• Tidak ada hasil yang ditemukan

Neuropati otonomik kardiovaskular akibat diabetes sebagai penyebab respon otonomik denyut jantung yang abnormal (tingginya denyut jantung respon otonomik denyut jantung yang abnormal (tingginya denyut jantung

KAJIAN PUSTAKA

2.4 Neuropati otonomik kardiovaskular akibat diabetes sebagai penyebab respon otonomik denyut jantung yang abnormal (tingginya denyut jantung respon otonomik denyut jantung yang abnormal (tingginya denyut jantung

saat istirahat dan memburuknya pemulihan denyut jantung).

Komplikasi yang paling penting dan paling serius dari diabetes adalah neuropati otonomik kardiovaskular (NOK). NOK terjadi akibat kerusakan serat saraf otonomik yang menginervasi jantung dan pembuluh darah sehingga menyebabkan abnormalitas pada kontrol denyut jantung dan dinamik vaskuler. Berkurangnya variasi denyut jantung (heart rate variability) adalah merupakan indikator awal NOK (McGuire KD, dkk., 2012) .

Pada beberapa review epidemiologi, bahwa pada seseorang penderita diabetes yang mengalami NOK akan memiliki risiko mortalitas dalam 5 tahun 5 kali lebih tinggi daripada tanpa keterlibatan otonomik kardiovaskular. Sedikit informasi yang didapatkan mengenai NOK pada populasi diabetes. NOK dapat saja baru diketahui saat diagnosis diabetes ditegakkan dan prevalensinya meningkat sesuai umur, durasi menderita diabetes dan kontrol gula darah yang buruk (Aaron I. Vinik, dkk., 2007).

Manifestasi klinis NOK dapat berupa (Aaron I. Vinik, dkk., 2007) : a. Takikardia saat istirahat

10

Variabilitas denyut jantung merupakan tanda awal untuk suatu NOK, takikardia saat istirahat dan denyut jantung yang tetap merupakan temuan akhir pada pasien diabetes dengan gangguan fungsi vagal. Denyut jantung istirahat diantara 90-100 kali permenit dan terkadang dapat mencapai 130 kali permenit dapat saja terjadi. Denyut jantung istirahat tertinggi dapat terjadi pada pasien dengan kerusakan parasimpatik yang biasanya terjadi lebih awal daripada kerusakan saraf simpatik. Pada pasien diabetik dengan kombinasi kerusakan vagal dan simpatik, denyut jantung dapat kembali ke normal namun masih lebih tinggi dari awalnya. Denyut jantung yang tingkat variabilitasnya kurang, tidak berespon terhadap latihan tingkat sedang, stress atau dalam keadaan tidur mengindikasikan denervasi jantung yang hampir komplit.

b. Toleransi latihan

Disfungsi otonomik berpengaruh terhadap toleransi latihan diantaranya dengan berkurangnya respon denyut jantung dan tekanan darah dan kegagalan dalam meningkatkan cardiac output terhadap derajat latihan. Pasien diabetik yang berpotensi besar untuk memiliki NOK sebaiknya sebelum menjalani program latihan fisik, harus dilakukan uji latih treadmill terlebih dahulu.

c. Instabilitas kardiovaskular intra dan perioperatif

Morbiditas dan mortalitas perioperatif kardiovaskular mencapai 2-3 kali lipat pada pasien dengan diabetes. Dibandingkan dengan subyek nondiabetik, pasien dengan diabetik yang menjalani anastesi umum akan

11

cenderung mengalami penurunan denyut jantung dan tekanan darah selama induksi anastesi dan sedikit mengalami peningkatan setelah intubasi dan ekstubasi. Topangan vasopresor umumnya diperlukan pada pasien dengan NOK.

d. Hipotensi ortostatik

Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai sebagai penurunan tekanan darah (30 mmHg pada sistolik atau 10 mmHg pada diastolik) sebagai respon terhadap perubahan postural dari terlentang sampai berdiri. Kumpulan gejalanya yakni kelemahan,pingsan, pening, gangguan penglihatan, dan bahkan pingsan seketika setelah perubahan dari telentang ke berdiri. Gejala ortostatik mungkin dapat disalahpahamkan sebagai gejala hipoglikemia. Secara normal, perubahan dari tidur ke berdiri akan mengaktifkan baroreseptor hingga menstimulasi refleks simpatik sehingga menyebabkan meningkatnya resistensi vaskuler dan akselerasi jantung. Pada pasien dengan diabetes, hipotensi ortostatik disebabkan oleh kerusakan serat eferen vasomotor simpatik. Pada seseorang dengan diabetes terjadi penurunan respon norepinephrin relatif terhadap penurunan tekanan darah. Jika penyebab hipotensi ortostatik adalah NOK, tujuan terapi tidak hanya terdiri dari terapi untuk meningkatkan tekanan darah disaat berdiri, tetapi juga bagaimana mencegah terjadinya hipertensi pada saat telentang. Pasien juga di KIE untuk menghindari situasi pencetus misalnya mandi dengan shower air hangat, dimana akan menyebabkan sinkope mendadak sehingga akan terjadi cedera akibat terjatuh.

12

e. Sindrom ortostatik takikardi dan bradikardi

Sindrom yang berhubungan dengan ortostatik seperti perasaan akan pingsan atau pening, parestesia sirkumoral dan sakit kepala dapat terjadi pada perubahan posisi dari telentang sampai bediri sehingga menyebabkan sindrom postural takikardi (Postural Tachycardia Syndrome/POTS). Tanda utamanya yaitu tidak ada penurunan tekanan darah disaat berdiri, hanya takikardi dan bradikardi saat perubahan postur.

f. Iskemia miokardial yang tak bergejala/ sindrom denervasi jantung.

Berkurangnya sensasi nyeri iskemik dapat menghambat pemberian terapi yang maksimal. Pada pasien dengan diabetes, meningkatnya ambang perasaan angina disaat latihan (diketahui dari selisih waktu antara onset depresi segmen ST EKG sampai terjadinya angina) berhubungan dengan NOK. Iskemia silent pada pasien diabetik yang disebabkan oleh karena NOK, dapat terjadi disfungsi otonomik sehingga mempengaruhi penyakit jantung koroner itu sendiri atau dapat juga keduanya. Mekanisme kurangnya perasaan nyeri iskemia miokard pada pasien ini sangat kompleks dan tidak dimengerti secara jelas. Mekanisme yang mungkin dapat dijelaskan secara rasional adalah oleh karena berubahnya ambang nyeri dan disfungsi serat saraf afferent otonomik jantung.

Beberapa faktor prognostik mayor yang dapat dinilai dari uji latih treadmill dan menunjukkan adanya neuropati otonomik kardiovaskular akibat diabetes mellitus diantaranya yakni (Todd D. Miller, dkk., 2008, Goraya TY, dkk., 2000, Roger VL, dkk., 1998) :

13

a. Denyut jantung saat istirahat (resting heart rate)

Pentingnya denyut jantung saat istirahat sebagai faktor prognostik dan target terapi yang potensial belum diterima secara luas. Namun pada beberapa studi besar menunjukkan bahwa resting HR yang tinggi sebagai prediktor meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan diabetes. Dan denyut jantung istirahat yang tinggi juga dikatakan berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes (Jamal S. Rana, 2009) . Denyut jantung istirahat yang meningkat merupakan suatu penanda aktifitas simpatik yang meningkat dan suatu keadaan simpatik yang tinggi akan menyebabkan suatu kondisi resistensi insulin oleh karena stimulasi adrenergic sehingga terjadi disfungsi otonomik. b. Kapasitas fungsional

Disimpulkan dari beberapa penelitian bahwa marker prognostik yang paling penting pada uji latih adalah kapasitas fungsional atau jumlah usaha kerja yang telah dilakukan sebelum kelelahan. Dan pada beberapa literatur juga menunjukkan bahwa kapasitas fungsional merupakan prediktor independen kuat untuk all-cause mortality dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Kemudian akhir-akhir ini kapasitas fungsional telah dipelajari berdasarkan konteks klinis. Contohnya yakni, studi yang melibatkan 3000 pasien menjalani uji latih dengan single-photon emission CT perfusion imaging miokardial, menunjukkan bahwa kapasitas

14

fungsional sebagai prediktor kuat all-cause death sebagaimana hal yang sama juga ditunjukkan oleh perfussion defect tersebut. Hasil yang sama juga didapat dari studi kohort yang menyimpulkan kapasitas fungsional sebagai prediktor yang lebih kuat dibandingkan derajat keparahan penyakit koroner dan depresi ST. Dan apabila kapasitas fungsional dan ada atau tidaknya penyakit koroner melalui angiografi dipakai sebagai pertimbangan faktor prediktor, didapatkan hanya kapasitas fungsional yang dapat memprediksikan kematian pada pasien dengan penyakit jantung. Hal ini digambarkan pada gambar 2 berikut (Myers, dkk. 2010).

Gambar 2.1.

Kapasitas fungsional, angiografi koroner dan risiko kematian. Kapasitas fungsional sebagai prediktor kematian yang lebih baik dibandingkan dengan ada

atau tidaknya lesi obstruksi koroner dari angiografi (Myers, dkk. 2010).

Walaupun kapasitas fungsional merupakan faktor prognostik yang kuat, penggunaannya masih belum ada standardisasi yang jelas. Kapasitas fungsional berhubungan erat dengan umur dan jenis

15

kelamin. Kapasitas fungsional cenderung berkurang seiring umur dan lebih tinggi pada pria sehat dibandingkan wanita yang sehat. Beberapa studi menunjukkan kapasitas fungsional dikatakan abnormal apabila pada wanita < 5 METs dan pada pria <7 METs. Sedangkan studi yang lain berdasarkan kuartil terendah berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin (Todd D. Miller, dkk., 2008).

c. Respon kronotropik selama latihan

Secara normal denyut jantung akan meningkat selama latihan. Sebagaimana fisiologis tubuh, respon denyut jantung yang meningkat selama latihan disebabkan oleh berkurangnya inhibisi parasimpatik kemudian dilanjutkan dengan meningkatnya stimulasi simpatis. Penurunan tonus parasimpatik disertai dengan peningkatan tonus simpatik akan menyebabkan stimulasi sinus node dan peningkatan denyut jantung. Inkompetensi kronotropik adalah ketidakmampuan meningkatnya denyut jantung secara normal seiring meningkatnya usaha latihan. Colucci et al menyebutkan terganggunya respon kronotropik kemungkinan oleh karena berkurangnya senstitifitas sinus terhadap rangsangan simpatis. Tantangan utama dalam menggunakan respon kronotropik adalah menentukan bagaimana mengkarakteristikan secara baik. Pendekatan yang paling sederhana adalah dengan mencatat denyut jantung puncak dan perubahan denyut jantung

16

selama latihan. Denyut jantung puncak berhubungan dengan umur, semakin menurun dengan meningkatnya umur. Rumus maximal-predicted heart rate berdasarkan umur yakni : 220-umur dalam tahun sehingga seseorang dengan umur 40 tahun memiliki maximal-predicted HR 180 kali permenit. Ketidakmampuan mencapai minimal 85% dari denyut jantung puncak sesuai umur dapat dikatakan sebagai inkompetensi kronotropik dan memprediksikan tingkat kematian (Todd D. Miller, dkk., 2008). d. Pemulihan denyut jantung (heart rate recovery)

Selama beberapa menit pertama setelah latihan denyut jantung akan semakin menurun, ini merupakan fenomena yang sangat berhubungan dengan fungsi otonomik. Penurunan denyut jantung selama 30 detik sampai 1 menit setelah latihan secara primer berhubungan dengan reaktivasi parasimpatis. Oleh karena banyak literatur yang menghubungkan antara fungsi dan disfungsi sistem saraf parasimpatis dengan mortalitas, maka banyak penelitian yang menghubungkan pemulihan denyut jantung yang lambat setelah uji latih memprediksikan meningkatnya risiko kematian. Melemahnya pemulihan denyut jantung dapat sebagai prediktor mortalitas tidak bergantung pada perancu misalnya fungsi sistolik ventrikel kiri, kapasitas fungsional, dan derajat keparahan penyakit koroner berdasarkan hasil angiografi. Penggunaan pemulihan denyut jantung sangat tergantung dari protokol yang dipergunakan.

17

Protokol yang pertama yakni dengan pendinginan berdiri disertai jalan lambat selama 2 menit setelah uji latih. Protokol tersebut menggunakan cut point pemulihan denyut jantung 12 kali permenit. Namun pada pasien yang menjalani protokol berbeda yakni yang menjalani stress echocardiography atau yang duduk setelah uji latih nilai pemulihan denyut jantung akan lebih tinggi yakni dengan cut point 18 kali permenit. Dan masih belum banyak dimengerti mengapa pasien dengan pemulihan denyut jantung yang abnormal memiliki risiko kematian yang lebih besar, beberapa menyimpulkan hal ini berkaitan dengan kecenderungan terjadinya aritmia yang fatal dan kejadian mati mendadak. Adanya ektopik ventikel yang sering selama periode istirahat setelah uji latih itu memprediksi kematian lebih baik daripada adanya ektopik ventrikel selama latihan (Todd D. Miller, dkk., 2008).

Pemulihan denyut jantung dan respon kronotropik menunjukkan adanya hubungan terhadap derajat keparahan penyakit koroner yang ditinjau dari angiografi, namun hubungannya lemah. Masih kurang jelas apakah pengukuran denyut jantung memprediksikan respon terhadap revaskularisasi. Satu studi observasional terakhir menemukan bahwa pemulihan denyut jantung dapat dipergunakan mengidentifikasi pasien dengan iskemia yang memiliki keuntungan dari strategi revaskularisasi. Yakni pasien iskemia yang pemulihan denyut jantungnya terganggu

18

memiliki risiko sangat tinggi mortalitas jangka panjang dan tidak mendapatkan keuntungan dari segi derajat mortalitas (Todd D. Miller, dkk., 2008).

d. Ektopik ventrikuler selama pemulihan

Seringnya ektopik ventrikel selama fase pemulihan tes treadmill meningkatkan angka kematian pada pasien pasca infark miokard. Yang didefinisikan sebagai ektopik ventrikel yang sering yakni >7 denyut prematur ventrikel permenit, kuplet, bigemini ataupun trigemini atau beberapa bentuk takikardia ventrikel (mono atau polimorfik) dan fibrilasi ventrikel (Todd D. Miller, dkk., 2008).

2.5 Neuropati otonomik kardiovaskuler, risiko mortalitas dan hubungannya