45 BAB IV
A.H. NASUTION DALAM PERALIHAN KEKUASAAN DARI PEMERINTAHAN SOEKARNO KE SOEHARTO 1965-1968
Pada bab ini akan dikaji mengenai beberapa aspek penting yang berkaitan dengan skripsi yang berjudul “Peranan A.H. Nasution dalam Peralihan Kekuasaan dari Pemerintahan Soekarno ke Soeharto Tahun 1965-1968”. Adapun sistematika dalam bab ini dibagi ke dalam beberapa sub judul di antaranya militer dalam ranah politik di Indonesia menjelang peralihan kekuasaan dari Pemerintahan Soekarno ke Soeharto, latar belakang karir militer A. H. Nasution, langkah-langkah yang diambil A.H. Nasution dalam mendorong proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto dan proses lahirnya pemerintahan Orde Baru. Sumber-sumber untuk mengkaji permasalahan di atas diperoleh melalui studi literatur.
Paparan mengenai aspek-aspek penting tersebut serta keterkaitannya dengan peranan A.H. Nasution dalam peralihan kekuasaan dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto tahun 1965-1968, akan diuraikan sebagai berikut:
A. Militer Dalam Ranah Politik Indonesia
Militer Indonesia memiliki keunikan dibandingkan dengan militer di negara lain, militer Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan kesemestaan, tidak
hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Keunikan inilah menjadikan peranan militer Indonesia menjadi tidak biasa. Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi menjadikan militer tidak hanya menjadi instrumen pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi menjadi bagian penting dalam Indonesia political decision making. Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar. Pada awalnya dibentuk dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terbagi lagi dalam Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian.
Dr Abdoel Fatah berpendapat bahwa:
Sejak awal berdirinya, tentara Indonesia telah terlibat dalam bidang politik, karena dihadapkan pada kondisi nyata yang mengharuskannya. Pada masa perang kemerdekaan, tentara juga melakukan tugas-tugas di luar pemerintahan, karena pada masa itu, tanpa keterlibatan tentara, pemerintah tidak bisa berjalan. Sifat kesemestaan perang pada masa itu menuntut mengurusi bidang politik, ekonomi, sosial dan militer. Ada juga sekelompok anggota TNI yang terlibat dalam politik dikarenakan pengaruh dan tarikan partai maupun kekuatan politik tertentu (Abdoel Fattah, 2005: 41-42 ).
Faktor kemerdekaan menjadikan awal keterlibatan militer Indonesia dalam peran politik. Di masa orde lama, Soekarno mengakomodasi militer pada awal
pemerintahannya, dan pada perkembangannya hubungan Soekarno dengan militer menjadi tidak serasi yang akhirnya menjadi faktor penentu lengsernya Soekarno sebagai presiden. Tampilnya militer sebagai aktor penting ”pengaman” keutuhan bangsa Indonesia dari aksi radikalisme PKI, menjadikannya semakin dominan dalam perpolitikan dan aktivitas perekonomian Indonesia. Menurut Yahya A. Muhaimin (1982:11-12), semenjak tahun-tahun pertama Republik Indonesia berdiri, para perwira militer Indonesia sebenarnya sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revolusioner. Kecenderungan ini semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi bukan hanya ancaman dari luar ( Belanda ) tetapi juga mengatasi peristiwa politik yang kritis, seperti pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948.
Menurut Singh dalam The RIDEP Institute (2003:258) menambahkan bahwa keterlibatan militer Indonesia dalam politik bermula dari kemerdekaan. Politik militer diakomodasi secara legal dan konstitusional di dalam sistem politik yang diciptakan oleh Soekarno atas dasar dekrit presiden 1959. Di bawah Demokrasi Terpimpin, militer mendapat beberapa kursi di DPR Gotong Royong dan sepertiga dari jumlah menteri dalam kabinet kerja adalah anggota militer.
Nasution mengemukakan gagasan mengenai partisipasi militer dalam pemerintahan untuk ikut membina negara tanpa ada niatan untuk memonopoli seluruh kekuasaan. Gagasan ini bertujuan agar tentara dapat lebih menyatu dengan rakyat dan selalu siap membantu rakyat, tidak hanya mengenai soal keamanan dan pertahanan negara saja tetapi di setiap permasalahan yang muncul
di masyarakat. Gagasan Jenderal A.H. Nasution ini dikenal sebagai konsep ‘Jalan Tengah’(Samego, 1998:94).
Sejak sistem demokrasi parlementer yang dianut pemerintah pada periode 1950-1959, mempengaruhi kehidupan TNI. Campur tangan politisi yang terlalu jauh dalam masalah intern TNI mendorong terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mengakibatkan adanya keretakan di lingkungan TNI-AD (Supriyatmono,1994:30-31). Peristiwa ini merupakan pergulatan antara kekuatan yang menghadapi otonomi TNI AD yang kelak berkembang menjadi fungsi sosial politik ABRI melawan penganut paham supremasi sipil (Notosusanto,1984:72). Peristiwa 17 Oktober memang tidaklah dimaksudkan sebagai aksi untuk menjatuhkan presiden maupun kabinet (pemerintah). Dalam pandangan Nasution dan beberapa perwira tertentu, aksi itu justru ditujukan terhadap parlemen dan dimaksudkan pula agar Soekarno segera mengambil peran politik penting dan bersama TNI mengatasi keadaan yang ada (Supriyatmono, 1994:29). Satu hal yang perlu dicatat bahwa walau bagaimana pun peristiwa 17 Oktober 1952 tetap merupakan suatu sebuah manuver politik dan salah satu potret perjuangan politik kelompok militer pada masa itu. Nasution memandang hal itu sebagai suatu rangkaian proses di mana militer melakukan upaya mencari posisinya yang paling dan selaras dalam kehidupan kenegaraan (Supriyatmono, 1994: 29). Di sisi lain, campur tangan politisi sipil itu mendorong TNI untuk terjun dalam kegiatan politik dengan mendirikan partai politik yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) yang ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan Umum tahun 1955.
Periode yang juga disebut Periode Demokrasi Liberal ini diwarnai pula oleh berbagai pemberontakan dalam negeri. Pada tahun 1950 sebagian bekas anggota KNIL melancarkan pemberontakan di Bandung (pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil/APRA), di Makassar Pemberontakan Andi Azis, dan di Maluku pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Sementara itu, DI/ TII Jawa Barat melebarkan pengaruhnya ke Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pada tahun 1958 Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) melakukan pemberontakan di sebagian besar Sumatera dan Sulawesi Utara yang membahayakan integritas nasional.
Setelah pemberontakan itu berhasil diatasi, maka militer menjadi terkonsolidasi, “secara politis” lebih homogen dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam politik nasional. Saat itu peran Nasution sangat penting. Antara tahun 1958 sampai tahun 1960 boleh dikatakan Nasution menjadi orang kedua setelah Soekarno. Nasution melihat bahwa peran militer dalam perpolitikan nasional harus memiliki dasar hukum yang kuat dan ia melihat bahwa itu terdapat dalam konstitusi yaitu dengan diakuinya golongan fungsional. Militer termasuk golongan fungsional tersebut pada Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu Nasution paling gigih mengusahakan agar dapat dilakukan pemberlakuan konstitusi tersebut yang akhirnya memang diputuskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Upaya menyatukan organisasi angkatan perang dan Kepolisian Negara menjadi organisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun
1962 merupakan bagian yang penting dari sejarah TNI pada dekade tahun enampuluhan. Menyatunya kekuatan Angkatan Bersenjata di bawah satu komando, diharapkan dapat mencapai efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya, serta tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan kelompok politik tertentu. Namun hal tersebut menghadapi berbagai tantangan, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai bagian dari komunisme internasional yang senantiasa gigih berupaya menanamkan pengaruhnya ke dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia termasuk ke dalam tubuh ABRI melalui penyusupan dan pembinaan khusus, serta memanfaatkan pengaruh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI untuk kepentingan politiknya.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang antara lain menyatakan bahwa konstituante dibubarkan, dan bahwa Undang-Undang Dasar Dementara tahun 1950 tidak berlaku lagi, serta berlakunya kembali UUD 1945 dan menggantikan UUDS 1950. Dekrit tersebut keluar setelah ternyata Konstituante hasil pemilihan umum 1955 gagal menyusun Undang-Undang Dasar Sementara disebabkan terjadi perbedaan pendapat yang tajam diantara anggota Konstituante (Poesponegoro, 1984:281-283). Nasution yang pertama kali mengusulkan agar kembali kepada UUD 1945 yakni saat diadakan Dewan Nasional bulan Agustus 1958. Kembalinya kepada UUD 1945 berarti jaminan legitimasi peran golongan fungsional seperti halnya golongan militer dalam memerankan percaturan politik semakin valid. Menurut keterangan Nasution, bahwa ketika ia menjabat Kepala Staf Angkatan Darat telah diusahakan melahirkan suatu konsep guna memberikan patokan-patokan dasar bagi politik
militer itu dalam rangka kehidupan bernegara. Pada masa itu perkembangan politik dan keamanan sudah menumbuhkan tunas-tunas dari fungsi territorial yakni, sebagai fungsi pembinaan wilayah dan masyarakat. Konsep tersebut diperjuangkan dalam induk kembali ke UUD 1945. Pasal 2 UUD 1945 juga memberikan posisi dan fungsi politik kepada golongan-golongan karya yakni, militer, buruh, tani dan lain-lain, sebagaimana konsepsi Soekarno pada waktu itu.
Rosihan Anwar (1981: 83-84) mengemukakan bahwa dalam kalangan masyarakat politik banyak dibicarakan tentang pertentangan pendirian antara Presiden Soekarno dengan Tentara. Pertentangan itu tentang dua hal yaitu: Pertama soal Irian Barat, dan yang kedua soal PKI. Dalam soal Irian Barat, Gabungan kepala Staf tidak bersedia melakukan perang terhadap Belanda mengenai soal Irian Barat, dengan alasan bahwa secara teknis pihak Indonesia belum siap berperang. Kesimpulan ini mereka tulis dalam sebuah memorandum yang telah disampaikan kepada Presiden/ Panglima Tertinggi. Namun Soekarno terus melancarkan niatnya untuk melakukan invasi ke Irian Barat. Sebagaimana yang diungkapkan dalam pidato Soekarno bahwa dalam soal menghadapi Irian Barat, selain kita harus rasional kita juga harus emosional. Bertindak rasional dalam mengatur segala hal teknis yang memang dapat diatur, sedangkan emosional dalam menghadapi hal yang tidak mungkin dilakukan menurut pertimbangan nalar kita, tetapi dapat dilakukan karena modal dan semangat yang berkobar.
Suatu kenyataan bahwa Soekarno berhasil menghidupkan semangat rakyat untuk merebut kembali Irian Barat melalui jalan perang selain jalan diplomatik,
yang pada akhirnya memojokkan golongan tentara untuk tidak bisa berbuat kecuali harus mengikuti kebijaksanaan Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia/ Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat dalam sidang Staf Operasi. Dalam peristiwa ini, tentunya dilihat dari posisi politis golongan tentara merupakan kekalahan dalam perannya memainkan politik. PKI yang dianggap anti kapitalis dan imperialisme, di mana Irian Barat merupakan sisa kolonialisme Barat, dianggap lebih setia mendukung pendirian Soekarno daripada golongan tentara yang seharusnya bertugas berperang justru ikut “bermain politik”. Maka kedudukan golongan tentara semakin lemah di mata Soekarno. Bahkan lebih jauh dari itu, Nasution sebagai arsitek pembaharuan politik golongan tentara semakin dikurangi peranannya. Soekarno kemudian merekrut Achmad Yani yang mungkin menurut perhitungannya lebih bisa dikendalikan daripada Nasution yang potensial berwawasan politik dikenal puritan dalam soal moral dan yang utama Nasution mungkin dipandang sebagai hal yang merepotkan Soekarno dalam mengambil keputusan-keputusan politik.
Mengenai pemunculan Achmad Yani, Sundhaussen (1986:284-285) menguraikan bahwa Yani sangat berkenan di hati Soekarno. Sebagai orang yang halus dan berbudi bahasa jika dibandingkan dengan Nasution. Yani diharapkan Soekarno akan dapat ditarik ke dalam lingkungan pengikutnya di Istana. Untuk terbebas dari Nasution dan menjauhkannya dari upaya-upaya memperjuangkan kepentingan Angkatan Darat adalah memberikan beberapa promosi, penugasan yang berprestise, dan manifestasi lahir lainnya. Dengan kata lain Soekarno dapat mengharapkan bahwa sampai tingkat tertentu Yani akan bergantung kepada
presiden untuk mempertahankan legitimasi dan kewibawaannya dalam Angkatan Darat. Namun dalam perjalanan selanjutnya A. Yani merupakan prototip Nasution, terutama dalam pendiriannya dalam menentang PKI, termasuk menentang Soekarno dalam program pembentukan angkatan kelima di luar jajaran ABRI yang mempersenjatai buruh dan tani(PDAT, 1998:132-133).
Untuk melunakkan partai-partai politik agar tidak berkuasa kembali sebagaimana yang terjadi ketika masa demokrasi liberal, Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistem Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai penyeimbang.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah
ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden (Karim, 1993:142).
Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistem ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai yang
dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula (Karim, 1993:143).
Dalam kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai dalam gerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan.
PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan intensif dengan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi anggota organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai terbesar.
Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai
sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul ke permukaan. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.
Menjelang akhir masa Demokrasi Terpimpin, PKI memperoleh kedudukan strategi dalam percaturan politik di Indonesia. Kondisi ini diperoleh berkat kepiawaian Dipa Nusantara Aidit dan tokoh-tokoh PKI lainnya untuk mendekati dan mempengaruhi Presiden Soekarno. Melalui cara ini, PKI berhasil melumpuhkan lawan-lawan politiknya sehingga suatu saat PKI akan dengan mudah dapat melaksanakan cita-cita menjadikan negara Indonesia yang berlandaskan atas paham komunis (Setiono 2003: 825). Kendati demikian, PKI belum berhasil melumpuhkan Angkatan Darat yang pimpinannya tetap dipegang para perwira Pancasilais. Bahkan pertentangan antara PKI dan Angkatan Darat semakin meningkat memasuki tahun 1965. PKI melempar desas- desus tentang adanya Dewan Jendral di tubuh AD berdasarkan dokumen Gilchrist. Tuduhan itu di bantah AD dan sebaliknya, AD menuduh PKI akan melakukan perebutan kekuasaan (Poesponegoro 1984: 389).
PKI menganggap TNI terutama Angkatan Darat merupakan penghalang utama untuk menjadikan Indonesia negara komunis. Karena itu, PKI segera
merencanakan tindakan menghabisi para perwira TNI AD yang menghalangi cita-citanya. Setelah segala persiapan dianggap selesai, pada 30 September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan. Aksi ini dinamai gerakan 30 September atau G-30-S atau Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Gerakan ini dipimpin Letkol Untung, selaku Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Latief, 2000).
Pada 1 Oktober 1965 dini hari pasukan pemberontak menyebar ke segenap penjuru Jakarta. Mereka berhasil membunuh dan menculik enam perwira tinggi Angkatan Darat. Enam perwira Angkatan Darat korban gerakan PKI tersebut ialah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Suprapto, Mayor Jenderal M.T. Haryono, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution (Menteri Komparteman/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata) yang menjadi sasaran utama berhasil meloloskan diri dari upaya penculikan. Akan tetapi, puterinya, Ade Irma Suryani meninggal setelah peluru penculik menembus tubuhnya. Dalam peristiwa itu tewas pula Lettu Pierre Andreas Tendean ajudan A.H. Nasution yang dibunuh karena melakukan perlawanan terhadap PKI. Demikian pula Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang tewas ketika mengawal rumah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. J. Leitmena, yang rumahnya berdampingan dengan Jenderal A. H. Nasution (Latief, 2000: ). Di perkampungan Lubang Buaya para pemberontak PKI beramai-ramai menyiksa dan membunuh para perwira TNI AD. Mayat-mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur kering dengan kedalaman 12 meter. Para
pemberontak kemudian menyumbat lubang tersebut dengan sampah dan daun-daun kering. Setelah berhasil membunuh beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI dijalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi terletak di jalan merdeka selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang gerakan di 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo (Poesponegoro, 1984: 390-391).
Di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/ Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi (Poesponegoro, 1984:396-400).
B. Latar Belakang Kehidupan Abdul Haris Nasution 1. Masa Kecil
Nasution dilahirkan pada 3 Desember 1918 di Huta Pungkut, distrik Mandailing dekat perbatasan Sumatera Utara dengan Sumatera Barat. Suatu daerah ditengah-tengah pegunungan Bukit Barisan. Wilayah itu dihuni oleh suku bangsa Mandailing yang dalam telaah antropologi biasanya dikategorikan sebagai sub suku bangsa Batak.
Sejak pertengahan abad ke-19 mereka telah diperkenalkan pada pendidikan, seiring dengan dibukanya sekolah-sekolah yang pada awalnya dimaksudkan untuk mendidik putera-putera kepala adat Mandailing agar
memenuhi syarat untuk penempatan dalam aparatur pemerintahan Belanda yang memerlukan tenaga-tenaga administratif setelah dimulainya penanaman kopi secara paksa sebagai bagian dari cultuurstelsel. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan perkenalan dengan hal-hal baru yang bernuansa hamajoan (kemajuan) diterima dengan tangan terbuka, menjadi suatu pertanda bahwa suku bangsa yang satu itu memiliki dorongnan keras untuk mengatasi diri mereka. Walaupun pada akhir abad ke-19 mereka ketinggalan dari suku bangsa lainnya, Lekkerkercker dalam tulisannya tahun 1906 meramalkan bahwa tidak lama lagi suku bangsa ini akan sanggup mengejarnya (Abdulah, 1978:278).
Huta Pungkut di mana Nasution lahir dan dibesarkan merupakan daerah yang paling maju di distrik Mandailing. Pada paruh kedua abad ke-20 ditempat itu mulai tersebar gerakan-gerakan kebangsaan yang berasal dari jawa. Syarekat Islam (SI) tersebar dengan mudah dikalanngan penduduk yang memegang teguh tradisi Islam ini, diikuti gerakan-gerakan nasionalis yang berkembang kemudian menjelang tahun 1930, seperti PNI Partindo. Ketokohan Sokarno dan Hatta sudah dikenal luas oleh masyarakat yang dapat dikenali dengan banyaknya penduduk yang memajang gambar mereka dirumahnya masing-masing (Nasution, 1982:6).
Nasution lahir dari pasangan Halim Nasution dan Zaharah Lubis. Ayahnya seperti kebanyakan penduduk di desanya bermata pencaharian sebagai petani. Pada masa-masa setelah panen bersama beberapa penduduk lainnya ayahnya berdagang tekstil, kelontong, atau sebagai pengumpul karet dan kopi untuk dijual kepada pedagang-pedagang Cina di kota-kota perdagangan terkemuka di utara pulau Sumatera seperti Padang Sidempuan, Sibolga, Bukitinggi dan Padang.
Leluhur-leluhurnya dari pihak ayah adalah pedagang-pedagang dan pengusaha kecil yang sebagian telah merantau hingga ke Malaya (sekarang Malaysia), sedangkan keluarga dari pihak ibunya tampaknya merupakan golongan yang berkesempatan mengenyam pendidikan Belanda sehingga dapat menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu (Nasution, 1982:10).
Latar belakang keluarga Nasution jelas menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga terpandang secara sosial, tetapi tidak menonjol secara ekonomi. Ayahnya adalah penganut prinsip Islam yang kuat yang sedapat mungkin diajarkannya pula pada anak-anaknya. Semasa muda ia menjadi salah satu pengikut pergerakan Syarikat Islam. Di desa, ketokohannya dalam bidang agama Islam ditunjukkan dengan mendirikan sekolah Islam yang dinamakan Maktab sekaligus menjadi ketua pengurusnya.
Tidak ada seorang pun yang dapat membayangkan bahwa kelak Nasution akan menjadi seorang pemimpin tentara. Dibandingkan teman-temannya, ia berperawakan kecil dan kurus. Satu-satunya olah raga yang dijalaninya setiap hari adalah lari karena jarak rumahnya ke sekolah yang cukup jauh. Kecenderungannya untuk membaca cerita-cerita kepahlawanan dan kisah-kisah peperangan diam-diam telah menimbulkan cita-cita yang berbeda dari kebanyakan temannya pada saat itu. Selain itu, kekaguman ayahnya pada Mustafa Kemal Pasha sebagai seorang tentara yang mengusung cita-cita kebangkitan Turki tertanam erat pada Nasution. Ia ingat bahwa satu-satunya gambar yang dipajang ayahnya sebagai hiasan dinding adalah gambar Mustafa Kemal Pasha (Nasution,
1982:11). Walaupun demikian bukanlah berarti bahwa ayahnya berharap Nasution menjadi seorang tentara. Kelak, ketika orang tuanya mengetahui bahwa puteranya itu memasuki akademi militer Belanda, ia telah dianggap sebagai anak yang hilang (Nasution, 1982:47).
2. Masa-masa Pendidikan
Pendidikan pertama yang dijalani Nasution adalah HIS (Hollandsch Inlandsche School) Kotanopan yang berjarak enam kilometer dari kampung tempat tinggalnya. Masa sekolah dasarnya itu dilaluinya selama tujuh tahun, yaitu sejak 1925 sampai dengan 1932 (Nasution, 1982:15).
Nasution merupakan anak yang menonjol di sekolahnya dengan minat yang besar terhadap mata pelajaran sejarah dan ilmu bumi. Pada saat itu ia telah memahami bahwa yang disebut sejarah Indonesia adalah sejarah perang Belanda yang secara berangsur-angsur menaklukan kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Bacaanya tentang sejarah dunia mulai membuatnya berpikir tentang posisi Indonesia dalam tatanan dunia dengan harapan bahwa kelak negeri yang masih bernama Hindia Belanda itu akan ikut berperan dalam percaturan politik internasional (Nasution, 1982:17). Suatu keyakinan yang masih sangat samar-samar, tetapi mulai menancapkan akar nasionalisme yang kuat dibenaknya, apalagi ide-ide itu sudah tidak asing di lingkungan desanya yang menjadi pusat pergerakan kebangsaan. Nama-nama seperti Soekarno, Hatta, Moch. Yamin, dan Amir Syaripudin adalah tokoh-tokoh pergerakan yang sudah didengarnya dengan akrab sehari-harinya sebagai orang yang dikagumi di lingkungannya.
Seseorang yang menamatkan HIS sebenarnya sudah dianggap cukup terpelajar di desanya. Akan tetapi Nasution sangat berminat untuk melanjutkan pendidikan. Hambatan pertama baginya adalah kedaan ekonomi yang tidak memungkinkan setelah ayahnya mengalami kebangkrutan akibat masa malaise yang melanda seluruh negeri. Guru-gurunya di HIS mencoba membesarkan hatinya sambil mencarikan jalan keluar. Sebagai lulusan terbaik dari HIS kotanopan, Nasution kemudian mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di HIK (Hogere inlandsch Kweekschool) Bukittinggi, yang memberikan asrama gratis. Sekolah bagi para calon guru yang pada saat itu lebih popular dengan sebutan “sekolah raja” itu memberikan kebanggaan tersendiri bagi Nasution karena hanya satu orang dari setiap sekolah rendah di Sumatera dan Kalimantan Barat yang dapat diterima (Nasution, 1982:20). Kepergianya dari bukittinggi pada tahun 1932 bertepatan pada usianya yang ke-14, yang menurut tradisi masyarakatnya memang harus meninggalkan desa untuk merantau.
HIK Bukittinggi merupakan kesempatan berikutnya bagi Nasution untuk mengenal pergaulan dari berbagai kalangan diluar desanya. Sekolah itu mempertemukannya dengan pemuda-pemuda dari berbagai suku lain yang ternyata memiliki pandangan yang hampir serupa dalam hal nasionalisme ke-Indonesiaan yang kemudian mendapatkan wadahya melalui organisasi-organisasi yang didirikan dikalangan mereka. Hal itu didukung pula dengan mudahnya mendapatkan informasi tentang perkembangan dunia, termasuk gerakan-gerakan kebangsaan Hindia Belanda dari koran-koran dan majalah-majalah berbahasa Belanda yang disediakan pihak sekolah (Nasution, 1982:22). Pada saat itu
Nasution merasa tertarik kepada komunis sebagai gelar bagi yang melawan kekuasaan penjajah (Nasution, 1982:23). Jauh dari pikirannya saat itu bahwa kelak komunisme akan menjadi musuh politiknya yang paling utama.
Pendidikan di HIK dijalaninya selama tiga tahun dan ia dapat mempertahankan prestasinya sebagai salah satu dari lima siswa terbaik yang mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke HIK lanjutan di Bandung. Pada tahun 1935 untuk pertama kalinya ia bertolak menuju Jawa dan menetap untuk selamanya di pulau tersebut.
Cakrawala tentang dunia kemiliteran didapatkan Nasution untuk pertama kalinya dari teman sekamarnya di HIK Bandung, yaitu Artawi, yang berasal dari Madura dengan latar belakang militer yang kuat dipihak keluarganya. Beberapa anggota keluarga Artawi menjadi anggota korps “Barisan”, korps pembantu KNIL yang khusus terdiri dari putera-putera Madura (Nasution, 1982:26).
Oleh karena mereka berdua juga tertarik pada cita-cita pergerakan nasional, maka mereka sampai pada kesimpulan bahwa demi kesuksesan pergerakan mereka perlu juga memasuki dinas tentara. Artawi sudah terlambat untuk memasuki korps Barisan, sementara itu Nasution berniat untuk mendapatkan ijazah AMS “B” (Algemeene Middlebare School), sebagai syarat memasuki pendidikan perwira yang amat dibatasi bagi putera-putera Indonesia, yakni satu orang tiap tahun dan itupun hanya diperuntukan bagi keluarga-keluarga yang berdinas pada Belanda. Untuk itu Nasution berencana meminta surat rekomendasi dari seorang kakak ibunya yang ketika itu menjabat jaksa di Riau. Tahun ke-2 di HIK, atas kerja kerasnya belajar secara otodidak, Nasution berhasil
mendapatkan ijazah AMS “B”. Niatnya untuk melanjutkan ke pendidikan perwira semakin kuat setelah didengarnya dari para gurunya yang berkomentar bahwa ia tidak berbakat menjadi seorang guru (Nasution, 1982:28).
Setelah menyelesaikan HIK Bandung, ternyata tidak mudah bagi Nasution menjalankan semua yang telah direncanakanya. Pamannya yang menjabat sebagai jaksa di Riau tidak bersedia memberikan surat rekomendasi bagi lamarannya ke akademi militer, dan untuk sementara ia harus menyingkirkan cita-cita awalnya. Surat rekomendasi yang diberikan oleh direktur HIK Bandung untuk mengusahakan beasiswa bagi pendidikan lanjutan Nasution di perguruan tinggi juga gagal, terakhir Nasution juga tidak berhsil mendapatkan pekerjaan di Bandung seperti yang diharapkannya (Nasution, 1982:32).
Tidak ada jalan lain bagi Nasution selain menerima tawaran pekerjaan sebagai guru di Bengkulu. Di tempat itu pula ia kemudian bertemu dengan Soekarno untuk pertama kalinya, yang digambarkannya sebagai pertemuan yang luar biasa dapat bertatap muka dengan tokoh pergerakan nomor satu (Nasution, 1882:35). Walaupun demikian tidak serta merta hubungan mereka menjadi dekat. Tampaknya Nasution menyimpan kekagumannya terhadap Soekarno jauh di dalam hatinya. Ceramah-ceramah politik Soekarno tentang gerakan kebangsaan sangat menarik minatnya, namun tidak membuatnya menjadi pengikut pribadi Soekarno.
Selama satu setengah tahun, Nasution mengajar di tiga tempat yang berbeda, masing-masing Bengkulu (pada saat itu masih bernama Bengkulen), Muara Dua dan Tanjung Raja. Selama waktu bitu pula Nasution terus mencari
jalan untuk dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah militer yang gratis namun jalannya telah tertutup, atau ke fakultas hukum dengan jalan mengumpulkan biaya yang tidak sedikit. Menurut Nasution, kedaan pada saat itu tidak menjanjikan masa depan yang cerah bagi dirinya (Nasution, 1982:41).
Percaturan politik di tingkat internasional telah membuka peluang besar baginya. Pada saat itu baru saja pecah perang dunia II. Bulan mei 1940 Belanda diduduki oleh Jerman yang memaksa pemerintah Hindia Belanda memperbesar armada angkatan perangnya yang terdiri dari warga-warga Belanda dan sekedar tenaga-tenaga pribumi Indonesia. Pada tahun1940, dibentuklah Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO), yang membuka kesempatan bagi putra-putra pribuni yang berijazah HBS atau AMS untuk mengikuti pendidikan kemiliteran. Nasution dapat melewati seleksi walaupun sebenarnya dari pemeriksaan tim dokter ia mengidap kelainan serius di jantungnya (Tianlean, 1997:50). Melewati seleksi ketiga, Nasution resmi menjadi taruna milisi (kadet) dan berhak mengikuti tingkat kedua akademi.
Perang semakin mendekat ke Jawa, akademi militer harus ditutup. Taruna tahun kedua akhirnya diselesaikan dalam suasana darurat. Para taruna secara resmi diangkat menjadi vaandrig (pembantu letnan, calon perwira) dan mulai diperbantukan ke kesatuan-kesatuan lapangan. Nasution kemudian ditugaskan di batalyon III infanteri di Surabaya (Nasution, 1982:52).
3. Perjalanan Karir Militer
Setelah melarikan diri dari pasukan Belanda karena merasa bukan bagian dari mereka, Nasution kembali ke Bandung dan terlibat dalam pembentukan
barisan-barisan kepemudaan, diantaranya Badan Pembantu Prajurit Priangan dan menjadi salah satu pengurusnya. Masa-masa itu penting karena memberinya pengalaman untuk mempraktekan latihan-latihan kemiliteran yang pernah dipelajarinya, serta membuatnya berhubungan secara luas dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang cukup dikenal.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Nasution bergabung dengan Seinendan, yang didirikan Jepang pada 29 April 1943 (Poesponegoro, 1984:29). Sementara itu gerakan-gerakan kepemudaan bawah tanah yang sedang menyusun kekuatan untuk kemerdekaan Republik Indonesia mulai meningkat. Nasution ditunjuk oleh walikota Bandung, Atmadinata pada 1943 untuk memimpin Barisan Pemuda Bandung namun pada saat itu Nasution menolaknya (Nasution, 1982:61).
Setelah menolak instruksi walikota Bandung pada saat itu untuk mempelopori masuk Peta yang dianggapnya tidak akan memberi banyak peluang (Nasution, 1982:63), Nasution kemudian memilih bergabung dengan Barisan Pelopor dan menjadi wakil komandannya. Sebagai mata pencaharian, secara tidak resmi ia dicatatkan sebagai pegawai kotapraja Bandung dan mendapatkan penghasilan darinya (Tianlean, 1997:3).
Antara tahun 1944-1945, Nasution telah mulai mengkoordinasi gerakan pemuda antar daerah, meliputi seluruh Jawa. Ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang pada masa awal kemerdekaan RI menjadi tokoh-tokoh kemiliteran, diantaranya Urip Sumohardjo, seorang bekas mayor KNIL yang secara pribadi mmemiliki hubungan dekat dengannya (Nasution, 1982:65).
Oktober 1945, dalam suasana kemerdekaan, secara resmi pemerintahan Republik Indonesia yang baru berdiri membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan mayor Urip Sumohardjo sebagai Kepala Staf-nya. Perkenalan Nasution dengan Urip Sumohardjo sebelumnya paling tidak telah memberi peluang bagi Nasution untuk terpilih sebagai Kepala Staf TKR Jawa Barat yang membawahi tiga divisi, masing-masing yaitu Divisi I Banten, Divisi II Jakarta-Cirebon, dan Divisi III Priangan. Jabatan tersebut belum menempatkannya dalam posisi strategis operasional, karena tugasnya pada saat itu lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat administratif, yakni pembentukan komandemen di Jawa Barat. Baru pada tahun 1946 ia mendapat instruksi dari pemerintah untuk mengambil alih komando dari Kolonel Arudji Kartawinata dan diangkat menjadi Panglima Divisi III TKR Priangan (Nasution, 1982:87).
Tindakannya yang dianggap kontroversial pada masa itu adalah keputusannya untuk mengungsikan rakyat dan membumihanguskan kota Bandung dalam Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946. Markas Besar Tentara (MBT) yang berkedudukan di Yogyakarta meminta Nasution bertanggung jawab atas ketidaksanggupan Divisi III TKR mempertahankan kota Bandung sampai titik darah terakhir. Nasution menjelaskan bahwa ia tidak mungkin mengorbankan batalyonnya dengan kekuatan seratus pucuk senapan untuk menghadang Divisi ke-23 tentara Inggris. Kekalahan dan pendudukan musuh tidak dapat dihindari walaupun mereka bertempur. Oleh karena itu ia membiarkan Inggris menguasai kota Bandung yang tinggal puing-puing dengan batalyon-batalyon TRI dan laskar-laskar yang masih tetap utuh untuk melakukan gerilya setiap malam
(Nasution,1982:132). Tindakannya kemudian mendapat dukungan dari Urip Sumohardjo dan nampaknya dapat diterima secara luas oleh kalangan MBT, terbukti dua bulan kemudian Nasution terpilih sebagai Panglima Divisi Siliwangi yang menggabungkan tiga divisi di Jawa Barat sebelumnya.
Pada 21 Juli 1947 terjadi agresi militer Belanda I. Dengan persenjataan yang terbatas Nasution gagal mempertahankan Jawa Barat dari penguasan musuh. Pasukan divisi Siliwangi kemudian terpecah di berbagai daerah tanpa koordinasi yang jelas. Sekali lagi MBT mempertanyakan kemampuan strategi Nasution dalam menghadapi musuh. Untuk kedua kalinya Urip Sumohardjo tampil membelanya. Ia menyatakan kepercayaannya pada kepemimpinan Nasution di Divisi Siliwangi (Nasution, 1982: 193).
Tekanan mental secara pribadi yang dihadapi Nasution dengan adanya sikap tidak percaya pihak MBT membuat Nasution banyak berpikir tentang situasi pada saat itu. Ia kemudian melahirkan konsep gerilya/territorial yang direncanakan untuk digunakan bila Belanda melakukan agresi militer susulan. Pada saat yang sulit bagi karirnya tersebut, ia berkesempatan meminang gadis pilihannya, Sunarti serta melakukan pernikahan secara darurat di tempat pengungsian mereka di Ciwidey, Jawa Barat (Nasution, 1982:203).
Pada Februari 1948 Nasution secara resmi diangkat menjadi Wakil Panglima Angkatan Perang mendampingi Jenderal Soedirman. Selanjutnya pada Agustus 1948, ia diserahi tugas sebagai Kepala Staf Operasi didalam Angkatan Perang dan diperintahkan untuk menyusun rencana pertahanan menghadapi ancaman serangan susulan Belanda.
Pemerintah kemudian menghapuskan jabatan Panglima besar dalam struktur TNI menyusul meninggalnya Jenderal Soedirman pada awal tahun 1950. Sebagai gantinya kemudian diadakan jabatan administratif, Kepala Staf Angkatan Perang yang dipercayakan kepada Kolonel Simatupang dengan tugas mengkoordinir tiga kepala staf TNI. Nasution diangkat sebagai kepala Staf Angkatan Darat yang pertama. Selama jabatan pertamanya sebagai KSAD, Nasution menggulirkan kebijakan rasionalisasi dan reorganisasi untuk meningkatkan kemampuan profesionalitas TNI serta menekan jumlah tentara yang sudah melampaui batas. Kebijakan tersebut mencuatkan konflik KNIL-PETA dan bermuara pada peristiwa 17 Oktober 1952. Pemerintahpun menghentikannya sebagai KSAD.
Selama berhenti di dinas ketentaraan, Nasution mulai menuangkan pemikirannya tentang posisi dan peran yang seharusnya disandang militer di Indonesia berdasarkan sejarah kelahirannya. Tiga buku yang berhasil ditulisnya pda saat itu adalah; Tentara Nasional Indonesia, Catatan-catatan sekitar politik militer Indonesia, serta sebuah buku yang berisi teori-teori perang gerilya berdasarkan pengalamannya, yakni pokok-pokok perang gerilya ( Sundhaussen, 1988:144).
C. Langkah-Langkah A.H. Nasution Dalam Mendorong Proses Peralihan Kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto 1965-1968
1. Pemikiran A.H. Nasution Tentang Peran Militer Dalam Negara
Pemikiran Nasution tentang peran politik militer lahir ditengah konflik sipil-militer pasca kemerdekaan. Keduanya sama-sama sedang mencari tempat yang hakiki dalam tatanan negara Republik Indonesia. Pihak sipil dengan tokoh-tokohnya seperti Soekarno, Hatta, dan Syahrir dalam waktu singkat dapat menegakkan supremasi sipil atas militer. Pihak militer dapat menerima kenyataan itu walaupun dengan beberapa catatan tentang posisi yang pantas mereka sandang setelah peran mereka yang menentukan dalam mempertahankan eksistensi Republik Indonesia. Adapun posisi yang diharapkan golongan militer pada saat itu tidak ditanggapi secara positif oleh kalangan sipil karena alasan-alasan politik. Mereka tidak mengharapkan militer menjadi sangat kuat kedudukannya, sehingga pada waktunya kelak akan menggunakan kekuatan tersebut untuk menguasai pemerintahan. Sedapat mungkin mereka berjaga-jaga agar hal itu tidak terjadi di Indonesia.
Nasution yang sejak awal sudah terlibat sebagai pemimpin pasukan tentara merasakan secara langsung benturan-benturan dengan pihak sipil yang disebabkan perbedaan visi antara keduanya. Oleh karena itu pemikirannya untuk sebagian bernuansa sanggahan terhadap provokasi mereka dan sebagian lagi adalah pemikirannya tentang bagaimana seharusnya pemerintah memperlakukan militer sebagai kekuatan negara yang penting dalam melaksanakan politik nasional.
Sejak awal, pemikirannya telah terinspirasi oleh sikap Jenderal Soedirman yang menerapkan sikap otonom tentara dalam berhadapan melawan pihak pemerintah (Sundhaussen, 1988:217). Selain itu pemikirannya merupakan studi banding dengan negara-negara lain mengenai hubungan lembaga sipil-militer. Dalam merumuskan pemikirannya tentang politik militer, ia mengutip pernyatannya Jomini (Nasution, 1955:17) bahwa politik militer adalah kebijakan pemerintah mengenai persiapan dan pelaksanaan perang, yang menentukan baik buruknya serta besar kecilnya potensi dan kekuatan perang negara. Dalam hal ini kebijakan pemerintah untuk membuat persiapan-persiapan maksimal yang tidak hanya dipraktekkan dalam masa darurat tetapi juga pada saat damai, sehingga militer selalu dalam keadaan siap siaga.
Dapat diperkirakan Nasution menganggap bahwa politik militer adalah tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkannya. Salah satu perwujudan politik militer adalah eksistensi angkatan perang yang kuat dan lemahnya ditentukan oleh kebijakan pemerintah itu sendiri. Pada gilirannya kelak, angkatan perang akan menjadi kekuatan paling potensial untuk mendukung cita-cita politik nasional. Keberhasilan atau kegagalan politik nasional adalah tergantung pada keseriusan pemerintah untuk memperhatikan masalah angkatan perang. Hal itu dikemukakan Nasution berdasarkan kenyataan yang berlaku pada masa demokrasi parlementer, ketika pemerintah tidak memperhatikan persoalan angkatan perang hanya karena tuduhan yang tidak berdasar bahwa tuntutan-tuntutan militer itu adalah upaya mereka untuk membangun pondasi bagi pendirian diktatur militer. Atas dasar
tersebut pula pemerintah meniadakan syarat periapan perang di masa damai dalam Undang-Undang Pokok Pertahanan RI (Nasution, 1955:34).
Perang sebagaimana dinyatakan oleh Clausewitz (Nasution, 1955:31) adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Bagaimana pun arah kebijaksanaan politik nasional suatu negara, baik agresif maupun defensif, kemungkinan perang tidak dapat dikesampingkan. Perang dapat terjadi karena sikap agresif politik nasional yang hendak menjajah negara lain, atau sebaliknya, perang juga dapat terjadi karena sifat pertahanan bangsa untuk mencegah agresi bangsa lain. Perang juga adalah usaha untuk menyelamatkan cita-cita politik nasional dari pertikaian di dalam negeri. Karena menurutnya, politik nasional harus mampu menciptakan politik militer yang kondusif bagi pembangunan angkatan perang yang tangguh. Semua itu harus dilandasi prinsip. Prinsip cinta damai haruslah bersedia untuk perang, bukan semata-mata karena kecintaan terhadap peperangan. Oleh karena itu, suatu negara yang cinta damai harus mempunyai angkatan bersenjata. Dengan kata lain nasution berpendapat bahwa politik nasional tidaklah mungkin mengantar rakyat kepada tujuan hidupnya jika tidak ada tentara untuk menjaga keamanannya (Nasution, 1955:32).
Salah satu tugas pemerintah untuk menciptakan angkatan perang yang tangguh adalah memilih seorang panglima berdasarkan bakat dan keahliannya (Nasution, 1955:112). Seorang panglima dengan wewenang dan kekuasaannya yang diakui dan jelas, serta untuk memudahkan koordinasi antarangkatan, maka kekuasaan strategis operasional panglima itu seharusnya meliputi seluruh angkatan pula.
Dapat dipahami bahwa pemerintah sangat keberatan dengan usulan tersebut. Hal itu akan memberikan kekusaan yang terlalu besar di tangan seorang perwira tentara, walaupun sekali lagi Nasution menggariskan bahwa kekuasaan tertinggi atas angkatan perang berada di tangan presiden, menteri pertahanan sebagai pengatur kebijakan, sementara kekuasaan seorang panglima hanya meliputi strategi operasional. Latar belakang usulan tersebut adalah dihapuskannya kedudukan panglima besar sejak tahun 1950, dan secara resminya tentara berada dibawah kementerian pertahanan yang dibantu oleh KSAP (1950-1952 dijabat oleh T.B. Simatupang) dengan tugas-tugas administratif belaka.
Sekilas usulan tersebut menggambarkan ambisi Nasution untuk dapat mengkonsolidasikan tentara di bawah kekuasaannya. Sekalipun itu benar, maka motivasi yang melatarbelakanginya tampaknya bukan keinginan untuk mengambil alih kekuasaan sebagaimana yang dibayangkan oleh pihak sipil, melainkan keprihatinannya terhadap angkatan-angkatan lain yang dipergunakan sedemikian rupa oleh partai-partai politik untuk memperbesar pengaruhnya. Setidaknya, bila ia dapat pula mengkonsolidasikan angkatan-angkatan lain, ia akan menerapkan kebijakan serupa sebagaimana halnya dalam Angkatan darat, yakni menanamkan keyakinan bahwa ideologi tentara adalah UUD 1945. Faktor yang lebih penting lagi mengenai perlunya kedudukan seorang panglima yang meliputi seluruh angkatan adalah suasana peperangan yang meliputi seluruh dunia pasca perang dunia II, begitu pun suasana di dalam negeri yang tengah bergejolak oleh pemberontakan-pemberontakan yang bersifat separatis.
Suatu angkatan perang yang tangguh juga dapat terwujud apabila pemerintah bersedia duduk bersama-sama dengan pihak militer untuk membicarakan kewenangan masing-masing pihak beserta batasan-batasannya dalam kehidupan bernegara. Pada kenyataannya kedua belah pihak memiliki persepsi yang berbeda tentang kedudukan militer. Pemerintah yang merasa bahwa demokrasi ala barat telah diakui di Indonesia dan dengan sendirinya berpendirian bahwa militer adalah alat kekuasaan sipil tidak pernah menyadari bahwa sebuah gelombang kekecewaan tengah melanda kaum militer terhadap kelompok mereka. Sebagian perwira bersatu paham tentang penolakan mereka terhadap bentuk-bentuk intervensi sipil dikalangan intern militer. Bagi Nasution, walaupun batasan intervensi sipil itu tidak mutlak perlakuan-perlakuan pihak pemerintah lebih bersifat melecehkan daripada membangun hubungan baik yang menghasilkan saling pengertian. Barangkali maksud Nasution adalah suatu intervensi sipil dapat diterima apabila antara keduanya dapat tercipta sebuah pengertian yang dilandasi saling menghargai dan saling percaya. Pada kenyataannya, beberapa kali pemerintah mengabaikan masalah-masalah intern militer, misalkan pengecilan arti pejabat-pejabat tinggi militer menjadi pelaksana-pelaksana teknis departemen pertahanan belaka tanpa sutu konsultasi apalagi kompromi (Nasution,1955:112; 1968:156).
Pengakuannya terhadap supremasi sipil juga dapat dilihat dari penolakannya terhadap aspek-aspek fasis yang dipraktekkan Jerman dan Jepang yang sangat menjunjung tinggi tradisi militerisme dan mengabaikan faktor-faktor politik, ekonomi dan sosial (Nasution, 1955:103), tetapi ia juga tidak setuju
dengan kedudukan militer yang diatur berdasarkan partai politik yang berkuasa seperti yang ada di Eropa Barat dan menjadi contoh di Indonesia. Alasan-alasannya lebih dikarenakan oleh faktor sejarah. Latar belakang kelahiran tentara di Indonesia berbeda dengan tentara di negara-negara penganut dua sistem tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sundhaussen (1988:31), bahwa:
“Indonesia tidak menyerupai sebuah demokrasi Barat yang akan memberikan kepada tentara satu kedudukan dilembagakan dalam system ketatanegaraan dibawah pengarahan suatu pemerintah yang demokratis. Begitu pula revolusi tidak melahirkan suatu sistem partai tunggal yang otoriter atau totaliter yang dapat melaksanakan fungsi membentuk dan mengontrol angkatan bersenjata Indonesia.”
Dalam usahanya menjembatani hubungan lembaga sipil-militer, Nasution mengemukakan bahwa RRC dan USA adalah dua negara yang memiliki latar belakang kelahiran tentara yang hampir serupa dengan Indonesia. Menurutnya, tentara di kedua negara itu sebagaimana halnya TNI lahir dari suatu perang kemerdekaan dan berperan sebagai pelopor perjuangan. Hal penting yang ditemukannya adalah, bagaimana pemerintah di kedua negara itu mampu menciptakan hubungan harmonis antara sipil-militer (Nasution, 1955:61). Hubungan baik antara sipil-militer akan menciptakan kinerja yang baik pula bagi keduanya dalam suatu pemerintahan. Kondisi seperti itulah yang menurut Nasution belum tercipta di Indonesia.
Demikian pula halnya mengenai posisi tentara dalam institusi negara. Pemerintah di kedua negara tersebut mampu menciptakan posisi militer yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Misalnya kedudukan tentara dalam Dewan Pertahanan Nasional di RRC. Kedudukan dewan itu sejajar dengan kabinet dan secara struktural berada langsung dibawah komando presiden. Di Indonesia ia
tidak dapat mengharapkan hal yang demikian karena kedudukan presiden pada saat itu hanyalah sebagai simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Walaupun berdasarkan undang-undang kedudukan tentara berada di bawah presiden, namun kewenangan mengenai kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan kemiliteran ada di tangan menteri pertahanan. Sampai batas tertentu ia berkesimpulan bahwa pembagian tanggung jawab serta kekuasaan antara panglima tertinggi (presiden) dan pemerintah adalah kabur (Nasution, 1955:62). Pemikiran-pemikirannya yang demikian telah membawanya melangkah jauh dengan ikut terlibat seperti kebanyakan perwira-perwira tinggi lainnya di MBAD dalam peristiwa 17 Oktober 1952. Pada saat itu tentara telah menawarkan kerjasama kepada presiden Soekarno untuk membubarkan parlemen yang selain dianggap tidak mewakili rakyat juga memiliki kinerja yang buruk, khususnya dengan pihak tentara, hubungan mereka adalah saling menyudutkan.
Dari sedemikian banyak alasan yang mendorongnya ikut terlibat dalam peristiwa itu dalam kaitannya dengan pemikirannya di atas, Nasution berpandangan bahwa kedudukan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara akan lebih efisien dalam mewujudkan pembangunan di Indonesia, tanpa adanya aksi saling menjatuhkan kabinet di parlemen. Keadaan demikian juga akan memberikan peran yang mantap kepada militer sebagai stabilisator keamanan negara. Sesungguhnya Nasution menyadari bahwa sangat kecil kemungkinan aksi tersebut akan membawa hasil berdasarkan percaturan politik yang sedang berlangsung. Bahkan Soekarno berkata, bahwa Nasution telah memintanya untuk bertindak sebagai diktator. Sementara itu kalangan sipil
menuduh tentara mencoba melakukan aksi kudeta dan Nasution sebagai perwira yang harus bertanggung jawab, dalam aksi itu kemudian Nasution diberhentikan dari jabatannya sebagai KSAD (Sundhaussen, 1988:125).
Dukungannya terhadap Dekrit Presiden 5 Juli 1959 juga memiliki esensi yang serupa yaitu suatu upaya menjalin kerjasama antara presiden dan tentara. Kali ini dukungannya merupakan faktor penting yang dibutuhkan Soekarno sebagai dasar untuk membentuk sistem Demokrasi terpimpin setelah runtuhnya Demokrasi Parlementer secara tragis. Dalam kerangka awal Demokrasi terpimpin, Nasution sudah membayangkan bahwa idealismenya tentang hubungan sipil-militer dan posisi sipil-militer akan segera terwujud. Sejak tahun 1959, ia bahkan menduduki dua posisi sekaligus yang cukup strategis untuk mewujudkan pemikiran-pemikirannya, yakni sebagai KSAD, yang bertanggung jawab dalam strategis operasional AD, serta sebagai menteri pertahanan yang memiliki kewenangan untuk mngeluarkan kebijakan-kebijakan kemiliteran yang untuk pertama kalinya dipangku oleh kalangan militer, walaupun sebenarnya Soekarno sama sekali tidak berniat memberikan jabatan rangkap itu kepada Nasution. Tawaran itu sebenarnya diberikan agar Nasution bersedia melepaskan jabatannya sebagai KSAD, ternyata Nasution tetap memilih sebagai KSAD dan Soekarno tidak dapat menarik kembali tawarannya sebelumnya (Sundhaussen, 1988:253). Jabatan itu dipangkunya hingga menjelang berakhirnya Demokrasi Terpimpin.
Jika Nasution harus memilih antara jabatan menteri pertahanan dan KSAD, maka ia lebih suka memilih jabatan senbagai KSAD, karena posisi tersebut memberi kekuatan tersendiri untuk menjadi kelompok penekan. Hal itu
penting berdasarkan iklim politik yang berlaku pada awal berlakunya Demokrasi Terpimpin, yakni kecenderungan Soekarno untuk mengarahkan kebijakan politiknya ke arah kiri. Secara pribadi Nasution adalah seorang anti komunis yang gigih, tetapi yang menjadi tujuannya adalah memastikan nilai-nilai yang dianut tentara yang telah diperjuangkannya selama bertahun-tahun, dapat terjaga kelangsungannya (Sundhaussen, 1988:220).
Untuk sementara persekutuan antara Nasution dengan Soekarno dalam membangun Demokrasi Terpimpin telah menempatkan militer dalam suatu posisi yang sesuai dengan pemikirannya selama ini, namun seperti yang digambarkan Edward Shills bahwa hubungan militer dan pemerintah pada saat itu lebih tepat disebut “hubungan saling bergantung dan saling curiga” (Shills dalam kartodirjo, 1983:177). Sementara Harold Crouch memandang hubungan sipil dan militer pada tahun 1960-1962 sebagai hubungan stabil yang paling akomodatif bagi keduanya walaupun bukannya tidak menunjukkan kegoyahan (Crouch, 1986:26).
Pada akhirnya hubungan antara Nasution dengan Soekarno tidak dapat dipertahankan untuk selama-lamanya setelah jelas bagi Soekarno bahwa Nasution tidak memiliki visi yang sama dengannya. Sebagai politikus ulung yang berpengalaman, Soekarno tidak segera memecat Nasution dari jabatanya sebagai KSAD untuk mengakhiri hubungan di antara mereka. Cara-cara seperti itu akan membuka pintu konfrontasi langsung antara dirinya melawan pihak AD, padahal dalam hal ini yang menjadi sasarannya adalah Nasution sebagai individu, yang tidak dikehendakinya untuk tetap memegang jabatan sebagai KSAD. Kesempatan
yang sangat baik akhirnya muncul ketika panitia Djuanda mengajukan konsep untuk mengubah struktur ABRI menjadi struktur Hankam yang menempatkan semua Panglima Angkatan secara operasional berada dibawah KSAB. Soekarno menyetujui konsep itu serta mempercayakan jabatan sebagai KSAB itu kepada Nasution. Untuk mendapatkan jabatan tersebut Nasution harus menyerahterimakan jabatannya sebagai KSAD kepada Mayor Jenderal Ahmad Yani pada 25 Juni 1962. Pada saat yang bersamaan Soekarno mengobarkan perlawanan di tubuh AU dan AL untuk tidak bersedia berada dibawah komando seorang perwira AD (Sundhaussen, 1988:281). Oleh karena perkembangan yang demikian itu, Soekarno membatalkan semua wewenang dan perangkat kekuasaan Nasution sebagai KSAB, serta memutuskan bahwa semua panglima angkatan secara operasional berada di bawah komandonya. Dalam tingkatan itu posisi Nasution tidak lebih sebagai Kepala Administrasi Departemen Pertahanan dan Staf Angkatan Bersenjata.
2. Nasution Dalam Dwifungsi TNI
Konsepsi Nasution tentang dwifungsi TNI yang digunakan secara politis baik dalam masa Orde Lama maupun Orde Baru adalah salah satu pemikirannya yang paling kontroversial, karena di anggap memberi dasar kepada tentara untuk berperan dalam segala bidang. Secara mendasar Dwifungsi TNI menyoroti masalah fungsi militer sebagai kekuatan pertahanan keamanan tidak dipersoalkan, fungsi kedualah yang menjadi permasalahan hingga sekarang. Untuk menjelaskan inti pemikirannya yang membawanya dalam peran aktif pada masa peralihan
kekuasaan, penelusuran tentang latar belakang lahirnya dwifungsi TNI dan perkembangannya hingga berakhirnya Demokrasi terpimpin adalah penting, karena konsep itu pula hingga batas tertentu menjadi dasar pemikirannya bahwa peran sipil maupun militer adalah sama, dan pihak militer mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula untuk mengabdi kepada negara dalam struktur pemerintahan.
Latar belakang lahirnya konsep tentara sebagai kekuatan sosial politik menurut Nasution adalah pada masa revolusi kemerdekaan yang lahir secara alami ketika tentara bertebaran di setiap pelosok tanah air dalam kantong-kantong gerilya. Interaksi antara rakyat dan tentara secara tidak langsung telah mengantar tentara kepada peran-peran sosial dalam bentuk pendidikan, penyuluhan, dan lain-lain (Nasution,1983:153), sedangkan dari segi politik terbentuk akibat sulitnya koordinasi dengan pihak pemerintah. Keadaan itu diperuncing pula oleh sikap pihak sipil yang tidak simpatik dengan menyerah secara sukarela kepada Belanda pada masa Agresi Militer II, suatu sikap yang tidak popular di kalangan tentara, bukan saja karena tentara telah memutuskan untuk melakukan perlawanan, tetapi juga karena Soekarno sebelumnya telah menjanjikan bergabung dengan tentara bila Belanda melakukan agresi militer susulan (Nasution,1982:152).
Menurut Nasution, dwifungsi TNI lahir dalam rangka menjawab tantangan bagi eksistensi Republik Indonesia, yaitu secara bertahap sebagai reaksi terhadap agresi militer II, pemberontakan-pemberontakan tahun 50-an, pembebasan Irian Barat, dan peristiwa G30S (Tianlean,1997:138).
Pada 19 Desember1948, dalam agresi militer II, Belanda berhasil menawan Soekarno dan Hatta, serta menyiarkan melalui radio bahwa Republik Indonesia telah tiada. Nasution yang pada waktu itu mempimpin markas Besar Komando Jawa mengumumkan berlakunya pemerintahan darurat militer yang menapat persetujuan dari menteri dalam negeri Dr. Sukiman atas nama beberapa menteri. Pada saat itu para panglima militer dengan eselon-eselon dibawahnya disusun sesuai kesepakatan dan mereka membangun kembali pemerintahan Republik Indonesia yang oleh Belanda disebut “pemerintahan bayangan Nasution” (Tianlean,1997:140).
Dalam instruksi-instruksinya sebagai pemimpin pemerintah darurat militer, Nasution menempatkan para panglima divisi sebagai gubernur militer, sedangkan pada tingkat keresidenan, residen-residen sipil ditempatkan di bawah komandan-komandan wehrkreis atau Komando Militer Daerah (KMD). Sementara itu pada tingkat kabupaten, komandan Komando Distrik Militer (KDM) merupakan pejabat tertinggi. Sejumlah besar perwira tentara yang masih aktif ditempatkan pada kedudukan sipil. Tugas utama pemerintah darurat militer tersebut adalah untuk mengawasi secara efektif seluruh bidang administrasi dan politik, serta menjamin perbekalan pasukan-pasukan tempur dan membantunya (Sundhaussen, 1988:159).
Di tingkat pemerintahan, kesalahan pihak sipil untuk tidak segera memberikan batasan yang jelas mengenai peran, fungsi, dan prerogatif semua pihak yang bersangkutan, yakni tentara dan kaum sipil (Sundhaussen,1988:45-46), menjadi dasar bagi perkembangan otonomi pihak militer, terutama Angkatan
Darat pada masa-masa selanjutnya. Ketika sebagian besar tentara menolak untuk menentang pemerintah, maka kebijakan yang menjadi landasan kerja mereka adalah usaha-usaha untuk membela nilai-nilai kepentingan golongan dan fungsi tentara menurut pandangan mereka sendiri, yakni berpartisipasi dalam peran politik.
Menurut Nasution tentara dan politik tidak dapat dipisahkan karena sifat perjuangan tentara melawan belanda juga atas dasar ideologi dan politik, sebagaimana tergambar dalam catatannya:
“Justru kesadaran ideologis dan politiklah yang merupakan landasan perjuangan (tentara). Kesadaran seperti itu merupakan syarat mutlak bagi penyelenggaraan setiap perang gerilya rakyat. Mau tidak mau, setiap pemerintah yang menggunakan tentara rakyat atau tentara gerilya harus menghadapi situasi ini. Oleh sebab itu, adalah suatu kesalahan untuk terlalu cepat memperlakukan TRI sekedar sebagai alat negara”(Nasution, 1963:243).
Kesadaran pada sejarah menjadi landasan pihak tentara untuk mendapatkan peran besar dalam politik, tetapi dengan tetap menggariskan bahwa mereka tidak akan mengambil alih kekuasaan dengan cara-cara militer. Pemikiran demikian dianut oleh para perwira didikan Belanda yang pada umumnya tidak mempermasalahkan supremasi sipil atas militer (Sundhaussen, 1988:32). Permasalahan-permasalahan tersebut tidak segera diselesaikan oleh pemerintah, walaupun sebenarnya tidak ada kesempatan yang lebih baik untuk memberikan batasan-batasan bagi kekuasaan militer selain pada waktu itu (Sundhaussen, 1988:54).
Pada masa jabatannya sebagai KSAD, Nasution telah menyadari besarnya rasa tidak hormat pihak tentara terhadap pemerintah akibat sikap pihak sipil dalam
agresi militer II. Pada umumnya para perwira tinggi militer juga terus menerus mempertanyakan intervensi sipil ke dalam militer tanpa adanya kesepakatan yang jelas mengenai sampai sejauh mana hak tersebut patut diberlakukan. Keenganan pihak sipil untuk mengangkat permasalahan itu dalam kerangka mencari penyelesaian sangat mengecewakan pihak tentara. Sampai batas tertentu hal itu sangat berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan Nasution sebagai KSAD untuk mengarahkan militer menjadi pihak oposisi bagi pihak sipil, terutama di dalam parlemen.
Nasution menekankan pentingnya tentara berpegang pada proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai ideologi (Nasution, 1963:264). Dengan sendirinya posisi tentara berada dalam pihak yang berseberangan dengan sistem politik Indonesia pada saat itu yang memberlakukan demokrasi parlementer. Demikianlah sikap otonom yang ditanamkan Nasution sejak awal di dalam tubuh Angkatan Darat yang menjadikan sosoknya tidak terlalu popular di kalangan sipil. Sikap-sikap politiknya dikalangan intern militer pula yang membuatnya harus tersingkir dari kemiliteran selama tiga tahun (1952-1955).
Nasution menyadari bahwa sikap-sikap politiknya pada 1950-1952 tidak memberikan kontribusi yang baik bagi kedudukan militer di Indonesia. Ketika ia mendapat kepercayaan untuk memangku jabatan sebagai KSAD untuk kedua kalinya pada pertengahan tahun 1955, ia berubah haluan. Ia memposisikan tentara dalam kerangka sistem politik yang berlaku, walaupun tidak ada perubahan mengenai nilai-nilai yang dianut tentara. Perubahan itu terlihat dari strateginya
untuk bekerjasama dengan pihak pemerintah sebagai upaya untuk mendapatkan peran dan fungsi yang lebih besar bagi tentara. Sebagai landasan kerjanya ia menyatakan penolakannya terhadap ekses-ekses militerisme yang disuarakan kaum militer sebagaimana politikisme gaya sipil. Pernyataannya tersebut menyebabkan sebagian perwira menganggapnya telah menyeberang ke pihak Soekarno (Anwar, 1996:150).
Nasution memang telah memilih antara taat dan melawan. Sikap melawan kaum politik pernah dilakukannya pada masa jabatan pertamanya sebagai KSAD dan itu gagal. Ia tidak mungkin mengulangi hal itu untuk kedua kalinya. Namun tidak semua perwira memahami pemikirannya. Ketika sikap sebagian perwira itu mengeras dan memunculkan upaya-upaya kudeta, ia bersikap tegas memberhentikan para pemimpinnya dari dinas ketentaraan dengan sebagian besar dari mereka tetap dipertahankan. Mungkin Nasution berkeyakinan bahwa kelak mereka akan memahami tindakan-tindakannya sebagai bagian dari strateginya untuk menempatkan tentara menjadi bagian penting di negeri ini.
Pada masa demokrasi liberal, ketika kabinet jatuh hampir setiap 6 bulan, Nasution kedudukannya sebagai KSAD mengusulkan agar TNI tidak hanya berfungsi sekedar potensi militer, tetapi terutama sebagai potensi perjuangan. Hal itu dapa persetujuan dari Presiden Soekarno sebagaimana termuat dalam Order Presiden 5 Oktober 1955 (Tianlean, 1997:140).
Terjadinya ancaman disintegrasi, yaitu pergolakan-pergolkan didaerah sekitar tahun 1950-an seperti peristiwa Cikini, PRRI Permesta, dan sebagainya, menurut Nasution merupakan tahap kedua bagi TNI untuk tampil sebagai
penyelamat bangsa. Pada Maret 1958, Nasution mengusulkan berlakunya keadaan darurat perang (Staat Van Orloog) dan mendapat persetujuan Soekarno yang menganggapnya sebagai jalan terbaik untuk mengatasi keadaan yang genting pada saat itu (Tianlean,1997:141).
Dasar-dasar bagi konsepsi dwifungsi TNI semakin mantap dalam pemikiran Nasution. Keadaan darurat perang menyatakan bahwa pihak militer dapat mengeluarkan perintah dan peraturan yang menyangkut ketertiban umum dan keamanan dalam negeri. Jika perintah itu bertentangan dengan hokum public, maka yang berlaku adalah hukum militer. Pemberlakuan keadaan darurat perang itu telah dikecam oleh kalangan sipil, karena dianggap telah memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada militer (Sundhaussen, 1988:225).
Nasution memutuskan untuk meningkatkan peran tentara dengan upaya pemberantasan korupsi di kalangan pemerintah. Menurut peraturan pemberantasan korupsi yang disusun oleh Nasution dan Jaksa Agung Suprapto, pengadilan sipil akan menangani kasus korupsi tetapi penuntutannya akan berada ditangan militer. Keterlibatan tentara semakin meningkat ketika Agustus 1958, Nasution mengumumkan bahwa semua jawatan pemerintah harus melaporkan afiliasi politik dari pegawai-pegawainya yang paling tinggi kepada dinas intelejen tentara (Sundhaussen, 1988:229).
Periode pembebasan Irian Barat berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian New York 15 Agustus1962 tentang penyerahan pemerintahan di irian dari Belanda kepada Indonesia. Aksi penngambilalihan perusahaan Belanda telah terjadi setahun sebelumnya. Dalam rangka menghalang-halangi PKI yang berniat
memegang peranan penting dalam pengambilalihan asset ekonomi tersebut, Nasution sebagai KSAD menngambil alih semua perusahaan dan menempatkan perwira-perwira militer sebagai pihak pengelola yang baru. Hal ini sesuai dengan program Nasution untuk menempatkan tentara dalam segala bidang, meliputi politik, ekonomi, administrasi, dan sebagainya, sebagaimana program yang telah dicanangkannya pada maret 1962 dengan membentuk Seksi Urusan Angkatan Darat (SUAD IV), yang menyaring, membimbing, dan mengawasi perwira-perwira tersebut dan memanggil mereka kembali apabila mereka menyimpang dari kebijakan MBAD (Tianlean, 1997:141).
Rumusan Nasution mengenai peran militer dalam perjuangan mencapai tujuan-tujuan revolusi memberikan pengarahan kepada perwira-perwira, baik yang dalam dinas aktif maupun yang sedang ditugaskan di bidang sipil. Dwifungsi yang dimaksudkan oleh Nasution juga menjelaskan sampai sejauh mana tentara bersedia memainkan peran-peran sipil. Walaupun tentara ingin ikut bersuara hamper didalam semua bidang, dan merupakan salah satu kekuatan yang menentukan nasib bangsa, tentar tidak bermaksud untuk mengambil alih pemerintahan (Sundhaussen, 1988:252).
Dalam rangka menggariskan kebijaksanaan tentang posisi dan fungsi militer pada msa-masa yang akan datang di Indonesia, Nasution mengemukakan puncak dari konsepsinya mengenai dwifungsi TNI dalam sebuah ceramah dihadapan mahasiswa Akademi Militer Nasional (AMN) pada 11 November 1958. Sebagai dasar pernyataannya, Nasution mengemukakan bahwa TNI adalah satu-satunya organisasi yang mampu nerealisasikan revolusi di Indonesia. Suatu