• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Akad- akad Mukhabarah

Akad Mukhabarah bersifat mengikat, menurut ijma, berdasarkan kaidah luzum (perikatan) yang diambil dari ayat: Penuhilah akad itu QS.Al-Maidah/5:1. oleh karena itu, akadnya tidak akan gugur kecuali dengan taqayul (saling melepaskan diri dari akad) atau dengan persyaratan Khiyar, atau jika tanah sudah tidak produktif lagi. Akad Mukhabarah tidak akan gugur dengan kematian salah satu dari kedua pihak pelaku akad, sebagaimana akad-akad yang bersifat mengikat. jika pemilik tanah atau pekerja meinggal, maka ahli warisnya menggantikannya.15

1. Bentuk dan jenis Mukhabarah

Setiap perubahan dari satu pola ke pola hidup yang lain atau perubahan peradaban menuju peradaban yang baru, memerlukan adanya penyesuaian dalam institusi dan berbagai cara hidup secara menyeluruh. dengan kata lain, keinginan untuk mencapai perubahan dalam kehidupan, semua pendekatan yang sesuai dan memiliki relevansi dengan pola tingkah laku menusia-ekonomi, politik, sosial dan rohani, seharusnya dilaksananakan secara maksimal. perubahan yang dimaksud di atas adalah peralihan budaya materi menuju budaya Islam dan dapat terwujud dalam kehidupan ekonomi.

15

Jawad, Mughniyah Agus, Fiqh Imam Ja‟far As-Shiddiq (Jakarta: Penerbit Lentera, 2009), hal 588

Semua bentuk sistem bagi hasil yang dapat menyebabkan terjadinya kerjasama dan terwujudnya persatuan dan persaudaraan antara penggarap dan pemilik lahan dan jauh dari kemungkinan terjadinya perpecahan antara keduanya dibenarkan islam. sebaliknya semua bentuk sistem bagi hasil yang dapat menyebabkan timbulnya perselisihan di kalangan masyarakat atau mengganggu hak dari pihak tertentu dinyatakan tidak sah oleh Islam. sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, di mana tiga orang sahabat yang terkenal sebagai petani di masa Rasul meriwayatkan bahwa bentuk sistem bagi hasil yang mendorong seseorang untuk senantiasa hidup di atas keringat orang lain, dan melanngar hak-hak keadilan terhadap petani sangat di benci oleh Rasulullah Saw.16

Melalui sistem mukhabarah atau sistem bagi hasil kedua baelah pihak memungkinkan mencapai suatu tujuan,di samping mewujudkan ta’awwun atau saling tolong menolong yang menyebabkan kedua belah pihak memporeleh keuntungan dari hasil usaha yang dilakukan oleh pekerja (petani penggarap). dalam hal ini pekerja (petani penggarap) menggarap lahan seseorang karena kemampuannya untuk menggarap ada, sementara lahan tidak di milikinya.Sebaliknya ada orang yang punya lahan, namun tidak memiliki kemampuan untuk menggarapnya.

Di dalam fiqih islam terkenal tiga istilah untuk membicarakan hal pembagian hasil suatu kebun yang digarap atau diurus dua orang atau lebih,

16

Afsalur Rahman, Economic Doctrines Of Islam terjemah Doktrin Ekonomi Islam,hal 270

15

sedang salah satumya merupakan pemilik kebun (tanah). Istilah pertama musaqah, kedua Muzara’ah dan ketiga adalah mukhabarah.17

Uraian singkat tersebut menunjukkan bahwa bentuk dan jenis pengelolahan kebun adalah musaqah, muzara’ah dan mukhabarah. Adapun musaqqah adalah seorang pemilik kebun menyerahkan pemilik kebunnya pada seorang tukang kebunatau petani dan bagi hasil.18 Adapun muzara’ah adalah semacan musaqqah tetapi benih maupun biaya-biaya yang berkenaan dengan tanaman itu kepunyaan penggarapsatu-satunya dari pemilik adakah tanah (kebun)nya.19 sedangkan mukhabarah adalah semacam muzara’ah tetapi benih diusahakan oleh sipemilik tanah, sedang penggarap hanya garapannya saja.20

Jika dianalisa bentuk ketiga pengolahan tanah diatas,tergambar bentuk dan jenis sistem bagi hasilpun mengikuti ketiga bentuk pengolahan tanah tersebut. sebagai contoh, misalnya pengolahan tanah (kebun) menerapkan sistem musaqah di mana pemilik tanah (kebun) bekerja sama segala-galanya dengan penggarap. Artinya bahwa segala hal yang berkenaan pengurusan kebun, baik benih, pupuk dan lain-lainnya ditangguang bersamaan antara pemilik dan penggarap,maka jenis bagi hasil ini termasuk bentuk fifty-fifty (satu-satu) atau bagi dua antara penggarap dengan pemilik tanah atau kebun.

Bentuk kedua, yakni sistem muzara’ah, di mana benih yang tanam serta keperluan lainnya berupa pupuk dan lainnya itu ditanggung penggarap, dan bagi

17

Hasbullah bakry, Pedoman Islam Indonesia(Cet.V; Jakarta,UI-Press, 1990),hal. 284-285

18

Hasbullah Bakry,Pedoman Islam Indonesia, (Cet.V; Jakarta,UI-Press, 1990) hal. 284

19

Hasbullah Bakry,pedoman Islam Indonesia,( Cet.V; Jakarta,UI-Press, 1990) hal .285

20

pemilik kebun hanya menganngung lahan (kebunnya), maka hasil produksinya harus dibagi separuh misalnya (sepertiga) 1/3 untuk pemilik kebun dan (duapertiga) 2/3 untuk penggarap kebun. Dan ketiga adalah bentuk mukhabarah, yakni kebalikan dengan sistem muzara’ah. Bentuk mukhabarah ini segala yang berkenaan dengan kebun dan benihnya ditanggung sepenuhnya pemilik tanah dan petani peggarapnya hanya menggarap saja. Maka jenis dan bentuk bagi hasilnyapun hendak berbalik, yakni penggarap dapat (1/3) dan pemilik kebun mendapat bagian dua pertiga (2/3),dan ketiga bentuk dan jenis bagi hasil itu pun harus sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yakni penggarap dan pemilik kebun.

Pembagian hasil kepada pihak penggarap bervariatif, yakni sesuai dengan adat kebiasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, ada yang setengah, sepertiga atau lebih dari itu. Namun yang tidak kalah pentingnya dalam tiga bentuk dan jenis pengolahan kebun tersebut adalah terjalinnya kesepahaman atau kesepakatan antara petani penggarap dengan pemilik lahan atau kebun. Hanya saja, Islam menganjurkan agar hasil kesepahaman atau kesepakatan yang telah menjadi perjanjian kedua belah pihak hendaknya ditulisagar tidak mudah di lupakan atau dihianati.

Allah berfirman dalam QS,AL-Baqarah/2:282

ِقَّتَْٛن َٔ ُّق َحْنا َِّْٛهَع ِ٘زَّنا ِمِهًُْْٛن َٔ ْتُتْكَْٛهَف ۚ ُ َّاللَّ ًََُّّهَع بًََك َتُتْكَٚ

َس َ َّاللَّ

بًِٓٛفَس ُّق َحْنا َِّْٛهَع ِ٘زَّنا ٌَبَك ٌِْإَف ۚ بًئَْٛش ُُِّْي ْس َخْجَٚ َلَ َٔ َُّّث

ۚ ِلْذَعْنبِث ُُِّّٛن َٔ ْمِهًُْْٛهَف َُْٕ َّمًُِٚ ٌَْأ ُعٛ ِطَتْسَٚ َلَ َْٔأ بًفٛ ِع َض َْٔأ

َف ٍَِْٛه ُج َس بََُٕكَٚ ْىَن ٌِْإَف ۖ ْىُكِنب َجِس ٍِْي ٍَِْٚذَِٛٓش أُذِْٓشَتْسا َٔ

ٌم ُج َش

17

َشِّكَزُتَف بًَُْاَذ ْحِإ َّم ِضَت ٌَْأ ِءاَذَُّٓشنا ٍَِي ٌَ ْٕ َض ْشَت ًٍَِّْي ٌِبَتَأ َشْيا َٔ

إُيَأْسَت َلَ َٔ ۚ إُعُد بَي اَرِإ ُءاَذَُّٓشنا َةْأَٚ َلَ َٔ ۚ ٰٖ َش ْخُ ْلْا بًَُْاَذ ْحِإ

َأ ْىُكِن َٰر ۚ ِِّه َجَأ َٰٗنِإ ا ًشِٛجَك َْٔأ ا ًشٛ ِغ َص ُُِٕجُتْكَت ٌَْأ

ِ َّاللَّ َذُْ ِع ُطَسْق

ًح َش ِضب َح ًح َسب َجِت ٌَُٕكَت ٌَْأ َّلَِإ ۖ إُثبَت ْشَت َّلََأ ََْٰٗدَأ َٔ ِحَدبََّٓشهِن ُو َْٕقَأ َٔ

بَُْٕجُت ْكَت َّلََأ ٌحبَُ ُج ْىُكَْٛهَع َسَْٛهَف ْىُكََُْٛث بَََٓٔ ُشِٚذُت

ۗ

اَرِإ أُذِْٓشَأ َٔ

َلَ َٔ ٌتِتبَك َّسب َضُٚ َلَ َٔ ۚ ْىُت ْعَٚبَجَت

ۖ َ َّاللَّ إَُُّتا َٔ ۗ ْىُكِث ٌٌُٕسُف ََُِّّإَف إُهَعْفَت ٌِْإ َٔ ۚ ٌذَِٛٓش

ٌىِٛهَع ٍء َْٙش ِّمُكِث ُ َّاللَّ َٔ ۗ ُ َّاللَّ ُىُكًُِّهَعُٚ َٔ

Terjemahnya :

“Dan hendaklah seorang di antara kamu menuluskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu adalah orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang yang mengingatkannya. janganlah saksi-saksiitu enggan (memberi keterangan ) apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jenu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (tulislah mu‟amalahmu itu), kecuali jika mu‟amalahmu itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksianlah apabila kamu berjual; Dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah maha mengetahui segala sesuatu “21

Ayat di atas mengindikasikan bahwa dalam urusan mu‟amalah dibolehkan sistem sewa-menyewa.22, hutang piutang namun harus ditulis dan disaksikan oleh dua orang laki-laki atau seorang lelaki dan dua orang perempuan. Hal ini

21 Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 70

22

Sewa menyewa yang di maksud dalam ayat tersebut adalah menyewa milik orang lain untuk kemudian bagi hasil sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak

dimaksudkan agar perjanjian yang telah disepakati itu tidak mudah dilupakan, sebab bila seorang lupa, yang lainnya (saksi lain) masih ingat.

Jika keterangan singkat diatas dijadikan ukuran untuk menarik suatu kesimpulan, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk bagi hasil adalah” musaqah (saling memberi bagian), muzar’ah (saling bantu pertanaman), dan mukhabarah (saling beritahukan pertumbuhan kebun)” ataupun sistem baru lagi yang tidak kontradiktif dengan nilai-nilai mu‟amalah. sedangkan jenis-jenis bagi hasilnya adalah fifty-fifty (satu-satu) atau bagi dua antara penggarap dengan pemilik tanah atau kebundan lainnya itu ditanggung penggarap dan terakhir sepertiga untuk penggarap lahan dan dua pertiga untuk pemilik lahan, disebabkan segalanya ditanggung pemilik sendiri dan penggarap hanya menggarap saja.

2. Rukun Mukhabarah

1) Aqidain (dua orang yang bertransaksi), yaitu pemilik dan pekerja atau penggarap

2) Objek transaksi, yaitu sesuatu yang disepakati dalam Muzara‟ah meliputi pohon, tanaman pertanian, dan bagian masing-masing.

3) Shigat. Mukhabarah di anggap sah dengan semua lafal yang menunjukkan arti yang dimaksud (akad)23

3. Syarat-syarat Mukhabarah

Adapun syarat-syarat Mukhabarah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:

23

Muhammad Abdullah dan Ibrahim Mahmud, Ensiklopedia FIQH Muamalah Dalam

19

1) Syarat yang menyangkut orang yang berakad, keduanya harus baliq dan berakal

2) Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akad menghasilkan.

3) Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:

a. menurut adat dikalangan petani, tanah ini boleh digarap dan menghasilkan jika tanah ini tanah tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah garapan, maka mukhabarah tidak sah

b. Batas-batas tanah itu jelas

c. Tanah ini diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. apabila disyariatkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka mukhabarah tidak sah.

4) Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut: a. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.

c. Pembagian hasil panen ini ditentukan : setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dari dan penetuannya tidak berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwintal, atau satu karaung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.

5) Syarat yang menyangkut jangka waktu harus juga dijelaskan dalam akad sejak mula, karena akad mukhabarah mengandung makna akad ijarah (sewa-menyewa atau upah-mengupah) dengan imbalan sebagai hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktu biasanya di sesuaikan dengan adat setempat. Dan untuk objek akad, jumhur ulama membolehkan mukhabarah mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, maupun pemanfaatan tanah. Sehingga benihnya dari petani

4. Dasar- dasar mukhabarah menurut para ulama

Iman Muslim meriwayatkan sebuah hadist yang menjadi dasar hukum diperbolehkannya melakukan mukhabarah, yaitu:

Artinya:

” Dari Thawus ra bahwa ia suka bermukhabara.Amru berkata: lalu aku katakan padanya, ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhbarah ini,nanti mereka mengatakan bahwa Nabi Saw telah melarang mukhabarah, lantas Thawus berkata: hai Amr,terlah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibbnu Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang mukhabarah itu,hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu “(HR.Muslim)24

Hadits ini menjelaskan mengenai praktek mukhabarah yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah. berdasarkan apa yang mereka lakukan tersebut, dapat kita lihat bahwa rasulullah sama sekali tidak melarang dilakukannya mukhabarah, karena sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya semua jenis muamalah diperbolehkan hingga ada dalil yang melarangnya. oleh karena itu, hukum melakukan mukhabarah sendiri adalah mubah (boleh), dengan catatan apa yang

24

Misbahu Munir, Ajaran-Ajaran Ekonomi rasullah (kajian Hadits Nabi dalam Perspektif Ekonomi), (Malang: UIN-Malang Press, Cet, I,2007),hal 40

21

dilakukan tersebut dapat memberikan manfaat yang baik kepada sesama atau berlandaskan keinginan untuk menolong tanpa adanya tujuan lain dengan maksud merugikan atau menipu.

hadits lainnya lainnya yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk diperbolehkannya melakukan mukhabarah adalah sebagai berikut:

Abdullah Ibnu Umar ra. ia berkata:“Bahwa Rasulullah SAW. melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu”(HR. Al-Jama‟ah mayoritas pakar hadist)25

Dengan demikian, ibnu Hazm hanya memperbolehkan konsep “menyewakan tanah kepada orang lain dengan imbalan setengah atau sepertiga dari hasil panen “ atas lahan pertanian, dan jika lahan pertanian tersebut mengalami kegagalan panen, maka orang yang menyewakan itu tidak mendapat apapun

Setelah melihat beberapa pendapat para ulama‟ tentang praktek mukhabarah di atas, maka ada hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang dalam praktek mukhabarah tersebut, yaitu sebagai berikut:

25

a. Mukhabarah yang diperbolehkan

Dalam mukhabarah yang mana telah disebutkan ketentuan-ketentuanya dalam fiqih, maka hal-hal yang dibolehkan dalam mukhabarah adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian kerjasama dimana tanah milik satu pihak, peralatan pertanian, benih dan tenaga dari pihak lain, keduanya menyetujui bahwa pemilik tanah akan memperoleh bagian tertentu dari hasil 2. Kedua belah pihak sepakat atas tanah, benih, perlengkapan pertanian

dan tenaga serta menetapkan bagian masing-masing yang akan diperoleh dari hasil.

3. Keuntungan yang diperoleh jelas pembagiannya menurut kesepakatan, dalam ukuran angka persentase, bukan dalam bentuk angka mutlak yang jelas ukuranya.

4. Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap

5. Kedua belah pihak dalam akad telah dewasa dan sehat akalnya serta tanpa paksaan darimanapun.26

b. Mukhabarah yang dilarang

Dalam Mukhabarah yang dilarang salah satunya adalah jika bagiannya dutentukan dalam jumlah tertentu berdasarkan hasil luas tertentu yang hasilnya menjadi miliknya, sedangkan sisanya untuk penggarap atau dipotong secukupnya.

26

23

Maka dalam keadaan seperti ini dianggap fasid karena mengandung gharar dan dapat membawa kepada perselisihan. Al-Bukhori meriwayatkan dari Rafi‟bin al Khudaij, berkata: “Dahulu kami termasuk orang yang paling banyak menyewakan tanah untuk digarap. Waktu itu kami menyewakan tanah yang sebagian hasilnya yang disebut pemilik tanah. Kadang-kadang untung dan kadang-kadang tidak memberikan untung. Lalu kami dilarang”27

Selain hal di atas, hal-hal dibawah ini juga dilarang dalam mukhabarah yaitu:

1. Perjanjian yang menetapkan sejumlah hasil tertentu yang harus diberikan kepada pemilik tanah, yaitu suatu syarat yang menentukan bahwa apapun dan berapapun hasilnya, pemilik tanah tetap menerima lima atau sepuluh mound dari hasil panen.

2. Hanya bagian lahan tertentu yang berproduksi, misalkan bagian utara atau selatan, maka bagian tersebut diperuntukan bagi pemilik tanah.

3. Penyerahan tanah kepada seseorang dengan syarat tanah tersebut akan tetap menjadi miliknya jika sepanjang pemilk tanah masih menginginkannya dan akan menghapuskan kepemilikannya manakala pemilik tanah menghendaki.

4. Ketika petani dan pemilik tanah sepakat membagi hasil tanah tapi satu pihak menyediakan bibit dan pihak lainya menyediakan alat-alat pertanian. Misalnya pihak pertama pemilik tanah, pihak kedua bertangunggung jawab atas benih, pihak ketiga bertanggung jawab atas alat-alat pertaniaan.

27

Adanya hasil panen lain (selain daripada yang ditanam di ladang itu) harus dibayar oleh satu pihak sebagai tambahan kepada hasil pengeluaran tanah

5. Zakat Dalam Mukhabarah

Zakat ialah nama atau sebutan dari suatu hak Allah swt yang dikeluarkan sesorang kepada fakir miskin. Dinamakan zakat karena di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkat, membersihkan jiwa dan memupuknya dengan pelbagai kebaikan.

Kata-kata zakat itu arti aslinya ialah tumbuh, suci dan berkah. Firman Allah swt: QS, At-Taubah:103

َكَت َلََص َّنِإ ۖ ْمِهْيَلَع ِّلَص َو اَهِب ْمِهيِّكَزُت َو ْمُهُرِّهَطُت ًةَقَدَص ْمِهِلا َوْمَأ ْنِم ْذُخ

ٌميِلَع ٌعيِمَس ُ َّاللَّ َو ۗ ْمُهَل ٌنَكَس

Terjemahnya

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.“ 28

Allah mewajibkan kepada orang yang diberikan kelebihan rejeki dengan mengeluarkan zakat dan dianjurkan melakukan ibadah sosial lainya seperti infaq dan shodaqah jariyyah. Penegasan agar memenuhi keadilan sosial adalah suatu perintah agama, bukan sekedar acuan etik atau dorongan moral belaka. Konsepsi keadilan sosial ekonomi yang Islami mempunyai ciri khas dari konsep ekonomi

28

Departemen Agama RI. Alqur‟an dan terjemahnya (Semarang :Toha Putra, 1989), hal 203

25

lain yaitu; Keadilan sosoial dilandasi prinsip keimanan, manusia sebagai kholifah dianugerahi pemilikan sebagai karunia-Nya.

Dalam zakat, terdapat beberapa unsur yang telah dijelaskan oleh para ulama‟, sebuah unsur yang dapat mencirikan zakat:

a. Waktu pembayaran zakat, Islam mengetahui waktu-waktu yang tepat untuk mengeluarkan zakat, zakat harta perdangangan misalnya, dikeluarkan setahun setelah harta tersebut dikuasai oleh pemiliknya, selain itu juga merupakan kelebihanatas kebutuhan pokok yang ada. Zakat pertanian dibayarkan setelah panen dituai, begitu juga dengan barang tambang.

b. Kewajiban zakat bersifat absolut dan tidak berubah secara terus menerus. Harta yang wajib dizakati sudah ditentukan, begitu juga dengan kadar yang harus dibayarkan. Kewajiban itu bersifat mutlak dan berlaku sampai akhir zaman, tidak seorangpun berhak mengubahnya. Berbeda dengan pajak, besar beban dan objeknya bisa berubah sesuai dengan kebijakan penguasa.

c. Keadilan, dalam arti adil dalam pendistribuan maupun pengambilan harta yang menjadi objek zakat.

Segala yang dihasilkan bumi harus dikeluarkan zakatnya, dengan demikian hasil pertanian dan tumbuh-tumbuhan wajib dikeluarkan zakatnya ketika panen dan tidak usah menunggu masa satu tahun. Seperti diriwayatkan Nabi, hasil pertanian yang kurang dari lima wasaq tidak wajib zakat (sekitar 563 kg) dan ini menjadi nishabnya, zakat yang harus dikeluarkan sebesar 5% jika

menggunakan irigasi, namun jika tidak, zakatnya sebesar 10%. Untuk buah-buahan juga sama adanya, baik nishab maupun zakat yang harus dikeluarkan. Nisab zakat pertanian dan buah-buahan adalah Nisabnya 5 Wasaq,

Zakat dalam mukhabarah diwajibkan atas yang punya tanah, karena hakikatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah hasil bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakat diwajibkan atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.

Menurut Yusuf Qardawi, bila pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau setengah hasil sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian pendapatan masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi imam Syafi‟i berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang, yang oleh karen itu wajib secara bersama-sama menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai 5 wasaq: masing-masing mengeluarkan 10% dari bagiannya29

6. Faktor-faktor terjadinya Bagi Hasil Mukhabarah

Allah swt. Menciptakan bumi demi kebaikan semua makhluknya, termasuk manusia, agar semua manusia dapat menikmati buah dan dan hasilnya. Allahlah yang membentangkan bumi demi kebaikan ciptaan-Nya, yang didalamnya terdapat beraneka ragam buah-buahan dan pepohonan yang dapat

29

Yusur Qardawi, Figh al-Zakat(Hukum Zakat).terjemah : Salman Harun(et al)(Bogor:Pt Pustaka Litera Antar Nusa,1993),Cet,ke-3,hal 375

27

menghasilkan kehidupan yang baik. Dia-lah yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya,Dia-lah yang menciptakan tanah untuk kepentingan makhluk-Nya yang bernama manusia demi memperoleh kebutuhan hidupnya.

Ketentuan Al-Qur‟an mengenai hak milik tanah dengan tegas menguntungkan petani. Menurut Al-Qur‟an tanah harus menjadi milik bersama dan pemanfaatannya pun hanya bagi masyarakat.30Sedangkan bagi mereka (masyarakat) yang tidak punya kemampuan untuk memproduktifkan tanahnya, dapat dimanfaatkan melalui kerjasama kepada orang lain yang tidak memiliki lahan.

Dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 pasal 1 yang di kemukakan oleh Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis bahwa :

“Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apaupun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain yang didalam undang-undang ini di sebut (penggarap) berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.31

Bagi hasil berdasarkan para pakar hukum islam merupakan suatu perjanjian di mana seseorang memberi harta kepada orang lain berdasarkan prinsip dagang di mana keuntungan yang diperoleh akan dibagi berdasarkan proporsi yang telah disetujui. Oleh karena itu, dalam pengolahan tanah (kebun/lahan) apapun bentuknya, baik muzara’ah, mukhabarah dan musaqah harus di lakukan mukhabarah (bagi hasil) sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

30 M. Abdul Mannan, teori dan praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997),hal 77

31

Timbulnya bagi hasil pada dasarnya dilatar belakangi adanya sistem kepemilikan tanah, di mana sebagian orang yang mungkin karena nenek moyangnya dahulu telah menjual tanahnya, sehingga tidak ada diwariskan kepada anak dan cucu-cucunya. Peristiwa jual beli tanah inilah yang menyebabkan masyarakat sekarang ini ada yang tidak memiliki tanah sama sekali.sementara dipihak lain ada yang memiliki tanah (lahan) karena ketidaksukaan nenek moyang mereka menjual tanahnya, atau karena dia sendiri yang membeli tanah kepada orang lain.

Selain faktor tersebut, juga faktor terjadinya sistem kekuasaan sehingga siapa yang berkuasa itulah tuan tanah (pemilik tanah) sepanjang tanah (wilayah) kekuasaannya. Sementara terdapat orang-orang disekitarnya yang tidak memiliki sedikitpun tanah. Maka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia harus bekerja keras, salah satu diantaranya adalah menjadi pekerja atas tuan tanah atau penguasa itu.

Faktor tersebut menimbulkan adanya kepemilikan tanah dan penggarap tanah dan pemilik (bukan penggarap) serta penggarap (bukan pemilik). Artinya bahwa pemilik penggarap adalah punya lahan dan digarapnya sendiri. sedangkan pemilik (bukan penggarap) adalah dia hanya memiliki lahan tersebut tetapi tidak

Dokumen terkait