• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi Taenia solium

Klasifikasi dan Morfologi

Taenia solium merupakan cacing pita (cestoda) yang hidup dalam usus

manusia. Cacing ini dikenal dengan istilah “human pork tapeworm”. Menurut

Soulsby (1986), taksonomi dari cacing ini adalah: Kelas : Eucestoda

Ordo : Cyclophyllidea Famili : Taeniidae Genus : Taenia

Spesies : Taenia solium.

Taenia solium di dalam usus halus manusia dapat tumbuh hingga mencapai panjang dua sampai delapan meter. Tubuh cacing initerdiri atas tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila. Skoleks merupakan organ tubuh cestoda yang berfungsi untuk melekat pada dinding usus. Skoleks merupakan anggota tubuh yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies dalam genus Taenia. Morfologi skoleks Taenia solium terdiri atas sebuah rostelum dan empat buah batil hisap (sucker) (Gambar 1a). Rostelum dan sucker tersebut dikelilingi oleh sebaris kait panjang (180 µm) dan kait pendek (130 µm) di mana setiap barisnya tersusun atas 22-32 kait (Bogitsh et al. 2005).

Stobila merupakan bagian tubuh berupa serangkaian proglotida yang berada di belakang leher. Strobila Taenia solium tersusun atas 800 sampai 1000 segmen (proglotida). Berdasarkan perkembangan organ reproduksinya, proglotida tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu proglotida muda, dewasa, dan gravid (mature). Proglotida muda terletak setelah leher, selanjutnya diikuti oleh proglotida dewasa, dan proglotida gravid berada di bagian belakang.

Cacing ini tergolong sebagai hemaprodit yaitu individu yang berkelamin ganda (jantan dan betina). Kedua organ kelamin tersebut berada pada setiap segmennya. Organ kelamin jantan dari cacing ini terdiri dari testis, vas efferens, dan kantong cirrus. Organ kelamin betina dari cacing ini terdiri dari ovarium,

tuba fallopii, uterus, saluran vitelin, kelenjar mehlis dan vitelin, seminal receptacle, serta vagina. Pada proglotida muda, organ kelamin belum tampak dengan jelas karena belum berkembang dengan sempurna. Kedua organ kelamin ini akan tampak dan berkembang pada proglotida dewasa (Gambar 1b) dan akan hilang saat menjadi proglotida gravid. Proglotida gravid hanya berisi uterus yang memiliki 7 sampai 12 cabang yang penuh dengan telur infektif (Gambar 1c). Diperkirakan satu proglotida mengandung telur infektif sebanyak 50-60x103. Telur Taenia solium memiliki ciri morfologi yaitu berbentuk bulat dengan ukuran 31-43 µm. Telur ini memiliki selubung tebal dan di dalamnya berisi larva yang memiliki enam kait (onkosfer) (Choidini et al. 2001).

Taenia solium di dalam inang antaranya berupa metacestoda yang disebut Cysticercus cellulosae. Cysticercus cellulosae dikenal pula dengan istilah pork measles, beberasan (Bali), Manis-manisan (Tapanuli), Banasom (Toraja). Sistiserkus ini memiliki ciri morfologi yaitu berupa gelembung ellipsoid yang berukuran 6-10 x 5-10 mm (Gambar 1d). Stuktur tubuh Cysticercus cellulosae terdiri dari kulit luar, cairan antara, dan lapisan kecambah. Kulit luar yang melapisi sistiserkus ini berupa lapisan kutikula, sedangkan cairan antara berupa plasma darah dari inangnya. Lapisan kecambah berupa skoleks yang dilengkapi dua baris kait (Noble & Noble 1989; Kusumamiharja 1992).

Taenia solium tidak memiliki organ pencernaan sehingga untuk memperoleh nutrisi yang dibutuhkannya cacing ini mengambil dari inangnya. Bagian tubuh cacing ini yang digunakan untuk mengambil nutrisi inang adalah tegumen. Tegumen merupakan lapisan luar tubuh cacing yang terdiri dari karbohidrat makromolekul (glucocalyx). Fungsi lain dari tegumen yaitu sebagai pelindung diri dari enzim pencernaan yang disekresikan oleh inang, menyerap nutrisi, dan secara berkala melakukan pergantian kulit (moulting) yang bertujuan untuk melindungi diri dari sistem tanggap kebal inangnya.

Zat-zat sisa metabolisme dari Taenia solium dewasa dan metacestodanya disebut dengan eskretori/sekretori (E/S). E/S tersebut terdiri dari glukosa, protein terlarut, asam laktat, urea, dan amoniak. Organ ekskresi yang berfungsi untuk membuang E/S keluar tubuh cacing ini terdiri dari collecting canal dan flame cell. Mekanisme pengeluaran E/S dari dalam tubuh cacing ini diawali dengan

menampung E/S terlebih dahulu di dalam collecting canal. Organ ini terletak pada dorsal tubuh dan ventral tubuh. Saat collecting canal telah penuh berisi E/S, metabolit tersebut selanjutnya disalurkan keluar tubuh oleh flame cell (Bogitsh et al. 2005).

Gambar 1 Morfologi Taenia solium: skoleks (a); proglotida dewasa dengan organ kelamin yang berkembang (tanda panah hitam menunjukkan lubang genital) (b); proglotida gravid yang berisi penuh telur infektif (c); Cysticercus cellulosae (d) (Bogitsh et al. 2005).

Siklus Hidup

Perjalanan siklus hidup Taenia solium memerlukan dua vertebrata sebagai induk semangnya. Kedua induk semang tersebut berperan sebagai inang antara dan inang definitif. Babi merupakan inang antara dari Taenia solium dan manusia bertindak sebagai inang definitifnya. Namun, anjing dan manusia dapat menjadi inang antara dari cacing ini akibat autoinfeksi dan kontaminasi lingkungan (Subahar et al. 2005).

Siklus hidup Taenia solium berawal dari tertelannya telur infektif cacing ini oleh inang antaranya (Gambar 2). Telur tersebut selanjutnya akan pecah di dalam

lambung inang antaranya akibat bereaksi dengan asam lambung. Onkosfer yang telah menetas selanjutnya melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan ikut mengalir bersama darah ke seluruh organ. Onkosfer tersebut akan berkembang menjadi sistiserkus setelah mencapai otot, jaringan subkutan, otak, hati, jantung, dan mata (Sciutto et al. 2007).

Siklus hidup Taenia solium akan berlanjut jika manusia sebagai inang definitifnya memakan daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa proses pemasakan sempurna yaitu pemanasan lebih dari 60 °C. Sistiserkus selanjutnya mengadakan invaginasi pada dinding usus halus manusia dan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa ini mulai melepaskan proglotida gravidnya dua bulan setelah infeksi (Garcia et al. 2003). Telur infektif yang terkandung dalam penderita taeniasis inilah yang menjadi pencemar lingkungan (Subahar et al. 2005).

Sistiserkosis dan Taeniasis

Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Taenia solium. Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infiltrasi Cysticercus cellulosae pada inang antaranya yaitu manusia dan babi. Taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari Taenia solium dewasa pada manusia sebagai inang definitifnya. Kedua penyakit tersebut merupakan efek yang ditimbulkan oleh perjalanan hidup Taenia solium dan digolongkan sebagai siklozoonosis. Siklozoonosis merupakan zoonosis akibat siklus hidup agen yang memerlukan dua vertebrata sebagai inangnya.

Menurut Ngurah (1987), gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh sistiserkosis lebih fatal dibandingkan dengan taeniasis. Hal ini disebabkan oleh gejala klinis yang muncul pada penderita taeniasis lebih ringan daripada sistiserkosis. Gejala klinis taeniasis hanya berupa mual, nyeri di daerah epigastrium, menurunnya napsu makan, diare atau terkadang konstipasi, anemia, dan gejala yang asimtomatik sedangkan gejala klinis dari sistiserkosis tergantung lokasi infiltrasi sistiserkus. Gejala klinis dari infiltasi sistiserkus di otot dan subkutan berupa kekejangan otot, benjolan, dan kelemahan otot, sedangkan infiltrasi sistiserkus di mata berupa gangguan pengelihatan. Sakit kepala hebat, paralisis, dan epilepsi merupakan gejala dari infiltrasi sistiserkus di otak (Gambar 3a). Kalsifikasi merupakan efek peradangan yang timbul akibat infiltrasi sistiserkus yang mati. Biasanya kalsifikasi yang timbul ini tidak menimbulkan gejala apapun selama satu tahun, selanjutnya efek buruk akan muncul setelah lima sampai sepuluh tahun kemudian (Bogisth et al. 2005).

Infiltrasi Cysticercus cellulosae pada babi biasanya ditemukan di otot lurik yang aktif bergerak. Tempat predileksi dari infiltrasi sistiserkosis pada babi berada di lidah, musculus masseter (otot pipi), leher, jantung, musculus intercostae (otot antar tulang rusuk), dan musculus brachiocephalicus (otot bahu). Infiltrasi sistiserkus pada otot jantung biasanya akan menimbulkan kematian pada babi (Gambar 3b). Kematian ini terjadi akibat gangguan kontraksi otot jantung sehingga proses pemompaan darah tidak berjalan dengan baik.

Gambar 3 Infiltrasi Cysticercus cellulosae pada organ tubuh: otak manusia (tanda panah hitam menunjukkan gilus otak, lingkaran merah menunjukkan Cysticercus cellulosae) (a) dan otot jantung babi (tanda panah putih menunjukkan Cysticercus cellulosae) (b) (Garcia et al. 2003; Zoli et al. 2003)

Sistiserkosis dan taeniasis sangat berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan, menejemen peternakan, dan cara mengkonsumsi daging babi (Flisser et al. 2003). Bagian dari sanitasi lingkungan yang berkaitan erat dengan kejadian sistiserkosis adalah kepemilikan toilet dan kebiasaan defekasi masyarakat. Defekasi di sembarang tempat merupakan cara penyebaran telur infektif Taenia solium pada lingkungan. Penderita taeniasis dalam kondisi ini berperan sebagai pencemar lingkungan sekitarnya.

Memelihara babi secara tidak dikandangkan (diumbar) merupakan tindakan yang memudahkan transmisi telur infektif Tenia solium dari lingkungan menuju inang antaranya. Babi yang diumbar mempunyai kesempatan berkontak dengan feses penderita taeniasis lebih besar daripada babi yang dipelihara secara intensif. Cara masyarakat dalam mengkonsumsi daging babi adalah hal yang sangat penting dalam penyebaran zoonosis ini. Hal ini tergambar dari tingginya kasus taeniasis di Bali akibat kebiasaan masyarakat Bali mengkonsumsi daging babi mentah dalam setiap perayaan upacara adat (Sutisna et al. 1999).

Prevalensi kedua penyakit ini dapat diturunkan melalui beberapa langkah pengendalian terhadap siklus hidup dari Taenia solium. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan yaitu deteksi dini secara berkala pada peternakan babi, penyuluhan, pengobatan pada penderita taeniasis dan babi penderita sistiserkosis,

vaksinasi, dan perbaikan sanitasi lingkungan (Gonzalez et al. 2003; Ngowi et al. 2008). Pengobatan yang dapat dilakukan terhadap babi penderita sistiserkosis adalah pemberian oxfendazole dengan dosis 3-4.5 mg/kg bb (Plumb & Pharm 1999). Pencegahan sistiserkosis pada babi dapat dilakukan melalui vaksinasi. Tipe vaksin yang dapat diberikan untuk vaksinasi tersebut adalah synthetic peptide-based vaccine (Deckers et al. 2008).

Metode Deteksi Sistiserkosis

Sistiserkosis pada manusia menimbulkan efek buruk baik terhadap kesehatan, produktivitas kinerja seseorang, dan keselamatan jiwa. Penyakit ini pada manusia menunjukkan gejala klinis yang terlihat berupa nodul di subkutan, gangguan penglihatan, gangguan saraf, sakit kepala hebat, dan epilepsi (neurocysticercosis). Penderita sistiserkosis juga akan mengalami penurunan produktivitas kinerjanya karena dapat menimbulkan kebutaan. Zoonosis ini juga mengancam keselamatan jiwa penderitanya. Penderita neurocysticercosis sering kali ditemukan meninggal akibat tenggelam, mengalami luka bakar, dan meninggal akibat terbakar. Sistiserkosis pada babi biasanya berjalan asimtomatik dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan, sehingga banyak kasus sistiserkosis pada babi yang tidak teramati.

OIE (2008) telah menetapkan bahwa metode pemeriksaan standar untuk mendeteksi keberadaan sistiserkus pada babi adalah palpasi lidah dan pemeriksaan postmortem. Pemeriksaan palpasi lidah digunakan untuk mendeteksi sistiserkus pada babi hidup. Pemeriksaan postmortem digunakan untuk mendeteksi sistiserkus pada daging babi sebelum dipasarkan. Selain metode pemeriksaan sistiserkosis standar yang ditetapkan oleh OIE tersebut, keberadaan Cysticercosis cellulosae dapat dideteksi menggunakan teknik immunodiagnostik. Teknik immunodiagnostik tersebut berupa enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), enzyme linked immuno-electrotransfer blot, antigen spesifik IgM dalam cairan selebrospinal (celebro spinal fluid), dan complement fixation test (CFT) (Ansari et al. 2003).

Pada tahun 1997-1998 Ito et al. berhasil mengembangkan ELISA untuk mendeteksi keberadaan Cysticercus cellulosae melalui pemeriksaan antibodi anti-

Cysticercus cellulosae pada serum (Sato et al. 2003). Prinsip kerja dari teknik ELISA adalah mendeteksi adanya ikatan spesifik antara antibodi dan antigen atau sebaliknya. Burgess (1995) menyatakan bahwa ELISA memiliki variasi model uji yang beragam. ELISA dan metode pemeriksaan sistiserkosis konvensional bila dibandingkan dari segi sensitifitas dan spesifisitas ujinya, maka ELISA dianggap lebih baik. Menurut Dorny et al. (2004), teknik palpasi lidah memiliki sensitivitas sebesar 16.1% dan spesifisitas sebesar 100%, pemeriksaan postmortem memiliki sensitivitas sebesar 38.7% dan spesifisitas sebesar 100%, model ELISA yang mendeteksi antibodi memiliki sensitivitas sebesar 45.2% dan spesifisitas sebesar 88.2%, model ELISA yang mendeteksi antigen memiliki sensitivitas sebesar 64.5% dan spesifisitas sebesar 91.2%. Hal di atas menunjukkan bahwa model ELISA yang mendeteksi antigen memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik dibandingkan teknik diagnosis lainnya. Model ini juga dapat membedakan sistiserkus yang mati dari hidup. Kelebihan tersebut memberikan hasil pengujian yang tidak bias dan menggambarkan infeksi yang sebenarnya (Dorny et al. 2000).

Gambar 4 menunjukkan tahapan kerja dari model ELISA pendeteksi antigen yang dikembangkan oleh ITM Antwerpen, Belgia. Model ELISA ini menggunakan antibodi penangkap dan pendeteksi berupa monoklonal antibodi. Monoklonal antibodi merupakan antibodi spesifik yang memilki satu jenis paratop (bagian dari antibodi yang berikatan dengan epitop dari antigen). Keadaan ini merupakan kelebihan dari monoklonal antibodi karena sifatnya akan lebih spesifik dalam mengikat antigen yang dideteksinya (Burgess 1995).

Monoklonal antibodi yang dikembangkan oleh ITM Antwerpen, Belgia merupakan monoklonal antibodi anti-Cysticercus bovis. Namun, monoklonal ini bersifat genus spesifik sehingga dapat mendeteksi antigen dari sistiserkus lain misalnya Cysticercus cellulosae, Cysticercus tenuicollis dan metacestoda dari Taenia asiatica. Sifat genus spesifik ini dapat memberikan keuntungan dan juga kerugian untuk diagnosis sistiserkosis. Keuntungan dari sifat ini yaitu dengan menggunakan satu monoklonal antibodi dapat mendeteksi sistiserkosis yang disebabkan oleh berbagai spesies dari genus Taenia. Kerugian dari sifat monoklonal antibodi ini ditemui apabila digunakan untuk mengetahui spesies

penyebab sistiserkosis di daerah yang endemis lebih dari satu spesies anggota dari genus Taenia.

Gambar 4 Skema model ELISA pendeteksi antigen (ITM 2009).

Kondisi Umum Masyarakat Distrik Assologaima dan Wamena Kota

Babi merupakan hewan yang memiliki makna penting bagi kehidupan suku- suku di Distrik Assologaima dan Wamena Kota. Ditinjau dari segi antropologi, beternak babi bagi kehidupan masyarakat di kedua distrik tersebut merupakan bagian dari budaya lokal yang disebut ”Kebudayaan Beternak Babi”. Berdasarkan aspek ekonomi, babi merupakan hewan yang istimewa karena memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan lainnya. Babi juga memegang peranan sebagai barang yang digunakan untuk menyelesaikan segala masalah adat, mas kawin, dan digunakan dalam setiap upaca adat sebagai hidangannya. Ternak babi sangat penting peranannya dalam kehidupan masyarakat di kedua distrik tersebut (Sokoy 2005).

Masyarakat Distrik Assologaima dan Wamena Kota umumnya memelihara babi dengan cara diumbar saat siang hari dan mengandangkannya pada malam hari. Sebagian besar babi tersebut dikandangkan di dalam honai bersama

pemiliknya, Kondisi ini menyebabkan keadaan sanitasi di dalam tempat tinggal menjadi buruk. Babi-babi tersebut biasanya diberi pakan oleh pemiliknya saat pagi hari sebelum diumbar. Pakan yang diberikan peternak setempat kepada babi yang mereka pelihara berupa ubi jalar (Ipomoea batatas) berkualitas rendah (Balitnak 2008).

Bakar Batu adalah tradisi lokal yang dimiliki oleh masyarakat Papua untuk memasak daging babi dalam setiap pelaksanaan upacara adat setempat. Tradisi ini dilakukan dengan memasak daging babi dan bahan makanan lain seperti ubi jalar dan sayuran dalam tumpukan batu panas selama satu jam yang dimasukkan dalam galian tanah sedalam satu meter. Makanan yang telah matang selanjutnya dihidangkan di atas tanah dengan beralaskan dedaunan dan rumput-rumputan untuk dimakan bersama-sama. Cara penyajian ini memiliki resiko terjadinya pencemaran telur Taenia solium infektif dari tanah dan alas makan tersebut (Maitindom 2008).

Distrik Assologaima dan Wamena Kota termasuk dalam wilayah Kabupaten Jayawijaya. Distrik merupakan istilah untuk kecamatan yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat karena adanya Undang-Undang Otonomi Daerah Khusus mulai tahun 2008. Kondisi sanitasi di Kabupaten Jayawijaya secara umum termasuk kedua distrik tersebut tergolong buruk. Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua yang dikutip dalam Maitindom (2008), sebagian besar (98.0%) penduduk Kabupaten Jayawijaya tidak memiliki fasilitas/sarana sanitasi seperti air bersih, jamban keluarga, tempat pembuangan sampah, dan saluran pembuangan air limbah (SPAL). Kabupaten Jayawijaya juga tidak memiliki Rumah Potong Hewan (RPH) sehingga pengawasan terhadap keamanan produk daging babi juga kurang terlaksana.

Kondisi taeniasis dan sistiserkosis di Distrik Assologaima dan Wamena Kota

Distrik Assologaima dan Wamena Kota merupakan dua wilayah di Kabupaten Jayawijaya yang termasuk daerah endemis taeniasis dan sistiserkosis. Keadaan ini diketahui dari penelitian sebelumnya yang banyak melaporkan kasus sistiserkosis dan taeniasis pada manusia di kedua wilayah tersebut. Penelitian- penelitian tersebut menyebutkan bahwa penduduk di kedua distrik tersebut banyak

yang menderita neurocysticercosis. Laporan mengenai sistiserkosis pada babi yang berasal dari Distrik Assologaima dan Wamena Kota masih jarang dilaporkan.

Kasus epilepsi yang diderita oleh penduduk Distrik Assologaima telah dilaporkan mengalami peningkatan antara tahun 1992-1995 yaitu sebesar 0.28% sampai 0.83%. Margono et al. (2001) telah memeriksa penderita epilepsi dan babi yang dimilikinya menggunakan teknik immunobloting untuk mendeteksi keberadaan Cysticercus cellulosae agar penyakit tersebut dapat dipastikan agen penyebabnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa 14 orang dan satu ekor babi positif sistiserkosis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1992- 1995 di Distrik Assologaima terdapat 14 warga penderita neurocysticercosis dan seekor babi penderita sistiserkosis.

Pada tahun 2005 Subahar et al. melakukan penelitian tentang penyebaran kasus taeniasis dan sistiserkosis pada penduduk Distrik Wamena Kota dan Assologaima. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut yaitu sebesar 68.4% (26/38) penduduk Distrik Wamena Kota dan 35.5% (18/51) penduduk Assologaima memiliki antibodi anti-sistiserkosis. Penduduk yang positif tersebut selanjutnya menjalani pemeriksaan lanjutan menggunakan teknik ELISA- koproantigen. Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa tiga orang penduduk Distrik Assologaima positif mengandung antigen Taenia solium dalam fesesnya, sedangkan pada penduduk Distrik Wamena Kota tidak ditemukan hasil positif. Hasil tersebut menunjukkan tidak semua penderita sistiserkosis menderita taeniasis.

Pada tahun 2008 Maitindom melakukan penelitian mengenai sistiserkosis pada babi yang berasal dari beberapa Distrik di Kabupaten Jayawijaya. Penelitian tersebut dilakukan terhadap babi yang disembelih dan diperjualbelikan di Pasar Jibaman Kabupaten Jayawijaya menggunakan metode pemeriksaan postmortem. Hasil yang dilaporkan dari penelitian tersebut yaitu sebanyak 77% babi yang diperiksa positif mengandung Cysticercus cellulosae dalam dagingnya. Hal di atas menunjukkan bahwa kasus sistiserkosis baik pada manusia dan babi di Distrik Assologaima dan Wamena Kota sangat tinggi.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2011 bertempat di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, serta Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode

1. Koleksi Serum Contoh

Tahap koleksi serum contoh dalam penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai Juni 2011. Tahap koleksi ini dilaksanakan oleh tim peneliti mahasiswa Pascasarjana Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Institut Pertanian Bogor. Serum contoh yang dikoleksi diambil secara purposif yaitu berasal dari babi yang diizinkan oleh pemiliknya untuk diambil darahnya dan dipelihara secara diumbar.

Dalam penelitian ini diperiksa sebanyak 39 serum contoh yang terdiri atas 26 serum yang dikoleksi pada tahun 2009 dan 13 serum pada tahun 2010. Serum tersebut diperoleh dari babi asal Distrik Assologaima dan Wamena Kota (Tabel 1). Babi tersebut terdiri atas 18 ekor jantan dan 21 ekor betina. Serum kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini dikoleksi dari babi yang dalam pemeriksaan postmortem ditemukan adanya sistiserkus dalam dagingnya. Babi tersebut berasal dari peternakan rakyat di Kabupaten Jayawijaya. Serum kontrol negatif yang digunakan dalam penelitian ini dikoleksi dari babi yang berasal dari peternakan di Jawa Tengah.

Pembuatan serum dilakukan dengan cara mengambil darah babi melalui vena jugularis menggunakan spuit 5 mL. Darah yang telah diambil tersebut selanjutnya diinkubasi dalam suhu ruang selama satu jam dengan posisi mendatar. Darah tersebut kemudian diinkubasikan kembali selama 24 jam dalam suhu 4 °C. Serum yang terbentuk selanjutnya dipanen dengan meletakkannya dalam tabung

mikro berukuran 1.5 mL. Penyimpanan serum dilakukan dalam suhu -18 °C hingga akan digunakan.

Tabel 1 Daerah asal dan jumlah babi yang dilakukan pemeriksaan serologis

2. Protokol ELISA

Penelitian ini dilakukan dengan metode sandwich ELISA untuk mendeteksi Cysticercus cellulosae yang dikembangkan oleh Institute of Tropical Medicine Antwerpen, Belgia (ITM 2009). Metode ini menggunakan antibodi monoklonal sebagai bahan pendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae dalam serum contoh. Tingkat spesifitas dari metode ini adalah 98.7% dan tingkat sensitifitasnya adalah 92.3% (Van Kerckhoven et al. 1998, diacu dalam Dorny el al. 2000). Metode ini terdiri dari delapan tahap, yaitu pre-treatment serum, coating sumuran cawan, blocking, peletakan serum contoh (sampel), pemberian antibodi pendeteksi, konjugat, substrat, stop solution, dan pembacaan nilai absorbansi.

Pre-treatmentserum dilakukan dengan mencampurkan 75 µL serum dan 75 µL larutan TCA (tricloroacetic acid 5% dalam akuabides) dalam tabung mikro. Campuran tersebut dikocok menggunakan vortex dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi, campuran tersebut kembali dikocok menggunakan vortex dan disentrifus selama sembilan menit dalam kecepatan 12 000 g. Supernatan yang diperoleh selanjutnya diambil menggunakan pipet mikro dan dicampurkan dengan larutan karbonat/bikarbonat pH 10 sebanyak 75 µL di dalam tabung mikro. Campuran tersebut kemudian disimpan dalam suhu 4 °C sampai akan digunakan. Setelah tahap pre-treatment dilakukan, selanjutnya dilakukan pembuatan pola peletakan sampel.

No. Daerah asal (Distrik) Jumlah (ekor)

Jenis Kelamin

Jantan Betina Tidak diketahui

1. Assologaima 22 7 15 -

2. Wamena Kota 17 11 6 -

Coating dilakukan dengan melapisi sumuran cawan dengan antibodi penangkap dalam konsentrasi 5 µg/mL coating buffer karbonat/bikarbonat pH 9.8. Antibodi penangkap yang digunakan dalam penelitian ini berupa antibodi monoklonal anti Taenia saginata (kode produksi: B158C11A10) hasil produksi Institute of Tropicaledicine Antwerpen, Belgia. Antibodi penangkap sebanyak 100 µL dimasukkan ke dalam masing-masing sumur kecuali sumur A1 dan B1. Sumur A1 dan B1 merupakan sumur kontrol untuk substrat buffer, kedua sumur ini hanya diisi dengan 100 µL coatingbuffer. Inkubasi dilakukan di dalam shaker inkubator selama 30 menit pada suhu 37 °C. Setelah inkubasi selesai, dilakukan pencucian dengan PBS Tween-20 0.05% (buffer pencuci) sebanyak satu kali menggunakan pipet mikro multi channel.

Blocking dilakukan dengan tujuan untuk menutup permukaan sumur yang tidak dilekati oleh antibodi penangkap. Tahap ini dilakukan dengan cara memasukkan 100 µL larutan blocking berupa New Born Calf Serum 1% di dalam buffer pencuci pada setiap sumur. Cawan tersebut diinkubasi dalam shaker inkubator selama 15 menit pada suhu 37 °C.

Pemasukan sampel dilakukan dengan memasukkan serum contoh yang telah dipre-treatment sebanyak 100 µ L ke dalam masing-masing sumur sesuai dengan pola. Cawan tersebut diinkubasi dalam shaker inkubator pada suhu 37 °C selama 15 menit. Tiap-tiap sumur dalam cawan kemudian dicuci sebanyak lima

Dokumen terkait