• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS

II.3 Analisis Wacana Versi Theo Van Leeuwen

2. Nilai berita

Suatu peristiwa dikatakan mempunyai nilai berita jika mengandung:

a. Keluarbiasaan (unusualness). Berita adalah sesuatu yang luar biasa. Nilai berita peristiwa, luar biasa, paling tidak dapat dilihat dari lima aspek; lokasi, waktu, jumlah korban, daya kejut peristiwa, dan dampak yang ditimbulkan peristiwa tersebut.

b. Kebaruan (newness). Berita adalah semua apa, yang terbaru. Semua hal yang baru, apa pun namanya, pasti memiliki nilai berita.

c. Akibat (impact). Berita adalah segala sesuatu yang berdampak luas. Dampak suatu pemberitaan bergantung pada beberapa hal: seberapa banyak khalayak terpengaruh, pemberitaan itu langsung mengena kepada khalayak atau tidak, dan segera tidaknya efek berita itu menyentuh khalayak media surat kabar, radio, atau televisi yang melaporkannya.

d. Aktual (timeliness). Berita adalah apa yang terjadi hari ini, apa yang masih belum diketahui tentang apa yang akan terjadi hari ini, atau adanya opini berupa pandangan dan penilaian yang berbeda, dengan opini sebelumnya sehingga opini itu mengandung informasi penting dan berarti.

e. Kedekatan (proximity). Kedekatan mengandung dua arti. Pertama, kedekatan geografis menunjuk kepada suatu peristiwa atau berita yang

terjadi di sekitar tempat tinggal kita. Kedua, kedekatan psikologis yang lebih banyak ditentukan oleh tingkat keterkaitan pikiran, perasaan, atau kejiwaan seseorang dengan suatu objek peristiwa atau berita.

f. Informasi (information). Hanya informasi yang memiliki nilai berita, atau, memberi banyak manfaat kepada publik yang patut mendapat perhatian media.

g. Konflik (conflict). Konflik atau pertentangan merupakan sumber berita yang tak pernah kering dan tak kan pernah habis.

h. Orang penting (prominence). Berita adalah tentang orang-orang penting, orang-orang ternama, pesohor, selebriti, figur publik. Teori jurnalistik menegaskan, nama menciptakan berita.

i. Ketertarikan manusiawi (human interest). Cerita human interest, lebih banyak mengaduk-aduk perasaan daripada mengundang pemikiran. Apa saja yang dinilai mengundang minat insani, menimbulkan ketertarikan manusiawi, mengembangkan hasrat dan naluri ingin tabu dapat digolongkan ke dalam cerita human interest

j. Kejutan (suprising). Nilai berita kejutan, ditentukan oleh subjek pelaku, situasi saat itu, peristiwa sebelumnya, bidang perhatian, pengetahuan, serta pengalaman orang-orang atau masyarakat di sekitarnya.

k. Seks (sex). Seks ini umum dipertimbangkan oleh para editor sebagai nilai berita. Hal ini akan terasa benar bila dihubungkan dengan orang-orang terkenal. Misalnya heboh kisah cinta Raja Edward VIII

(1894-1972) dari Inggris, yang rela melepaskan takhta kerajaannya demi seorang janda.

II.5. Ideologi

Istilah. 'idelogi' pertama kali digunakan oleh filsuf Prancis Destut de Tracy pada tahun 1796 untuk menjelaskan ilmu baru yang dia rancang mengenai analisa sistematik tentang ide dan sensasi, tentang makna turunannya, kombinasinya, dan akibat yang ditimbulkannya (Thompson, 2004:51). Destut de Tracy, pemikir Prancis yang pertama kali menggunakan istilah ideologi di dalam bukunya elements d'ideologie pada tahun 1827. ideologi versi de Tracy ini berkarakter positivistic yang bertujuan untuk menemukan “kebenaran” di luar otoritas agama (Adams, 2004:viii).

Sejak masa itu, idologi menurut defenisi manapun, menjadi perhatian utama para sejarawan, kritikus sastra, filsuf, ahli semiotika, para teoritikus yang dapat dikatakan mewakili semua bidang dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu--ilmu sosial. Kaum intelektual Eropa khususnya, telah memberikan konsep itu suatu sisi kritis yang tajam. Para teoritikus sosial Inggris misalnya hidup dalam sebuah masyarakat yang amat terpecah belah dalam kelas, yang terkenal akan raja dan ratunya, pangeran dan putrinya, bangsawan dan nyonyanya - sering mendefenisikan ideologi menurut bagaimana informasi dipergunakan oleh suatu kelo mpok sosial eko no mi ("kelas berkuasa" dalam ist ilah Marxis) untuk mendominasi kelompok lainnya (Lull, 1998:2-3).

Marx sendiri t idak menggunakan ist ilah 'ideologi' dala m ko nteks pemunculan konsepsi laten ini. Tapi dia membicarakan sebagai 'ilusi' dan 'ide

yang menipu', sebagai 'arwah dan hantu' yang membuntuti masyarakat dan mengajak mereka untuk membuat takhayul dan prasangka. Dengan demikian kita membicarakan konsepsi Marx tentang ideologi ini hanya berdasarkan pengakuan bahwa kita memahami istilah 'ideologi' untuk mengacu rangkaian fenomena -sosial yang oleh Marx tidak digambarkan dengan jelas (Thompson, 2004:68).

Menurut Althusser, ideologi atau level suprastruktur adalah dialektika yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Althusser mengatakan ada dua dimensi hakiki negara : Represif (Represif State Aparatus / RSA) dan Ideologi (Ideological State Aparatus / ISA). Kedua dimensi ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat perjuangan kelas. Yang satu masuk degan jalan memaksa, sedangkan yang lain dengan jalan mempengaruhi. Meskipun berbeda, kedua perangkat tersebut mempunyai fungsi yang sama, yakni melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. Dalam konsep ini, media ditempatkan oleh Althusser sebagai ISA. Media memberikan dasar pembenaran atas tindakan fisik yang dilakukan RSA (Eriyanto, 001:98-99).

Seperti ditulis Hari Cahyadi (dalam Eriyanto, 2001:99-100), ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek, ideologi juga menciptakan subjek. Usaha inilah yang dinamakan interpelasi. Dalam interpelasi ini, individu konkret direkrut menjadi subjek ideologi. sebagai seorang Marxis strukturatis, Althusser berpandangan bahwa kehidupan manusia sebagai subjek, identik dengan subjek sebagai struktur, dimana struktur tadi bukan ciptaannya melainkan ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan dan identik untuk kepentingan kelompok penciptanya, individu-individu disini dikatakan sebagai

subjek bagi struktur tidak lain adalah pelayanan kepentingan-kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut.

Kendati sering kali merasakan diri sebagai subjek bebas, kebebasan atau kesadaran hanyalah hasil interpelasi dan diciptakan oleh struktur atau perangkat-perangkat (RSA maupun ISA). Berkenaan dengan pemikiran ini, ideologi atau perangkat negara tidak lain hanyalah suatu alat untuk menciptakan manusia sebagai subjek kepentingan negara yang identik dengan intervensi bagi perjuangan kelas.

Menurut Soerjanto Poespowardojo (dalam Thompson, 2004:70), ada 6 fungsi ideologi yakni:

1. Sturktur Kognitif, ialah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian alam sekitarnya.

2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.

3. Norma-norma yang menjadi pedoman bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak.

4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.

5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.

6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati, serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya.

BAB III