Konsepsi Nasution tentang dwifungsi TNI yang digunakan secara politis baik dalam masa Orde Lama maupun Orde Baru adalah salah satu pemikirannya yang paling kontroversial, karena di anggap memberi dasar kepada tentara untuk berperan dalam segala bidang. Secara mendasar Dwifungsi TNI menyoroti masalah fungsi militer sebagai kekuatan pertahanan keamanan tidak dipersoalkan, fungsi kedualah yang menjadi permasalahan hingga sekarang. Untuk menjelaskan inti pemikirannya yang membawanya dalam peran aktif pada masa peralihan
kekuasaan, penelusuran tentang latar belakang lahirnya dwifungsi TNI dan perkembangannya hingga berakhirnya Demokrasi terpimpin adalah penting, karena konsep itu pula hingga batas tertentu menjadi dasar pemikirannya bahwa peran sipil maupun militer adalah sama, dan pihak militer mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula untuk mengabdi kepada negara dalam struktur pemerintahan.
Latar belakang lahirnya konsep tentara sebagai kekuatan sosial politik menurut Nasution adalah pada masa revolusi kemerdekaan yang lahir secara alami ketika tentara bertebaran di setiap pelosok tanah air dalam kantong-kantong gerilya. Interaksi antara rakyat dan tentara secara tidak langsung telah mengantar tentara kepada peran-peran sosial dalam bentuk pendidikan, penyuluhan, dan lain-lain (Nasution,1983:153), sedangkan dari segi politik terbentuk akibat sulitnya koordinasi dengan pihak pemerintah. Keadaan itu diperuncing pula oleh sikap pihak sipil yang tidak simpatik dengan menyerah secara sukarela kepada Belanda pada masa Agresi Militer II, suatu sikap yang tidak popular di kalangan tentara, bukan saja karena tentara telah memutuskan untuk melakukan perlawanan, tetapi juga karena Soekarno sebelumnya telah menjanjikan bergabung dengan tentara bila Belanda melakukan agresi militer susulan (Nasution,1982:152).
Menurut Nasution, dwifungsi TNI lahir dalam rangka menjawab tantangan bagi eksistensi Republik Indonesia, yaitu secara bertahap sebagai reaksi terhadap agresi militer II, pemberontakan-pemberontakan tahun 50-an, pembebasan Irian Barat, dan peristiwa G30S (Tianlean,1997:138).
Pada 19 Desember1948, dalam agresi militer II, Belanda berhasil menawan Soekarno dan Hatta, serta menyiarkan melalui radio bahwa Republik Indonesia telah tiada. Nasution yang pada waktu itu mempimpin markas Besar Komando Jawa mengumumkan berlakunya pemerintahan darurat militer yang menapat persetujuan dari menteri dalam negeri Dr. Sukiman atas nama beberapa menteri. Pada saat itu para panglima militer dengan eselon-eselon dibawahnya disusun sesuai kesepakatan dan mereka membangun kembali pemerintahan Republik Indonesia yang oleh Belanda disebut “pemerintahan bayangan Nasution” (Tianlean,1997:140).
Dalam instruksi-instruksinya sebagai pemimpin pemerintah darurat militer, Nasution menempatkan para panglima divisi sebagai gubernur militer, sedangkan pada tingkat keresidenan, residen-residen sipil ditempatkan di bawah komandan-komandan wehrkreis atau Komando Militer Daerah (KMD). Sementara itu pada tingkat kabupaten, komandan Komando Distrik Militer (KDM) merupakan pejabat tertinggi. Sejumlah besar perwira tentara yang masih aktif ditempatkan pada kedudukan sipil. Tugas utama pemerintah darurat militer tersebut adalah untuk mengawasi secara efektif seluruh bidang administrasi dan politik, serta menjamin perbekalan pasukan-pasukan tempur dan membantunya (Sundhaussen, 1988:159).
Di tingkat pemerintahan, kesalahan pihak sipil untuk tidak segera memberikan batasan yang jelas mengenai peran, fungsi, dan prerogatif semua pihak yang bersangkutan, yakni tentara dan kaum sipil (Sundhaussen,1988:45-46), menjadi dasar bagi perkembangan otonomi pihak militer, terutama Angkatan
Darat pada masa-masa selanjutnya. Ketika sebagian besar tentara menolak untuk menentang pemerintah, maka kebijakan yang menjadi landasan kerja mereka adalah usaha-usaha untuk membela nilai-nilai kepentingan golongan dan fungsi tentara menurut pandangan mereka sendiri, yakni berpartisipasi dalam peran politik.
Menurut Nasution tentara dan politik tidak dapat dipisahkan karena sifat perjuangan tentara melawan belanda juga atas dasar ideologi dan politik, sebagaimana tergambar dalam catatannya:
“Justru kesadaran ideologis dan politiklah yang merupakan landasan perjuangan (tentara). Kesadaran seperti itu merupakan syarat mutlak bagi penyelenggaraan setiap perang gerilya rakyat. Mau tidak mau, setiap pemerintah yang menggunakan tentara rakyat atau tentara gerilya harus menghadapi situasi ini. Oleh sebab itu, adalah suatu kesalahan untuk terlalu cepat memperlakukan TRI sekedar sebagai alat negara”(Nasution, 1963:243).
Kesadaran pada sejarah menjadi landasan pihak tentara untuk mendapatkan peran besar dalam politik, tetapi dengan tetap menggariskan bahwa mereka tidak akan mengambil alih kekuasaan dengan cara-cara militer. Pemikiran demikian dianut oleh para perwira didikan Belanda yang pada umumnya tidak mempermasalahkan supremasi sipil atas militer (Sundhaussen, 1988:32). Permasalahan-permasalahan tersebut tidak segera diselesaikan oleh pemerintah, walaupun sebenarnya tidak ada kesempatan yang lebih baik untuk memberikan batasan-batasan bagi kekuasaan militer selain pada waktu itu (Sundhaussen, 1988:54).
Pada masa jabatannya sebagai KSAD, Nasution telah menyadari besarnya rasa tidak hormat pihak tentara terhadap pemerintah akibat sikap pihak sipil dalam
agresi militer II. Pada umumnya para perwira tinggi militer juga terus menerus mempertanyakan intervensi sipil ke dalam militer tanpa adanya kesepakatan yang jelas mengenai sampai sejauh mana hak tersebut patut diberlakukan. Keenganan pihak sipil untuk mengangkat permasalahan itu dalam kerangka mencari penyelesaian sangat mengecewakan pihak tentara. Sampai batas tertentu hal itu sangat berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan Nasution sebagai KSAD untuk mengarahkan militer menjadi pihak oposisi bagi pihak sipil, terutama di dalam parlemen.
Nasution menekankan pentingnya tentara berpegang pada proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai ideologi (Nasution, 1963:264). Dengan sendirinya posisi tentara berada dalam pihak yang berseberangan dengan sistem politik Indonesia pada saat itu yang memberlakukan demokrasi parlementer. Demikianlah sikap otonom yang ditanamkan Nasution sejak awal di dalam tubuh Angkatan Darat yang menjadikan sosoknya tidak terlalu popular di kalangan sipil. Sikap-sikap politiknya dikalangan intern militer pula yang membuatnya harus tersingkir dari kemiliteran selama tiga tahun (1952-1955).
Nasution menyadari bahwa sikap-sikap politiknya pada 1950-1952 tidak memberikan kontribusi yang baik bagi kedudukan militer di Indonesia. Ketika ia mendapat kepercayaan untuk memangku jabatan sebagai KSAD untuk kedua kalinya pada pertengahan tahun 1955, ia berubah haluan. Ia memposisikan tentara dalam kerangka sistem politik yang berlaku, walaupun tidak ada perubahan mengenai nilai-nilai yang dianut tentara. Perubahan itu terlihat dari strateginya
untuk bekerjasama dengan pihak pemerintah sebagai upaya untuk mendapatkan peran dan fungsi yang lebih besar bagi tentara. Sebagai landasan kerjanya ia menyatakan penolakannya terhadap ekses-ekses militerisme yang disuarakan kaum militer sebagaimana politikisme gaya sipil. Pernyataannya tersebut menyebabkan sebagian perwira menganggapnya telah menyeberang ke pihak Soekarno (Anwar, 1996:150).
Nasution memang telah memilih antara taat dan melawan. Sikap melawan kaum politik pernah dilakukannya pada masa jabatan pertamanya sebagai KSAD dan itu gagal. Ia tidak mungkin mengulangi hal itu untuk kedua kalinya. Namun tidak semua perwira memahami pemikirannya. Ketika sikap sebagian perwira itu mengeras dan memunculkan upaya-upaya kudeta, ia bersikap tegas memberhentikan para pemimpinnya dari dinas ketentaraan dengan sebagian besar dari mereka tetap dipertahankan. Mungkin Nasution berkeyakinan bahwa kelak mereka akan memahami tindakan-tindakannya sebagai bagian dari strateginya untuk menempatkan tentara menjadi bagian penting di negeri ini.
Pada masa demokrasi liberal, ketika kabinet jatuh hampir setiap 6 bulan, Nasution kedudukannya sebagai KSAD mengusulkan agar TNI tidak hanya berfungsi sekedar potensi militer, tetapi terutama sebagai potensi perjuangan. Hal itu dapa persetujuan dari Presiden Soekarno sebagaimana termuat dalam Order Presiden 5 Oktober 1955 (Tianlean, 1997:140).
Terjadinya ancaman disintegrasi, yaitu pergolakan-pergolkan didaerah sekitar tahun 1950-an seperti peristiwa Cikini, PRRI Permesta, dan sebagainya, menurut Nasution merupakan tahap kedua bagi TNI untuk tampil sebagai
penyelamat bangsa. Pada Maret 1958, Nasution mengusulkan berlakunya keadaan darurat perang (Staat Van Orloog) dan mendapat persetujuan Soekarno yang menganggapnya sebagai jalan terbaik untuk mengatasi keadaan yang genting pada saat itu (Tianlean,1997:141).
Dasar-dasar bagi konsepsi dwifungsi TNI semakin mantap dalam pemikiran Nasution. Keadaan darurat perang menyatakan bahwa pihak militer dapat mengeluarkan perintah dan peraturan yang menyangkut ketertiban umum dan keamanan dalam negeri. Jika perintah itu bertentangan dengan hokum public, maka yang berlaku adalah hukum militer. Pemberlakuan keadaan darurat perang itu telah dikecam oleh kalangan sipil, karena dianggap telah memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada militer (Sundhaussen, 1988:225).
Nasution memutuskan untuk meningkatkan peran tentara dengan upaya pemberantasan korupsi di kalangan pemerintah. Menurut peraturan pemberantasan korupsi yang disusun oleh Nasution dan Jaksa Agung Suprapto, pengadilan sipil akan menangani kasus korupsi tetapi penuntutannya akan berada ditangan militer. Keterlibatan tentara semakin meningkat ketika Agustus 1958, Nasution mengumumkan bahwa semua jawatan pemerintah harus melaporkan afiliasi politik dari pegawai-pegawainya yang paling tinggi kepada dinas intelejen tentara (Sundhaussen, 1988:229).
Periode pembebasan Irian Barat berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian New York 15 Agustus1962 tentang penyerahan pemerintahan di irian dari Belanda kepada Indonesia. Aksi penngambilalihan perusahaan Belanda telah terjadi setahun sebelumnya. Dalam rangka menghalang-halangi PKI yang berniat
memegang peranan penting dalam pengambilalihan asset ekonomi tersebut, Nasution sebagai KSAD menngambil alih semua perusahaan dan menempatkan perwira-perwira militer sebagai pihak pengelola yang baru. Hal ini sesuai dengan program Nasution untuk menempatkan tentara dalam segala bidang, meliputi politik, ekonomi, administrasi, dan sebagainya, sebagaimana program yang telah dicanangkannya pada maret 1962 dengan membentuk Seksi Urusan Angkatan Darat (SUAD IV), yang menyaring, membimbing, dan mengawasi perwira-perwira tersebut dan memanggil mereka kembali apabila mereka menyimpang dari kebijakan MBAD (Tianlean, 1997:141).
Rumusan Nasution mengenai peran militer dalam perjuangan mencapai tujuan-tujuan revolusi memberikan pengarahan kepada perwira-perwira, baik yang dalam dinas aktif maupun yang sedang ditugaskan di bidang sipil. Dwifungsi yang dimaksudkan oleh Nasution juga menjelaskan sampai sejauh mana tentara bersedia memainkan peran-peran sipil. Walaupun tentara ingin ikut bersuara hamper didalam semua bidang, dan merupakan salah satu kekuatan yang menentukan nasib bangsa, tentar tidak bermaksud untuk mengambil alih pemerintahan (Sundhaussen, 1988:252).
Dalam rangka menggariskan kebijaksanaan tentang posisi dan fungsi militer pada msa-masa yang akan datang di Indonesia, Nasution mengemukakan puncak dari konsepsinya mengenai dwifungsi TNI dalam sebuah ceramah dihadapan mahasiswa Akademi Militer Nasional (AMN) pada 11 November 1958. Sebagai dasar pernyataannya, Nasution mengemukakan bahwa TNI adalah satu-satunya organisasi yang mampu nerealisasikan revolusi di Indonesia. Suatu
pernyataan yang dapat ditarik kembali ke belakang mengenai sejarah dan perkembangan tentara serta perannya selm ini yang tidak dapat dikesampingkan oleh kalangan manapun. Sebagaimana selalu diutarakannya pula, TNI tidak akan bersedia diposisikan sebagai alat mati sebagaimana di negara-negara Eropa Barat, tetapi juga tidak akan menjiplak situasi di Amerika Latein, dimana tentara bertindak sebagai kekuatan politik langsung. Alternatif terbaik, menurutnya adalah dengan memberikan kesempatan yang luas kepada perwira-perwira tentara atas dasar perorangan tetapi sebagai eksponen tentara untuk berpartisipasi secara aktif dalam bidang nonmiliter, dan dalam menentukan kebijaksanaan nasional dalam tingkat yang paling tinggi, termasuk dalam bidang seperti keuangan negara, dan ekonomi. Oleh karena itu, tentara tidak hanya akan diwakili dalam kabinet dan Dewan Nasional tetapi juga dalam Dewan Perancang Nasional, dalam birokrasi dan dalam korps diplomatik. Bila hal-hal di atas tidak terealisasi, Nasution mengkhawatirkan akan timbulnya suatu kesulitan. Pernyataan yang berbau ancaman itu didasarkan pada sikap tentara akhir-akhir itu yang semakin mengeras dan adanya kesadaran umum di kalangan mereka bahwa pihak sipil tidak dapat mengurus negara. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Nasution juga menyatakan bahwa mendirikan Junta Militer adalah pemikiran yang telah ditolak oleh kalangan militer, dan untuk memastikan tentara dapat ikut mengawasi jalannya pemerintahan yang pada saat itu dinilai gagal, mereka akan dilibatkan di dalamnya. Hal penting menurut Nasution adalah agar Angkatan Darat sebagai lembaga tidak lagi menentang pemerintah karena ia sudah merupakan bagian darinya (Sundhaussen, 1988:241).
Konsep ini dinamakan Front Lebar yang kemudian diterjemahkan sebagai “Jalan Tengah”, yaitu militer turut aktif dalam pemerintahan tetapi tidak dalam posisi mendominasi (Crouch, 1999:38), sedangkan istilah dwifungsi muncul pada 1962 dalam suatu rapat pimpinan Polri se-Indonesia di Porong. Pada saat itu Nasution menjelaskan dalam ceramahnya bahwa keterlibatan TNI dalam masalah-masalah nommiliter didasarkan sejarah kelahiran tentara sebagai pejuang negara bukan semata-mata mengejar karir kemiliteran (Nasution, 1986:235).
Pada tahap berikutnya konsep ini digunakan Soekarno sebagai alat politik untuk menarik tentara ke dalam barisan pendukungnya, terutama setelah Nasution disingkirkan dari Angkatan Darat. Penafsiran tentang dwifungsi perlahan-lahan mulai bergeser menjadi demokrasi fungsional atau kekaryaan, yang menyebabkan posisi yang diberikan kepada militer menjadi lebih luas dari yang dimaksudkan Nasution sebelumnya (Nasution, 1986:236).
Fungsi TNI sebagai kekuatan sosial politik pada dasarnya telah mencapai kesempurnaannya sejak Agresi Militer II dan pada tahun 1950-an telah ditipiskan, kemudian diperkuat lagi setelah adanya pemberontakan-pemberontahan daerah, dan berkembang menjadi konsep yang semakin luas setelah terjadinya peristiwa G30S (Samego, 1997:94).