• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran A.H. Nasution Tentang Peran Militer Dalam Negara

Pemikiran Nasution tentang peran politik militer lahir ditengah konflik sipil-militer pasca kemerdekaan. Keduanya sama-sama sedang mencari tempat yang hakiki dalam tatanan negara Republik Indonesia. Pihak sipil dengan tokoh-tokohnya seperti Soekarno, Hatta, dan Syahrir dalam waktu singkat dapat menegakkan supremasi sipil atas militer. Pihak militer dapat menerima kenyataan itu walaupun dengan beberapa catatan tentang posisi yang pantas mereka sandang setelah peran mereka yang menentukan dalam mempertahankan eksistensi Republik Indonesia. Adapun posisi yang diharapkan golongan militer pada saat itu tidak ditanggapi secara positif oleh kalangan sipil karena alasan-alasan politik. Mereka tidak mengharapkan militer menjadi sangat kuat kedudukannya, sehingga pada waktunya kelak akan menggunakan kekuatan tersebut untuk menguasai pemerintahan. Sedapat mungkin mereka berjaga-jaga agar hal itu tidak terjadi di Indonesia.

Nasution yang sejak awal sudah terlibat sebagai pemimpin pasukan tentara merasakan secara langsung benturan-benturan dengan pihak sipil yang disebabkan perbedaan visi antara keduanya. Oleh karena itu pemikirannya untuk sebagian bernuansa sanggahan terhadap provokasi mereka dan sebagian lagi adalah pemikirannya tentang bagaimana seharusnya pemerintah memperlakukan militer sebagai kekuatan negara yang penting dalam melaksanakan politik nasional.

Sejak awal, pemikirannya telah terinspirasi oleh sikap Jenderal Soedirman yang menerapkan sikap otonom tentara dalam berhadapan melawan pihak pemerintah (Sundhaussen, 1988:217). Selain itu pemikirannya merupakan studi banding dengan negara-negara lain mengenai hubungan lembaga sipil-militer. Dalam merumuskan pemikirannya tentang politik militer, ia mengutip pernyatannya Jomini (Nasution, 1955:17) bahwa politik militer adalah kebijakan pemerintah mengenai persiapan dan pelaksanaan perang, yang menentukan baik buruknya serta besar kecilnya potensi dan kekuatan perang negara. Dalam hal ini kebijakan pemerintah untuk membuat persiapan-persiapan maksimal yang tidak hanya dipraktekkan dalam masa darurat tetapi juga pada saat damai, sehingga militer selalu dalam keadaan siap siaga.

Dapat diperkirakan Nasution menganggap bahwa politik militer adalah tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkannya. Salah satu perwujudan politik militer adalah eksistensi angkatan perang yang kuat dan lemahnya ditentukan oleh kebijakan pemerintah itu sendiri. Pada gilirannya kelak, angkatan perang akan menjadi kekuatan paling potensial untuk mendukung cita-cita politik nasional. Keberhasilan atau kegagalan politik nasional adalah tergantung pada keseriusan pemerintah untuk memperhatikan masalah angkatan perang. Hal itu dikemukakan Nasution berdasarkan kenyataan yang berlaku pada masa demokrasi parlementer, ketika pemerintah tidak memperhatikan persoalan angkatan perang hanya karena tuduhan yang tidak berdasar bahwa tuntutan-tuntutan militer itu adalah upaya mereka untuk membangun pondasi bagi pendirian diktatur militer. Atas dasar

tersebut pula pemerintah meniadakan syarat periapan perang di masa damai dalam Undang-Undang Pokok Pertahanan RI (Nasution, 1955:34).

Perang sebagaimana dinyatakan oleh Clausewitz (Nasution, 1955:31) adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Bagaimana pun arah kebijaksanaan politik nasional suatu negara, baik agresif maupun defensif, kemungkinan perang tidak dapat dikesampingkan. Perang dapat terjadi karena sikap agresif politik nasional yang hendak menjajah negara lain, atau sebaliknya, perang juga dapat terjadi karena sifat pertahanan bangsa untuk mencegah agresi bangsa lain. Perang juga adalah usaha untuk menyelamatkan cita-cita politik nasional dari pertikaian di dalam negeri. Karena menurutnya, politik nasional harus mampu menciptakan politik militer yang kondusif bagi pembangunan angkatan perang yang tangguh. Semua itu harus dilandasi prinsip. Prinsip cinta damai haruslah bersedia untuk perang, bukan semata-mata karena kecintaan terhadap peperangan. Oleh karena itu, suatu negara yang cinta damai harus mempunyai angkatan bersenjata. Dengan kata lain nasution berpendapat bahwa politik nasional tidaklah mungkin mengantar rakyat kepada tujuan hidupnya jika tidak ada tentara untuk menjaga keamanannya (Nasution, 1955:32).

Salah satu tugas pemerintah untuk menciptakan angkatan perang yang tangguh adalah memilih seorang panglima berdasarkan bakat dan keahliannya (Nasution, 1955:112). Seorang panglima dengan wewenang dan kekuasaannya yang diakui dan jelas, serta untuk memudahkan koordinasi antarangkatan, maka kekuasaan strategis operasional panglima itu seharusnya meliputi seluruh angkatan pula.

Dapat dipahami bahwa pemerintah sangat keberatan dengan usulan tersebut. Hal itu akan memberikan kekusaan yang terlalu besar di tangan seorang perwira tentara, walaupun sekali lagi Nasution menggariskan bahwa kekuasaan tertinggi atas angkatan perang berada di tangan presiden, menteri pertahanan sebagai pengatur kebijakan, sementara kekuasaan seorang panglima hanya meliputi strategi operasional. Latar belakang usulan tersebut adalah dihapuskannya kedudukan panglima besar sejak tahun 1950, dan secara resminya tentara berada dibawah kementerian pertahanan yang dibantu oleh KSAP (1950-1952 dijabat oleh T.B. Simatupang) dengan tugas-tugas administratif belaka.

Sekilas usulan tersebut menggambarkan ambisi Nasution untuk dapat mengkonsolidasikan tentara di bawah kekuasaannya. Sekalipun itu benar, maka motivasi yang melatarbelakanginya tampaknya bukan keinginan untuk mengambil alih kekuasaan sebagaimana yang dibayangkan oleh pihak sipil, melainkan keprihatinannya terhadap angkatan-angkatan lain yang dipergunakan sedemikian rupa oleh partai-partai politik untuk memperbesar pengaruhnya. Setidaknya, bila ia dapat pula mengkonsolidasikan angkatan-angkatan lain, ia akan menerapkan kebijakan serupa sebagaimana halnya dalam Angkatan darat, yakni menanamkan keyakinan bahwa ideologi tentara adalah UUD 1945. Faktor yang lebih penting lagi mengenai perlunya kedudukan seorang panglima yang meliputi seluruh angkatan adalah suasana peperangan yang meliputi seluruh dunia pasca perang dunia II, begitu pun suasana di dalam negeri yang tengah bergejolak oleh pemberontakan-pemberontakan yang bersifat separatis.

Suatu angkatan perang yang tangguh juga dapat terwujud apabila pemerintah bersedia duduk bersama-sama dengan pihak militer untuk membicarakan kewenangan masing-masing pihak beserta batasan-batasannya dalam kehidupan bernegara. Pada kenyataannya kedua belah pihak memiliki persepsi yang berbeda tentang kedudukan militer. Pemerintah yang merasa bahwa demokrasi ala barat telah diakui di Indonesia dan dengan sendirinya berpendirian bahwa militer adalah alat kekuasaan sipil tidak pernah menyadari bahwa sebuah gelombang kekecewaan tengah melanda kaum militer terhadap kelompok mereka. Sebagian perwira bersatu paham tentang penolakan mereka terhadap bentuk-bentuk intervensi sipil dikalangan intern militer. Bagi Nasution, walaupun batasan intervensi sipil itu tidak mutlak perlakuan-perlakuan pihak pemerintah lebih bersifat melecehkan daripada membangun hubungan baik yang menghasilkan saling pengertian. Barangkali maksud Nasution adalah suatu intervensi sipil dapat diterima apabila antara keduanya dapat tercipta sebuah pengertian yang dilandasi saling menghargai dan saling percaya. Pada kenyataannya, beberapa kali pemerintah mengabaikan masalah-masalah intern militer, misalkan pengecilan arti pejabat-pejabat tinggi militer menjadi pelaksana-pelaksana teknis departemen pertahanan belaka tanpa sutu konsultasi apalagi kompromi (Nasution,1955:112; 1968:156).

Pengakuannya terhadap supremasi sipil juga dapat dilihat dari penolakannya terhadap aspek-aspek fasis yang dipraktekkan Jerman dan Jepang yang sangat menjunjung tinggi tradisi militerisme dan mengabaikan faktor-faktor politik, ekonomi dan sosial (Nasution, 1955:103), tetapi ia juga tidak setuju

dengan kedudukan militer yang diatur berdasarkan partai politik yang berkuasa seperti yang ada di Eropa Barat dan menjadi contoh di Indonesia. Alasan-alasannya lebih dikarenakan oleh faktor sejarah. Latar belakang kelahiran tentara di Indonesia berbeda dengan tentara di negara-negara penganut dua sistem tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sundhaussen (1988:31), bahwa:

“Indonesia tidak menyerupai sebuah demokrasi Barat yang akan memberikan kepada tentara satu kedudukan dilembagakan dalam system ketatanegaraan dibawah pengarahan suatu pemerintah yang demokratis. Begitu pula revolusi tidak melahirkan suatu sistem partai tunggal yang otoriter atau totaliter yang dapat melaksanakan fungsi membentuk dan mengontrol angkatan bersenjata Indonesia.”

Dalam usahanya menjembatani hubungan lembaga sipil-militer, Nasution mengemukakan bahwa RRC dan USA adalah dua negara yang memiliki latar belakang kelahiran tentara yang hampir serupa dengan Indonesia. Menurutnya, tentara di kedua negara itu sebagaimana halnya TNI lahir dari suatu perang kemerdekaan dan berperan sebagai pelopor perjuangan. Hal penting yang ditemukannya adalah, bagaimana pemerintah di kedua negara itu mampu menciptakan hubungan harmonis antara sipil-militer (Nasution, 1955:61). Hubungan baik antara sipil-militer akan menciptakan kinerja yang baik pula bagi keduanya dalam suatu pemerintahan. Kondisi seperti itulah yang menurut Nasution belum tercipta di Indonesia.

Demikian pula halnya mengenai posisi tentara dalam institusi negara. Pemerintah di kedua negara tersebut mampu menciptakan posisi militer yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Misalnya kedudukan tentara dalam Dewan Pertahanan Nasional di RRC. Kedudukan dewan itu sejajar dengan kabinet dan secara struktural berada langsung dibawah komando presiden. Di Indonesia ia

tidak dapat mengharapkan hal yang demikian karena kedudukan presiden pada saat itu hanyalah sebagai simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Walaupun berdasarkan undang-undang kedudukan tentara berada di bawah presiden, namun kewenangan mengenai kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan kemiliteran ada di tangan menteri pertahanan. Sampai batas tertentu ia berkesimpulan bahwa pembagian tanggung jawab serta kekuasaan antara panglima tertinggi (presiden) dan pemerintah adalah kabur (Nasution, 1955:62). Pemikiran-pemikirannya yang demikian telah membawanya melangkah jauh dengan ikut terlibat seperti kebanyakan perwira-perwira tinggi lainnya di MBAD dalam peristiwa 17 Oktober 1952. Pada saat itu tentara telah menawarkan kerjasama kepada presiden Soekarno untuk membubarkan parlemen yang selain dianggap tidak mewakili rakyat juga memiliki kinerja yang buruk, khususnya dengan pihak tentara, hubungan mereka adalah saling menyudutkan.

Dari sedemikian banyak alasan yang mendorongnya ikut terlibat dalam peristiwa itu dalam kaitannya dengan pemikirannya di atas, Nasution berpandangan bahwa kedudukan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara akan lebih efisien dalam mewujudkan pembangunan di Indonesia, tanpa adanya aksi saling menjatuhkan kabinet di parlemen. Keadaan demikian juga akan memberikan peran yang mantap kepada militer sebagai stabilisator keamanan negara. Sesungguhnya Nasution menyadari bahwa sangat kecil kemungkinan aksi tersebut akan membawa hasil berdasarkan percaturan politik yang sedang berlangsung. Bahkan Soekarno berkata, bahwa Nasution telah memintanya untuk bertindak sebagai diktator. Sementara itu kalangan sipil

menuduh tentara mencoba melakukan aksi kudeta dan Nasution sebagai perwira yang harus bertanggung jawab, dalam aksi itu kemudian Nasution diberhentikan dari jabatannya sebagai KSAD (Sundhaussen, 1988:125).

Dukungannya terhadap Dekrit Presiden 5 Juli 1959 juga memiliki esensi yang serupa yaitu suatu upaya menjalin kerjasama antara presiden dan tentara. Kali ini dukungannya merupakan faktor penting yang dibutuhkan Soekarno sebagai dasar untuk membentuk sistem Demokrasi terpimpin setelah runtuhnya Demokrasi Parlementer secara tragis. Dalam kerangka awal Demokrasi terpimpin, Nasution sudah membayangkan bahwa idealismenya tentang hubungan sipil-militer dan posisi sipil-militer akan segera terwujud. Sejak tahun 1959, ia bahkan menduduki dua posisi sekaligus yang cukup strategis untuk mewujudkan pemikiran-pemikirannya, yakni sebagai KSAD, yang bertanggung jawab dalam strategis operasional AD, serta sebagai menteri pertahanan yang memiliki kewenangan untuk mngeluarkan kebijakan-kebijakan kemiliteran yang untuk pertama kalinya dipangku oleh kalangan militer, walaupun sebenarnya Soekarno sama sekali tidak berniat memberikan jabatan rangkap itu kepada Nasution. Tawaran itu sebenarnya diberikan agar Nasution bersedia melepaskan jabatannya sebagai KSAD, ternyata Nasution tetap memilih sebagai KSAD dan Soekarno tidak dapat menarik kembali tawarannya sebelumnya (Sundhaussen, 1988:253). Jabatan itu dipangkunya hingga menjelang berakhirnya Demokrasi Terpimpin.

Jika Nasution harus memilih antara jabatan menteri pertahanan dan KSAD, maka ia lebih suka memilih jabatan senbagai KSAD, karena posisi tersebut memberi kekuatan tersendiri untuk menjadi kelompok penekan. Hal itu

penting berdasarkan iklim politik yang berlaku pada awal berlakunya Demokrasi Terpimpin, yakni kecenderungan Soekarno untuk mengarahkan kebijakan politiknya ke arah kiri. Secara pribadi Nasution adalah seorang anti komunis yang gigih, tetapi yang menjadi tujuannya adalah memastikan nilai-nilai yang dianut tentara yang telah diperjuangkannya selama bertahun-tahun, dapat terjaga kelangsungannya (Sundhaussen, 1988:220).

Untuk sementara persekutuan antara Nasution dengan Soekarno dalam membangun Demokrasi Terpimpin telah menempatkan militer dalam suatu posisi yang sesuai dengan pemikirannya selama ini, namun seperti yang digambarkan Edward Shills bahwa hubungan militer dan pemerintah pada saat itu lebih tepat disebut “hubungan saling bergantung dan saling curiga” (Shills dalam kartodirjo, 1983:177). Sementara Harold Crouch memandang hubungan sipil dan militer pada tahun 1960-1962 sebagai hubungan stabil yang paling akomodatif bagi keduanya walaupun bukannya tidak menunjukkan kegoyahan (Crouch, 1986:26).

Pada akhirnya hubungan antara Nasution dengan Soekarno tidak dapat dipertahankan untuk selama-lamanya setelah jelas bagi Soekarno bahwa Nasution tidak memiliki visi yang sama dengannya. Sebagai politikus ulung yang berpengalaman, Soekarno tidak segera memecat Nasution dari jabatanya sebagai KSAD untuk mengakhiri hubungan di antara mereka. Cara-cara seperti itu akan membuka pintu konfrontasi langsung antara dirinya melawan pihak AD, padahal dalam hal ini yang menjadi sasarannya adalah Nasution sebagai individu, yang tidak dikehendakinya untuk tetap memegang jabatan sebagai KSAD. Kesempatan

yang sangat baik akhirnya muncul ketika panitia Djuanda mengajukan konsep untuk mengubah struktur ABRI menjadi struktur Hankam yang menempatkan semua Panglima Angkatan secara operasional berada dibawah KSAB. Soekarno menyetujui konsep itu serta mempercayakan jabatan sebagai KSAB itu kepada Nasution. Untuk mendapatkan jabatan tersebut Nasution harus menyerahterimakan jabatannya sebagai KSAD kepada Mayor Jenderal Ahmad Yani pada 25 Juni 1962. Pada saat yang bersamaan Soekarno mengobarkan perlawanan di tubuh AU dan AL untuk tidak bersedia berada dibawah komando seorang perwira AD (Sundhaussen, 1988:281). Oleh karena perkembangan yang demikian itu, Soekarno membatalkan semua wewenang dan perangkat kekuasaan Nasution sebagai KSAB, serta memutuskan bahwa semua panglima angkatan secara operasional berada di bawah komandonya. Dalam tingkatan itu posisi Nasution tidak lebih sebagai Kepala Administrasi Departemen Pertahanan dan Staf Angkatan Bersenjata.

Dokumen terkait