• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Skema 4.4. Murabahah dengan akad wakalah

4. Penandatangan akad Murabahah

7. Bayar angsuran sampai jatuh tempo

2. Akad wakalah-Kuasa ke nasabah u/ beli brg ke penjual

5.Mewakilkan ke penjual u/penyerahan brg ke nsbh 1. Negosiasi &

pemenuhan persyaratan

Bank Syariah

3. Wakil membeli barang 6.Barang dikirim ke nsbh Sumber: Data Intern Perusahaan

Keterangan:

Apabila Bank mengalami kesulitan untuk melakukan pembelian rumah/ruko/villa/tanah/mobil, pembiayaan dilakukan dengan murabahah dengan wakalah:

1. Nasabah datang untuk mendapatkan pembiayaan kepemilikan

rumah/ruko/rukan/tanah/mobil/barang multiguna (selanjutnya disebut barang) dengan dilengkapi persyaratan yang ditentukan.

Nasabah dan Bank melakukan negosiasi dan pemenuhan kelengkapan persyaratan.

Bank melakukan analisa kelayakan nasabah dan jika dianggap layak, Bank memberikan persetujuan pembiayaan kepada nasabah berupa Surat Persetujuan Prinsip Pembiayaan (SP3).

2. Bank dan nasabah menandatangani akad wakalah yaitu Bank

mewakilkan kepada nasabah untuk mengurus pembelian barang dari Penjual.

3. Nasabah sebagai wakil Bank mengurus pembelian barang sesuai

kebutuhan kepada penjual. Bank membayar pembelian barang tersebut ke rekening nasabah.

4. Bank dan nasabah menandatangani perjanjian jual beli murabahah. Bank menjual barang tersebut kepada nasabah dan dokumen kepemilikan dibuat langsung atas nama nasabah.

5. Bank memerintahkan/mewakilkan kepada Penjual untuk

menyerahkan barang langsung kepada nasabah.

6. Penjual sebagai wakil Bank, menyerahkan barang kepada nasabah.

Nasabah membayar angsuran (taqsith) atau tangguh (muajjal) kepada Bank dengan besar pembayaran yang telah ditentukan sebelumnya.

Hal tersebut kurang sesuai dengan fakta yang terjadi pada Bank BRI Syariah Sidoarjo. Berdasarkan informasi yang peneliti peroleh dari informan yang bekerja di Bank BRI Syariah Sidoarjo, BRI Syariah Sidoarjo melakukan akad murabahah dahulu, baru setelah itu akad wakalah menyusul setelahnya. Berikut pemaparan yang disampaikan oleh Bapak Deky selaku Back Office di Bank BRI Syariah Sidoarjo: “Kalo disini biasanya ya mbak, jadi kita ngadain

akad murabahah dulu, baru wakalah. Itu biar Kita ga begitu menanggung resiko yang berat to. Kalo misalkan akad wakalah dilakukan pertama, setelah itu baru akad murabahah, jadi takutnya ntar sewaktu-waktu, setelah akad wakalah ditandatangani, terus barang uda dibeli, terakhir nasabah membatalkan, kan pihak Bank yang rugi to. Sebenernya itu nggak sesuai dengan syariah, jadi agak di akal-akalin dikit gitu biar ga bener-bener menyalahi syariah”.

Padahal hal tersebut tidak sesuai dengan skema yang ada. Seharusnya akad murabahah dengan wakalah yang benar adalah akad wakalah harus lebih dulu dilakukan, baru akad murabahah. Penjelasan lebih lanjut akan dibahas di bawah.

4.3.2. Pembiayaan Murabahah

Pembiayaan murabahah adalah penyediaan dana atau tagihan untuk jual beli barang sebesar harga pokok ditambah margin berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan nasabah yang mewajibkan nasabah untuk melunasi hutang/kewajibannya sesuai dengan akad.

Skema pembiayaan murabahah sering dipersepsikan sama dengan skema kredit berbunga flat pada bank konvensional. Asumsi tersebut dikarenakan terdapat kemiripan diantara keduanya. Skema pembiayaan murabahah dan skema kredit berbunga flat pembayarannya sama-sama dilakukan secara angsuran dan atas pembiayaan tersebut disyaratkan adanya sejumlah keuntungan tertentu sebagai pendapatan bank. Dilihat dari prosedur pembiayaannya pun tidak jauh berbeda. Secara sepintas memang kedua skema tersebut terlihat sama. Namun jika dicermati lebih lanjut lagi, maka akan ditemukan perbedaan mendasar yang membedakan keduanya. Perbedaan tersebut antara lain menyangkut akad dan margin keuntungan.

Pada pembiayaan murabahah, akad yang digunakan adalah akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan harus terlebih dahulu dimiliki oleh penjual untuk selanjutnya dijual kepada nasabah sebesar harga beli ditambah

margin keuntungan yang disepakati. Bank Syariah sebagai penjual harus memberikan seluruh informasi yang berkenaan dengan barang yang diperjualbelikan tersebut, termasuk jika barang dibeli secara hutang dari pemasok. Pembayaran murabahah dapat ditangguhkan ataupun diangsur setiap bulannya dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama antara bank dan nasabah. Margin keuntungan murabahah bersifat tetap sehingga harga jual barang tidak boleh berubah sejak awal perjanjian hingga pelunasan.

Berbeda dengan pembiayaan murabahah, akad yang terjadi pada skema kredit berbunga flat di bank konvensional adalah akad pinjam-meminjam dimana nasabah diberi sejumlah uang yang akan digunakan untuk membeli barang yang dikehendakinya. Sehingga hubungan yang terjalin antara bank dan nasabahnya adalah hubungan kreditur-debitur. Dalam pembiayaan ini tidak ada barang yang diperjualbelikan dan bank mensyaratkan tambahan bunga pada pengembalian hutang nasabah dimana tingkat bunga dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan situasi pasar.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak intern BRI Syariah Sidoarjo, Bank BRI Syariah Sidoarjo mendapatkan sebagian besar pendapatannya dari transaksi murabahah, karena produk murabahah merupakan produk yang paling diminati oleh nasabah BRI Syariah Sidoarjo. Persentase pembiayaan

murabahah di BRI Syariah Sidoarjo bisa mencapai 70-80%. Hal ini

dikarenakan, produk murabahah merupakan salah satu produk di bank syariah dalam bentuk jual beli dengan cicilan. Seperti yang dikatakan oleh

Bapak Arya selaku Account Officer Bank BRI Syariah Sidoarjo: “…kalo kita

lihat produk-produknya di BRI Syariah ini, khusunya di Sidoarjo, kebetulan kita memang ada untuk murabahah itu sendiri ya, akad jual beli itu mulai dari KPR, untuk mikro, untuk konselor, semuanya itu kalau bayangan saya sekitar 70 sampai 80 atau 75% dari semua total produk kita.”

Bank BRI Syariah Sidoarjo melakukan pembiayaan murabahah selain berdasarkan pesanan juga berdasarkan murabahah tanpa pesanan. Berdasarkan pesanan, yaitu dimana bank membeli aset berdasarkan pesanan nasabah. Sedangkan tanpa pesanan, yaitu dimana bank sudah menyediakan barang yang tersedia untuk nasabah meskipun barang tersebut belum dipesan oleh nasabah. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat dan tidak mengikat. Menurut Bapak Deky: “Pembiayaan disini ada 2, yang

berdasar pesanan dan tanpa pesanan. Yang tanpa pesanan contohnya saja, pihak bank syariah telah memiliki beberapa buah rumah siap huni yang disiapkan untuk nasabah yang ingin membeli rumah tersebut dengan cicilan atau dalam istilah syariah, yaitu dengan pembiayaan murabahah.”

Praktek pembiayaan pada BRI Syariah Sidoarjo adalah murabahah berdasarkan pesanan mengikat, sehingga nasabah tidak dapat membatalkan pesanannya. Bank BRI Syariah Sidoarjo dalam praktek pembiayaan

murabahah-nya memberikan pilihan kepada nasabah apakah ingin membeli

sendiri barangnya atau yang biasa disebut dengan mewakilkan pembelian kepada nasabah dan harus menggunakan akad wakalah, atau menyerahkan kepada bank untuk membeli barang pesanannya. Dalam akad wakalah,

nasabah mewakili bank untuk membeli aset yang dipesannya atas nama bank. Meskipun akad wakalah tidak merugikan kedua belah pihak, namun akad ini rentan untuk dimanipulasi oleh nasabah. Nasabah memiliki kesempatan untuk memanipulasi harga aset yang sebenarnya, dan ini bisa mengakibatkan kesyar’ian suatu transaksi menjadi tercemar. Oleh karena itu, pengawasan terhadap kegiatan transaksi murabahah sangatlah penting. BRI Syariah Sidoarjo selalu melakukan kerjasama dengan pihak pemasok atau penjual barang yang ingin dipesan melalui pemasok yang sudah ditunjuk oleh pihak bank untuk mengetahui harga aset yang sebenarnya. Jadi, disini pihak BRI Syariah sudah menentukan pemasok atau penjual, dealer, developer atau pihak ketiga lainnya yang menyediakan/mengadakan barang dalam rangka pembiayaan.

Berdasarkan refleksi yang terletak di lampiran, BRI Syariah Sidoarjo menentukan besarnya margin untuk produk murabahah secara bervariasi tergantung dengan lamanya waktu pelunasan oleh nasabah. Selain itu, besarnya margin murabahah diatur oleh pihak manajemen Bank BRI Syariah Sidoarjo. Semakin cepat nasabah melakukan angsuran, maka semakin kecil pula margin yang diambil dari nasabah tersebut. Meskipun besarnya margin bervariasi, akan tetapi rata-rata margin yang diambil dari nasabah adalah sebesar 13% sampai 15% per tahun dari harga perolehan. Seperti yang dijelaskan oleh pegawaib di Bank BRI Syariah Sidoarjo: “Biasanya kalau

yang murabahah itu consumer ya,consumer itu kaya KPR, KPM atau mobil ya, terus multiguna itu kita berkisar antara 13-15% per tahun. ...” Ketentuan

ini sudah diinformasikan kepada nasabah pembiayaan sebelum melakukan transaksi murabahah. Penetapan margin keuntungan pembiayaan murabahah berdasarkan hasil rapat pengelola dan atas persetujuan komisaris utama, dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut:

1. Tingkat margin keuntungan rata-rata beberapa bank syariah.

2. Tingkat rata-rata suku bunga beberapa bank konvensional.

3. Target bagi hasil kompetitif yang diharapkan dapat diberikan kepada dana pihak ketiga.

4. Biaya operasional bank yang langsung terkait dengan kegiatan usaha bank .

Secara garis besar, kegiatan operasional sehubungan dengan transaksi

murabahah yang dilakukan oleh BRI Syariah adalah sebagai berikut:

a. Pada saat nasabah mengajukan permohonan, nasabah diharuskan mengisi surat permohonan pembiayaan, manajer pembiayaan melakukan pencatatan pengajuan pembiayaan, dimana mereka harus mencatat nama nasabah dan besarnya pembiayaan.

b. Setelah permohonan disetujui, bank akan melakukan pencairan dana.

Teller melakukan entry data sebesar nilai realisasinya. Besarnya nilai

pembiayaan pada saat pengajuan permohonan dengan realisasi tidak selalu sama. Nilai realisasinya adalah harga perolehan aset ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati.

c. Dana yang telah dicairkan oleh bank diberikan kepada nasabah untuk membeli aset yang dipesan. Pembelian aset murabahah dapat dilakukan oleh pihak bank atau nasabah (akad wakalah). Namun pada Bank BRI Syariah, khususnya BRI Syariah Sidoarjo, sebagian besar transaksi

murabahah dilakukan dengan menggunakan akad wakalah.

d. Aset murabahah adalah aset yang diperoleh dengan tujuan untuk dijual kembali dimana aset tersebut sudah dipesan sebelumnya.

e. Jika pembelian dilakukan oleh nasabah, pihak bank akan memberikan

uang kepada nasabah untuk membeli aset murabahah, sebesar harga yang tercantum pada surat permohonan pembiayaan. Jika harga aset yang dibeli diatas nilai yang diajukan, maka nasabah menutup kekurangan tersebut dengan menggunakan dana pribadi nasabah, yang kemudian akan diganti oleh bank. Jika harga aset dibawah harga perkiraan, maka nasabah wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada bank.

Sebenarnya, banyak orang yang menilai bahwa bank syariah pada dasarnya adalah sama dengan bank konvensional. Padahal, antara bank syariah dengan bank konvensional adalah sangat berbeda. Perbedaan yang paling mencolok adalah bank syariah dalam setiap aktivitasnya selalu menggunakan akad di awal, berbeda dengan bank konvensional yang tidak menggunakan akad pada setiap aktivitasnya. Dan pebedaan lainnya adalah margin keuntungan antara kedua bank tersebut. Selain itu, pada bank konvensional hubungan antara bank dengan nasabah adalah hubungan antara

kreditur-debitur, sedangkan pada bank syariah, hubungan antara bank dan nasabah berupa hubungan kemitraan.

4.3.3. Akad Pembiayaan Murabahah di BRI Syariah Sidoarjo

BRI Syariah Sidoarjo merupakan lembaga perbankan yang menjalankan kegiatan operasionalnya berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam. Oleh karena itu, BRI Syariah Sidoarjo senantiasa menjaga agar semua transaksi sesuai dengan akad yang telah digariskan oleh syariat Islam karena bagaimanapun juga akad memegang peranan yang sangat penting dalam setiap transaksi Islam. Akad inilah yang membedakan antara transaksi di bank syariah dan bank konvensional.

Akad sendiri adalah merupakan bentuk kesepakatan tertulis antara Bank dengan nasabah dan/atau pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Dalam implementasinya, akad pembiayaan tersebut dituangkan dalam suatu akad atau perjanjian pembiayaan sesuai ketentuan hukum positif dan syariah yang berlaku.

Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan.

Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah. Murabahah berdasarkan pesanan ini dapat bersifat mengikat ataupun tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah berdasarkan pesanan mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya.

Praktek pembiayaan murabahah yang terjadi di Bank BRI Syariah Sidoarjo adalah murabahah dengan pesanan pembelian dimana dalam pembelian barang bank mewakilkannya kepada nasabah. Pembiayaan

murabahah dengan cara seperti ini lazim juga disebut sebagai murabahah

dengan akad wakalah.

Alasan BRI Syariah Sidoarjo dalam melakukan murabahah dengan akad

wakalah antara lain:

1. Fungsi bank hanya sebagai lembaga perantara, bukan sebagai pedagang, maka akan sulit bagi bank untuk mengetahui secara pasti spesifikasi barang yang dimaksud oleh nasabah. Bank akan menanggung resiko jika nantinya barang yang telah dibeli ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi yang dikehendaki nasabah, sehingga nasabah dapat sewaktu-waktu membatalkan pembelian tersebut.

2. Bank tidak memiliki kapasitas tempat untuk penyimpanan barang.

Pembiayaan dengan akad wakalah ini dibenarkan dalam sistem perbankan syariah karena hal tersebut juga diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 4/DSNMUI/IV/2000 tentang Murabahah. Namun dalam praktek pembiayaan murabahah dengan akad wakalah ini, bank dalam hal ini BRI Syariah Sidoarjo perlu menerapkan prinsip kehati-hatian. Fatwa MUI No. 4/DSNMUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 menyebutkan bahwa jika bank bermaksud untuk mewakilkan pembelian barang kepada nasabahnya, maka akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip

dimiliki oleh bank. Yang dimaksud secara prinsip barang milik bank dalam

wakalah pada akad murabahah menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

7/46/PBI/2005 adalah adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan kuitansi pembelian. Itu berarti pemberian kuasa (wakalah) dari bank kepada nasabahnya harus dilakukan sebelum akad

murabahah ditandatangani. Karena jika tidak demikian berarti bank telah

melakukan jual beli terhadap barang yang belum dimilikinya. Dan hal tersebut telah melanggar salah satu syarat sah jual beli, yaitu keharusan adanya kepemilikan terhadap barang yang diperjualbelikan. Dengan demikian, menjual barang yang tidak dimiliki adalah tindakan yang dilarang syariah. Namun buruknya, di dalam praktek perbankan syariah akad

murabahah sering kali terjadi sebelum pemberian kuasa (wakalah) dilakukan.

Di Bank BRI Syariah Sidoarjo, jika nasabah mengajukan permohonan pembiayaan murabahah dalam pengadaan suatu barang, maka bank akan terlebih dahulu menghubungi pemasok untuk memastikan bahwa barang yang dipesan oleh nasabah tersedia. Setelah barang yang dipesan oleh nasabah telah ada, maka bank akan menyebutkan spesifikasi barang yang ada pada pemasok kepada nasabah. Jika spesifikasi barang yang disebutkan tersebut sesuai dengan spesifikasi yang dikehendaki oleh nasabah, maka kesepakatan mengenai jual beli murabahah pun akan dilakukan. Namun dalam hal ini bank belum membeli barang yang dipesan oleh nasabah, sehingga secara prinsip bank belum memiliki barang tersebut. Bank baru akan melakukan pembelian barang dimana dalam pelaksanaannya diwakilkan kepada nasabah

setelah bank dan nasabah sepakat mengenai pembiayaan murabahah yang ditandai dengan ditandatanganinya akad murabahah. Baru setelah ditandatanganinya akad murabahah tersebut, bank akan membuatkan akad

wakalah untuk mewakilkan pembelian barang kepada nasabah.

Jika melihat kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 4/DSNMUI/IV/2000 tentang Murabahah, maka pembiayaan murabahah dengan cara seperti ini tidak sesuai dengan prinsip syariah karena dalam hal ini barang belum dimiliki oleh bank. Namun dalam prakteknya, bank syariah mempunyai kesulitan jika harus melakukan akad wakalah terlebih dahulu untuk mewakilkan nasabah dalam melakukan pembelian. Bank tidak dapat memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang tanpa adanya kepastian bahwa nasabah akan membeli barang tersebut. Karena bisa saja nasabah tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan pembelian padahal bank sudah membuat akad wakalah dan barang tersebut sudah dibeli oleh nasabah. Jika terjadi seperti itu, maka bank akan mengalami kerugian karena sudah terlanjur membeli barang.

BRI Syariah Sidoarjo mempunyai pertimbangan tersendiri mengapa melakukan praktek murabahah dengan cara seperti ini. Alasan yang diungkapkan oleh pihak BRI Syariah Sidoarjo adalah untuk menghindari tidak tepatnya janji yang dilakukan nasabah dengan membatalkan pesanan setelah barang dibeli padahal dalam hal ini bank telah mengeluarkan sejumlah dana untuk membeli barang tersebut. Jika tidak ada perjanjian yang mengikat pembeli untuk membeli barang tersebut, maka bank tidak mempunyai

kekuatan hukum untuk menuntut pembeli yang melakukan kelalaian dengan membatalkan pembelian barang. Hal ini tentu saja akan mendatangkan kerugian bagi pihak bank. Hal inilah yang berusaha untuk dihindari oleh bank. Hal ini juga yang mendasari mengapa pembiayaan di BRI Syariah Sidoarjo harus diawali dengan ditandatanganinya akad murabahah terlebih dahulu baru kemudian diikuti oleh akad wakalah. Namun, walaupun

murabahah dengan akad wakalah yang terjadi di BRI Syariah Sidoarjo tidak

sesuai dengan prinsip syariah, penandatanganan akad murabahah dan akad

wakalah di BRI Syariah Sidoarjo pada kenyataannya dilakukan hampir

bersamaan. Akad wakalah akan ditandatangani sesaat setelah

ditandatanganinya akad murabahah. Jadi, pada dasarnya bank memiliki kesanggupan untuk mengadakan barang yang dipesan oleh pembeli, hanya saja bank berusaha untuk menghindari resiko kelalaian yang dilakukan nasabah jika bank tidak membuat akad murabahah terlebih dahulu dengan nasabah. Namun demikian tetap saja hal tersebut menyimpang dari prinsip syariah.

Untuk menyikapi permasalahan yang menyangkut murabahah dengan akad wakalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka bank syariah sebaiknya menghindari murabahah dengan akad wakalah jika memang bank tidak dapat menerapkannya sesuai dengan prinsip syariah seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa bank harus memiliki barang terlebih dahulu sebelum akad murabahah ditandatangani. Bank sebaiknya membeli sendiri barang yang dikehendaki nasabah atau bank dapat mendampingi nasabah dalam

melakukan pembelian. Alternatif lainnya yang dapat dilakukan oleh bank adalah dengan mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah dimana dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa nasabah tidak dapat membatalkan pembelian barang jika akad wakalah telah ditandatangani dan adanya saksi jika nasabah melakukan pengingkaran janji dengan membatalkan pembelian barang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam murabahah dengan akad wakalah ini, akad murabahah boleh dilakukan jika bank telah memiliki barang yang diperjualbelikan melalui akad wakalah. Hal ini dilakukan agar bank syariah dapat melakukan pembiayaan murabahah yang benar-benar murni syariah dengan mengacu kepada prinsip perbankan syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.

Ada beberapa hal yang membuat BRI Syariah Sidoarjo tidak sesuai dengan prinsip syariah, yaitu BRI Syariah Sidoarjo kadangkala menjual barang yang belum dimiliki oleh bank, padahal hal tersebut adalah tindakan yang dilarang syariah. Hal tersebut terjadi karena pihak bank tidak ingin menanggung kerugian apabila tiba-tiba saja nasabah memutuskan untuk membatalkan pembelian. Jika terjadi hal seperti itu, maka bank akan mengalami kerugian karena sudah terlanjur membeli barang. Untuk menyikapi hal tersebut, maka BRI Syariah Sidoarjo melakukan penandatanganan akad murabahah dan akad wakalah dilakukan hampir bersamaan. Jadi, pada dasarnya bank memiliki kesanggupan untuk mengadakan barang yang dipesan oleh pembeli dengan cara mengurangi resiko kelalaian yang dilakukan oleh nasabah.

Pembiayaan murabahah di BRI Syariah Sidoarjo ditujukan untuk pembiayaan konsumtif, modal kerja maupun investasi.

Tabel 4.1. Angsuran Bank BRI Syariah untuk Pembiayaan KPR BRI

Jumlah angsuran/bulan

7.1807% 7.3037% 8.6320% 10.1284% Nominal Pembiayaan

1 tahun 5 tahun 10 tahun 15 tahun

50.000.000 4.465.864 1.137.654 776.332 699.794

75.000.000 6.698.796 1.706.480 1.164.498 1.049.690

100.000.000 8.931.728 2.275.307 1.552.664 1.399.587

125.000.000 11.164.659 2.844.134 1.940.830 1.749.484

150.000.000 13.397.591 3.412.961 2.328.997 2.099.381

Sumber: Data Intern Perusahaan

Tabel 4.1. adalah daftar angsuran pembiayaan murabahah yang terdapat di BRI Syariah Sidoarjo berdasarkan jangka waktu dan besarnya pembiayaan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa untuk jangka waktu yang sama, misalnya saja satu tahun, persentase margin keuntungannya sama yaitu 7,1807% berapapun besarnya pembiayaan. Namun, di sisi lain, margin keuntungan menjadi lebih tinggi ketika jangka waktu pembayaran menjadi lebih lama. Jadi, semakin lama jangka waktu pembiayaan, maka semakin besar pula margin keuntungan yang harus ditanggung oleh nasabah. Skema pembayaran seperti ini diperbolehkan di dalam pembiayaan murabahah asalkan terdapat kesepakatan antara nasabah dan pihak bank pada saat awal

dilakukannya akad dimana margin keuntungan murabahah tidak boleh berubah selama akad berlangsung.

Selain itu, jika kita lihat pada daftar angsuran tersebut lebih lanjut lagi, maka apabila margin yang diberikan berbeda untuk jangka waktu pembayaran yang berbeda, maka hal itu terasa tidak adil bagi nasabah yang kemampuannya lebih rendah yang memilih jangka waktu pembayaran lebih lama agar besarnya angsuran setiap bulannya lebih kecil. Ketidakadilan terlihat ketika margin keuntungan yang ditetapkan justru paling besar untuk jangka waktu pembiayaan 10 tahun yang biasanya dipilih oleh nasabah yang kemampuannya lebih rendah.

Dari pernyataan pihak BRI Syariah Sidoarjo diketahui bahwa pembedaan margin keuntungan dilakukan untuk mengantisipasi resiko yang diprediksi akan terjadi karena semakin lama jangka waktu pembiayaan, maka semakin besar pula resiko yang dihadapi oleh bank. Hal tersebut juga dilakukan karena pada pembiayaan murabahah, margin yang ditetapkan tidak boleh berubah selama akad berlangsung. Sehingga dengan alasan itulah bank menetapkan margin keuntungan yang lebih tinggi untuk pembiayaan yang jangka waktunya lebih panjang.

Biasanya jaminan yang diberikan oleh nasabah kepada pihak Bank adalah berupa aktiva tetap,baik berupa rumah, tanah, mobil, dan lain-lain. Selain dari barang-barang tersebut, Barang yang dibeli dari Bank Syariah juga dijadikan jaminan oleh pihak Bank. Seperti penuturan dari Ibu Erna:

Dokumen terkait