PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK SYARIAH BERDASARKAN PSAK NO. 102 TENTANG
AKUNTANSI MURABAHAH
(Studi Kasus Pada Bank BRI Syariah Sidoarjo)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Jurusan Akuntansi
Diajukan Oleh: Nabila 0713010237/FE/EA
Kepada
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya yang diberikan kepada peneliti sehingga skripsi yang berjudul
“PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP PEMBIAYAAN MURABAHAH
PADA BANK SYARIAH BERDASARKAN PSAK NO. 102 TENTANG AKUNTANSI MURABAHAH (Studi Kasus Pada Bank BRI Syariah Sidoarjo)”, dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Penyusunan skripsi ini
ditujukan untuk memenuhi syarat penyelesaian Studi Pendidikan Strata Satu,
Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah member bimbingan, petunjuk serta bantuan baik spiritual
maupun materiil, khususnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Sudarto, MP selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Dr. Dhani Ichsanudin Nur, SE, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Dr. Sri Trisnaningsih, MSi. selaku Ka. Progdi Akuntansi Universitas
4. Bapak Drs. Ec. Saiful Anwar, MSi., selaku Dosen Pembimbing Utama yang
telah memberikan bimbingan skripsi dan dukungan untuk peneliti sehingga
penulis bisa menyelesaikan tugas skripsinya.
5. Ibu Dra. Endah Susilowati, MSi., selaku Dosen Wali peneliti selama kuliah.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi yang tidak dapat
peneliti sebutkan satu persatu.
7. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Ubaidillah selaku Pimpinan
Bank BRI Syariah Sidoarjo yang telah mengijinkan peneliti untuk melakukan
penelitian di Bank BRI Syariah Sidoarjo. Dan tidak lupa kepada Bapak Deky,
Bapak Miko, Bapak Arya, Ibu Erna, dan seluruh karyawan BRI Syariah
Sidoarjo yang lainnya, karena tanpa bantuan dari mereka, peneliti tidak dapat
melaksanakan penelitian dengan maksimal.
8. Kepada Ayahanda Muhammad Yusuf dan Ibunda Enny tercinta, terima kasih
atas kasih sayang, kesabaran, dan dukungan moril maupun materiil yang
diberikan kepada peneliti dengan tulus ikhlas dan tanpa pamrih. “Saya
mencintai Kalian karena Allah”.
9. Terima kasih kepada Zara Zaqina, Amalia Amanda, Muhammad Mousavie,
Rafi Rafsanjani, dan keluarga peneliti yang lain. Terima kasih atas semua
cinta, kasih sayang, kesabaran, pengertian, semangat, dukungan serta doa
10. Semua sahabatku, Eva, Maybina, Erma, Devi, Ida, Santi, Firda, Ana, Daty
dan sahabat-sahabatku yang lain di bangku kuliah yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terima kasih untuk segalanya, serta semua pihak
yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Peneliti menyadari bahwa apa yang telah disusun dalam skripsi ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat berharap saran dan kritik
membangun dari pembaca dan pihak lain.
Akhir kata, peneliti berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surabaya, Februari 2011
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR SKEMA ... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xii
ABSTRAKSI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN ... 2
1.1. Latar Belakang Masalah ………... 2
1.2. Perumusan Masalah ……… 9
1.3. Tujuan Penelitian ………. 9
1.4. Manfaat Penelitian ……… 9
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA……….. 12
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu ………. 12
2.2.1. Tinjauan Umum Bank Syariah ………. 14
2.2.1.1. Pengertian Perbankan Syariah……… 14
2.2.1.2. Karakteristik Bank Syariah………. 15
2.2.1.3. Fungsi Bank Syariah……… 18
2.2.1.4. Peran Bank Syariah………. 21
2.2.1.5. Tujuan Bank Syariah ……….. 22
2.2.1.6. Produk Perbankan Syariah ………. 23
2.2.1.7. Perbedaan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional……….. 33
2.2.2. Konsep Riba dalam Islam ……… 34
2.2.2.1. Pengertian Riba dalam Islam ……… 34
2.2.2.2. Jenis-jenis Riba ……….. 34
2.2.2.3. Larangan Riba dalam Islam……… 36
2.2.2.4. Dampak Riba ………. 37
2.2.2.6. Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil ….. 40
2.2.3. Pembiayaan ……….. 41
2.2.3.1. Pengertian Pembiayaan ……… 41
2.2.3.2. Pembiayaan pada Bank Syariah ………. 43
2.2.4. Pembiayaan Murabahah……… 44
2.2.4.1. Pengertian Murabahah……… 44
2.2.4.2. Jenis-jenis Murabahah……… 45
2.2.4.3. Rukun dan Ketentuan Murabahah ………... 45
2.2.4.4. Syarat-syarat Murabahah ……….. 46
2.2.4.5. Dasar Hukum Murabahah ………. 47
2.2.4.6. Aturan tentang Murabahah ……… 49
2.2.4.7. Manfaat Murabahah ……….. 52
2.2.4.8. Resiko Pembiayaan Murabahah ……… 52
2.2.4.9. Beberapa Ketentuan Umum dari Pembiayaan Murabahah……….. 53
2.2.5. Perlakuan Akuntansi Murabahah (PSAK 102) …… 55
3.1. Pendekatan Penelitian ……… 69
3.2. Ruang Lingkup Penelitian ……….. 73
3.3. Alasan Ketertarikan Penelitian………. 73
3.4. Penentuan Informan……… 73
3.5. Desain Penelitian Studi Kasus……… 74
3.5.1. Pertanyaan Penelitian……… 74
3.5.2. Unit Analisis………. 76
3.5.3. Jenis Data dan Sumber Data ……… 77
3.5.3.1. Jenis Data……… 77
3.5.3.2. Sumber Data……… 77
3.5.3.3. Prosedur Pengambilan Data……… 78
3.6. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data………….... 79
3.6.1. Teknik Analisis………. 79
3.6.2. Pengujian Kredibilitas Data ………. 82
3.7.1. Logika yang Mengkaitkan Data dengan Proposisi… 84
3.7.2. Proporsi Penelitian……… 84
3.8. Kriteria yang Menginterpretasikan Temuan……... 85
BAB IV: PEMBAHASAN………. 87
4.1. Gambaran Umum Subyek dan Obyek Penelitian………… 87
4.1.1. Sejarah Singkat Perusahaan……….. 87
4.1.2. Visi dan Misi Bank BRI Syariah Sidoarjo………… 89
4.1.2.1. Visi Bank BRI Syariah Sidoarjo………. 89
4.1.2.2. Misi Bank BRI Syariah Sidoarjo………. 89
4.1.3. Tujuan Perusahaan………. 90
4.1.4. Struktur Organisasi BRI Syariah Sidoarjo………… 91
4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ……….. 92
4.2.1. Macam-macam Produk Pembiayaan Murabahah
Pada BRI Syariah Sidoarjo……… 92
4.2.2. Syarat-syarat Nasabah Pembiayaan Murabahah Pada
BRI Syariah Sidoarjo………. 94
Sidoarjo………. 99
4.3. Analisis dan Pembahasan……… 105
4.3.1. Jenis Pembiayaan Murabahah ……….. 105
4.3.2. Pembiayaan Murabahah……… 109
4.3.3. Akad Pembiayaan Murabahah di BRI Syariah Sidoarjo………. 115
4.3.4. Perlakuan Akuntansi Pembiayaan Murabahah……. 124
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN……… 139
5.1. Kesimpulan………. 139
5.2. Saran……… 140
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Perbedaan Antara Bank Syariah dan
Bank Konvensional……….. 31
Tabel 2.2. Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil………. 38
Tabel 4.1. Angsuran Bank BRI Syariah untuk Pembiayaan KPR BRI… 116
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1. Skema Murabahah………. 42
Skema 4.1. Struktur Organisasi BRI Syariah Sidoarjo ………... 87
Skema 4.2. Proses Penyaluran Pembiayaan Murabahah………. 100
Skema 4.3. Murabahah tanpa wakalah ………... 101
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Surat Permohonan Ijin Penelitian Persiapan Penyusunan Skripsi
Lampiran II Daftar Informan
Lampiran III Refleksi Hasil Penelitian
Lampiran IV Pasal-pasal Mengenai Akad Murabahah
Lampiran V Fatwa Dewan Syariah Nasional
PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK SYARIAH BERDASARKAN PSAK NO. 102 TENTANG
AKUNTANSI MURABAHAH
(Studi Kasus Pada Bank BRI Syariah Sidoarjo) Oleh:
Nabila
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji apakah perlakuan akuntansi pembiayaan murabahah yang dilakukan oleh PT. BRI Syariah Sidoarjo sudah sesuai dengan PSAK No.102 tahun 2007.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu mengumpulkan data yang diperoleh kemudian menginterpretasikannya dan menganalisanya sehingga dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Hasil analisis perlakuan akuntansi pembiayaan murabahah yang dilakukan peneliti pada PT. BRI Syariah Sidoarjo dapat disimpulkan bahwa PT. BRI Syariah Sidoarjo sudah menerapkan ketentuan yang ada dalam Standar Akuntansi Perbankan Syariah No.102, namun masih terjadi ketidaksesuaian pada prosedur pembiayaan murabahahnya saja.
Berdasarkan kesimpulan di atas, PT. BRI Syariah Sidoarjo sudah menerapkan ketentuan yang ada dalam PSAK No.102. Peneliti hanya ingin memberi saran agar ditiadakannya pemberian surat kuasa kepada nasabah dalam proses realisasi pembiayaan murabahah yang diidentifikasi dapat terjadi kecurangan sehingga dapat merugikan pihak PT. BRI Syariah Sidoarjo.
PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK SYARIAH BERDASARKAN PSAK NO. 102 TENTANG
AKUNTANSI MURABAHAH
(Studi Kasus Pada Bank BRI Syariah Sidoarjo) By:
Nabila
Abstract
Purpose of this research is to study is accounting treatment of defrayal of murabahah done by PT. BRI Syariah Sidoarjo have been as according to PSAK No102 the year 2007.
The method of study used included a descriptive survey by collecting the data and then interpreting and analyzing them that can result in the information that can be used to solve any problem faced. The data included primary and secondary ones.
Result of accounting treatment analysis of defrayal of murabahah done by researcher at inferential PT. BRI Syariah Sidoarjo that PT. BRI Syariah Sidoarjo has applied the rule in accountancy standard Perbankan Syariah No102, but still happened unconformability at procedure of funding murabahah.
Based on above conclusion, PT. BRI Syariah Sidoarjo has applied the rule in PSAK No. 102. Researcher only wish member suggestion to negate of giving a letter of attorney to client in process of realization of defrayal of murabahah identified able to happened insincerity causing can harm the side of PT. BRI Syariah Sidoarjo.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari–hari, masyarakat memiliki kebutuhan –
kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun
tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, dalam perkembangan perekonomian
masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang
ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank.
Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa’: 29). Menurut Merza Gamal (2004)
dalam bukunya “Aktivitas Ekonomi Syariah, Catatan Dakwah Seorang
Praktisi Perbankan Syariah”, sistem ekonomi syariah secara umum
mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan,
namun sebagian umat Islam tidak menyadari hal tersebut karena masih
berpikir dengan kerangka ekonomi kapitalis-konvensional, hal ini salah
sehingga tertanam paradigma bahwa segala sesuatu yang datangnya dari barat
pasti hebat.
Selain Perbankan Konvensional, di Indonesia juga sudah terdapat Bank
Syariah mulai tahun 1992. Bank Syariah pertama di Indonesia adalah BMI
(Bank Muamalat Indonesia) yang mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992.
Bank Syariah lahir karena adanya keinginan umat muslim untuk kaffah atau
menjalankan aktivitas perbankan sesuai dengan syariah yang diyakini,
terutama masalah larangan riba, serta hal-hal yang berkaitan dengan norma
ekonomi dalam Islam seperti larangan maysir (judi dan spekulatif), gharar
(unsur ketidakjelasan) dan keharusan memperhatikan kehalalan cara dan objek
investasi.
Gagasan adanya lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip
syariah Islam berkaitan erat dengan gagasan terbentuknya suatu sistem
ekonomi Islam. Dunia ekonomi dalam Islam adalah dunia bisnis atau
investasi. Hal ini bisa dicermati mulai dari tanda-tanda eksplisit untuk
melakukan investasi (ajakan bisnis dalam Al-Quran dan Al-Hadist) hingga
tanda-tanda implisit untuk menciptakan sistem yang mendukung iklim
investasi (adanya sistem zakat sebagai alat disinsetif atas penumpukan harta,
larangan riba untuk mendorong optimalisasi investasi, serta larangan maysir
atau judi dan spekulasi untuk mendorong produktivitas atas setiap investasi).
Dalam praktiknya, investasi yang dilakukan baik oleh perorangan, kelompok,
dilakukan dengan tidak bekerja sama dengan pihak lain) maupun pola bagi
hasil (ketika investasi dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak lain).
Sesuai labelnya, bank syariah adalah institusi keuangan yang berbasis
syariah Islam. Hal ini berarti bahwa secara makro bank syariah adalah institusi
keuangan yang memposisikan dirinya sebagai pemain aktif dalam mendukung
dan memainkan kegiatan investasi di masyarakat sekitarnya. Di satu sisi (sisi
pasiva atau liability) bank syariah adalah lembaga keuangan yang mendorong
dan mengajak masyarakat untuk ikut aktif berinvestasi melalui berbagai
produknya, sedangkan di sisi lain (sisi aktiva atau asset) bank syariah aktif
untuk melakukan investasi di masyarakat. Dalam kacamata mikro, bank
syariah adalah institusi keuangan yang menjamin seluruh aktivitas investasi
yang menyertainya telah sesuai dengan syariah.
Secara umum bank syariah dapat didefinisikan sebagai bank dengan pola
bagi hasil yang merupakan landasan utama dalam segala operasinya, baik
dalam produk pendanaan, pembiayaan, maupun dalam produk lainnya.
Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan
produk bank konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar, dan maysir.
Oleh karena itu, produk-produk pendanaan dan pembiayaan pada bank syariah
harus menghindari unsur-unsur yang dilarang tersebut.
Perkembangan peran perbankan syariah di Indonesia tidak terlepas dari
sistem perbankan di Indonesia secara umum. Sistem perbankan syariah juga
diatur dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 dimana Bank Umum adalah
prinsip syariah yang kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Peran bank syariah dalam memacu pertumbuhan perekonomian
daerah semakin strategis dalam rangka mewujudkan struktur perekonomian
yang semakin berimbang. Dukungan terhadap pengembangan perbankan
syariah juga diperlihatkan dengan adanya “dual banking system”, dimana bank
konvensional diperkenankan untuk membuka unit usaha syariah.
Perbankan syariah sebagai bagian dari sistem perbankan nasional
mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Peranan perbankan syariah
dalam aktivitas ekonomi Indonesia tidak jauh berbeda dengan perbankan
konvensional. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah prinsip-prinsip
dalam transaksi keuangan/operasional. Salah satu prinsip dalam operasional
perbankan syariah adalah penerapan bagi hasil dan risiko (profit and loss
sharing). Prinsip ini tidak berlaku di perbankan konvensional yang
menerapkan sistem bunga.
Keberadaan perbankan syariah diharapkan dapat mendorong
perkembangan perekonomian suatu negara. Tujuan dan fungsi perbankan
syariah dalam perekonomian adalah (Setiawan, 2006): 1) kemakmuran
ekonomi yang meluas, tingkat kerja penuh dan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang optimum, 2) keadilan sosial-ekonomi dan distribusi pendapatan serta
kekayaan yang merata, 3) stabilitas nilai uang, 4) mobilisasi dan investasi
tabungan yang menjamin adanya pengembalian yang adil, dan 5) pelayanan
Aturan yang ada dalam Al-Quran dan Al-Hadist, jelas bahwa Islam
benar-benar telah mengatur sistem ekonomi dengan teliti dan jelas melalui
nilai-nilainya yang universal, yaitu bahwa setiap transaksi ekonomi (muamalat)
harus didasarkan pada asas kejujuran, keadilan, toleransi dan suka sama suka,
baik dalam perdagangan, kerjasama (sharing) ataupun semua aspek ekonomi.
Indikasinya bisa dilihat dari dibolehkannya sistem barter (materi dan manfaat),
baik melalui jual beli, sewa menyewa, penggadaian, kerja sama dan lainnya.
Islam juga telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dalam
melakukan transaksi ekonomi (selama tidak melanggar nilai-nilai universal
Islam) bahkan menyuruh umatnya untuk terus dinamis dalam menciptakan
kemudahan transaksi melalui beberapa instrumen agar tidak tertinggal oleh
perubahan waktu dan tempat.
Secara umum bank syariah dapat diartikan sebagai media intermediasi
yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam
lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya dilandasi
oleh syariat-syariat Islam baik dalam bentuk jual-beli, bagi hasil maupun
sewa-menyewa. Namun secara eksplisit konsep bagi hasillah yang
benar-benar mewakili konsep islam dalam perbankan, karena selain ia bisa
menggerakkan sektor riil secara berimbang, ia juga berindikasi jangka panjang
sehingga akan mempunyai kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi secara
berkesinambungan. Jadi berdasarkan pengertian diatas idealnya bank syariah
adalah bank bagi hasil yang mengedepankan konsep loss and profit sharing
menggunakan konsep muamalah Islamiyah ala Indonesia yang diijtihadkan
MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) melalui DSN (Dewan Syariah Nasional),
lalu prakteknya diawasi oleh DPS (Dewan Pengawas Syariah) sehingga akan
menciptakan suatu mekanisme perbankan yang diharapkan mampu memberi
kemaslahatan objektif bagi umat seluruh alam.
Namun fakta yang ada sekarang adalah (Anita Rahmawaty, 2007)
perkembangan bank syariah didominasi oleh produk jual beli terutama
murabahah yang dapat dibuktikan dari beberapa hasil survey, ternyata
bank-bank syariah pada umumnya, banyak menerapkan murabahah sebagai metode
pembiayaan mereka yang utama, meliputi kurang lebih tujuh puluh lima
persen (75%) dari total kekayaan mereka. Sejak awal tahun 1984, di Pakistan,
pembiayaan jenis murabahah mencapai sekitar delapan puluh tujuh persen
(87%) dari total pembiayaan dalam investasi deposito PLS. Sementara itu, di
Dubai Islamic bank, pembiayaan murabahah mencapai delapan puluh dua
persen (82%) dari total pembiayaan selama tahun 1989. Bahkan, di Islamic
Development Bank (IDB), selama lebih dari sepuluh tahun periode
pembiayaan, tujuh puluh tiga persen (73%) dari seluruh pembiayaannya
adalah murabahah. Selain itu, hasil penelitian BMI Semarang pada tahun
1999, sekitar tujuh puluh delapan persen (78%) dari total pembiayaannya
adalah pembiayaan murabahah. Padahal, sebenarnya bank syariah memiliki
produk unggulan, yang berbasis profit and loss sharing (PLS), yaitu
Hal ini mengindikasikan bahwa ketertarikan nasabah pada perbankan
syariah masih didominasi oleh faktor idealitas bukan objektifitas kualitasnya,
hingga mereka lebih tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek yang
beresiko lebih kecil dibandingkan mudharabah atau musyarakah yang bersifat
jangka panjang. Hal ini secara objektif kembali menunjukkan kelemahan bank
syariah sebagai bank bagi hasil dalam mengaplikasikan dan mensosialisasikan
produk-produknya.
Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap
salah satu produk pembiayaan yang terdapat pada bank syariah yang tidak
menganut prinsip bunga/ riba, melainkan menggunakan prinsip perolehan
keuntungan atau margin yaitu pembiayaan al-murabahah. Dimana saat ini
produk murabahah atau produk dengan sistem jual beli merupakan salah satu
produk bank syariah yang paling banyak dilaksanakan. Oleh karena itu fokus
bahasan pada tulisan ini akan membahas khusus tentang perlakuan akuntansi
atas pembiayaan murabahah yang dikenal dengan istilah piutang murabahah
yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan peneliti kaitkan dengan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 102 tentang Akuntansi
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang yang telah disampaikan di atas,
maka dapat ditarik suatu permasalahan yang akan dikaji lebih mendalam pada
penelitian ini, yaitu: “Bagaimanakah perlakuan akuntansi terhadap
pembiayaan murabahah pada bank syariah berdasarkan PSAK No. 102 tentang Akuntansi Murabahah?”
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah serta rumusan masalah
yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
memberikan gambaran mengenai perilaku akuntansi terhadap pembiayaan
murabahah.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan akan diperoleh melalui penelitian yang
dilakukan oleh peneliti adalah:
Sebagai sarana untuk menerapkan serta membandingkan antara ilmu yang
diperoleh dari bangku perkuliahan dengan keadaan yang sebenarnya secara
langsung pada obyek penelitian, sehingga dapat mengetahui yang terjadi di
suatu instansi serta menambah informasi atau pengetahuan dan
pengalaman dalam dunia kerja.
b. Bagi Instansi
Dapat memberikan kontribusi informasi mengenai perlakuan akuntansi
yang tepat atas pembiayaan murabahah yang disalurkan oleh bank syariah,
yang tidak bertentangan dengan ketentuan yang diberlakukan pada bank
syariah.
Selain itu, dapat memberikan kontribusi informasi mengenai aplikasi
konsep syariah Islam tentang murabahah dalam teknis perbankan,
khususnya dalam hal penyaluran pembiayaan murabahah yang dilakukan
oleh bank syariah.
Dan hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan informasi
tambahan mengenai perlakuan akuntansi tentang pembiayaan murabahah
pada bank syariah khususnya BRI Syariah untuk penelitian lebih lanjut.
11
Diharapkan dapat menambah perbendaharaan dan referensi perpustakaan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur khususnya
jurusan Akuntansi dan untuk membantu penelitian selanjutnya yang
membahas tentang permasalahan yang sama.
d. Bagi Masyarakat
Melalui penelitian ini, diharapkan mampu memberikan informasi bagi
masyarakat tentang perlakuan akuntansi pembiayaan murabahah pada
bank syariah, dan mengetahui keunggulan bank syariah jika dibandingkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu
1. Penelitian sebelumnya yang membahas tentang akuntansi perbankan syariah
dilakukan oleh Ayuningtyas Puja K. W (2008), yang membahas “Perlakuan
Akuntansi Terhadap Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah menurut
PSAK No. 59 (Studi Kasus pada BPR Syariah Jabal Tsur Pandaan)”.
Perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada
objek dan acuan penelitiannya. Penelitian tersebut membahas mengenai
perlakuan akuntansi murabahah pada BPR Syariah Jaabal Tsur Pandaan
berdasarkan PSAK No. 59. Sedangkan penelitian ini mengenai penerapan
pembiayaan murabahah yang dilakukan oleh PT. BRI Syariah. Perbedaan
lainnya tampak pada standar akuntansi yang digunakan di mana pada
penelitian tersebut standar akuntansi yang digunakan adalah PSAK No. 59
tentang Akuntansi Perbankan Syariah, sedangkan penelitian ini menggunakan
PSAK No. 102 tentang Akuntansi Murabahah.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas Puja K. W.,
menghasilkan kesimpulan bahwa BPR Syariah Jabal Tsur Pandaan sudah
mengikuti aturan PSAK No. 59 dengan baik, akan tetapi ada beberapa hal
Jabal Tsur Pandaan ini menyerahkan pembelian barang murabahah tersebut
kepada nasabah, seharusnya pembelian barang tersebut langsung ke tokonya
harus dilakukan oleh BPR Syariah tersebut sendiri.
2. Selain penelitian tersebut di atas, penelitian sebelumnya yang lain adalah
membahas tentang akuntansi perbankan syariah dilakukan oleh Joko
Rusmanto Jati (2004), yang membahas “Pembiayaan dengan Prinsip Jual Beli
Istishna pada Bank Syariah berdasarkan PSAK No.59”.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah, bahwa
peneliti melakukan penelitian mengenai penerapan dan perlakuan akuntansi
terhadap pembiayaan jual beli Al-Murabahah berdasarkan PSAK No. 102
pada bank syariah. Sedangkan peneliti terdahulu melakukan penelitian
mengenai pembiayaan dengan prinsip jual beli Istishna pada bank syariah
berdasarkan PSAK No. 59.
Secara garis besar penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan tentang
penerapan pembiayaan istishna beserta perlakuan akuntansinya untuk proyek
konstruksi telah sesuai dengan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah.
3. Dan penelitian terdahulu lainnya adalah mengenai “Efektivitas Penerapan
Sistem Mudharabah menurut PSAK 105 dan Sistem Profitabilitas pada
Asuransi Jiwa Syariah”, yang penelitiannya dilakukan oleh Erlina Mariza
Persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan saat ini, yaitu kedua
penelitian ini sama-sama meneliti di bidang akuntansi syariah. Sedangkan
perbedaan dari kedua penelitian ini adalah bahwa penelitian yang dilakukan
oleh peneliti terdahulu menjelaskan mengenai akuntansi mudharabah,
sedangkan yang peneliti lakukan saat ini adalah mengenai akuntansi
murabahah.
Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tersebut adalah kesesuaian
sistem mudharabah menurut PSAK No. 105 dan sistem profitabilitas pada
asuransi jiwa syariah dapat dinyatakan hampir sesuai dan pendanaan disini
mampu untuk meniadakan riba dalam seluruh kegiatan operasionalnya.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Tinjauan Umum Bank Syariah
2.2.1.1. Pengertian Perbankan Syariah
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan
yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan
sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut
maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta
larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha
tidak islami, dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan
konvensional.
Menurut Muhammad (2002:13) bank Islam disebut dengan bank tanpa
bunga, adalah lembaga keuangan atau perbankan yang operasional dan
produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Quran dan Hadist Nabi
Muhammad SAW.
Pengertian Bank Syariah Menurut Karnaen, “Bank Syariah adalah Bank
yang beroperasi sesuai dengan prinsip Islam. Yakni Bank dengan tata cara
dan operasinya mengikuti ketentuan syariah Islam”(Firdaus : 18).
2.2.1.2. Karakteristik Bank Syariah
Lembaga keuangan syariah memiliki karakteristik yang membedakannya
dari bank-bank konvensional, diantaranya adalah (Abdullah: 91-95):
1. Lembaga keuangan syariah harus bersih dari semua bentuk riba dan
kegiatan ekonomi yang dilarang syariah. Tanpa ini satu lembaga
keuangan tidak boleh dinamakan lembaga keuangan syariah. DR. Ghorib
Al-Gamal menyatakan: “Karakteristik bersih dari riba dalam muamalat
perbankan syariah adalah karakteristik utamanya dan menjadikan
keberadaannya seiring dengan tatanan yang benar untuk masyarakat
Islami.
2. Mengarahkan segala kemampuan pada pertambahan dengan jalan
keuntungan. Lembaga keuangan syariah harus dapat mengelola hartanya
dengan salah satu dari dua hal berikut yang telah diakui syariah:
a. Investasi Pengembangan modal langsung (Its-titsmar
al-Mubaasyir), dalam pengertian bahwa Bank melakukan sendiri
pengelolaan harta perniagaan dalam proyek-proyek riil yang
menguntungkan.
b. Investasi modal dengan musyarakah, dengan pengertian Bank
menanam saham dalam modal sektor riil yang menjadikan bank
syariah tersebut sebagai sekutu dalam kepemilikan proyek tersebut
dan berperan dalam administrasi, manajemen dan pengawasannya
serta menjadi sekutu juga dalam semua yang dihasilkan proyek
tersebut baik berupa keuntungan atau kerugian dalam persentase yang
telah disepakati diantara para sekutu.
3. Mengikat pengembangan ekonomi dengan pertumbuhan sosial. Lembaga
keuangan syariah tidak hanya sekedar mengikat pengembangan ekonomi
dan pertumbuhan sosial semata, namun harus menganggap pertumbuhan
sosial masyarakat sebagai asas yang tidak boleh terlepas dari proses
pengembangan ekonomi. Dengan demikian bank syariah harus menutupi
dua sisi ini dan komitmen terhadap perbaikan masyarakat dan
keadilannya. Tidak mengarah seperti bank konvensional yang mengarah
kepada proyek-proyek yang memiliki prospek dan menjanjikan
pertumbuhan sosial kemasyarakatan, karena hal itu adalah kekurangan
yang memiliki akibat bahaya dalam masyarakat.
4. Mengumpulkan harta yang menganggur dan menyerahkannya kepada
aktivitas ekonomi dan pengelolaan dengan target pembiayaan
proyek-proyek perdagangan, industri dan pertanian, karena kaum muslimin yang
tidak ingin menyimpan hartanya di bank-bank konvensional berharap
adanya bank syariah untuk menyimpan harta mereka disana.
5. Memudahkan sarana pembayaran dan memperlancar gerakan pertukaran
perdagangan langsung sedunia Islam dan bekerja sama dalam bidang
tersebut dengan seluruh lembaga keuangan syariah dunia agar dapat
menunaikan tugasnya dengan sesempurna mungkin.
6. Menghidupkan tatanan zakat dengan membuat lembaga zakat dalam bank
itu sendiri dan yang mengumpulkan hasil zakat bank tersebut. Lalu
manajemen lembaga keuangan sendiri yang mengelola lembaga zakat
tersebut. Karena lembaga keuangan syariah tunduk kepada pengelolaan
zakat untuk muamalat Islami dan hak-hak wajib pada harta-harta
tersebut.
7. Membangun baitul mal kaum muslimin dan mendirikan lembaga untuk
itu yang dikelola langsung manajemennya oleh lembaga keuangan
tersebut.
8. Menanamkan kaidah adil dan kesamaan dalam keberuntungan dan
kerugian dan menjauhkan unsur ihtikaar (penimbunan barang agar
jumlah kaum muslimin setelah sebelumnya kemaslahatan tersebut hanya
milik pemilik harta yang besar yang tidak peduli dari jalan mana
medapatkannya.
2.2.1.3. Fungsi Bank Syariah
Bank syariah mempunyai fungsi yang berbeda dengan bank konvensional.
Fungsi bank syariah secara umum terbagi menjadi dua yaitu fungsi tamwil
dan fungsi maal. Fungsi tamwil bank syariah terwujud melalu fungsi sebagai
manajer investasi, investor, dan jasa keuangan, sedangkan fungsi mall
diwujudkan melalui fungsi sosial.
Fungsi-fungsi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut (Abdurahim, 2009:
54-56):
a. Manajer Investasi
Sebagai manajer investasi, bank syariah berperan dalam pengelolaan dana
yang dihimpun dari nasabah. Bank syariah berkewajiban mengelola dana
yang terhimpun dengan hati-hati, profesional, serta transparan. Besar kecilnya
pendapatan (bagi hasil) yang diterima oleh pemilik dana (nasabah) sangat
bergantung pada keahlian, kehati-hatian, dan profesionalisme dari bank
syariah.
Fungsi manajer investasi ini dilakukan dengan cara menghimpun dana
mutlaqah. Prinsip wadiah yad dhamanah bisa dalam bentuk simpanan giro
wadiah atau tabungan mudharabah, sedangkan prinsip mudharabah mutlaqah
bisa dalam bentuk tabungan mudharabah atau deposito mudharabah. Setiap
dana yang terhimpun dari nasabah, khususnya dalam bentuk dana
mudharabah, harus kembali disalurkan dalam bentuk pembiayaan kepada
sektor-sektor yang produktif agar dana yang dihimpun tersebut dapat
menghasilkan bagi pemilik dana/nasabah. Bank syariah tidak sepantasnya
menghimpun dana mudharabah apabila tidak mampu menyalurkan dana
tersebut pada sektor yang produktif karena bagi hasil yang akan diterima oleh
pemilik dana akan semakin mengecil.
b. Investor
Bank syariah yang berhasil menghimpun dana dalam bentuk wadiah yad
dhamanah, mudharabah mutlaqah, atau dana lain (modal sendiri,dsb)
kemudian dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk pooling dana.
Berbagai macam dana yang dihimpun dan dicampur dalam pooling dana
inilah yang kemudian digunakan oleh bank syariah yang berfungsi sebagai
investor untuk disalurkan kepada sektor-sektor yang tidak bertentangan
dengan syariah. Umumnya penyaluran dana (investasi) oleh bank syariah
1. Prinsip Bagi Hasil, yaitu instrumen penyaluran dana kepada sektor-sektor
produktif dengan menggunakan produk-produk pembiayaan mudharabah
atau musyarakah.
2. Prinsip Ujroh, yaitu sarana penyaluran dana melalui produk-produk
pembiayaan ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik
3. Prinsip Jual-beli, yaitu penyaluran pendanaan melalui produk-produk
pembiayaan murabahah, salam dan salam paralel, istishna dan istishna
paralel.
c. Jasa Keuangan
Fungsi ini tidak jauh berbeda dengan fungsi yang telah dijalankan oleh
bank konvensional (non syariah). Bank syariah juga bisa memberikan layanan
transfer, RTGS (Real Time Gross Settlement), kliring, inkaso, payroll
(pembayaran gaji), jasa pembayaran telepon, listrik, dan lain sebagainya,
namun tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip syariah dan tidak
melanggar kaidah-kaidah syariah yang telah ditetapkan. Hampir semua
layanan jasa bank konvensional bisa juga diberikan oleh bank syariah,
misalnya bank garansi, letter of credit, mobile banking, net banking, dan lain
sebagainya. Ini bisa dilakukan karena secara sistem teknologi bank syariah
juga telah mengadopsi teknologi-teknologi mutakhir dan maju sesuai dengan
perkembangan zaman.
Bank Syariah dan perbankan Islam umumnya diharuskan memberikan
pelayanan sosial kepada masyarakat, baik berupa penerimaan dana zakat,
infak, dan sedekah (ZIS) sekaligus penyaluran dana ZIS tersebut kepada
pihak-pihak yang berhak untuk menerimanya dengan cara yang transparan
dan bertanggungjawab. Selain sebagai penerima dan penyalur dana ZIS, bank
syariah juga memberikan pelayanan sosial melalui dana Qard (pinjaman
kebajikan). Pinjaman kebajikan dana Qard ini murni berdasarkan tujuan
sosial atau tolong menolong, mekanismenya adalah bank syariah
meminjamkan uang tanpa meminta imbalan dalam bentuk apapun. Selain
transaksi Qard (pinjaman kebajikan) tersebut, bank syariah juga memiliki
transaksi Salam yang digunakan untuk transaksi dengan mekanisme
penyerahan barangnya dilakukan di kemudian hari tetapi pembayarannya
dilakukan di muka pada saat akad. Kedua transaksi tersebut (Qard dan
Salam) bagi bank konvensional tentulah sulit dilakukan, karena bagi bank
konvensional yang menggunakan prinsip memperdagangkan uang, tentunya
sangat rugi jika memberikan uang tanpa imbalan apapun atau memberikan
uang yang belum ada barangnya.
2.2.1.4. Peran Bank Syariah
Bank Syariah berperan sebagai lembaga perantara antara satuan-satuan
kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan
kelebihan dana tersebut dapat disalurkan kepada pihak yang memerlukan dan
memberikan manfaat kepada kedua belah pihak.
2.2.1.5. Tujuan Bank Syariah
Setelah di dalam sejarah perjalanan bank-bank yang telah ada (bank
konvensional) dirasakan mengalami kegagalan menjalankan fungsi utamanya
menjembatani antara pemilik modal atau kelebihan dana dengan pihak yang
membutuhkan dana, maka dibentuklan bank-bank Islam dengan tujuan-tujuan
sebagai berikut:
1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara Islam,
khususnya muamalah yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar
dari praktik-praktik riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang
mengandung unsur gharar (tipuan), di mana jenis-jenis usaha tersebut
selarang dilarang dalam Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif
terhadap kehidupan ekonomi umat.
2. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi, dengan jalan
meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi
kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal (orang kaya) dengan
3. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat, dengan jalan membuka peluang
berusaha yang lebih besar terutama kepada kelompok miskin, yang
diarahkan kepada kegiatan usaha kegiatan usaha yang produktif, menuju
terciptanya kemandirian berusaha (berwirausaha).
4. Untuk membantu menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada
umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang
berkembang. Upaya Bank Syariah di dalam mengentaskan kemiskinan ini
berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari
siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha
produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen,
program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha
bersama.
5. Untuk menjaga kestabilan ekonomi/moneter pemerintah. Dengan
aktivitas-aktivitas Bank Syariah yang diharapkan mampu menghindarkan inflasi
akibat penerapan sistem bunga, menghindarkan persaingan yang tidak
sehat antara lembaga keuangan, khususnya bank dan menanggulangi
kemandirian lembaga keuangan, khususnya bank dari pengaruh gejolak
moneter baik dari dalam maupun luar negeri.
6. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank
konvensional atau bank non-Islam yang menyebabkan umat Islam berada
ajaran agamanya secara penuh, terutama di bidang kegiatan bisnis dan
perekonomiannya (Isa, Abdurrahman: 29).
2.2.1.6. Produk Perbankan Syariah
Bank Indonesia menetapkan produk perbankan syariah dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu (Muhammad, 2002: 101-103):
A.Produk Penyaluran dana
Dibedakan dalam 3 (tiga) kategori yang dibedakan berdasar tujuan
penggunaannya;
Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang,
dilakukan dengan prinsip jual beli.
Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa
dilakukan dengan prinsip sewa.
Transaksi pembiayaan untuk usaha kerja sama yang ditujukan guna
mendapat sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
1. Prinsip Jual beli
Prinsip jual beli, berhubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan
menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli
dibedakan atas bentuk pembayaran dan penyerahan barang sebagai
berikut:
a. Pembiayaan Murabahah
Bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Harga jual
adalah harga beli Bank dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak
harus sepakat atas harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual
dicantumkan dalam akad jual beli, dan tak berubah selama berlakunya
akad. Dalam transaksi ini barang diserahkan setelah akad, sedangkan
pembayaran dilakukan secara tangguh.
b. Salam
Transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh
karena itu barang diserahkan secara tangguh, sedang pembayaran secara
tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, nasabah sebagai penjual. Sekilas
transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam salam, kuantitas, kualitas,
harga dan waktu penyerahan barang ditentukan secara pasti. Dalam
praktek, barang yang telah diserahkan kepada Bank, maka Bank dapat
menjual kembali barang tersebut secara tunai atau cicilan. Harga jual yang
Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang
belum ada, seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank, untuk
kemudian dijual kembali secara tunai atau cicilan.
Ketentuan umum salam:
Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas:
jenis, macam/bentuk, ukuran, mutu dan jumlahnya.
Bila hasil produksi yang diterima tidak sesuai, maka nasabah harus
bertanggung jawab, antara lain mengembalikan dana yang telah
diterima atau mengganti barang sesuai pesanan.
Karena Bank tak menjadikan barang yang dibeli/dipesan sebagai
persediaan (inventory), maka Bank dimungkinkan untuk melakukan
akad salam pada pihak ketiga. Mekanisme seperti ini disebut dengan
paralel salam.
c. Istishna
Menyerupai salam, namun pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam
beberapa termin pembayaran. Skim istishna dalam Bank Syariah, umum
dilakukan untuk pembiayaan manufaktur dan konstruksi. Spesifikasi
barang pesanan harus jelas, seperti: jenis, ukuran, mutu dan jumlah. Harga
jual dicantumkan dalam akad istishna dan tak boleh berubah selama
berlakunya akad.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Bila pada jual beli
obyek transaksi adalah barang, maka pada ijarah objeknya jasa. Pada akhir
masa sewa, bank dapat menjual barang yang disewakannya kepada
nasabah. Harga jual dan harga sewa disepakati pada awal perjanjian.
3. Prinsip Bagi Hasil
Prinsip bagi hasil dibagi dua, yaitu:
a. Musyarakah
Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja
sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara
bersama-sama.
Ketentuan umum: Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek
musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak
turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh
pelaksana proyek.
Adalah bentuk kerja sama antara 2 (dua) atau lebih pihak dimana pemilik
modal mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib)
dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
Ketentuan umum:
Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal,
harus secara tunai, dapat berupa uang tunai atau barang yang
dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Jika modal diserahkan secara
bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
Hasil pengelolaan diperhitungkan dengan 2 (dua) cara: 1) revenue
sharing, yang berasal dari pendapatan proyek, dan 2) profit sharing,
dari keuntungan proyek.
Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tak
berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah.
4. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaku pembiayaan, diperlukan akad pelengkap.
Meski tak ditujukan mencari keuntungan, dalam akad pelengkap
dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
melaksanakan akad ini. Besar pengganti biaya sekedar untuk menutupi
biaya yang benar-benar timbul.
Fasilitas ini lazim untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai
agar dapat melanjutkan produksi. Bank mendapat ganti biaya atas jasa
pemindahan piutang.
b. Rahn (Gadai)
Untuk memberi jaminan pembayaran kembali kepada Bank dalam
memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi
kriteria:
1) Milik nasabah sendiri,
2) Jelas ukuran, sifat dan nilainya, ditentukan berdasar nilai riil pasar,
3) Dapat dikuasai, tapi tak boleh dimanfaatkan oleh bank.
c. Qard
Adalah pinjaman uang.
Aplikasi Qard dalam perbankan, antara lain:
Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberi
pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan
haji. Pinjaman dilunasi sebelum berangkat haji.
d. Wakalah (perwakilan)
Terjadi bila nasabah memberi kuasa kepada Bank untuk mewakili dirinya
melaksanakan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C (Letter of
Credit), inkaso dan transfer uang.
e. Kafalah (Bank Garansi)
Diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban
pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan
sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn (gadai), serta Bank dapat
pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadiah. Bank diperkenankan
mendapat ganti biaya atas jasa yang diberikan.
B. Produk penghimpun dana
Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan
deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam
penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan mudharabah.
1. Prinsip Wadiah
Ketentuan umum:
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau
ditanggung Bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan
kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana
masyarakat, namun tidak boleh diperjanjikan dimuka.
Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup
izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang
disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus
bagi pemilik rekening giro, Bank dapat memberikan buku cek, bilyet
giro, dan debit card.
Terhadap pembukaan rekening ini Bank dapat mengenakan pengganti
biaya administrasi sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar
terjadi.
Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan
tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
2. Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan
bertindak sebagai pemilik modal, dan bank sebagai mudharib (pengelola).
Dana tersebut digunakan Bank untuk melakukan pembiayaan murabahah
atau ijarah seperti yang dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut
digunakan oleh bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil
usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.
Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana, biasanya
diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan
pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam
akad pelengkap ini dibolehkan meminta pengganti biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya
sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a. Wakalah (perwakilan)
Terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili
dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer
uang.
b. Jasa perbankan
Bank Syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada
nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa
perbankan tersebut, antara lain:
Sharf (jual beli valuta asing) : Jual beli valas yang tidak sejenis,
penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank
Ijarah (sewa): Jenis kegiatan ijarah, antara lain penyewaan kotak
simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen
(custodian). Bank dapat imbalan sewa atas jasa tersebut.
2.2.1.7. Perbedaan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
Perbedaan signifikan pembiayaan antara Bank Konvensional dengan Bank
[image:48.595.115.500.546.710.2]Syariah (Antonio, 2001: 34) adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1.: Perbedaan Antara Bank Syariah dan bank Konvensional
Bank Syariah Bank Konvensional
Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
Investasi yang halal dan haram.
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa.
Memakai perangkat bunga.
Profit dan falah oriented Profit oriented
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur. Penghimpunan dan penyaluran dana
harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.
Tidak terdapat dewan sejenis.
Pada dasarnya, perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional
adalah bahwa pada bank konvensional digunakan perangkat bunga dalam
kegiatan operasionalnya. Sedangkan pada bank syariah tidak mengenal
adanya prinsip bunga. Sebagai gantinya digunakan prinsip bagi hasil
keuntungan (Syafii Antonio, 2001: 29).
2.2.2. Konsep Riba dalam Islam
2.2.2.1. Pengertian Riba dalam Islam
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat
pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok,
yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah
(tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh
dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat
dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan
prinsip muamalat dalam Islam.
2.2.2.2. Jenis-jenis Riba
Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Yaitu riba
hutang-piutang dan riba jual-beli. Riba hutang-hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba
qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan
riba nasi’ah (www.koperasisyariah.com/jenis-jenis-riba/).
Riba hutang-piutang:
‐ Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtaridh).
‐ Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak
mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
‐ Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis
barang ribawi.
‐ Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan
antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
2.2.2.3. Larangan Riba dalam Islam
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba
pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah
ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah
dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil
bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut
sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk
ke dalam riba. Bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? Hal yang
ditetapkannya akad di awal. Jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat
suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti.
Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil
bagi deposannya, dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya,
yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung
sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga
tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang
terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. Berbeda dengan bagi
hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya, maka yang di
bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan
nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah
60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh
pihak bank.
2.2.2.4. Dampak Riba
Jika dalam sebuah negara praktek riba sudah menjadi sebuah kebiasaan
yang akan susah luntur, maka praktek riba tersebut akan menimbulkan
dampak yang buruk bagi masyarakat secara luas. Beberapa bahaya tersebut
diantaranya adalah
(www.pesantrenvirtual.com/index.php/ekonomi-syariah/1106-riba-dan-meta-ekonomi-islam):
a. Sistem ekonomi ribawi menimbulkan krisis ekonomi dimana-mana, sejak
tahun 1930-an sampai sekarang ini. Sistem ribawi menjadi penyebab
senantiasa berpindah dari tingkat bunga riil yang rendah ke tingkat bunga
riil yang tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan yang
besar dan menyimpan uangnya di negara yang tingkat bunga riilnya lebih
tinggi. Usaha seperti ini disebut dengan Arbitraging. Tingkat bunga riil
yang dimaksud adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
b. Kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia akan semakin
terjadi secara konstan, sehingga yang kaya akan menjadi semakin kaya dan
yang miskin akan menjadi lebih miskin.
c. Riba akan berpengaruh pada investasi, produksi, dan pengangguran.
Semakin tinggi tingkat suku bunga, semakin rendah investasi. Dengan
rendahnya investasi akan menurunkan produksi, dengan menurunnya
produksi akan meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.
d. Secara teori makro ekonomi akan menimbulkan inflasi. Inflasi yang
disebabkan oleh bunga disebabkan oleh ulah manusia. Inflasi akan
menurunkan daya beli dan meningkatkan kemiskinan rakyat dengan
asumsi ceteris paribus.
e. Dengan sistem ekonomi ribawi ini maka menjebak negara-negara
berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga
untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi membayar pokok
dari hutang mereka.
f. Di Indonesia, bunga berdampak pada pengurasan dana APBN. Bunga telah
membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbankan
2.2.2.5. Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang.
Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing
(id.wikipedia.org/wiki/Riba).
1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung resiko karena
berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan
kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung
resiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan
tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam
mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang
membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank
Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya
(return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya
perolehan kembali itu tergantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi
dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang.
Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of
investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi
2.2.2.6. Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil
Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya
sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya
mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan
[image:55.595.141.438.287.488.2]sebagai berikut:
Tabel 2.2.: Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil
Bunga Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Riba
2.2.3. Pembiayaan
2.2.3.1. Pengertian Pembiayaan
Menurut Gozali (2005: 18), kredit di bank konvensional identik dengan
uang yang dipinjam tersebut. Tentunya hal ini bertentangan dengan kaidah
islam seperti yang sudah dijelaskan. Oleh karena itu, bank syariah tidak
menggunakan istilah “kredit” melainkan istilah “pembiayaan”.
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian
fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat
dibagi menjadi (Antonio, 2001):
I. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik
usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi
2 hal berikut:
A. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi
kebutuhan:
a)Peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil
produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas
atau mutu hasil produksi;dan
b)Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari
suatu barang.
B. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan
barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya
II. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk
dipakai memenuhi kebutuhan.
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas
kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder.
Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti
makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal maupun berupa jasa,
seperti pendidikan dasar dan pengobatan. Adapun kebutuhan sekunder
adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif
lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer, baik berupa barang,
seperti makanan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah,
kendaraan dan sebagainya, maupun berupa jasa, seperti pendidikan,
pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan, dan sebagainya.
2.2.3.2. Pembiayaan pada bank Syariah
Menurut Ghazali (2005: 18), bank konvensional sering kali tidak terlalu
memperhatikan penggunaan dana yang disalurkannya. Mungkin saja
digunakan untuk mengembangkan usaha. Inilah yang kerap dilakukan oleh
debitur karena menganggap kredit sebagai uang lebih. Dan ternyata hasilnya
usaha mereka menjadi terlalu berat menanggung beban pengembalian yang
sesungguhnya digunakan juga untuk keperluan pribadinya.
Beda halnya jika kita mengajukan pembiayaan ke bank syariah. Hal
pertama yang akan ditanyakan adalah untuk apa pembiayaan itu diperlukan,
karena maksud pembiayaan akan menentukan akad pembiayaan apa yang
akan digunakan.
Pada bank konvensional, akad yang digunakan hanya satu, yaitu pinjam
uang untuk tujuan apapun, yang pasti jumlah pengembaliannya telah
ditambah dengan bunga. Sedangkan pada bank syariah, walaupun sama-sama
untuk usaha, tetapi jika beda tujuan, pasti akad yang digunakan juga akan
berbeda.
Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan
barang konsumsi sebagai berikut
(www.scribd.com/doc/3144164/Praktek-Pembiayaan-Dalam-Perbankan-Syariah):
1.Al-Bai’bitsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual beli dengan
angsuran.
2.Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik atau sewa beli.
3.Al-Musyawarakah mutanaqhishah atau decreasing participation, dimana
secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.
Hal-hal di atas ini adalah yang menghasilkan beberapa jenis dari produk
syariah.
2.2.4. Pembiyaan Murabahah
2.2.4.1. Pengertian Murabahah
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan
pembeli. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan
persentase. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai (bai’
naqdan) atau tangguh (Bai’ Mu’ajjal/bai’ Bi’tsaman Ajil).
Skema 2.1.: Skema Murabahah
2.Akad Jual Beli 6.Bayar
5. Terima Barang & Dokumen
3.Beli Barang 4. Kirim
Sumber: M. Syafii Antonio, 2001: 107
NASABAH
BANK SYARIAH
PENJUAL/
SUPPLIES 1.NEGOSIASI &
PERSYARATAN
2.2.4.2. Jenis-jenis Murabahah
1. Murabahah dengan pesanan (murabaha to the purchase order)
Dalam murabahah jenis ini, penjual melakukan pembelian barang setelah
ada pemesanan dari pembeli. Murabahah dengan pesanan dapat bersifat
mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang
dipesannya. Kalau bersifat mengikat, berarti pembeli harus membeli
barang yang dipesannya dan tidak dapat membatalkan pesanannya.
2. Murabahah tanpa pesanan; murabahah jenis ini bersifat tidak mengikat,
atau dengan kata lain ada yang beli atau tidak, bank syariah tetap
menyediakan barang
2.2.4.3. Rukun dan Ketentuan Murabahah
Rukun dan ketentuan murabahah, yaitu (Nurhayati, dkk., 2008: 165):
1.Pelaku
Pelaku cakap hukum dan baligh (berakal dan dapat membedakan),
sehingga jual beli dengan orang gila menjadi tidak sah sedangkan jual
beli dengan anak kecil dianggap sah, apabila seizin walinya.
2.Objek Jual Beli, harus memenuhi:
a. Barang yang diperjualbelikan adalah barang halal.
b. Barang yang diperjualbelikan harus dapat diambil manfaatnya atau
c. Barang tersebut dimiliki oleh penjual.
d. Barang tersebut dapat diserahkan tanpa tergantung dengan kejadian
tertentu di masa depan.
e. Barang tersebut harus diketahui secara spesifik dan dapat
diidentifikasi oleh pembeli sehingga tidak ada gharar
(ketidakpastian).
f. Barang tersebut dapat diketahui kuantitasnya dengan jelas.
g. Barang tersebut dapat diketahui kualitasnya dengan jelas sehingga
tidak ada gharar.
h. Harga barang tersebut jelas.
i. Barang yang diakadkan secara fisik ada di tangan penjual.
3.Ijab Kabul
Pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara pihak-pihak pelaku
akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2.2.4.4. Syarat-syarat Murabahah
Syarat-syarat Murabahah (Antonio, 2001: 102):
1. Bank Islam (penjual) memberitahu biaya modal kepada nasabah.
3. Kontrak harus bebas dari riba.
4. Bank Islam (penjual) harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi sesudah
pembelian dan harus membuka semua hal yang berhubungan dengan cacat.
5. Bank Islam (penjual) harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi
harga pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
6. Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan:
a. Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
b. Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan.
c. Membatalkan kontrak.
Jual beli secara murabahah di atas hanya untuk barang atau produk yang
telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan
berkontrak. Bila produk tersebut tidak dimiliki penjual, sistem yang
digunakan adalah murabahah kepada pemesanan pembelian (murabahah
KPP), hal ini dinamakan demikian karena penjual semata-mata mengadakan
barang untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang memesannya.
2.2.4.5. Dasar Hukum Murabahah
Sumber hukum murabahah adalah:
1.Al-Quran
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan hak sesamamu
dengan jalan batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah 2:275).
2. Al-Hadist
Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah).
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan secara suka sama suka.”
(Riwayat al-Baihaqi, Ibnu Majah, dan sahih menurut Ibnu Hiban).
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor 4/ DSN-MUI IV/ 2000 tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah,
Nomor 13/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Uang
Muka Dalam Murabahah,
Nomor 16/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Diskon
Dalam Murabahah,
Nomor 17/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Sanksi
Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, dan
Nomor 23/ DSN-MUI/ III/ 2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Potongan
Berdasarkan fatwa-fatwa tersebut, Bank Indonesia mengatur lebih lanjut
dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia atau Surat Edaran Bank Indonesia,
seperti tentang kolektibilitas dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah
Indonesia (PAPSI). Sesuai UU No.10/1998 tentang perubahan UU No.7
tentang Perbankan dalam penjelasan pasal 6 huruf m dijelaskan bahwa yang
mempunyai kewenangan untuk mengatur kegiatan usaha Bank Syari’ah
adalah Bank Indonesia.
2.2.4.6. Aturan tentang Murabahah
Pembiayaan murabahah telah diatur dalam Fatwa DSN No. 4 / DSN –
MUI / IV / 2000. Dalam fatwa tersebut disebutkan ketentuan mengenai
murabahah yaitu sebagai berikut (Bank Indonesia,