• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.7 Uji latih setelah infark miokard

mengurangi tekanan darah pada pasien hipertensi, meningkatkan HDL, mengontrol berat badan dan mengurangi risiko DM. Sehingga dapat dikatakan hubungan antara aktifitas fisik terhadap respon otonomik denyut jantung berhubungan secara tidak langsung melalui faktor dislipidemia dan DM (Beverly Rockhill, 2004).

2.7 Uji latih setelah infark miokard

Uji latih sangat berguna dalam evaluasi dan pengobatan pada pasien-pasien pasca infark miokard. Oleh karena terapi dan penatalaksanaan infark miokard selalu berubah secara dramatis, sehingga peran uji latih harus disesuaikan konteksnya. Masa rawat di rumah sakit yang lebih pendek, penggunaan secara luas agen trombolitik, dan strategi revaskularisasi, meningkatnya penggunaan agen beta bloker serta ACE inhibitor membuat presentasi klinis pasien pasca infark semakin berubah kearah yang lebih baik. Seperti yang kita ketahui bahwa tidak semua pasien mendapatkan terapi yang sama sehingga hasil dari penatalaksanaan tersebut menghasilkan pasien kondisi klinis pasien yang berbeda pula. Dari studi The Canadian Assessment of Myocardial Infarction (CAMI) didapatkan bahwa diantara 3178 pasien dengan infark miokard akut, 45 % mendapatkan terapi trombolitik, 20% mendapatkan angioplasti koroner dan 8% pembedahan bypass. Sedangkan terapi saat keluar rumah sakit diantaranya 61% dengan beta bloker, 24% dengan ACE inhibitor dan 86% dengan aspirin. Harus diketahui bahwa sebagian pasien pasca infark tidak akan menjalani uji latih oleh karena komorbiditas atau secara klinis belum stabil seperti angina yang tidak stabil, gagal

25

jantung yang tidak terkontrol, aritmia yang tidak terkontrol, atau kecacatan ekstremitas bawah baik secara vaskuler,neurologis maupun ortopedik (Paul Kligfield, dkk., 2006).

Kontraindikasi uji latih pada pasien pasca infark miokard dapat dilihat pada table dibawah (Helmut Gohlke, 2010).

26

Tabel 2.3.

Kontraindikasi uji Latih Jantung pada pasien pasca infark miokard.

Absolut

Infark miokard akut (dalam 2 hari) Angina tidak stabil dengan risiko tinggi

Aritmia yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan symptom dan penurunan hemodinamik

Stenosis aorta parah yang simptomatik

Gagal jantung simptomatik yang tidak terkontrol Emboli paru akut atau infark paru

Miokarditis atau perikarditis akut Diseksi aorta akut

Relatif

Stenosis koroner left main Stenosis valvular moderate Abnormalitas elektrolit Hipertensi parah

Takiaritmia atau bradiaritmia

Kardiomiopati hipertropik atau bentuk lain dari outflow tract obstruction Kelainan fisik atau mental sehingga tidak dapat uji latih secara adekuat AV blok High degree

Dari salah satu studi besar didapatkan bahwa sebanyak 40 % pasien pada studi kohort tersebut tidak dapat menjalani uji latih dalam 28 hari setelah infark

27

dan ditarik kesimpulan pula bahwa pasien yang tidak dapat melakukan uji latih setelah infark memiliki kejadian fatal yang lebih tinggi dari dapat melakukan uji latih pasca infark (Helmut Gohlke, 2010, Thompson, dkk., 2008).

Uji latih setelah infark miokard memberikan informasi mengenai (Perk J, De Backer G, dkk., 2012) :

1. Stratifikasi risiko dan penilaian prognosis

2. Menilai kapasitas fungsional yang bertujuan untuk peresepan aktifitas setelah keluar dari rumah sakit, termasuk diantaranya evaluasi okupasional sebagai bentuk rehabilitasi komprehensif.

3. Penilaian kesesuaian atau ketepatan pengobatan dan apabila diperlukan tambahan pemeriksaan diagnostik atau terapi selanjutnya.

Rekomendasi Uji latih pada pasien pasca infark miokard menurut ACC AHA practice guidelines 2002 yakni (Perk J, De Backer G, dkk., 2012) :

Kelas I

1. Sebelum keluar dari rumah sakit bertujuan untuk penilaian prognostik,peresepan aktifitas, evaluasi terapi medikamentosa (submaksimal 4-6 hari)

2. Sesaat setelah keluar dari rumah sakit bertujuan untuk penilaian prognostik,peresepan aktifitas, evaluasi terapi medikamentosa dan rehabilitasi jantung apabila uji latih sebelum keluar rumah sakit belum dikerjakan (symptom limited, sekitar 14-21 hari)

3. Sekian lama setelah keluar dari rumah sakit bertujuan untuk penilaian prognostik,peresepan aktifitas, evaluasi terapi medikamentosa dan

28

rehabilitasi jantung apabila uji latih sebelumnya submaksimal (simptomp limited , sekitar 3-6 minggu)

Kelas IIA

1. Setelah keluar dari rumah sakit untuk konseling mengenai aktifitas sehari-hari dan /atau latihan sebagai bagian dari rehabilitasi jantung pada pasien yang menjalani revaskularisasi koroner

Kelas IIB

1. Pasien dengan abnormalitas EKG :

 LBBB komplit

 Sindrom preeksitasi

 LVH

 Terapi digoxin

 ST depresi lebih dari 1 mm saat istirahat

 Irama ventrikel dengan pacu jantung

2. Monitoring periodik pada pasien yang berpartisipasi pada uji latih atau rehabilitasi jantung

Kelas III

1. Komorbiditas yang parah dimana hal ini membatasi harapan hidupnya dan / atau kandidat untuk revaskularisasi.

2. Bertujuan untuk mengevaluasi pasien dengan infark miokard akut yang memiliki gagal jantung yang tak terkompensasi, aritmia jantung atau keadaan nonkardiak yang membatasi kemampuannya untuk latihan (level of evidence C)

29

3. Sebelum keluar dari rumah sakit pada pasien yang kandidat atau akan menjalankan kateterisasi jantung. Walaupun uji latih mungkin akan sangat berguna sebelum atau sesudah kateterisasi dalam mengevaluasi atau mengidentifikasi iskemia yang terdistribusi lesi koroner. (level of evidence C)

Latihan fisik dapat mengurangi angka mortalitas setelah sindroma koroner akut dan setelah prosedur revaskularisasi. Latihan fisik juga dapat menjadi terapi non-medikamentosa untuk mengoptimalkan keseimbangan sistem otonom pada jantung, sehingga mengurangi risiko terjadinya kematian jantung mendadak pada pasien-pasien pasca infark miokard. Latihan fisik tersebut dibagi berdasarkan fase-fase sebagai berikut (Graham I, dkk., 2008):

a. Fase I (selama perawatan di rumah sakit): komponen utama pada fase ini adalah mengevaluasi kondisi pasien, mengevaluasi motivasi pasien, faktor risiko, edukasi, mobilisasi dan perencanaan saat keluar dari rumah sakit. Latihan secara bertahap dilakukan dengan diawali pada hari kedua dimana intensitas latihan sampai keluar dari rumah sakit tidak lebih dari 4 metabolik equivalents (METS). Selain itu rekomendasi intensitas latihan juga dapat dengan menggunakan Borg's rating of perceived exertion < 13 (somewhat hard), dengan durasi latihan 3-5 menit. Pada hari keempat, pasien dapat berjalan 5 sampai 10 menit di koridor rumah sakit tiga sampai empat kali sehari.

b. Fase II (keluar dari rumah sakit): fase ini dimulai dari pasien keluar dari rumah sakit sampai sebelum fase III dimulai. Waktu antara pasien keluar

30

dari rumah sakit sampai dimulainya fase III bervariasi antar negara dan rumah sakit. Kontak antara pasien dengan tim rehabilitasi dapat melalui telepon atau kunjungan rumah. Pasien harus mendapatkan instruksi yang jelas tentang aktivitas fisik yang diperbolehkan. Umumnya latihan dimulai dengan berjalan kaki pada tempat yang datar dan dibatasi maksimal intensitas 4 METS dan denyut nadi tidak melebihi 20 kali/menit diatas dari denyut nadi istirahat, atau skor 11 sampai 12 dari perceived exertion scale. Secara praktisnya, pasien disarankan untuk tetap didalam rumah pada hari pertama sampai hari kedua. Bila tidak ada keluhan pasien dapat berjalan dengan jarak yang ditingkatkan secara perlahan-lahan sampai maksimal 5 km perhari setelah 4 sampai 6 minggu.

c. Fase III (program latihan rawat jalan): tujuan dari fase ini adalah membuat pasien dapat berolahraga dengan aman pada lingkungan yang terstruktur dan agar pasien mengerti manfaat olahraga. Sebelum pasien menjalani latihan fisik pada fase ini, umumnya pasien menjalani symptom-limited exercise stress test. Exercise test dapat digunakan sebagai diagnostik atau penentuan kapasitas fungsional. Pada rehabilitasi jantung, exercise test digunakan sebagai penentuan kapasitas fungsional. Informasi yang didapat digunakan untuk preskripsi latihan, evaluasi dalam kembali bekerja, dan membantu memperkirakan prognosis. Saat ini rekomendasi intensitas latihan untuk fase III adalah 60-70% dari denyut jantung maksimal, atau 40-60% dari cadangan denyut jantung maksimal, yang setara dengan skor 12-15 dari perceived exertion scale. Denyut jantung maksimal dapat

31

dihitung dengan cara menggunakan rumus: 220 - umur. Cadangan denyut jantung maksimal didapat dengan cara: denyut jantung maksimal - denyut jantung istirahat. Durasi dari program bervariasi antara 8 - 12 minggu dan pasien menghadiri dua sampai tiga sesi perminggu. Pasien juga disarankan untuk berolahraga pada hari biasa selain sesi program rehabilitasi. Jenis olahraga yang disarankan adalah yang dapat meningkatkan ketahanan tubuh/stamina, seperti treadmill, sepeda statis, naik tangga. Olahraga ini merupakan olahraga aerobik. Umumnya 8-10 pasien yang mempunyai kapasitas fungsional yang sama dapat olahraga bersama-sama. Terdapat periode pemanasan sekitar 15 menit yang diikuti periode latihan sekitar 30-35 menit, dan diikuti periode pendinginan sekitar 10 menit.

d. Fase IV: fase ini merupakan fase dimana pasien olahraga secara mandiri dan memelihara gaya hidup sehat. Pola aktivitas fisik saat fase III harus tetap dijalani untuk seumur hidup.