• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar belakang pecahnya peristiwa G30S memiliki beberapa versi yang hingga kini masih menjadi perdebatan. Nasution beranggapan bahwa G30S didalangi PKI bila melihat cara kerja dan tujuan yang hendak dicapai (Tianlean,

1997:143). Sementara itu keterlibatan Soekarno dalam peristiwa terebut lebih kontroversial lagi dan tidak dapat dilacak sepenuhnya. Walaupun demikian sikapnya yang sampai batas tertentu menyetujui G30S tetap menjadi catatan penting yang perlu diungkapkan untuk memetakan posisinya dalam percaturan politik Indonesia menjelang berakhirnya demokrasi terpimpin. Pertama-tama Soekarno menganggap bahwa G30S adalah gerakan untuk menyingkirkan jenderal-jenderal yang tidak loyal terhadapnya, sehingga ia merasa perlu memberi penghargaan terhadap bentuk kesetiaan seperti itu. Ia tidak menyalahkan atau mengutuk G30S sebagaimana harapan AD yang telah kehilangan beberapa jenderalnya. Ia juga memutuskan untuk bergabung dengan AU di pangkalan udara Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober 1965, yang diduga AD sebagai markas G30S.

Lolosnya Nasution dari percobaan pembunuhan G30S dan bergabungnya ia dengan pasukan Kostrad merupakan kebalikan dari sikap Soekarno. Hal itu segera menandai puncak pertentangan di antara keduanya. Keterlibatan pasukan Cakrabirawa dalam G30S membuat Nasution berpikir bahwa Soekarno terlibat pula di dalamnya (Tianlean, 1997:244). Kenyataan itu tidak terlalu mengherankan Nasution karena ia menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan diantara mereka sudah sedemikian tajam sejak mengemukanya ideologi Nasakom. Nasution mmenyadari bahwa cepat atau lambat ia akan disingkirkan dari pemerintahan, tetapi menurut perkiraannya hal tersebut akan terjadi lewat proses pengadilan (Nasution, 1987:220).

Sejak awal pandangan Soekarno tentang Nasution tidak positif. Menurutnya, Nasution adalah seorang yang antikomunis yang teguh dan keras menolak Nasakom dengan pengaruh yang masih sangat besar dikalangan AD. Secara pribadi Nasution juga orang yang tidak terpengaruh dan tidak mau dipengaruhi Soekarno dalam sikap politik maupun gaya hidup. Bergabungnya Nasution dengan Kostrad setelah lolos dari percoban pembunuhan membuat Soekarno curiga bahwa Nasution akan menghalang-halanginya mengambil langkah penting dalam persoalan AD. Hal itu terbukti ketika AD menolak pengangkatan Mayjen Pranoto sebagai Caretaker Panglima AD (Pangad), menyusul hilangnya Achmad Yani. Dalam persoalan itu, Nasution memang menghalangi orang yang dekat dengan Soekarno memegang kekuasan strategis AD. Hal itu akan memberi kesempatan kepada PKI memegang kendali dalam keadaan yang sangat genting. Dalam instruksi-instruksi tertulisnya yang mengatas namakan jabatan Wapangsar Koti ( Jabatan yang pernah disandangnya dan telah dihapuskan pada 1963), ia selalu menegaskan bahwa Mayor Jenderal Soeharto adalah pejabat Pangad yang sah sesuai perintah tetap AD bila Achmad Yani berhalangan (Nasution,1987:230). Nasution juga berusaha menahan Pranoto di Kostrad dan melarangnya memenuhi panggilan Soekarno untuk menghadap disertai penegasan kepada ajudan Presiden Soekarno, Kolonel (Marinir) Bambang Widjanarko bahwa “ perintah Presiden dalam hal pengangkatan Jenderal Pranoto sebagai Careteker Pangad belum bisa dilaksanakan berhubung Mayor jenderal Soeharto sebagai penjabat Pangad sedang memimpin operasi dan tidak bisa diberhentikan begitu saja”. Ia memberi pesan tegas untuk disampaikan kepada

Soekarno bahwa permasalahan teknis militer seperti itu harus dihadapi oleh pihak AD sendiri (Nasution, 1987:243).

Tindakan tersebut secara tidak langsung merupakan usaha Nasution untuk memperkuat kedudukan Soeharto atas AD yang merupakan senjatanya untuk berhadapan melawan Soekarno yang tampaknya sejak pecahnya G30S menolak berhubungan dengannya. Hal itu dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa Soekarno tidak berusaha menjalin kontak dengannya, padahal sebagai Menhan/KSAB, sudah seharusnya Soekarno berkonsultasi dengan Nasution mengenai keadaan genting yang sedang berlangsung di Jakarta.

Menurut Nasution, konsolidasi TNI merupakan tindakan yang perlu segera dilakukan mengingat terjadinya tarik- menarik kekuasaan yang sangat kuat di kalangan tentara serta kenyataan bahwa TNI mulai terpecah-belah. Pada saat itu Nasution mengikuti kebijakan umum yang dijalankan AD untuk tidak berkonfrontasi langsung melawan Soekarno. Strategi yang dijalankannya pertama- tama adalah memanfaatkan situasi pada saat itu untuk menyudutkan PKI dan bersiap-siap menghancurkannya tanpa mentolerir kemungkinan Soekarno membelanya.

Pada tahap itu Nasution mulai memperhatikan aliansi di kalangan militer. Setelah jelas bahwa AU berpihak kepada Dewan Revolusi sebagaimana terlihat dari Perintah harian yang dikeluarkan Pangau pada 1 Oktober 1965, Nasution menggunakan pengaruhnya agar AL dan AK mendukung tindakan-tindakan AD. Dalam pertemuan yang diprakarsainya dengan Panglima AL (Pangal) Laksamana Martadinata, Nasution telah memintanya atas nama TNI untuk menyikapi segala

sesuatu yang terjadi berdasarkan Sapta Marga. Nasution memintanya dengan tegas agar AL mengeluarkan pengumuman dan instruksi resmi berisi dukungan terhadap tindakan-tindakan yang diambil oleh Mayjen Soeharto. Permintaan Nasution tersebut disanggupi Laksamana Martadinata. Pada keesokan harinya Pangal mengeluarkan sebuah pernyataan resmi, yakni tidak menyetujui dan tidak membenarkan G30S, tidak tahu-menahu mengenai susunan dewan revolusi, akan bekerjasana dengan AD menumpas G30S, serta tidak mencampuri urusan pribadi AD. Pernyataan serupa juga dikeluarkan Angkatan Kepolisian walaupun pernyataannya masih bersifat samar-samar dengan tetap mencantumkan ketaatan tanpa reserve kepada Presiden Soekarno (Nasution, 1988:243). Hal diatas ditindaklanjuti oleh pihak AD dengan aksi pendudukan pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pada 2 Oktober 1965 yang nyaris tidak ada perlawanan dari Angkatan Udara.

Seberapa besar pengaruh pernyataan para panglima angkatan diatas dapat dilihat dari tindakan Pangau yang segera meralat pernyataan sebelumnya. Tampaknya persekutuan AD, AL dan AK telah memperlihatkan bentuk kegagalan G30S. Opini masyarakat juga mulai terbentuk yang secara umum mengutuk G30S serta banjir simpati bagi perwira-perwira AD yang masih belum diketahui nasibnya. Dalam pernyataan ralatnya, Pangau Omar Dhani menegaskan bahwa, Angkatan Udara tidak turut campur dalam G30S, tidak setuju dengan gerakan pembersihan, tidak mencampuri uruan intern angkatan lain, dan tidak tahu menahu mengenai Dewan Revolusi. Sikap curiga dan tidak percaya angkatan lain terhadap AU membuat Presiden Soekarno turun tangan. Dalam pidatonya pada 4

Oktober 1965, Presiden mengeluarkan pernyataan bahwa AU tidak terlibat dalam G30S, serta tuduhan terhadapnya hanyalah upaya pihak Nekolim untuk mengadu domba AD dan AU (Nasution, 1987:281).

Pidato itu dapat ditafsirkan sebagai upaya Soekarno untuk mengembalikan posisi strategis AU yang merupakan pendukung utamanya setelah terlihat bahwa G30S menemui kegagalan. Pada hari yang sama Nasution mengumpulkan menteri-menteri yang dianggap bersih dari G30S serta mengeluarkan pernyataan tendensius bahwa dualisme pimpinan antara Presiden dan AD tidak memungkinkan pemerintah memimpin secara menyeluruh (Nasution, 1987:300).

Kontak pertama antara Nasution dengan Soekarno pasca G30S terjadi pada 10 Oktober dalam suasana memperbaiki hubungan yang kaku. Nasution tidak dapat menyembunyikan kecurigaan dan perasaan hatinya yang masih emosional dengan lebih banyak mengambil sikap diam. Nasution berharap bahwa Soekarno akan menyetujui pemikirannya untuk memperbaiki keadaan yang tidak menguntungkan pada saat itu. Sekembalinya dari pertemuan tersebut, Nasution menuangkan beberapa pemikiran tentang hal-hal yang perlu dilakukan Soekarno untuk memulihkan keadaan, yakni isi dari pemikiran Nasution tersebut adalah :

“Mengadakan mahkamah militer untuk menegakkan keadilan, mengangkat Pangad baru dengan Mayjen Soeharto sebagai satu-satunya calon, retooling dalam pimpinan AURI yang terlibat dalam G30S, pelaksanaan penpres no.7 th.1959 tentang orpol dan ormas yang terlibat (PKI), serta perlunya dilakukan penertiban terhadap badan-badan intel untuk mengatasi iklim fitnah yang berlangsung” (Nasution, 1987:305).

Pemikiran tersebut kemudian disampaikan melalui Brigjen Wilopo Puspoyudo yang berkedudukan sebagai wakil ketua MPRS, namun tidak mendapat respon positif dari Presiden Soekarno. Walaupun demikian, seiring

waktu pemikiran-pemikiran Nasution tersebut terwujud satu demi satu. Hal itu tidak terlepas dari kemungkinan perkiraan Soekarno, bahwa Nasution yang berada dibalik AD terlalu kuat untuk dihadapi. Mungkin Soekarno berharap bahwa AD akan kembali menjadi seorang anak yang baik bila tuntutan-tuntutannya dipenuhi.

Pemikiran pertama yang terealisasi adalah pengangkatan Soeharto sebagai Pangad menyusul ditemukannya bukti-bukti keterlibatan Mayjen Pranoto dalam G30S. Selanjutnya kedudukan Omar Dhani yang tertekan oleh kesigapan AD mengendalikan situasi berusaha memperbaiki hubungan pribadinya dengan Nasution yang diyakininya berada dibelakang aksi-aksi AD selama periode tersebut (Nasution, 1988:307). Akan tetapi hal itu tidak membuat namanya dihapus dari kemungkinan diajukan ke mahkamah militer yang pembentukannya sedang dalam proses. Akhirnya dipenghujung bulan Oktober, AD berhasil membongkar komplotan penculik para jenderal. Menurut versi AD terbuktilah bahwa PKI berada dibalik G30S. Dengan demikian mereka mendapat alasan yang sangat kuat untuk membubarkan PKI yang sedang berusaha memulihkan eksistensinya melalui pernyataan-pernyataan tersamar di belakang dukungan penuh terhadap Presiden Soekarno.

Rencana AD untuk membubarkan PKI dihalang-halangi Soekarno. Pembubaran PKI secara tidak langsung adalah pengkhianatan terhadap ideologi Nasakom. Selain itu, hanya dengan eksistensi PKI Soekarno dapat menegakkan kewibawaannya atas militer (Crouch,1986:151). Keadaan terbaik yang dapat dibayangkannya adalah kemungkinan untuk kembali pada situasi sebelum G30S. Akan tetapi kemungkinan untuk menciptakan keadaan seperti sediakala ditolak

kalangan militer. Pada 15 November 1965, AD berinisiatif mengeluarkan instruksi atas nama Koti dan Hankam yang ditandatangani Nasution dan Soeharto berisi perintah pembersihan unsur PKI dari aparat Negara. Hal itu membuat Presiden Soekarno marah dan segera memerintahkan pencabutan kembali instruksi tersebut disertai penunjukan Subandrio untuk mengambil alih. Akan tetapi Nasution yang berwenang di Departemen Pertahnan dan Keamanan tidak mengindahkan perintah tersebut serta tetap dengan pendiriannya untuk membersihkan unsur PKI dari departemennya. Hal itu kemudian diikuti oleh departemen-departemen lain yang kemudian melahirkan klasifikasi A,B, dan C bagi para pengikut PKI (Nasution, 1987:333).

Sikap Nasution yang enggan menunjukkan kerjasama bahkan cenderung mengeras sebagaimana tercermin dalam usaha-usahanya menjalin kontak dengan empat panglima tentara pada bulan November 1965 yang dimaksudkannya untuk menjamin kekompakan TNI, membuat Presiden Soekarno khawatir. Pada bulan itu juga Soekarno memutuskan mempercayakan kembali jabatan Wapangsar Koti kepada Nasution sebagai usahanya memperbaiki hubungan. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, karena dalam perkembangan selanjutnya nama Nasution disebut-sebut beberapa kalangan sebagai calon yang tepat untuk menduduki posisi wakil presiden. Soekarno menyikapi hal itu sebagai usaha Nasution meningkatkan pamornya, dan ia tidak dapat membayangkan harus memimpin Negara bersama Nasution. Untuk membuktikan bahwa dirinya tidak tahu-menahu mengenai pencalonan tersebut, Nasution meminta Soeharto untuk menjernihkan permasalahan.

Pada Februari 1966 Soekarno melakukan reorganisasi Koti yang dituduh tidak memfokuskan diri pada pekerjaannya dengan ikut mengurusi masalah-masalah sosial, politik dan keuangan. Pada saat yang hampir bersamaan ia juga membubarkan Staf Angkatan Bersenjata yang dianggap mencampuri bidang operasional militer (Nasution, 1988:352). Bagi Nasution Jabatan dan kepercayaan Soekano adalah unsur penting yang akan memberinya legalitas dalam menjalankan sebuah kewenangan untuk mengkonsolidasikan tentara yang telah terpecah belah pada saat itu. Adalah suatu kenaifan bila ia mengharapkan kedua hal tersebut dari Soekarno yang terlanjur menganggapnya sebagai musuh politik. Nasution baru menyadarinya ketika ia telah benar-benar tersingkir dari segala jabatannya dalam struktur pemerintahan. Jalan yang tersisa baginya adalah bergabung dengan AD dan merentangkan jalan bagi suksesnya Orde Baru.

Pada Mei 1966 Nasution bergabung dengan keempat Panglima Angkatan dan mengeluarkan pernyataan 5 Mei sebagai puncak dari konsolidasi di tubuh militer. Untuk pertama kalinya mereka mempersatukan visi tentang perlunya pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen serta mengisyaratkan bahwa Soekarno telah melakukan penyelewengan terhadapnya. Pada saat yang sama mereka bersepakat untuk mengembalikan lembaga-lembaga negara kepada fungsinya.

Nasution tidak akan terlalu memperdulikan PKI seandainya partai komunis tersebut tidak tampil ke depan dengan kemajuan yang sangat pesat. Perhatiannya semakin besar ketika partai itu mencoba mempengaruhi lembaga kemiliteran. Usaha-usaha indoktrinasi ideologi partai ke tubuh militer bukan

untuk pertama kalinya terjadi dan hal itu sejak dulu selalu menjadi keprihatinan Nasution yang utama. Kali ini tantangannya lebih berat karena Presiden Soekarno secara tidak langsung memberi restu kepada usaha-usaha yang dilancarkan PKI yang menunggangi ideologi Nasakom untuk menyebarkan komunisme di kalangan tentara.

Sikap permusuhannya terhadap komunisme segera saja berkembang menjadi bentuk permusuhan politik antara dirinya melawan Soekarno yang menganggapnya menentang Nasakom. Soekarno kemudian sengaja tidak melibatkan Nasution dalam DPA yang pada awal Demokrasi Terpimpin dijadikannya sebagai lembaga terpentinng dengan menggeser peran Dewan Nasional tempat Nasution berada, yang sebelumnya menjadi lembaga kemitraan utama antara presiden dengan Angkatan Darat. Sejak saat itu keputusan-keputusan penting yang menyangkut politik Demokrasi terpimpin dikeluarkan oleh Presiden bersama-sama dengan DPA. Dalam sebuah suratnya kepada Soekarno yang bernada teguran, Nasution menyatakan bahwa tata cara penyusunan DPA dan DPRGR oleh Soekarno sebagai proses “pengkirian” yang tidak dapat dibenarkan (Nasution, 1986:5). Bagi Soekarno, surat itu hanya membuatnya bertambah yakin tentang posisi politik Nasution. Pidato-pidato Soekarno kemudian menggambarkan reaksinya terhadap sikap Nasution, yakni membela “kiri” dan mengutuk “kanan”(Soekarno, 1986:149).

Pernyatan “revolusi” yang sering dilontarkan keduanya dalam pidato-pidato terbuka sesungguhnya mengacu pada pengertian yang berbeda. Bila Soekarno mengkaitkan revolusi dengan Manipol/USDEK, maka Nasution

menghubungkan hal itu dengan Pancasila dan UUD 1945 disertai penekanan terhadap semangat yang menjiwai perjuangan kemerdekan. Bagi Nasution, tujuan revolusi adalah menciptakan masyarakat adil dan makmur, melalui cara yang revolusioner dan tertib dengan pengabdian, disiplin dan kerja keras (Sundhaussen, 1988:273).

Sejak saat itu Soekarno menyadari bahwa Nasution berusaha mempengaruhi massa dan menghalangi ajaran nasakom dengan caranya sendiri. Persamaan pendapat antara Soekarno dan Nasution mengenai pentingnya melikuidasi Demokrasi Parlementer untuk menegakkan Demokrasi Terpimpin akhirnya harus dihadapkan pada kenyataan bahwa secara prinsip mereka tidak satu visi mengenai ideologi yang dikedepankan Soekarno dalam Demokrasi Terpimpin. Melalui skenario politik, akhirnya Soekarno menyingkirkan Nasution dari sumber kekuatan utamanya yakni Angkatan Darat.

Di dalam lembaga AD Nasution memang sudah kehilangan dukungan. Sebagian karena sikap puritannya dalam gaya hidup, disiplin dan efisiensi. Para pengkritiknya dalam masalah itu telah berhasil ditarik Soekarno ke dalam lingkungannya (Tianlean, 1997:13), sedangkan para perwira radikal telah menganggap Nasution terlalu lemah untuk berkonfrontasi dengan PKI dan Soekarno yang membuat mereka merasa dikhianati dan “dibuang”(Sundhaussen, 1988:265). Unsur legalitas yang diusung Nasution selama menjabat KSAD bagaikan dilema baginya. Disatu sisi ia tidak ingin berkonfrontasi langsung dengan Soekarno sebagaimana halnya pada peristiwa 17 Oktober yang membuat AD mengalami disintegrasi, dari sisi lain sikap Nasution yang berdiri di belakang

Soekarno walaupun mereka seringkali tidak sepaham telah mengecewakan para perwira radikal yang sesungguhnya adalah kekuatan Nasution yang utama.

Nasution telah kehilangan sebagian besar pendukungnya di kalangan AD, tetapi bukan berarti ia kehilangan pengaruhnya, sebagaimana dinyatakan Achmad Yani ketika dilantik sebagai KSAD pada 1962 bahwa :

“Nasution bukan saja merintis jalan yang terang bagi kelanjutan TNI, tetapi ia juga telah meletakkan dan menyempurnakan fondasi yang kokoh bagi TNI” (Sumarsono, 1997:55).

Penyingkiran Nasution dari sumber kekuatan utamanya adalah bentuk lain dari tantangan Soekarno. Sejak saat itu sebenarnya Nasution dan Soekarno secara politik telah berada dalam posisi yang berseberangan, namun sudah terlambat bagi Nasution untuk melakukan tindakan yang berarti. Ia menerima jabatan yang tidak strategis di lingkungan pemerintahan hanya untuk menghindarkannya benar-benar tersingkir dari dunia politik dengan tujuan tetap melakukan perlawanan terhadap komunisme ala Soekarno. Dalam pemikiran Nasution, selama dirinya diikutsertakan dalam aliansi politik disekitar Presiden, ia akan mengusahan jalan yang terbaik agar militer tetap dengan perannya sbeagai penegak kebenaran. Ia juga harus membayar kesalahannya karena telah mengantarkan Soekarno pada kekuasaan yang tidak terbatas yang sesungguhnya tidak pernah dibayangkannya. Oleh karena itu keberadaannya dalam pemerintahan Demokrasi terpimpin bukan karena sistem itu baik, tetapi berdasarkan pandangannya bahwa kehidupan terkadang menawarkan yang buruk di antara yang terburuk (Sumarsono, 1997:56).

Antara tahun 1963-1965, Nasution kembali bertindak melampaui wewenangnya sebagai Menhan/KSAB sebagaimana yang digariskan Soekarno. Misalnya Nasution terlibat dalam persoalan luar negeri yang sebenarnya adalah hak prerogatif Presiden (Nasution, 1987:28). Diam-diam dia juga masih bertindak sebagai penguasa operasional AD yang memunculkan konflik dengan Achmad Yani. Setelah dalam masa jabatannya sebagai KSAD meletakkan doktrin-doktrin perang wilayah, konsep dwifungsi TNI, serta bentuk pertahanan sipil sebagai cara untuk menggagalkan konsep PKI yang akan membentuk angkatan kelima (Sumarsono, 1997:55), maka setelah lepas dari jabatan tersebut Nasution juga memprakarsai pembentukan Sekber-Golkar pada 28 Oktober 1964 sebagai imbangan bagi kekuatan PKI (Tianlean, 1997:238). Mendekati akhir periode Demokrasi Terpimpin posisi Nasution semakin tersudut. Ia dikenal luas sebagai orang yang paling anti Nasakom. Beberapa temannya memperingatkan bahwa Nasution telah menjadi sasaran pidato-pidato Soekarno yang bernada tajam. Perwira-perwira AD yang menolak Nasakom diidentifikasi sebagai pengikut Nasution (Tempo, September,1990).

Sekitar bulan Maret-April 1965 berkembang isu mengenai dewan jenderal yang dicurigai akan mengadakan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Achmad Yani menjelaskan bahwa keberadan Dewan Jenderal memang benar, namun hanya berfungsi sebagai peninjauan kepangkatan dilingkungan AD (Suryadinata, 1992:18). Sementara Brigjen Sukendro belakangan menyatakan bahwa Dewan Jenderal memang ada, terdiri dari keenm jenderal yang dibunuh dan dia sendiri tanpa mengikutsertakan Nasution. Ia sendiri lolos dari G30S karena kebetulan

sedang berada di Cina pada 1 Okrober 1965. Menurut Sukendro, Dewan Jenderal bersidang untuk mengevaluasi perkembangan politik, tetapi tidak pernah mebicarakan rencana kudeta terhadap Soekarno (Sundhaussen, 1988:354).

Bila keterangan Sukendro benar, maka alasan bagi rencana pembunuhan terhadap Nasution bisa dilepaskan dari perannya sebagai bagian dari Dewan Jenderal. Ia lebih tepat disebut sebagai bagian lain dari musuh utama PKI yang harus disingkirkan.

Bergabungnya Nasution dengan pasukan Kostrad pasca G30S telah melahirkan dua kubu kekuatan penting dengan satu lainnya di pangkalan Halim Perdanakusuma dimana Presiden Soekarno berada. Angkatan Darat segera memanfaatkan situasi yang ada untuk memojokkan PKI serta bertekad bahwa kali ini Soekarno tidak dapat lagi membela kedudukan partai kominis tersebut. Sampai batas tertentu, Soekarno berkeyakinan bahwa Nasution-lah yang berada dibelakang AD dengan upaya-upaya penentangan terhadapnya (Forum Keadilan, 19 agustus 1993). Kabarnya Soekarno menawarkan kesepakatan kepada Nasution pasca G30S yang ditolak Nasution dengan berpendirian bahwa sebagai seorang militer ia tetap harus menjalankan prosedur yang ada, dengan tidak melangkahi posisi Soeharto sebagai KSAD (Tianlean, 1997:289).

Faktor pertama dari kejatuhan Soekarno secara internal terletak pada konsep Nasakom sendiri yang tidak realistis untuk diwujudkan. Dalam hal ini Nasution tetap konsisten menolak konsep Nasakom dari awal hingga akhir demokrasi terpimpin, walaupun dia harus membayar semua itu dengan tersingkir dari posisi strategis AD sebagai basis kekuatannya. Penolakannya terhadap

konsep Nasakom sampai batas tertentu berpengaruh terhadap instabilitas sistem Demokrasi Terpimpin yang kelak mendapatkan momentumnya dalam peristiwa G30S. Menolak ide Nasakom sesungguhnya sama saja dengan menentang keyakinan Soekarno. Sejak awal perlawanan Nasution adalah sebuah ancaman besar bagi Soekarno yang tidak berniat menarik kembali konsep tersebut.

D. Lahirnya Pemerintahan Orde Baru

Dokumen terkait