• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

Lampiran 1 Nilai Absorbansi Serum Contoh

No Distrik Kode OD Cut Off Rasio Status Jenis Kelamin

1 Assogaima AS1 0.0305 0.0379 0.805 Negatif betina

2 AS2 0.0555 0.0379 1.464 Positif betina

3 AS3 0.096 0.0379 2.533 Positif betina 4 AS4 0.0325 0.0379 0.858 Negatif betina 5 AS5 0.022 0.0379 0.580 Negatif jantan

6 AS6 0.0345 0.0379 0.910 Negatif jantan

7 AS7 0.0405 0.0379 1.069 Positif betina

8 AS8 0.0305 0.0379 0.805 Negatif betina 9 AS9 0.0475 0.0379 1.253 Positif betina

10 AS10 0.0345 0.0379 0.910 Negatif betina

11 AS11 0.1095 0.273 0.401 Negatif betina 12 AS12 0.1045 0.273 0.383 Negatif betina 13 AS13 0.031 0.0379 0.818 Negatif betina

14 AS14 0.038 0.0379 1.003 Positif jantan

15 AS15 0.058 0.0379 1.530 Positif jantan 16 AS16 0.0325 0.0379 0.858 Negatif betina 17 AS17 0.029 0.0379 0.765 Negatif jantan

18 AS18 0.033 0.0379 0.871 Negatif jantan

19 AS19 0.0975 0.273 0.357 Negatif betina

20 AS20 0.041 0.0379 1.082 Positif jantan 21 AS21 0.029 0.0379 0.765 Negatif betina

22 AS22 0.0335 0.0379 0.884 Negatif betina

23 Wamena Kota Wm 1 0.0382 0.273 0.140 Negatif betina 24 Wm 2 0.0875 0.273 0.321 Negatif jantan 25 Wm 3 0.0615 0.273 0.225 Negatif betina 26 Wm 4 0.0485 0.273 0.178 Negatif jantan 27 Wm 6 0.0635 0.273 0.233 Negatif jantan 28 Wm 9 0.082 0.273 0.300 Negatif jantan 29 Wm 10 0.059 0.273 0.216 Negatif jantan 30 Wm 11 0.0565 0.273 0.207 Negatif jantan 31 Wm 12 0.068 0.273 0.249 Negatif jantan 32 Wm 13 0.07 0.273 0.256 Negatif betina 33 Wm 14 0.1245 0.273 0.456 Negatif jantan 34 Wm 15 0.079 0.273 0.289 Negatif jantan 35 Wm 16 0.15 0.273 0.549 Negatif betina 36 Wm 17 0.1695 0.273 0.621 Negatif betina 37 Wm 18 0.446 0.273 1.634 Positif betina 38 Wm 19 0.1785 0.273 0.654 Negatif jantan 39 Wm 20 0.1315 0.273 0.482 Negatif jantan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sistiserkosis merupakan salah satu penyakit parasitik yang berdampak penting terhadap kesehatan masyarakat (public health) dan perekonomian. Namun, penyakit ini kurang mendapat perhatian (neglected disease) di berbagai negara berkembang. Berdasarkan tinjauan terhadap aspek kesehatan masyarakat, penyakit ini penting untuk diperhatikan sebab termasuk dalam kategori “foodborne zoonosis” yaitu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya melalui pangan. Dampak ekonomis yang ditimbulkan oleh zoonosis ini berupa kerugian yang dialami oleh peternak babi akibat pengafkiran daging (Zoli et al. 2003).

Babi merupakan inang antara dari Taenia solium dan sumber infeksi Cysticercus cellulosae bagi manusia. Sistiserkosis pada babi biasanya tidak menunjukkan gejala klinis dan gangguan kesehatan, sedangkan infeksi Cystisercus cellulosae pada manusia akan menimbulkan gangguan kesehatan yang fatal. Hal ini disebabkan karena selain menginfiltrasi otot dan jaringan penunjang, Cysticercus cellulosae juga dapat berada di organ tubuh penting seperti otak, mata, jantung, dan hati (Garcia et al. 2003). Gejala klinis yang muncul dari sistiserkosis pada manusia berupa nodul di subkutan, gangguan penglihatan, gangguan saraf, sakit kepala hebat, dan epilepsi (neurocysticercosis).

Sistiserkosis ini berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat sehingga perlu dilakukan pengendalian penyakit ini baik pada manusia dan babi. Salah satu bentuk langkah awal dari upaya pengendalian sistiserkosis adalah deteksi dini terhadap keberadaan Cysticercus cellulosae pada babi. Tujuan dari langkah ini salah satunya adalah mencegah babi yang menderita sistiserkosis dikonsumsi oleh manusia. Namun, pelaksanaan deteksi dini sistiserkosis pada babi banyak menemui kesulitan karena penyakit ini pada inang antaranya berjalan tanpa gejala klinis (asimtomatis).

OIE (2008) telah menetapkan metode pemeriksaan konvensional untuk mendeteksi sistiserkosis pada babi berupa palpasi lidah (tongue palpation) dan

pemeriksaan postmortem (meat inspection). Pemeriksaan palpasi lidah digunakan untuk mendeteksi keberadaan sistiserkus pada babi hidup. Pemeriksaan postmortem digunakan untuk mendeteksi keberadaan sistiserkus pada daging babi sebelum dipasarkan.

Deteksi sistiserkosis pada babi melalui palpasi lidah dan pemeriksaan postmortem meskipun telah memenuhi kriteria yang ditetapkan OIE (2008), tetapi teknik ini memiliki sensitifitas rendah. Sensitifitas yang rendah ini menyebabkan infeksi Cysticercus cellulosae dalam jumlah sedikit (infeksi rendah) tidak mampu dideteksi oleh kedua metode tersebut. Hal ini memiliki risiko fatal karena daging babi yang mengandung sistiserkus dapat lolos untuk dikonsumsi manusia. Termakannya Cysticercus cellulosae tersebut menjadikan siklus hidup Taenia solium dapat berjalan sehingga zoonosis ini tidak dapat dikendalikan.

Menyikapi kekurangan dari kedua metode konvensional tersebut, maka dikembangkanlah metode pemeriksaan serologis. Gold standard dari metode pemeriksaan serologis terhadap sistiserkosis adalah immunoblotting (Sato et al. 2003). Metode ini memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi yaitu 98% dan 100% dalam mendeteksi sistiserkosis pada manusia (Deckers & Dorny 2010). Dengan kemampuan yang dimiliki metode immunobloting tersebut, maka metode ini mampu mendeteksi sistiserkosis walaupun saat infeksi rendah. Hasil uji yang diperoleh juga bebas dari kemungkinan reaksi silang akibat infeksi agen lainnya. Namun, metode ini tidak praktis untuk dilakukan dan harga yang dibutuhkan dalam sekali pengujian sangat mahal.

Metode serologis lain yang berhasil dikembangkan untuk deteksi dini sistiserkosis pada babi adalah enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). ELISA digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae atau antibodi anti-Cysticercus cellulosae. ELISA yang mendeteksi keberadaan antibodi anti-Cysticercus cellulosae adalah model yang pertama kali digunakan untuk deteksi dini sistiserkosis. Namun, model ELISA ini tidak mampu membedakan infeksi akibat sistiserkus mati dari yang hidup sehingga kemungkinan bias dari hasil pemeriksaan sangat besar (Harrison et al. 1986; Geerts et al. 1992 diacu di dalam Dorny et al. 2000). Kekurangan dari model uji tersebut selanjutnya disempurnakan dengan dikembangkannya model ELISA yang

mendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae. Model ELISA ini dianggap memberikan hasil pemeriksaan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan oleh model ini mampu membedakan antara infeksi yang disebabkan oleh sistiserkus yang mati dari hidup. Metode ini juga dapat digunakan sebagai pengujian keberhasilan pengobatan sistiserkosis (Harrison et al. 1989; Garcia et al. 1997 diacu di dalam Dorny et al. 2003).

Kasus taeniasis dan sistiserkosis banyak terjadi di Meksiko, Asia, Eropa Timur, Amerika Tengah dan Selatan, serta Afrika. Assana et al. (2001) melaporkan bahwa telah ditemukan sebesar 30.9% dari 264 babi yang berasal dari Mayo-Danay dan Mayo-Kebbi, Kamerun yang diperiksa, positif mengandung antigen sirkulasi Cysticercus cellulosae dalam serumnya. Benua Asia memiliki beberapa negara endemis sistiserkosis dan taeniasis antara lain adalah India, Nepal, China, Thailand, Korea, Taiwan, dan Indonesia (Rajshekar et al. 2003). Negara-negara tersebut menjadi negara endemis zoonosis ini karena memiliki daerah-daerah dengan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan siklus hidup Taenia solium berjalan (Flisser et al. 2003). Menurut Wandra et al. (2007), Indonesia memiliki tiga provinsi endemis zoonosis ini, ketiga provinsi tersebut yaitu Papua, Bali, dan Sumatera Utara. Provinsi Papua merupakan wilayah dengan kasus sistiserkosis dan taeniasis tertinggi dibandingkan kedua provinsi lainnya (Margono et al. 2001; Rajshekhar et al. 2003).

Provinsi Papua memiliki dua kabupaten endemis sistiserkosis dan taeniasis yaitu Kabupaten Paniai dan Jayawijaya (Salim et al. 2009). Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Wandra et al. (2007) yang menyebutkan bahwa antara tahun 1998-1999 telah ditemukan kasus sistiserkosis pada babi yang berasal dari Kabupaten Jayawiyaya sebesar 8.5% sampai 70.4%. Kasus sistiserkosis pada manusia di kabupaten tersebut yang dilaporkan pada tahun 2000-2002 adalah sebesar 4.9% sampai 33.3%. Kabupaten Jayawijaya memiliki empat distrik endemis sistiserkosis dan taeniasis antara lain yaitu Assologaima, Wamena Kota, Kurulu, dan Hubikosi. Beberapa penelitian terdahulu melaporkan bahwa Assologaima dan Wamena Kota merupakan wilayah dengan kasus sistiserkosis tertinggi baik pada manusia dan babi, dibandingkan dua distrik lainnya.

Kejadian di atas, menggambarkan tingginya kasus sistiserkosis di kedua distrik tersebut. Keadaan ini akan mengakibatkan masalah serius bila zoonosis ini tidak dikendalikan dengan tepat. Langkah awal dari pengendalian sistiserkosis adalah deteksi dini pada babi yang dipelihara oleh masyarakat di Distrik Assologaima dan Wamena Kota. Kepentingan dari tindakan ini adalah untuk mendapatkan informasi kejadian sistiserkosis pada babi. Informasi tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar penentuan tindakan pengendalian sistiserkosis selanjutnya di kedua distrik endemis tersebut. Upaya deteksi dini tersebut selain menuntut hasil pengujian yang akurat, cepat, dan sensitif juga aplikatif untuk dilaksanakan di Distrik Assologaima dan Wamena Kota yang memiliki keterbatasan dalam fasilitas laboratorium pemeriksaan kesehatan. Studi mengenai deteksi dini sistiserkosis menggunakan model ELISA yang mendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae merupakan salah satu metode pemeriksaan yang direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Tujuan

Penelitian ini dilaksanakan untuk menguji keberadaan antigen sirkulasi Cysticercus cellulosae dalam serum babi yang berasal dari Distrik Assologaima dan Wamena Kota serta menentukan pola penyebaran penyakit tersebut berdasarkan wilayah dan jenis kelamin babi dari serum contoh yang diperiksa.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk melaksanakan upaya pengendalian sistiserkosis dan taeniasis baik pada manusia maupun babi di Distrik Assologaima dan Wamena Kota.

Dokumen terkait