• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah hubungan Antasari dan Wiliardi ditelisik. Diduga bukan perkenalan sesaat.

UNTUK memperjuangkan pangkatnya, Wiliardi Wizar menempuh jalur sendiri. Alih-alih mendatangi atasannya, perwira menengah kepolisian itu menyambangi Antasari Azhar, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini nonaktif.

Di rumah Antasari, di Kompleks Giriloka II, Bumi Serpong Damai, Banten, Februari lalu, Wiliardi bertanya, “Apakah mungkin saya mendapatkan job bintang?” Antasari, seperti pengakuannya kepada penyidik, ketika itu menjawab, “Kalau ada kesempatan, akan saya bicarakan dengan Kepala Polri.”

Menurut Antasari, Wiliardi datang ke rumahnya diantar Yudi, staf Sigid Haryo Wibisono, pengusaha pemilik harian Merdeka. Ini bukan pertama kalinya Wiliardi “memperjuangkan” kariernya melalui sang ketua. Mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan itu sebelumnya juga meminta “polisi yang lebih baik” ketika bertemu Antasari di rumah Sigid.

Ketiga tokoh itu kini menjadi tersangka pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, 14 Maret 2009. Polisi menduga, Antasari memerintahkan Wiliardi membunuh Nasrudin. Sigid, yang lama dekat dengan Antasari, lalu membiayai operasi ini.

Menurut sejumlah sumber Tempo, keterkaitan Wiliardi, Antasari, dan Si-gid masih menjadi fokus pemeriksaan polisi. Mungkin karena terus ditanyai soal ini, Wiliardi kabarnya sempat naik darah. Dalam pemeriksaan di ruang Unit III Kejahatan dan Kekerasan Kepolisian Metro Jaya, Senin malam pekan lalu, ia menggebrak meja di depan empat pemeriksanya.

Menurut Yohanes Jacob, pengacaranya, Wiliardi kesal karena terus ditu-duh mencari pangkat melalui Antasari. Padahal, kata Yohanes, Wiliardi me-ngatakan sudah menuruti semua kemauan bos-bosnya. “Saya kaget,” kata Yohanes. “Saya tidak menyangka dia akan bereaksi seperti itu.”

“Kemauan atasan” yang dimaksud Yohanes disampaikan pada akhir April lalu. Ketika itu Wiliardi baru ditangkap dan diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian. Di sela pemeriksaan, menurut dia, dua petinggi kepolisian datang: Wakil. Kepala Badan Reserse dan Kriminal Inspektur Jenderal Hadiatmoko Berta Direktur Reserse dan Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Muhamad Iriawan.

Menurut Yohanes, dua opsir kepolisian itu meminta Wiliardi bersedia cepat dibuatkan berita acara pemeriksaan. Alasannya, masih menurut pengacara itu, agar penyidik bisa segera menangkap Antasari. Perintah itu dituruti, dan Wiliardi berharap konsesi: kariernya akan diselamatkan.

Dengan harapan menerima konsesi itu, menurut Yohanes, Wiliardi cepat menandatangani dua berita acara pemeriksaan. Yangpertama berisi jawaban atas 35 pertanyaan, dan yang kedua jawaban atas 11 pertanyaan. “Jawaban-jawaban itu dibuat sesuka penyidik,” kata Yohanes. “Wiliardi nurut saja.”

Belakangan, Wiliardi, yang kini ditahan di Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, mencabut semua keterangannya. Setelah pencabutan ini, penyidik menyodorkan dua berita acara pemeriksaan yang ditandatangani Wiliardi. Sang komisaris besar, menurut. Yohanes, dengan enteng menjawab, “Lho, itu kan kalian yang bikin dan menjawab sendiri.”

Yohanes menduga, “pengakuan” Wiliardi yang dicabut itu dibuat demi menyelamatkan satu dari tiga tersangka kasus ini. Namun juru bicara Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira, menepis tudingan itu. Ia menegaskan, semua pemeriksaan tersangka diserahkan ke penyidik. “Tak ada petinggi polisi yang memaksa Wiliardi,” katanya. Adapun Ajun Komisaris Besar Chryshnanda I Dwi Laksana, juru bicara Kepolisian Daerah, menganggap semua itu merupakan proses penyidikan.

Pengakuan para eksekutor lapangan justru menguatkan peran polisi kela-hiran Sibolga, Sumatera Utara, 49 tahun lalu itu. Menurut Slamet Situmorang, pengacara Eduardus Ndopo Mbete alias Edo, perekrut eksekutor, kliennya menunjuk Wiliardi sebagai orang yang membujuk para pembunuh Nasrudin. Kepada mereka, Wiliardi mengatakan Nasrudin berupaya menggagalkan pemilihan umum.

Menurut Slamet, Wiliardi membujuk para eksekutor selama dua pekan. Para pelaku bahkan diajak ke kantor Wiliardi di Markas Besar Kepolisian. Di

sinilah para pelaku dijanjikan mendapat pekerjaan baru sebagai agen Badan Intelijen Negara, Setelah misi tuntas.

Tersangka lain, Jerry Hermawan, juga menunjuk Wiliardi. Menurut pengacaranya, Bhakti Dewanto, Jerry diberi tahu Wiliardi bahwa Nasrudin ”orang yang berbahaya bagi negara dan harus dihabisi”. Wiliardi menjanjikan, ini misi aman dan para pelakunya tidak akan diusut.

Yohanes menyebutkan, sebenarnya tuduhan bahwa Nasrudin musuh ne-gara diusulkan oleh Sigid Haryo. Skenario itu disusun dalam pertemuan Antasari dan Sigid di rumah sang pengusaha di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Namun Hermawan Pamungkas, pengacara Sigid, mengatakan semua skenario perburuan Nasrudin datang dari Antasari. Dalam pertemuan itu, Antasari mengeluh selalu diteror Nasrudin. Ia tidak menyebutkan alasan pribadi di balik teror Nasrudin. “Sigid tak tahu ini persoalan pribadi,” ujarnya.

MOTIF pribadi itu bermula dari pertemuan Antasari dan Rhani Juliani,

caddy yang kemudian beralih menjadi tenaga pemasaran Padang Golf

Modernland. Antasari mengaku mengenal Rhani pada 2006 melalui sejawatnya di Kejaksaan Agung, ketika ia menjabat Direktur Penuntutan.

Pada Mei 2008, Antasari menerima Rhani di kamar 802 Hotel Grand Ma-hakam, Jakarta Selatan. Menurut Antasari, Rhani datang untuk menawarkan keanggotaan barn di Padang Golf Modernland. Menurut sumber Tempo, penyidik menanyakan alasan Antasari menerima Rhani di kamar. Tersangka menjawab, “Saya penasaran karena ada caddy yang kini menjadi pemasaran, lama tak bertemu, lalu ingin menemui saya.”

Antasari mengaku bertemu Rhani seperempat jam. Pada akhir pertemuan, Nasrudin datang. Ia bertanya: “Apa-apaan, kok Bapak berduaan dengan istri saya?” Nasrudin ternyata telah menikah siri dengan Rhani. Antasari mengatakan berusaha menenangkan Nasrudin, dan menurut dia, masalah selesai.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Nasrudin mengirim pesan ke telepon seluler Antasari: “Ternyata Bapak melecehkan istri saya.” Kepada penyidik, Antasari mengatakan menjawab pesan itu dengan kalimat: “Masya Allah, saya tidak seburuk yang Bapak sangka.”

Untuk menguatkan bahwa saat itu tak terjadi sesuatu, Antasari menye-butkan, aktivis Hendardi ada di kamar yang sama ketika itu. Namun, ketika dihubungi secara terpisah, Hendardi mengatakan tidak pernah bertemu Rhani. Ia mengaku sering bertemu Antasari. “Informasi Anda terlalu spekulatif. Itu kejadian yang sudah terlalu lama,” ujarnya kepada Anne L. Handayani dari Tempo.

Belakangan, Nasrudin mengancam Antasari untuk membuka “peristiwa Grand Mahakam” ke media massa. Ia juga menelepon Ida Laksmiwati, istri Antasari. Informasi itu membuat Ida menelepon suaminya yang sedang berada di Bali. “Ia menangis di telepon,” kata Antasari kepada penyidik, seperti dituturkan sumber Tempo. “Ia bertanya, apakah saya berhubungan dengan istri orang.”

Antasari meminta Nasrudin datang ke kantornya di Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk melakukan klarifikasi. Alih-alih menyelesaikan persoalan, menurut Antasari, Nasrudin meminta bantuan agar proyeknya dengan PT Aneka Tambang bisa berjalan.

Tak tahan dengan tekanan Nasrudin, Antasari melaporkannya ke Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Kepada sang jenderal, Antasari

mengaku dizalimi Nasrudin. “Pak Kapolri menjawab, ‘Ini tidak boleh dibiarkan’,” kata Antasari kepada penyidik.

Bambang lalu membentuk tim yang dipimpin Komisaris Besar Chairul Anwar, mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Lagi-lagi, nama Sigid muncul. Di rumah pengusaha ini, Antasari mengaku dipertemukan dengan Chairul. Denny Kailimang, pengacara Antasari, tak bersedia memberikan konfirmasi tentang pengakuan kliennya ini. Abubakar Nataprawira juga menolak berkomentar.

Tim Chairul belakangan merazia Nasrudin dan Rhani di sebuah hotel di Kendari, Sulawesi Tenggara. Mereka memastikan pasangan itu telah menikah, sehingga dilepaskan. “Saya menerima laporan lisan dari Sigid soal razia ini,” kata Antasari kepada penyidik.

Razia di Kendari itu menyurutkan tekanan Nasrudin ke Antasari.”Saya menyampaikan perkembangan ini kepada Bapak Kapolri, ketika kami bermain golf bersama,” Antasari mengatakan. Ironisnya, begitu tekanan kepada ketua komisi anti korupsi itu berkurang, Nasrudin tewas ditembak. (Ramidi dan Budi Setyarso).

Analisis

Pada edisi ini Tempo memuat berita mengenai hubungan Antasari dengan Wiliardi ditelisik, yang diduga bukan perkenalan sesaat, dan proses terjadinya pembunuhan. Yang menjadi narasumber pada pemberitaan tersebut yaitu Antasari, Yohanes Jacob, pengacaran Wiliardi, juru bicara Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira, Ajun Komisaris Besar Chryshnanda I Dwi Laksana, juru bicara Kepolisian Daerah, pengacara Jerry Hermawan, Bhakti Dewanto, Hermawan Pamungkas, pengacara Sigid, sumber Tempo, Denny Kailimang, pengacara Antasari, Abubakar Nataprawira, pengacara Antasari.

Dalam berita ini terjadi hanya satu proses inklusi yaitu :

1. Determinasi-Indeterminasi

Determinasi Padahal, kata Yohanes, Wiliardi mengatakan sudah menuruti semua kemauan Antasari dan

Sigid.

Indeterminasi Padahal, kata Yohanes, Wiliardi mengatakan sudah menuruti semua kemauan bos-bosnya.

Dalam pemberitaan seringkali aktor atau peristiwa disebutkan secara jelas, tetapi sering kali pula tidak jelas (anonim). Dalam anonimitas menurut van leuween, hal tersebut akan membuat suatu generalisasi, tidak spesifik. Kita lihat dari kalimat kedua dikatakan bahwa “Wiliardi mengatakan sudah menuruti semua kemauan bos-bosnya.” Akan sangat berbeda dengan kalimat pertama yang menyebutkan nama dengan jelas (Antasari dan Sigid) di sana arti yang ditunjuk spesifik, tetapi ketika disebut Wliardi sudah menuruti kemauan bos-bosnya tidak lagi bermakna tunggal, tetapi jamak, mengesankan bahwa ada beberapa orang dekat Wiliardi yang terlibat kasus pembunuhan tersebut.

IV.2. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan berdasarkan paradigma kritis dengan menggunakan metode analisis wacana kritis melalui model penelitian Theo Van Leeuwen. Paradigma kritis memandang bahwa media adalah sarana dimana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Media yang mempunyai modal yang kuat dan pengaruh yang luas di masyarakat cenderung dapat melakukan dominasi dengan cara memberikan penafsiran tunggal terhadap suatu fenomena, isu-isu atupun aktor-aktor tertentu. Lewat pemberitaan yang terus

menerus disebarkan, media secara tidak langsung membentuk pemahaman dan kesadaran kepada khalayak mengenai sesuatu.

Analisis wacana kritis melalui pendekatan Theo Van Leeuwen lebih menekankan bagaimana seseorang atau kelompok (aktor) ditampilkan dalam pemberitaan, apakah sebagai pihak dominan atau marjinal. Model ini berdasarkan pada dua konsep utama dalam pembedaan teks berita yaitu eksklusi dan inklusi. Dengan konsep ini dapat dilihat bagaimana seseorang atau kelompok orang dikeluarkan dari teks pemberitaan atau bagaimana suatu pihak ditampilkan dalam suatu pemberitaan. Dengan memakai kata, kalimat, informasi atau suatu susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok dipresentasikan dalam teks.

Kasus pembunuhan yang menewaskan Direktur Utama PT. Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, pada 14 Maret 2009, cukup mendapat perhatian dari berbagai media baik nasional maupun internasional. Hal ini karena kasus pembunuhan tersebut melibatkan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar dan beberapa pejabat penting lainnya yang cukup berpengaruh dalam dunia Bisnis maupun perpolitikkan. Memang merupakan unsur yang sangat menarik dari sebuah berita untuk diangkat apalagi jika banyak kontroversi yang menyertai kasus pembunuhan yang terjadi di lapangan Golf Modernland pada tanggal 14 Maret 2009.

Walaupun isu dan wacana terus bergulir digantikan oleh wacana-wacana lain, tetapi kasus pembunuhan Nasrudin tetap mendapat perhatian, terlebih ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan surat Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemberhentian sementara Antasari Azhar dari jabatan Ketua

Komisi Pemberantasan Korupsi. Penanganan kasus tersebut dujalankan dengan seksama.

Perhatian media terhadap kasus pembunuhan ini sangat besar, hal ini tercermin dari pemberitaan Majalah Mingguan Tempo, majalah ini tidak pernah absen dalam memberitakan perkembangan kasus pembunuhan Nasrudin. Dalam kurun waktu 1 bulan, 4 edisi penerbitan memberitakan tentang kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, dimana dalam satu edisi berisi dua sampai tiga berita kasus pembunuhan Nasrudin.

Dari hasil penelitian yang diperoleh, Majalah Mingguan Tempo dalam setiap pemberitaannya selalu ingin menampilkan berita secara berimbang atau

cover both side hal ini terlihat dari pemilihan narasumber, pihak-pihak yang

terkait korban pembunuhan, tersangka utama atau yang menjadi otak pembunuhan dimana dalam pemberitaan tersebut diduga adalah Antasari Azhar dan para tersangka lain seperti para eksekutor, penyedia dana, pemberi order dan pihak yang terlibat dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.

Mungkin sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa tidak ada media yang benar-benar objektif. Hal ini wajar saja karena orang-orang yang memproduksi berita (wartawan, redaktur, pemimpin redaksi dan pemilik media), tidaklah dapat menghindarkan penilaian-penilaian subjektif yang secara konstruksi sosial ada pada dirinya, ketika memandang sebuah peristiwa. Mereka sendiri adalah bagian dari kelas masyarakat atau ideologi tertentu yang memungkinkan mereka memberi penilaian dan penafsiran terhadap suatu fenomena disekitarnya.

Demikian juga terjadi dengan majalah Tempo. Menurut Steele agar tetap bisa survive, Tempo menggunakan beberapa strategi dan trik. Beberapa

diantaranya, adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif atau mengutip komentar dari pejabat asing terhadap situasi dalam negeri. Strategi ini biasa disebut pinjam mulut. (Steele, 2005)

Di beberapa pemberitaan terdapat penciptaan kesan bahwa Antasari Azhar merupakan pelaku utama pembunuhan Nasrudin, yang memberi perintah kepada para penyandang dana dan akhirnya sampai ke pada para eksekutor, hal ini dapat dilihat dari proses inklusi yang terjadi, seperti di pemberitaan Akibat Pesona Gadis Golf, Kisah Tragis Jaksa Necis, Terimbas Misi Pelenyapan, Cara yang digunakan antara lain dengan strategi kategorisasi, determinasi, Abstraksi, indiferensiasi dan identifikasi.

Pada pemberitaan Akibat Pesona Gadis Golf proses inklusi dengan strategi kategorisasi terhadap tersangka pertama bertujuan untuk mengasosiasikan ke dalam benak khalayak bahwa warga kulit hitam identik dengan kekerasan. Inklusi terhadap dua eksekutor dengan strategi Determinasi bertujuan untuk memberi anonimitas agar ada kesan yang berbeda ketika diterima oleh khalayak.

Inklusi terhadap Rhani dengan strategi kategorisasi yang bertujuan untuk mengasosiasikan bahwa bahwa perempuan 22 tahun, berkulit hitam, dan berhidung bangir identik dengan penggoda para pria sehingga seseorang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan wanita tersebut, dan kalimat tersebut juga seolah-olah menjadi cikal bakal terjadinya pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen yaitu asmara segitiga Antasari-Rhani-Nasrudin.

Berita Kisah tragis Jaksa Necis menginklusikan Rhani Juliani dengan strategi Kategorisasi bertujuan untuk menggambarkannya secara buruk, wanita penggoda yang diduga penyebab terjadinya pembunuhan terhadap Nasrudin

Zulkarnaen. Sedangkan inklusi terhadap Antasari dengan strategi kategorisasi bertujuan untuk menggambarkannya secara baik, penuh dengan Nasionalisme, seolah menggambarkan bahwa tidak mungkin Antasari melakukan perbuatan sekeji itu, dilihat dari penampilan tidak ada mencerminkan sesuatu yang buruk.

Proses inklusi pada pemberitaan Terimbas Misi Pelenyapan terhadap Sigid dengan strategi deferensiasi bertujuan untuk mengasosiasikan ke dalam benak khalayak bahwa Sigid terlibat dalam pelenyapan Nasrudin dalam urusan penyediaan dana operasi.

Proses inklusi terjadi pada pemberitaan Golf Penghabisan para eksekutor Heri Santoso dengan strategi Kategorisasi bertujuan untuk mengasosiasikan ke dalam benak khalayak bahwa seorang pengangguran sangat dekat dengan kriminalitas dan kejahatan.

Sementara itu dilihat dari proses eksklusi yang terjadi, aktor yang dikeluarkan hanya dua yaitu terjadi pada pemberitaan Bukan Sekedar Gadis

Caddy dan Lakon Rhani, Si Kembang Desa dengan aktor yang dikeluarkan

merupakan para pemberi order dan ancaman pembunuhan yang diduga dari pelaku utama pembunuhan Nasridin. Hal ini tentu saja menguntungkan karena proses pengeluaran ini dapat melindungi mereka dari pemberitaan.

Dengan hanya ada dua proses eksklusi yang terjadi hal tersebut menandakan bahwa dilihat dari proses penanganan kasus pembunuhan Nasrudin pemerintah sangat perduli dan akan menindak lanjuti kasus pembunuhan tersebut sampai dengan tuntas seperti yang disampaikan oleh beberapa media dimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan untuk menindak tegas kasus pembunuhan Nasrudin.

Hal tersebut juga terlihat jelas pada majalah mingguan Tempo yang sangat sedikit untuk membuat suatu proses eksklusi dimana proses eksklusi adalah sutu proses mengfhilangkan suatu aktor atau peristiwa dari suatu pemberitaan. Pihak kepolisian saat ini juga sedang menindak lanjuti kasus pembunuhan Nasrudin, membuat kronologis kejadian di tempat kejadian perkara, mengadakan persidangan, dan diharapkan dengan kerja keras dan usaha yang dijalankan oleh Kepolisian Republik Indonesia, pelaku utama kasus pembunuhan Nasrudin dapat diketahui dan ditindak lanjuti kepada ketentuan hukum yang berlaku.

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Majalah mingguan Tempo dalam setiap pemberitaannya selalu mencoba untuk menghadirkan berita secara objektif dan berimbang. Tersangka, penyidik, pengacara baik dari korban pembunuhan maupun tersangka pada kasus pembunuhan Nasrudin ini sama-sama dimuat opininya, yaitu diantaranya Antasari Azhar, Rhani Juliani, Nasrudin Zulkarnaen, Kepolisian RI serta pengacara Nasrudin Jeffry Lumempouw dan pengacara Antasari, Magdir Ismail. Tetapi mungkin sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa tak ada media yang objektif dalam pemberitaannya, karena media bukanlah ranah yang netral, media lahir ke hadapan khalayak dengan berbagai kepentingan yang menyertainya.

Hal ini juga yang terjadi pada majalah Tempo setelah melakukan penetitian terhadap sepuluh berita di Majalah Mingguan Tempo yang terbit pada tanggal 5 Mei – 7 Juni 2009 ditemukan delapan dari sepuluh berita terjadi proses inklusi atau penghadiran aktor baik dari pihak korban Nasrudin Zulkarnaen maupun para tersangka kasus pembunuhan Nasrudin. Seperti Akibat Pesona Gadis Golf, Kisah Tragis Jaksa Necis, Terimbas Misi Pelenyapan, Golf Penghabisan, Tiga di Pusaran Kasus, Dari Baramo ke Rajawali, Giliran Menelisik Rekening, dan Penasaran Lama Tak Bertemu Rhani. Penghadiran aktor dari para tersangka termasuk didalamnya Antasari Azhar dan Pejabat tinggi lain seperti Sigid serta Wiliardi Wizar untuk memberikan pencitraan yang baik bagi para tersangka sekaligus pencitraan yang buruk bagi tersangka lainnya.

Sementara itu di sisi lain, dari sepuluh berita terdapat hanya dua berita yang melakukan proses eksklusi. Proses eksklusi semuanya dilakukan terhadap Antasari Azhar, hal ini tentu saja bertujuan untuk melindungi Antasari dari pemberitaan.

V.2 Saran

Kesimpulan yang telah disampaikan sebenarnya telah menyiratkan juga saran-saran yang perlu diperhatikan oleh majalah mingguan Tempo dalam pemberitaan-pemberitaannya dimasa yang akan datang. Diharapkan Tempo dalam setiap pemberitaannya selain berimbang juga lebih kritis dalam menghadirkan aktor-aktor yang terlibat, dengan demikian tidak ada suatu kelompok yang dirugikan dalam suatu pemberitaan.

Selain itu, diharapkan Tempo juga diharapkan dapat menyampaikan suatu berita secara mendalam dan komprehensif. Dengan format majalah, Tempo lebih memiliki ruang dibandingkan dengan koran harian, karena media tidak bisa melakukan judgement pada suatu peristiwa atau aktor hanya pada saat peristiwa itu terjadi.

Dalam paradigma kritis, media tidak semata dilihat sebagai instrument yang netral dalam memberikan informasi, ada nilai-nilai yang ingin disampaikan kepada khalayak untuk menciptakan suatu konsesus bersama. Oleh larena itu, media hendaklah berpihak dan selalu memperjuangkan kebenaran dan melawan setiap penindasan dan kelaliman.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris.2004. Critical studies : Teori dan Praktik. Kreasi Wacana. Yogyakarta

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis

dan metodologi Arah penguasaan Model Aplikasi . Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.

Dellinger, Bret. 1995. Finnish view of CNN Television News. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media.

Yogyakarta. LKIS. Cetakan Pertama.

Hadiyanto, 2001 Membudayakan kebiasaan menulis. Jakarta: PT. Fikahati Aneska Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandi. 1996. Bahasa dan Kekuasaan. Mizan. Bandung.

Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan Suatu Pengantar Pendekatan

Global. Penterjemah A. Setiawan Abadi. Jakarta : Yayasan Bogor

Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya Offset. Bandung

Nawawi, Hadari. 1991. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

---. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Simon, Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Pustaka Pelajar INSIST. Yogyakarta.

Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survey, LP3ES. ---. 2006. Metode Penelitian Survey, LP3ES.

Sobur Alex. 2004. Analisis Teks Media.PT. Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. Steele, Janet. 2005 Wars Within : The story of Tempo, an independent magazine

in Soeharto’s Indonesia. Equinox & ISEAS. Singapura.

Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakara. LKIS. Cetakan Pertama.

Thompson, John B. 2004. kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis Tentang

Relasi ideologi dan komunikasi massa. Yogyakarta

Majalah

Majalah Tempo Edisi 4 - 10 Mei 2009 Majalah Tempo Edisi 11 - 17 Mei 2009 Majalah Tempo Edisi 18 - 24 Mei 2009 Majalah Tempo Edisi 25 - 31 Mei 2009

Majalah

Majalah Tempo Edisi 5 Mei 2009

Situs: