• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI A. Hakikat Strategi Cooperative Learning

B. Metode Student Team Achievement Division (STAD)

Student Team Achievement Division (STAD) merupakan salah satu

strategi pembelajaran kooperatif yang di dalamnya beberapa kelompok kecil siswa dengan level kemampuan akademik yang berbeda-beda saling bekerja sama untuk menyelesaikan tujuan pembelajaran. Tidak hanya secara akademik, siswa juga dikelompokkan secara beragam berdasarkan gender, ras, dan etnis. Strategi ini pertama kali dikembangkan oleh Robert Slavin di Johns Hopkins University (Huda, 2014: 201).

Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan beranggotakan 4-5 orang. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajarannya, kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, dengan cara berdiskusi. Secara individual, setiap minggu atau setiap dua minggu, siswa diberi kuis. Kuis tersebut diberi skor dan setiap siswa diberi skor perkembangan. Skor perkembangan ini tidak berdasarkan skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor yang lalu. Setiap minggu, pada suatu lembar penilaian singkat atau dengan cara lain, diumumkan tim-tim dengan skor tertinggi, siswa yang mencapai skor perkembangan tertinggi atau siswa yang mencapai skor sempurna pada kuis-kuis itu (Hamdani, 2011 : 36).

Seperti halnya pembelajaran lainnya, pembelajaran kooperatif tipe STAD ini juga membutuhkan persiapan yang matang sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Persiapan-persiapan tersebut antara lain :

a. Perangkat Pembelajaran

Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran ini perlu dipersiapkan perangkat pembelajarannya, yang meliputi RPP, Buku siswa, LKS beserta lembar jawaban.

b. Membentuk kelompok kooperatif

Menentukan anggota kelompok diusahakan agar kemampuan siswa dalam kelompok adalah heterogen dan kemampuan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya relatif homogen. Apabila memungkinkan kelompok kooperatif perlu memerhatikan ras, agama, jenis, kelamin, dan latar belakang sosial. Apabila dalam kelas terdiri atas ras dan latar belakang yang relatif sama, maka pembentukan kelompok dapat didasarkan pada prestasi.

c. Menentukan Skor Awal

Skor awal yang dapat digunakan dalam kelas kooperatif adalah nilai ulangan sebelumnya. Skor awal ini dapat berubah setelah ada kuis. Misalnnya, pada pembelajaran lebih lanjut dan setelah diadakan tes, maka hasil tes masing-masing individu dapat dijadikan skor.

d. Pengaturan Tempat Duduk

Pengaturan tempat duduk dalam kelas kooperatif perlu juga diatur dengan baik, hal ini dilakukan untuk menunjang keberhasilan pembelajaran kooperatif apabila tidak ada pengaturan tempat duduk dapat menimbulkan kekacauan yang menyebabkan gagalnya pembelajaran pada kelas kooperatif.

e. Kerja Kelompok

Untuk mencegah adanya hambatan pada pembelajaran kooperatif tipe STAD, terlebih dahulu diadakan latihan kerja sama kelompok. Hal ini bertujuan untuk lebih jauh mengenalkan masing-masing individu dalam kelompok (Trianto, 2009: 70).

Secara sederhana terdapat empat tahapan dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD. Menurut Huda (2014: 201) tahapan tersebut yaitu :

a. Pengajaran

Pada tahap ini guru menyajikan materi pelajaran, biasanya dengan format ceramah-diskusi. Pada tahap ini, siswa seharusnya diajarkan tentang apa yang akan mereka pelajari dan mengapa pelajaran tersebut penting.

b. Tim Studi

Pada tahap ini, para anggota kelompok bekerja secara kooperatif untuk menyelesaikan lembar kerja dan lembar jawaban yang telah disediakan oleh guru.

c. Tes

Pada tahap ujian, siswa secara individual menyelesaikan kuis. Guru men-skor kuis tersebut dan mencatat pemerolehan hasilnya saat itu serta hasil kuis pada pertemuan sebelumnya. Hasil tes dari individu akan diakumulasikan untuk skor tim mereka.

d. Rekognisi

Setiap tim menerima penghargaan atau reward bergantung pada nilai skor rata-rata tim. Misalnya, tim-tim yang memperoleh poin peningkatan 15 hingga 19 poin akan menerima sertifikat sebagai tim baik, tim yang memperoleh rata-rata poin peningkatan dari 20 hingga 24 akan menerima sertifikat tim hebat, sementara tim yang memperoleh poin 25 hingga 30 akan menerima sertifikat sebagai tim super.

Diharapkan dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD ini dapat mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa, dan dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa.

Selain itu, belajar kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki hubungan anatar suku dan etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki hubungan antara siswa normal dan siswa pecandang cacat. C. Mutu Pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam)

1. Pendidikan Agama Islam (PAI)

Islam adalah syariat Allah yang diturunkan kepada umat manusia di muka bumi agar mereka beribadah kepada-Nya. Penanaman keyakinan terhadap Tuhan hanya bisa dilakukan melalui proses pendidikan baik di rumah, sekolah maupun lingkungan. Pendidikan Islam merupakan kebutuhan manusia, karena sebagai makhluk pedagogis manusia dilahirkan dengan membawa potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi serta pendukung dan pemegang kebudayaan (Majid, 2014: 11).

Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai fungsi ganda yang sekaligus mancakup tugas pokok. Fungsi pertama manusia sebagai khalifah di bumi yaitu al-Baqarah: 30 :

                                                    

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:

"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.".

Makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat, memanfaatkan serta melestarikan bumi. Agar, terlaksana fungsi kekhalifahan tersebut dengan baik, maka manusia harus memiliki dua syarat pokok pula. Pertama, syarat keilmuan. Manusia harus berilmu pengetahuan agar dia dapat memakmurkan alam

semesta, merawat dan melestarikan serta mengambil manfaatnya. Syarat kedua, memiliki moral dan akhlak. Bumi yang dipercayakan manusia untuk menjaganya, merawat, dan memanfaatkannya haruslah memiliki komitmen moral. Betapa banyak kerusakan alam terjadi disebabkan ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Kerusakan alam akan berdampak negatif untuk manusia (Daulay dkk, 2012: 3) .

Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Sesuai dengan firman Allah dalam Q.s Az-Zariyat ayat 56 :

           

Artinya : dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Di sini manusia harus tunduk dan pasrah kepada kebesaran Allah Swt. Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan khaliq dengan makhluk. Allah pencipta dan manusia yang diciptakannya. Karena itu manusia harus sadar tentang hal tersebut. Kesadarannya itulah yang membuat manusia harus tunduk dan patuh kepada khaliqnya, yaitu Allah Swt. sebagai tanda tunduk dan patuh tersebut manusia mengabdikan dirinya kepada-Nya dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya (Daulay dkk, 2012: 4).

Dua keseimbangan ini yang selalu dijaga oleh manusia di alam semesta. Berhubungan dengan alam, maka manusia sebagai pemimpinnya, yang mengusai, memanfaatkan, memelihara serta melestarikannya. Berhubungan dengan Allah. Manusia sebagai hamba, sebagai abdi yang beribadah serta tunduk dan patuh kepada-Nya.

Kata “pendidikan” dalam bahasa Yunani, dikenal dengan nama

paedagogos yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi dikenal

Bahasa Belanda menyebut istilah pendidikan dengan nama opvoeden, yang berarti membesarkan atau mendewasakan, voden artinya memberi makan. Dalam bahasa Inggris disebutkan dengan istilah education, yang berarti to give moral and intellectual training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual (Yasin, 2008 : 16).

Dari istilah-istilah dalam berbagai bahasa tersebut oleh Yasin (2008: 16) disederhanakan bahwa ternyata pendidikan itu merupakan kegiatan yang didalamnya terdapat proses pemberian pelayanan untuk menuntun perkembangan peserta didik. Proses untuk mengeluarkan atau menumbuhkan potensi yang terpendam dalam diri peserta didik. Proses memberikan sesuatu kepada peserta didik sehingga tumbuh menjadi besar, baik fisik maupun non fisik. Yang terakhir pendidikan sebagai proses penanaman moral atau proses pembentukan sikap, perilaku, dan melatih kecerdasan intelektual peserta didik.

Menurut Roqib (2009 : 18), pendidikan adalah usaha atau proses perubahan dan perkembangan manusia menuju ke arah yang lebih baik dan sempurna. Hal itu mengandung arti bahwa pendidikan bersifat dinamis karena jika kebaikan dan kesempurnaan tersebut bersifat statis maka ia akan hilang nilai kebaikannya. Gerak dinamis yang kontinu telah dilakukan oleh nabi dan membuahkan hasil berupa pembangunan peradaban Islam yang tinggi dan dihormati oleh masyarakat saat itu dan bahkan hingga sekarang ini. Pendidikan Islam selalu mengindikasikan suatu dinamika dan hal itu merupakan bagian utama dari nilai ajaran Islam.

Tanpa gerak dinamis dan proses yang terus menerus maka misi pendidikan akan sulit terwujud dengan baik dan efektif karena hidup itu sendiri menunjukkan suatu gerak dinamis, berbeda dengan kematian yang menunjukkan kondisi statis. Semakin dinamis seorang individu atau komunitas masyarakat maka semakin baik pula proses pendidikan dan kehidupannya sebab jika gerak dinamis tercabut dari kehidupan mereka maka yang terjadi adalah kematian (pendidikan) dalam kehidupan mereka. Pendidikan sepanjang hayat hanya bisa dimaknai dan dilaksanakan apabila dinamika kehidupan bisa dipertahankan.

Upaya tersebut dapat dilaksanakan dengan menumbuh-kembangkan potensi manusia dengan cara menanamkan pengetahuan (aspek kognitif), mengurus dan memelihara dengan cara diberi contoh perilaku (aspek afektif), dan mengatur atau melatih dengan cara memberi ketrampilan (aspek psikomotor) agar manusia peserta didik bisa bertambah dan berkembang menjadi sempurna dalam segala aspeknya (Yasin, 2008 : 21).

Sedangkan Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam. Menurut Tafsir (2014: 32) pendidikan Islami adalah bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Secara singkat, pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin. Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau

pelatihan yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Majid, 2014: 13).

Mujtahid (2011: 20) menyatakan bahwa, konsep pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan pengawasan, dan pengembangan potensialnya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat.

Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses pengembangan potensi manusia dalam segala aspeknya. Proses pengembangan potensi manusia tersebut berarti suatu aktivitas atau kegiatan yang bisa saja sudah didesain, dikonsep, atau dirancang dengan sengaja sebelumnya, untuk dilaksanakan di suatu tempat (lembaga) atau berupa kegiatan tanpa dirancang, namun berdampak pada pengembangan pribadi manusia dalam segala aspeknya sesuai dengan ajaran Islam (Yasin, 2008: 25-26). Dapat ditarik kesimpulan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah pembelajaran untuk mempelajari tentang pengetahuan agama Islam secara mendasar dan mendalam guna membentuk seorang muslim yang berkepribadian Islami sesuai dengan suri tauladan Rasulullah Saw.

Oleh karena itu, pendidikan yang sesuai dengan ideologi agama Islam atau pendidikan dalam perspektif Islam dapat dirumuskan definisinya sebagai proses mengembangkan potensi manusia baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik yang sesuai dengan kehendak ajaran Islam. Proses aktifitas pendidikan Islam untuk mengembangkan potensi manusia tersebut bisa dilakukan melalui dua pengertian yakni pendidikan Islam dalam arti aktivitas konseptual dan pendidikan Islam dalam arti non-konseptual (Yasin, 2008 : 26).

Yasin (2008: 27) menuturkan bahwa, pendidikan Islam aktivitas konseptual adalah suatu upaya sadar yang dirancang atau didisain untuk mengembangkan potensi atau fitrah manusia dalam segala aspeknya sesuai dengan ajaran Islam. aktivitas ini dapat dilakukan melalui jalur lembaga pendidikan formal.

Sedangkan pendidikan Islam dalam arti aktivitas non-konseptual adalah suatu peristiwa interaksi sosial antara manusia atau bertemunya manusia satu dengan lainnya, baik seorang, dua orang, atau lebih tanpa disengaja, tetapi dampaknya dapat mengembangkan potensi manusia dalam segala aspeknya sesuai dengan ajaran Islam. Aktivitas pendidikan model ini biasanya terjadi di jalur pendidikan luar formal (di masyarakat dan komunitas) atau dimana saja seseorang tersebut dapat berinteraksi dengan orang lain (Yasin, 2008: 27).

Islam memberikan perhatian penting terhadap pendidikan, karena dalam al-Qur’an Allah Swt memerintahkan kepada manusia untuk mendidik dirinya sendiri dan para keluarga agar terhindar dari siksa api neraka. Tujuan pendidikan Islam merupakan salah satu tolok ukur yang harus ada dalam setiap aktivitas pendidikan Islam. Pada dasarnya, tujuan pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia berkaitan dengan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 3 yang menyatakan, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Lestari dkk, 2010 : 78).

Pendidikan Agama Islam di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Majid, 2014: 16). Maka dari itu, Pendidikan Agama Islam haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai keberhasilan hidup (hasanah) di dunia bagi anak didik yang kemudian akan mampu membuahkan kebaikan di akhirat kelak.

Oleh sebab itu, pendidikan agama Islam sangatlah penting karena dengan pendidikan Islam, orang tua atau guru berusaha secara sadar memimpin dan mendidik anak diarahkan pada perkembangan jasmani dan rohani sehingga mampu membentuk kepribadian yang utama sesuai dengan ajaran Islam. Penanaman pendidikan Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil sebab pendidikan pada masa kanak-kanak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya.

Mengingat betapa pentingnya pendidikan agama Islam dalam mewujudkan harapan setiap orang tua dan masyarakat, serta untuk membantu terwujudnya tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan agama Islam harus diberikan dan dilaksanakan di sekolah dengan sebaik-baiknya. Tujuan pendidikan Islam sesungguhnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-Sunah. Dalam hal ini, paling tidak ada lima prinsip dalam pendidikan Islam (Raqib, 2009: 32-33).

Kelima prinsip tersebut adalah:

a. Prinsip Integrasi (Tauhid). Prinsip ini memandang adanya wujud kesatuan dunia-akhirat. Oleh karena itu, pendidikan akan meletakkan porsi yang seimbang untuk mencapai kebahagiaan di dunia sekaligus di akhirat.

b. Prinsip keseimbangan. Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip integrasi. Keseimbangan yang proporsional antara muatan rohaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni dan ilmu terapan, antara teori dan praktik, dan antara nilai yang menyangkut aqidah, syari’ah, dan akhlak.

c. Prinsip persamaan dan pembebasan. Prinsip ini dikembangkan dari nilai tauhid, bahwa Tuhan adalah Esa. Oleh karena itu, setiap individu dan bahkan semua makhluk hidup diciptakan oleh pencipta yang sama (Tuhan). Perbedaan hanyalah unsur untuk memperkuat persatuan. Pendidikan Islam adalah satu upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu nafsu dunia menuju pada nilai tauhid yang bersih dan mulia. Manusia dengan pendidikan, diharapkan bisa terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan nafsu.

d. Prinsip kontinuitas dan berkelanjutan (istiqomah). Dari konsep inilah dikenal prinsip pendidikan seumur hidup sebab di dalam Islam, belajar adalah suatu kewajiban yang tidak pernah dan tidak boleh berakhir. Seruan membaca yang ada dalam al-Qur’an merupakan perintah yang tidak mengenal batas waktu. Dengan menuntut ilmu secara kontinu dan terus menerus, diharapkan akan muncul kesadaran pada diri manusia akan diri dan lingkungannya, dan yang lebih penting tentu saja kesadaran akan Tuhannya.

e. Prinsip kemaslahatan dan Keutamaan. Jika ruh tauhid telah berkembang dalam sistem moral dan akhlak seseorang dengan kebersihan hati dan kepercayaan yang jauh dari kotoran maka ia akan memiliki daya jantung untuk membela hal-hal yang maslahat atau berguna bagi kehidupan. Sebab, nilai tauhid hanya bisa dirasakan apabila ia telah dimanifestasikan dalam gerak langkah manusia untuk kemaslahatan, keutamaan manusia itu sendiri.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prinsip pendidikan Islam identik dengan prinsip hidup setiap muslim, yaitu beriman, bertaqwa, berkepribadian muslim, serta menjadi insan khamil yang berakhlak mulia guna mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk itu perlu adanya acuan pokok yang mendasari pendidikan agama Islam sebab, merupakan bagian terpenting bagi manusia yang secara kodrati adalah insan pedagogis, maka acuan yang menjadi dasar adalah nilai yang tertinggi dari pandangan hidup masyarakat. Para pemikir muslim membagi sumber atau dasar yang dijadiakan acuan dalam pendidikan Islam menjadi tiga bagian yaitu al-Qur’an, hadis dan ijtihad. Jadi yang menjadi dasar dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Islam yaitu Al-qur’an, hadis, dan ijtihad para ulama.

2. Mutu Pembelajaran PAI

Pendidikan saat ini menjadi isu penting di Indonesia. Peran pendidikan sangat mendukung dalam peningkatan kreativitas siswa. Siswa yang kreatif sangat mendukung dalam peningkatan skill mereka, sehingga peserta didik diharapkan, setelah mereka terjun ke masyarakat, dapat mengembangkan life skillnya yang diperlukan untuk berkompetisi dalam persaingan global ( Lestari dkk, 2010 : 59).

Globalisasi sebagai lanjutan dari kemajuan yang diperoleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak bisa ditolak kehadirannya, hanya saja apa upaya yang harus dilakukan untuk meminimalisasi pengaruh-pengaruh negatif dari globalisasi tersebut serta memanfaatkan pengaruh positifnya.

Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfer modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi, tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas dari impitan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi (Majid, 2014: 25).

Dalam menghadapi tantangan tersebut pendidikan Islam membutuhkan manusia yang handal, memiliki komitmen dan etos kerja yang tinggi, manajemen yang berbasis sistem dan infra-struktur yang kuat, sumber dana yang memadai, kemauan politik yang kuat, serta standar yang unggul. Untuk dapat melakukan tugas tersebut pendidikan Islam membutuhkan unit penelitian dan pengembangan yang terus berusaha meningkatkan dan mengembangkan pendidikan Islam. Hanya dengan usaha yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan itulah, pendidikan Islam akan dapat mengubah tantangan menjadi peluang (Nata, 2013: 18).

Mutu dewasa ini merupakan isu penting yang dibicarakan hampir dalam sektor kehidupan, di kalangan bisnis, pemerintah, sistem pendidikan, dan sektor-sektor lainnya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, mutu adalah “ukuran baik buruk suatu benda, kadar, taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan dan sebagainya), kualitas”. Dalam bahasa Inggris, mutu diistilahkan dengan “quality”, sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan “juudah” (Fathurrohman, 2015: 119).

Mutu dapat didefinisikan ke dalam dua konsep yaitu konsep absolut dan relatif. Mutu dalam konsep absolut yaitu sesuatu yang bermutu merupakan bagian dari standar yang sangat tinggi yang tidak dapat diungguli. Produk-produk yang bermutu adalah sesuatu yang dibuat dengan sempurna dan dengan biaya yang mahal. Sedangkan dalam konsep relatif, mutu dipandang bukan sebagai suatu atribut produk atau layanan, tatapi sesuatu yang dianggap berasal dari produk atau layanan tersebut (Nata, 2013: 47). Sesuatu yang dikatakan bermutu, pasti ketika sesuatu itu bernilai baik atau mengandung makna yang baik. Sebaliknya sesuatu itu dikatakan tidak bermutu, bila sesuatu itu mempunyai nilai buruk.

Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dapat menghasilkan keluaran, baik pelayanan dan lulusan yang sesuai kebutuhan atau harapan pelanggan (pasar)nya. Mutu adalah sebuah proses terstruktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan. Mutu pendidikan yang dimaksudkan adalah kemampuan lembaga pendidikan dalam mendayagunakan sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar seoptimal mungkin.

Proses yang bermutu dapat dilakukan jika anggota lembaga pendidikan bekerja secara optimal, mempunyai komitmen dan

istiqomah dalam pekerjaannya. Tanpa adanya komitmen dan istiqomah dari para pekerja, dalam konteks lembaga pendidikan, civitas akademika, maka lembaga pendidikan tersebut tidak mungkin dapat melakukan proses yang bermutu. Maka dari itu untuk dapat melakukan proses yang bermutu juga dibutuhkan personalia yang bermutu dan berdedikasi tinggi. Sehingga berbuat yang optimal atau berkualitas itu harus dilakukan dalam semua jenjang. Apabila semua civitas akademika lembaga pendidikan mampu menyadari hal tersebut, maka mutu lembaga pendidikan tersebut akan dapat tercipta (Fathurrohman, 2015: 135).

Menurut Muhaimin ( 2011: 105-112)., ada beberapa cara strategis yang perlu diperhatiakn dalam rangka meningkatkan mutu Pendidikan Agama Islam dalam sebuah madrash/sekolah :

a. Membangun berbagai kekuatan di sekolah/madrasah yang meliputi memiliki guru yang mempunyai kompetensi, dedikasi, dan komitmen yang tinggi. Memiliki siswa yang berprestasi, yakni siswa yang berprestasi lahir dari proses pembelajaran yang kreatif dan efektif. Sekolah atau madrasah harus dapat menciptakan siswa yang berprestasi yang dapat membawa nama baik sekolah atau madrasah ditingkat nasional bahkan internasional. Mengembangkan sumber belajar yang tidak hanya berpusat pada

Dokumen terkait