyang.

d) Upacara sembahyang untuk pengangkatan anak dilakukan dengan mengatakan bahwa “pada hari ini, tanggal, kami (orang tua angkat,bernama,umur,shio) mengangkat seorang anak (laki-laki atau perempuan, shio) yang bernama, yang kemudian akan dijadikan sebagai anak dalam keluarga kami.

e) Disaksikan oleh keluarga

Adapun beberapa alasan yang mendasari masyarakat etnis Tionghoa untuk melakukan pengangkatan anak, antara lain untuk merawat anak yang diangkat dalam kondisi tidak sehat, karena keinginan untuk membantu merawat, memelihara dan mendidik anak dari keluarga atau kerbat yang kurang mampu baik dari segi ekonomi maupun dari segi moral dan mental.70

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal pengangkatan anak ini baik pada masyarakat umum maupun pada etnis Tionghoa sebab yang mendorong dilakukannya pengangkatan anak, antara lain :

a. Alasan yang disebabkan dalam keluarga tidak mempunyai anak;

70Hasil Wawancara dengan Jauhari Chandra dan Amin Wijaya Ketua Suku Hainan Indonesia

b. Alasan karena belas kasihan terhadap anak yang mempunyai orang tua kandung tidak mampu, atau anak tersebut sudah yatim piatu;

c. Dalam keluarga hanya memiliki anak laki-laki saja atau anak perempuan saja; d. Digunakan sebagai pancingan agar dapat memiliki anak sendiri.71

Adanya beberapa sebab dan alasan yang ada di beberapa daerah termasuk menyangkut pengangkatan anak menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat keanekaragaman hukum adat yang mengatur masalah anak angkat, hal ini memberikan pengaruh pada kedudukan anak angkat demikian pula dalam hal pembagian warisannya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa motivasi pengangkatan anak mempunyai hukum yang berbeda-beda. Akibatnya hukum yang penting adalah kekuasaan orang tua, hak waris, hak alimentasi atau hak pemeliharaan dan juga soal nama. Adanya pengangkatan anak tersebut mengakibatkan perpindahannya keluarga dari orang tua kandungnya kepada orang tua yang mengangkatnya. Status anak tersebut seolah-olah dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat. Jadi status anak angkat itu sama dengan anak sah dan di dalam hukum waris ia disebut juga sebagai ahli waris terhadap kedua orang tua angkatnya tersebut.

Dalam pelaksanaannya dalam praktek prosedur pengangkatan anak dilakukan dengan :

1. Prosedur formal, yaitu dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri,

71Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Suku Hainan di Kota Medan, 18 Desember

2. Prosedur informal, yaitu menurut adat/kebiasaan masyarakat, sehingga bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa untuk sahnya pengangkatan anak berlaku juga prosedur pengangkatan anak formal, yaitu dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri.

Prosedur formal pengangkatan anak bagi Warganegara Indonesia golongan Tionghoa sebelum dikeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1979, yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang pengangkatan anak, yang berwenang membuat akta pengangkatan anak adalah notaris.

Dalam Stb. 1917 nomor 129, Bab II Pasal 10 ayat (1), diatur tentang pengangkatan anak, yang berisikan bahwa pengangkatan anak hanya dapat terjadi dengan adanya akta notaris dan Pasal 10 ayat (4) Stbl. 1917 No. 129 menentukan bahwa “Setiap orang yang berkepentingan dapat meminta agar pada akta kelahiran orang yang diangkat, pada sisi akta itu dicantumkan tentang pengangkatan anak itu”. Setelah dibuatnya akta notaris mengenai pengangkatan anak, akta tersebut didaftarkan dan dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Kemudian atas pendaftaran dan pencatatan tersebut dikeluarkan petikan akta kelahiran yang baru yang menyebutkan bahwa anak tersebut adalah anak dari orang tua angkat yang mengangkatnya dan bukan sebagai anak angkat.

Setelah dikeluarkannya SEMA No. 2 Tahun 1979 yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak, terdapat perubahan yang mendasar, di mana untuk sahnya pengangkatan anak bukan diharuskan dengan adanya akta notaris, tetapi adanya putusan atau penetapan dari

Pengadilan Negeri di mana anak tersebut berdomisili. Bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku juga prosedur pengangkatan anak formal untuk sahnya pengangkatan anak, yaitu adanya penetapan dari Pengadilan Negeri.

Adapun prosedur pengangkatan dan syarat-syarat pengangkatan anak ditentukan sebagai berikut :

Syarat dan bentuk surat permohonan (sifatnyavoluntair) :

1. Permohonan seperti ini hanya dapat diterima apabila telah ternyata ada urgensi yang memadai. Misalnya : ada ketentuanketentuan UU yang mengharuskan. 2. Seperti permohonan-permohonan yang lain, permohonan seperti ini dapat

dilakukan secara lisan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri atau permohonan secara tertulis.

3. Dapat diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya. Di samping itu pemohon dapat juga didampingi/dibantu seseorang. Dalam hal didampingi/dibantu maka hal ini berarti pemohon/calon orang tua angkat tetap harus hadir dalam pemeriksaan di persidangan. Begitu juga meskipun pemohon memakai seseorang kuasa namun ia wajib hadir dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri.

4. Dibubuhi meterai secukupnya.

5. Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat.72

Isi surat permohonan memuat :

1. Dalam bagian dasar hukum dari permohonan tersebut secara jelas diuraikan dasar yang mendorong (motif) diajukan permohonan pengesahan/pengangkatan anak tersebut.

2. Juga harus nampak bahwa permohonan pengesahan pengangkatan anak itu dilakukan terutama untuk kepentingan calon anak yang bersangkutan, dan digambarkan kemungkinan kehidupan hari depan si anak setelah pengangkatan terjadi.

3. Isi petitum bersifat tunggal, yaitu : tidak disertai (in samenloop met) petitum yang lain.

Misalnya, cukup dengan :

“agar si anak dari B ditetapkan sebagai anak angkat dari C”, atau “agar pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh pemohon (C) terhadap anak B yang bernama A dinyatakan sah”.

Tanpa ditambah tuntutan lain seperti :

“agar ditetapkan anak bernama A tersebut, ditetapkan sebagai ahli waris dari C”.

Syarat bagi perbuatan pengangkatan anak antar Warganegara Indonesia yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut :73

1. Syarat bagi calon orang tua angkat (pemohon):

73 Satrio J., Hukum Masyarakat Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra

a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan.

b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan. 2. Syarat bagi calon anak yang diangkat :

a. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu Yayasan Sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa Yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak.

b. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.

Selanjutnya sebagai akibat dari pengangkatan anak menurut ketentuan dalam Stbl 1917 No. 129 bahwa pengangkatan anak bagi golongan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa ini mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung, dan kedudukan anak angkat dipersamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya.

Hal-hal berkaitan dengan akibat hukum pengangkatan anak golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa yang diatur dalam Stbl 1917 No. 129, antara lain :

1) Pasal 11 menentukan bahwa “Pengangkatan anak mempunyai akibat hukum bahwa orang yang diangkat sebagai anak itu memperoleh nama marga dari ayah angkatnya dalam hal marganya berbeda dari marga orang yang diangkat sebagai anak”.

2) Pasal 12 ayat (1) menenentukan bahwa “Dalam hal sepasang suami isteri mengangkat seseorang sebagai anak laki-lakinya, maka anak tersebut dianggap sebagai yang lahir dari perkawinan mereka”

3) Pasal 14 mengatur bahwa “karena pengangkatan anak putuslah hak-hak keperdataan yang berkaitan dengan garis keturunan antara orang tua kandung dan saudara sedarah dan dari garis ke samping dengan orang yang diangkat”.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka terhadap anak angkat golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa berhak untuk mendapatkan harta warisan dari orang tua yang mengangkatnya. Hal ini didasarkan pada sistem dan hak pewarisan yang diatur dalam KUH Perdata terhadap anak angkat yang berlaku di Indonesia yang di dasari oleh ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Akan tetapi dalam praktiknya masyarakat Tionghoa ada kecenderungan mengangkat anak untuk tidak melalui permohonan di Pengadilan Negeri Medan, alasannya adalah karena permohonan pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang relatif tinggi serta banyak persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi bagi masyarakat Tionghoa sangat

merugikan dan tidak praktis. Masyarakat Tionghoa lebih memilih melakukan pengangkatan anak melalui adat etnis Tionghoa yang dihadiri oleh kedua belah pihak keluarga (orang tua kandung dan orang tua angkat), dengan membicarakan maksud dan tujuan dari pengangkatan anak tersebut, hal ini cukup bagi masyarakat Tionghoa khususnya dari suku Hainan di Kota Medan sebagai syarat sahnya pengangkatan anak.74

Hasil penelitian pada etnis Tionghoa suku Hainan di Kota Medan diketahui bahwa pengangkatan anak tidak saja dilakukan terhadap anak laki-laki tetapi juga anak perempuan walaupun dalam sebagian warga etnis Tionghoa ada pantangan.