• Tidak ada hasil yang ditemukan

III.BAHAN DAN METODE

B.MUTU SENSORI KUE BROWNIES PERLAKUAN

sukrosa:maltitol = 42.0:0.0), 75% (rasio sukrosa:maltitol =10.5:39.4) dan 100% (rasio sukrosa:maltitol = 0.0:52.5). Penampakan sensori cokelat masak yang terpilih untuk pengujian aplikasi pada formulasi kue brownies disajikan pada Gambar 9. Hasil peng- ujian statistik (Uji Tukey) seperti yang diperlihatkan pada Tabel 5, menunjukkan penambahan maltitol pada taraf 0, 25 dan 50% tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terha- daptingkat penerimaan konsumen pada aroma, warna dan tekstur cokelat masak. Perbe- daan mutu sensori dan penerimaan panelis berpengaruh nyata pada taraf 75 dan 100%. Tidak berpengaruh nyatanya mutu sensori dan tingkat penerimaan panelis pada cokelat masak penambahan 25 dan 50% maltitol, dapat disebabkan oleh tingkat penambahan 25 dan 50% maltitol belum menghasilkan karakteristik mutu sensori yang signifikan berbeda nyata dengan cokelat masak tanpa penambahan maltitol.

B.MUTU SENSORI KUE BROWNIES PERLAKUAN

Karakteristik mutu sensori adonan kue brownies seperti yang diperlihatkan pada Gambar 10. memperlihatkan karakteristik viskoelastis. Semakin tinggi interaksi penam- bahan maltitol dan cokelat masak dalam formulasi kue brownies, adonan kue semakin viskoplastis. Sifat viskoplastis adonan brownies dipengaruhi oleh interaksi komponen- komponen penyusun adonan kue seperti gluten, margarin, cokelat masak, pati, telur, glukosa, gula, soda kue dan bubuk kakao. Menurut Fennema (1985) gluten dapat membentuk jaringan ikatan dengan molekul lipida, pati dapat berikatan dengan lipida. Kohesi dari gluten dapat menghambat ekspansi gelembung gas karbondioksida yang terperangkap pada adonan. Gelasi protein juga mempengaruhi penyerapan air dan pengikatan partikel dalam adonan. Gula dan glukosa dapat mengikat air serta mempe- ngaruhi karakteristik adonan. Bolmstedt (2000) menyatakan adonan kue memperlihatkan karakter non Newtonian dan bersifat viskoelastis. Sifat viskoelastis adonan menye- babkan viskositas adonan cenderung turun dengan meningkatnya shear rate.

Interaksi perlakuan penambahan maltitol dan penambahan cokelat masak dalam formulasi kue brownies berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap viskositas adonan kue

cenderung mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya penambahan maltitol. Faktor penyebab penurunan viskositas adonan brownies ini adalah semakin mening- katnya shear rate larutan adonan brownies 50 %. Shear rate adonan brownies dipe- ngaruhi oleh kela-rutan maltitol dalam air, densitas medium, densitas zat tersuspensi, jarak antar partikel, temperatur dan ukuran partikel. Roquette (2004) menyatakan kelarutan maltitol dalam air 20°C adalah 150 g/100 ml lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan sukrosa yaitu 204 g/100 ml. Maltitol cenderung bersifat lebih mengikat air dibandingkan sukrosa.

Vaclavik dan Christian (2003) menyatakan gula dan lemak mempengaruhi

tenderness adonan, karena menghambat pembentukan gluten. Sukrosa juga mengadsorpsi air sehingga mempengaruhi kerja protein gliadin dan glutenin dalam pembentukan gluten, sementara lemak dapat membungkus partikel pati. Molekul sukrosa dapat menyusun diri membentuk kristal yang berukuran lebih besar, sebaliknya gula tipe lain seperti gula invert, glukosa dapat berfungsi sebagai interfering agents yaitu bahan yang dapat menghambat laju agregasi dan pembentukan kristal gula. Bahan penghambat laju kristalisasi lainnya adalah air, dan udara. Bahan penghambat laju kristalisasi mekanik dengan cara mengadsorpsi permukaan kristal dengan cara membungkus inti kristal ada- lah lemak dan protein.

Menurut McClements (1999) konsistensi adonan juga dipengaruhi oleh viskositas dan elastisitas (yield stress) bahan. Viscositas dipengaruhi oleh faktor shear stress, yield stress, konsistensi, shear rate dan indeks sifat aliran. Viskositas sistem merupakan fungsi dari viskositas medium, densitas medium, densitas sistem, jumlah partikel, jari-jari partikel, shear rate dan waktu. Sifat reologi produk menurut Mc Clements (1999) merupakan fungsi dari suhu, gelasi, agregasi, kristalisasi, pelumeran, dan transisi glass.

Konsistensi adonan kue brownies interaksi perlakuan penambahan malitol dan

penambahan cokelat masak cenderung lebih lengket dan plastis (rubbery state)

dibanding adonan kue brownies perlakuan tanpa maltitol dapat disebabkan oleh sifat fungsional maltitol yang dapat berfungsi sebagai bahan pemhambat proses kristalisasi. Faktor penyebab lainnya adalah kecenderungan maltitol mengalami gelasi lebih mudah dibandingkan sukrosa, karena maltitol memiliki titik leleh lebih rendah dibanding sukrosa.

Sifat sensori warna adonan brownies, seperti yang disajikan pada Gambar 10 cen- derung mengalami degradasi coklat gelap menjadi lebih terang dan kemerahan, seiring dengan peningkatan interaksi penambahan maltitol dan cokelat masak. Warna adonan kue brownies yang paling gelap adalah interaksi perlakuan tanpa penambahan maltitol (rasio sukrosa:maltitol = 42.0:0.0) dan pemakaian cokelat masak dalam formulasi kue

brownies 200 g. Warna adonan kue brownies yang paling terang kemerahan adalah interaksi perlakuan penambahan maltitol 100% (rasio sukrosa: maltitol = 0.0:52.5) dan penambahan cokelat masak 125 g. Faktor utama penyebab terjadinya degradasi warna adonan adalah pengaruh tingkat penambahan maltitol dalam cokelat masak, dan tingkat penambahan cokelat masak. Semakin rendah tingkat penambahan maltitol dalam cokelat masak yang digunakan maka warna adonan semakin gelap, karena adanya komponen pigmen warna hasil reaksi Maillard. Semakin tinggi tingkat penambahan cokelat masak, maka warna adonan semakin gelap, karena konsentrasi pigmen warna semakin mening- kat. Warna gelap adonan selain berasal dari komponen flavonoid, fenolat, tannin dan leuko-anthosianin yang tergandung dalam bubuk kakao, juga berasal dari reaksi Maillard antara gula pereduksi dengan komponen asam amino dalam proses pembuatan cokelat masak. Menurut Davies dan Labuza (1994) sumber gula pereduksi dapat berasal dari su- krosa dan sumber –NH2 untuk konfeksioneri dapat berasal dari bubuk kakao dan lesitin. Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 6, warna terlarut kue brownies secara

nyata (p< 0.05) dipengaruhi oleh interaksi penambahan maltitol dan penambahan cokelat masak. Warna terlarut kue brownies dalam larutan asam asetat glasial cenderung semakin menurun dengan peningkatan penambahan cokelat masak. Penurunan ini dapat disebab- kan oleh penurunan pembentukan prekursor melanoidin yaitu pigmen coklat yang dapat berfluoresensi. Faktor penyebab lain yang memungkinkan adalah pengaruh dari tekstur kue brownies yang liat dan plastis terhadap proses isolasi pigmen melanoidin. Tekstur liat dan plastis kue brownies yang cenderung meningkat dengan peningkatan interaksi penambahan maltitol dan cokelat masak dapat mengikat polimer melanoidin. Penurunan warna terlarut dalam percobaan juga dapat disebabkan reaksi karamelisasi terjadi lebih dominan dibandingkan reaksi Maillard seiring dengan peningkatan interaksi penambahan maltitol dan cokelat masak dalam formulasi kue brownies. Dengan didominasi oleh reaksi karamelisasi maka konsentrasi prekursor melanoidin yang dihasilkan menjadi

lebih rendah, sedangkan pembentukan pigmen yang bersifat tidak larut dalam asam asetat glasial semakin meningkat.

Menurut Davies dan Labuza (1994) pengukuran fluoresen yang digunakan untuk studi in vivo pada reaksi Maillard dengan mengukur absorbance dapat dipengaruhi oleh warna pengganggu. Species fluorescence yang menjadi prekursor adalah melanoidin.

Pembentukan fluorensen dipengaruhi oleh temperatur dan pH. Pembentukan pigmen

warna juga dipengaruhi oleh waktu, temperatur, profil aktifitas air, hubungan antara konsentrasi dan waktu, kondisi larutan jenuh atau tidak jenuh, serta bentuk padatan akhir. Yang dimaksud dengan bentuk padatan akhir antara lain adalah kristal, glass dan rubber state. Bentuk padatan akhir dipengaruhi oleh bahan baku dan kondisi proses pembuatan konfeksioneri. Penurunan konsentrasi warna terlarut dalam asam asetat glasial dapat juga disebabkan oleh terjadinya reaksi polimerisasi melanoidin. Melanoidin dapat mengikat protein, membatasi pigmen yang berikatan dengan peptida.

Gambar 10. Penampakan sensori adonan kue brownies

Tabel 6. Hubungan interaksi penambahan maltitol dan penambahan cokelat masak dengan karakteristik sensori adonan dan mutu sensori kue brownies

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berpengaruh nyata pada α = 0.05)

Tabel 7.Hubungan interaksi perlakuan percobaan terhadap penerimaan mutu sensori kue brownies

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05 ( n=50)

Skor 1= sangat tidak suka 2= tidak suka 3= netral 4= suka 5=sangat suka e Maltitol ( %) Tingkat Penambahan Cokelat masak (g) Parameter uji Viskositas Larutan Adonan brownies 50 %(mPa.s) Tinggi Kue (cm) Indeks Simetri Skor aroma Kue Brownies Skor tekstur kue brownies Warna Terlarut dalam Asam asetat glasial (g/ml) 0 125 160ab 3.0ab 6.0ab 4.5b 3.6bc 6.38b 0 162,5 160ab 3.0ab 6.1ab 4.2ab 3.4b 4.62ab 0 200 160ab 2.7ab 5.3a 4.2ab 3.2b 4.53ab 75 125 140a 3.0ab 5.9ab 4.0ab 3.2b 5.59ab 75 162.5 140a 2.5a 5.0a 3.8a 3.0b 4.94ab 75 200 140a 2.0a 4.0a 3.8a 2.8ab 3.50a 100 125 120a 2.6ab 5.2a 3.8a 3.0b 8.36b 100 162.5 120a 2.0a 4.1a 3.4a 2.4ab 3.72a 100 200 120a 2.0a 4.1a 3.4a 2.1a 4.47ab

Penambahan Maltitol (%) Tingkat Penambahan cokelat masak (g)

Skor tertimbang rata-rata kesukaan

Rasa Aroma Warna Tekstur

0 125 3.5 3.6 3.2ab 3.2 0 162,5 3.6 3.7 3.4b 3.0 0 200 3.5 3.5 3.3ab 2.8 75 125 3.5 3.6 3.3ab 3.0 75 162.5 3.5 3.2 3.5c 3.3 75 200 3.3 3.3 3.3ab 3.1 100 125 3.3 3.4 3.4b 3.1 100 162.5 3.1 3.0 2.9a 2.8 100 200 2.7 2.7 2.7a 2.4

Gambar 11.Penampakan depan kue brownies perlakuan percobaan

Gambar 12 Penampakan permukaan atas sensori kue brownies perlakuan percobaan

Pada Gambar 11 dan 12 diperlihatkan terjadinya degradasi intensitas warna coklat

keemasan (golden brown) dan meningkatnya intensitas warna hitam gelap pada kue

brownies hasil percobaan, seiring dengan peningkatan interaksi penambahan maltitol dan cokelat masak. Intensitas pigmen hitam paling gelap terjadi pada kue brownies hasil perlakuan penambahan maltitol 100% dan penambahan cokelat masak 200 g. Intensitas pigmen hitam semakin menurun pada hasil interaksi perlakuan penambahan maltitol 75% dan penambahan cokelat masak 162.5 g. Adanya kecendrungan peningkatan warna hitam kue bwownies seiring dengan peningkatan interaksi penambahan maltitol dan cokelat masak dapat disebabkan oleh peningkatan pigmen warna hitam yang dikandung oleh kue. Pigmen hitam dapat berasal dari karamelan, karamelin dan karamelen yang dihasilkan dari reaksi karamelisasi. Pembentukan pigmen hitam nampak semakin meningkat seiring dengan peningkatan interaksi penambahan maltitol dan cokelat masak, hal ini menun- jukkan maltitol lebih mudah mengalami karamelisasi dibanding sukrosa, karena titik leleh maltitol adalah lebih rendah bila dibanding dengan sukrosa.

Vaclavik dan Christian (2003) menyatakan bahwa karamelisasi terjadi jika gula terdekomposisi melewati titik leleh sekitar 170°C dan mengering, membentuk karbon dan melepaskan air. Sikorski (1997) menyebutkan pada reaksi karamelisasi terjadi eli- minasi satu molekul air dan menghasilkan 1,6-anhydro-gula atau produk epoksi. Pema- nasan lanjut gula terhidrasi menghasilkan tiga kelompok senyawa yang disebut kara- melan, karamelen dan karamelin. Karamelisasi selain menghasilkan bahan pewarna co- klat juga menghasilkan senyawa aromatik. Reaksi lanjut karamelisasi adalah terben- tuknya karbon.

Fennema (1985) menyatakan laju reaksi karamelisasi dipicu oleh adanya asam dan garam. Termolisis menghasilkan basa anamerik, menyebabkan terjadinya alterasi ukuran cincin dan putusnya ikatan glikosidik serta pembentukan ikatan glikosidik baru. Termolisis menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis, pembentukan cincin anhidro, ke- mudian berlanjut terjadi pembentukan cincin tidak jenuh seperti furan. Ikatan ganda terkonyugasi yang terbentuk menyerap sinar dan menghasilkan pigmen warna. Pigmen karamel mengan-dung gugus hidroksil yang berikatan dengan gugus karbonil, karboksil, enolat dan hidroksil fenolat. Warna kue brownies hasil interaksi tanpa penambahan

brown). Faktor penyebab pembentukan warna coklat keemasan ini adalah adanya kandungan pigmen warna melanoidin dan hidroksi-metil furfural yang terbentuk dari hasil reaksi Maillard. Pada reaksi Maillard warna coklat terbentuk dari dekomposisi senyawa Amadori menghasilkan pigmen melanoidin. Pigmen melanoidin dihasilkan dari reaksi produk Amadori yaitu senyawa dikarbonil seperti deoksiosulosa dengan asam amino. Ciri utama pigmen warna coklat hasil reaksi Maillard adalah terbentuknya senya- wa yang mengandung nitrogen. Peluang terjadinya reaksi Maillard pada kue brownies ha- sil interaksi tanpa penambahan maltitol dan penambahan cokelat masak, lebih besar bila dibandingkan dengan interaksi penambahan maltitol dan penambahan cokelat masak. Faktor penyebab terjadinya reaksi ini adalah adanya peluang terjadinya inversi sukrosa dan pembentukan gula pereduksi lebih besar pada cokelat masak tanpa penambahan maltitol. Adanya kandungan asam-asam amino dalam formulasi kue brownies juga me- mungkinkan terjadinya reaksi Maillard.

Menurut (Vaclavik dan Christian, 2003) laju reaksi Maillard dipercepat oleh perlakuan panas, pH yang tinggi dan kadar air rendah. Faktor lain yang mempengaruhi reaksi Maillard adalah tipe reaktan, rasio kadar gula dan konsentrasi protein. Laju reaksi Maillard yang dialami oleh gula dipengaruhi oleh laju pembukaan cincin untuk direduksi, bentuk ikatan cincin dan peningkatan pH (Davies dan Labuza, 1994). Pentosa meng- alami reaksi Maillard lebih cepat dibandingkan dengan heksosa. Adanya penggunaan telur dalam formulasi brownies juga dapat mempengaruhi laju reaksi Maillard. Davies dan Labuza (1994) menyatakan telur dapat berfungsi sebagai buffer. Adanya telur dapat memicu reaksi pencoklatan glukosa lebih cepat dibanding fruktosa. Laju reaksi Maillard juga dipengaruhi oleh tipe senyawa amin. Asam amino yang bersifat basa jauh lebih

reaktif dibanding asam amino netral dan asam amino yang bersifat asam. Interaksi perlakuan penambahan cokelat masak dan tipe prototipe cokelat masak

yang digunakan dalam formulasi brownies, berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap skor aroma dan tekstur, tinggi kue bagian tengah, dan indeks simetri kue. Tinggi kue brownies

dan indeks simetri hasil interaksi penambahan maltitol dan cokelat masak disajikan pada Tabel 5. Tinggi kue brownies hasil interaksi penambahan maltitol dan cokelat masak cederung semakin rendah dengan semakin meningkatnya pemakaian cokelat dan penam- bahan maltitol. Fenomena ini dapat disebabkan oleh pengaruh karakterisik fisiko-kimia

maltitol dan interaksi bahan-bahan penyusun kue brownies lainnya. Maltitol memiliki titik leleh lebih rendah dibanding sukrosa, sehingga lebih mudah lumer dibanding sukrosa pada suhu pemanggangan 180°C. Maltitol juga memperlihatkan karakteristik sebagai bahan yang dapat menghambat pembentukan kristal, sehingga menghambat rekristalisasi kue brownies. Kue brownies perlakuan penambahan maltitol cenderung lebih plastis dan elastis, tidak mengeras dan tidak mengembang. Karena sifatnya yang plastis menghambat pengeluaran gas CO2 yang dilepaskan oleh natrium bikarbonat. Terhambatnya pelepasan CO2 menyebabkan pembentukan rongga-rongga sel berisi udara semakin kecil, sehingga mempengaruhi pengembangan volume dan tinggi kue brownies. Fennema (1985) menyatakan granula pati, pentosan, lemak, dan protein terlarut berperan membentuk jaringan adonan yang mempengaruhi tekstur kue.

Interaksi penambahan maltitol dan penambahan cokelat masak berpengaruh nyata pada tingkat kesukaan panelis (p<0.05) dan n = 50 terhadap warna kue brownies yang dihasilkan seperti yang disajikan pada Tabel 6, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap aroma kue brownies. Tidak berpengaruh nyatanya tingkat kesukaan panelis terhadap aroma kue brownies, dapat disebabkan oleh pembentukan komponen aroma kue brow- nies hasil interaksi penambahan maltitol dan penambahan cokelat masak tidak signi- fikan. Fennema (1985) menyatakan reaksi karamelisasi menghasilkan komponen aromatik yang terdiri dari senyawa maltol, isomaltol dan 3 hhidroksi-2 metilpiran-4-on, dan 3-hidroksi-2-asetilfuran. Komponen senyawa aromatik hasil proses karamelisasi yang menghasilkan aroma terbakar adalah 2-H-4-hidroksil-5-metil furan-3 one. Reaksi Maillard juga menghasilkan furan, furanon, isomaltol dan maltol. Komponen volatil pembentuk aroma merupakan senyawa aldehid, pyrazin dan fragmentasi gula hasil reaksi Strecker. Rasa pahit hasil karamelisasi berasal dari substansi humin yang mempunyai ru- mus molekul C125H188O80. Maltol dapat mempengaruhi tekstur kue karena menghasilkan sensasi velvety. Maltol dan etil maltol juga berfungsi sebagai peningkat intensitas rasa manis.

Interaksi penambahan maltitol dan penambahan cokelat masak berpengaruh nyata (p< 0.05) terhadap penerimaan panelis pada aroma kue brownies, dapat disebabkan oleh peningkatan pembentukan senyawa aromatik akibat reaksi Maillard dan karamelisasi. Peningkatan intensitas warna coklat juga disebabkan oleh dekomposisi senyawa Amadori

menghasilkan pigmen melanoidin. Menurut Fennema (1985) senyawa Amadori dide- gradasi melalui dua jalur yaitu senyawa intermediat 3-deoksioson dan lainnya melalui α- dikarbonil. Kedua senyawa ini menghasilkan pigmen melanoidin yang memiliki cincin

pirazin dan imidazon yang menempel dengan HMF dan reduction. Vaclavik dan

Christian (2003) menyatakan pada reaksi karamelisasi menghasilkan asam organik, al- dehid dan keton.

Adanya kecendrungan tekstur kue brownies berbasis maltitol lebih basah, elastis dan lengket dibanding kue brownies berbasis sukrosa, disebabkan oleh sifat fisikokimia maltitol. Titik leleh maltitol 147°C lebih rendah bila dibanding titik leleh sukrosa yaitu 185°C. Pada temperatur pemanggangan 180°C maltitol lebih mudah mengalami kara- melisasi. Titik leleh maltitol yang lebih rendah berpotensi menyebabkan reaksi kara- melisasi kue brownies berbasis maltitol terjadi lebih cepat dibanding dengan kue brow- nies berbasis sukrosa. Peran karbohidrat dalam tekstur kue sangat kompleks, tergantung pada konsentrasi dan kondisi reaksi. Kondisi reaksi yang mempengaruhi tekstur menurut Vaclavik dan Christian (2003) adalah temperatur, pH, komposisi campuran, kandungan lipida dan struktur protein. Peran gula lainnya adalah menyerap air sehingga membantu gliadin dan glutenin membentuk gluten.

Dokumen terkait