• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Bambu ampel ( Bambusa vulgaris )

5.4 Nilai Guna Langsung Sumberdaya Bambu

Nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya bambu berupa nilai tegakan bambu yang diperoleh dari harga produk akhir dikurangi dengan biaya input (biaya pemanenan, biaya pengolahan, biaya penyusutan, dll) dan margin keuntungan pada masing-masing komoditas bambu.

Produk akhir bambu yang dihasilkan dari masing-masing responden dibedakan menjadi dua kategori, yaitu produk akhir dalam bentuk bambu gelondongan (bambu bulat) dan produk akhir dalam bentuk kerajinan tangan (anyaman) bambu. Nilai tegakan sumberdaya bambu dibagi kedalam dua bentuk nilai yaitu nilai stok (aset) (Rp/ha) dan nilai flow (diproduksi) (Rp/tahun). Nilai tegakan bambu berdasarkan nilai flow dan nilai stok dalam bentuk bambu bulat (gelondongan) di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.7.

Tabel 5.7 Nilai tegakan bambu dalam bentuk bambu bulat (gelondongan) di Kecamatan Sajira Jenis bambu Produksi bambu (batang/tahun) Harga bambu rata-rata (Rp/batang) Total biaya rata-rata (Rp/tahun) Nilai flow (Rp/tahun) Nilai stok (Rp/ha) Bambu apus 72 919 3 727 242 273 242 408 028 3 844 227 Bambu mayan 37 217 6 000 248 333 199 127 385 3 230 910 Bambu hitam 3 713 5 000 275 000 16 299 864 1 829 257 Bambu betung 20 197 9 250 190 000 166 619 427 22 438 698 Bambu ampel 2 376 2 250 102 500 4 671 061 629 053 Total 136 422 629 125 765 31 972 145

Nilai tegakan bambu di Kecamatan Sajira = Rp 31 972 145/ha x 140 ha = Rp 4 476 100 300 Tabel 5.7 menunjukkan bahwa nilai tegakan bambu bulat (gelondongan) memiliki nilai flow (diproduksi) dan nilai stok (aset) rata-rata berdasarkan responden masing-masing sebesar Rp 629 125 765/tahun dan Rp 31 972 145/ha. Nilai flow bambu diperoleh dari volume produksi bambu atau banyaknya bambu yang dipanen dalam setahun, sedangkan nilai stok bambu diperoleh dari kepadatan bambu yang terdapat dalam satu hektar lahan tiap responden. Bambu dengan nilai flow dan nilai stok paling tinggi diantara jenis bambu lainnya adalah bambu apus dan bambu betung masing-masing dengan nilai sebesar Rp 242 408 028/tahun dan Rp 22 438 698/ha, sedangkan nilai flow dan nilai stok paling rendah adalah bambu ampel dan bambu hitam masing-masing dengan nilai sebesar Rp 4 671 061/tahun dan Rp 629 053/ha.

Secara keseluruhan nilai tegakan berupa nilai stok bambu bulat (gelondongan) di Kecamatan Sajira sebesar Rp 31 972 145/ha. Apabila luas areal tegakan bambu Kecamatan Sajira sebesar 140 ha, maka nilai tegakan stok bambu bulat (gelondongan) yang dihasilkan sebesar Rp 4 476 100 300.

Berdasarkan wawancara terhadap responden diketahui bahwa produk akhir bambu berupa kerajinan tangan (anyaman) terdiri dari tampah (nyiru, ayakan), pengukus nasi (aseupan), kipas sate (hihid), tempat nasi (boboko), dan sumpit.

Jumlah batang bambu yang digunakan, harga olahan bambu, dan frekuensi pengambilan bambu di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.8.

Tabel 5.8 Produk akhir, harga bambu olahan, dan frekuensi pengambilan bambu di Kecamatan Sajira

Produk Akhir

Bahan baku bambu (batang/tahun)

Harga bambu olahan (Rp/unit)

Frekuensi pengambilan bambu (per bulan)

Tampah 6 910 7 000-10 000 2-4 kali

Pengukus nasi 4 419 10 000-15 000 2-4 kali

Kipas sate 4 580 2 000-5 000 2-4 kali

Tempat nasi 2 812 15 000-20 000 2-4 kali

Sumpit 3 857 1 000-2 000 2-4 kali

Keterangan :

1 batang bambu menghasikan 3 tampah 1 batang bambu menghasilkan 5 pengukus nasi 1 batang bambu menghasilkan 7 kipas sate 1 batang bambu menghasilkan 5 tempat nasi 1 batang bambu menghasilkan 15 sumpit

Tabel 5.8 menunjukkan banyaknya bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan kerajinan tangan (anyaman) bambu dalam satu tahun. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan responden pengrajin bambu. Dari wawancara tersebut diperoleh keterangan mengenai produksi bambu, harga bambu, dan frekuensi pengambilan bambu dalam setahun. Pada Tabel 5.8 diketahui bahwa dengan satu batang bambu dapat menghasilkan tiga tampah dengan frekuensi pengambilan bambu berkisar dua sampai empat kali per bulan sehingga dalam setahun bambu yang dipanen berkisar antara 24-48 batang, dan tampah yang dihasilkan per tahunnya sebanyak 72-144 unit. Selain itu, satu batang bambu juga dapat menghasilkan lima aseupan dan tujuh hihid sehingga dalam setahun aseupan maupun hihid yang dihasilkan masing-masing sebanyak 120-240 unit dan 168-336 unit. Demikian juga pada pembuatan boboko, dimana jumlah yang dihasilkan per tahunnya hampir sama dengan aseupan yaitu sekitar 120-240 unit. Sedangkan pada pembuatan sumpit dengan satu batang bambu dapat menghasilkan sekitar 15 sumpit sehingga dalam setahun sumpit yang dihasilkan berkisar antara 360-720 unit. Contoh hasil kerajinan anyaman bambu dapat dilihat pada Gambar 5.8.

(a) (b) Gambar 5.8 Hasil kerajinan bambu (a) tampah; (b) sumpit

Berikut ini nilai tegakan bambu berdasarkan nilai flow dan nilai stok (Tabel 5.9) dalam bentuk kerajinan tangan (anyaman) bambu di Kecamatan Sajira.

Tabel 5.9 Nilai tegakan bambu dalam bentuk anyaman di Kecamatan Sajira

Produk akhir Produksi barang (unit/tahun) Harga barang rata-rata (Rp/unit) Total biaya rata-rata (Rp/tahun) Nilai flow (Rp/tahun) Nilai stok (Rp/ha) Tampah 20 730 8 500 192 020 157 133 873 33 624 783 Pengukus nasi 22 096 12 194 159 444 240 419 524 59 445 823 Kipas sate 32 060 3 060 107 080 87 485 420 27 295 522 Tempat nasi 14 061 17 050 214 500 213 839 116 80 626 172 Sumpit 57 852 1 414 108 429 72 944 480 49 911 810 Total 146 800 771 822 413 250 904 110

Nilai tegakan bambu di Kecamatan Sajira = Rp 250 904 110/ha x 140 ha = Rp 35 126 575 400 Tabel 5.9 menunjukkan total volume produksi barang kerajinan bambu di Kecamatan Sajira yaitu sebesar 146 800 unit/tahun, yang diperoleh dari data sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kerajinan Bambu Kabupaten Lebak tahun 2011. Sedangkan produksi barang tiap hasil kerajinan bambu diperoleh melalui wawancara dengan responden terpilih, sehingga dari data tersebut dapat diduga besarnya distribusi produksi barang hasil kerajinan bambu di Kecamatan Sajira.

Setelah diketahui besarnya produksi barang tiap hasil kerajinan bambu, maka dapat dihitung besarnya nilai tegakan sumberdaya bambu dalam bentuk kerajinan tangan (anyaman) bambu. Perhitungan nilai tegakan secara lebih rinci terdapat pada Lampiran 2 dan 3. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa nilai tegakan kerajinan bambu memiliki nilai flow (yang dipanen) sebesar Rp 771 822 413/tahun. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan nilai flow bambu bulat (gelondongan) sebesar Rp 629 125 765/tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa variabel diantaranya adalah volume produksi bambu bulat (batang/tahun), volume produksi produk olahan bambu (unit/tahun), dan harga produk olahan rata-rata (Rp/unit).

Tabel 5.9 menunjukkan nilai stok (aset) kerajinan bambu paling tinggi adalah tempat nasi (boboko) dengan nilai sebesar Rp 80 626 172/ha, sedangkan nilai stok paling rendah adalah kipas sate (hihid) dengan nilai sebesar Rp 27 295 522/ha. Adapun secara keseluruhan nilai tegakan (nilai stok) kerajinan bambu di Kecamatan Sajira sebesar Rp 250 904 110/ha. Apabila luas areal tegakan bambu di Kecamatan Sajira sebesar 140 ha, maka nilai tegakan stok anyaman bambu yang dihasilkan sebesar Rp 35 126 575 400. Berdasarkan nilai stok tersebut, maka dapat diketahui total nilai tegakan sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira dengan menjumlahkan nilai stok bambu gelondongan (bambu non olahan) dengan nilai stok anyaman bambu (bambu olahan). Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai tegakan total sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira yaitu sebesar Rp 39 602 675 700 (Rp39.60 milyar).

Penilaian manfaat ekonomi bambu telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Satu diantaranya dilakukan oleh Mohamed et al. (2010) di Hutan Alam Pahang, Malaysia menghasilkan kesimpulan bahwa bambu G. scortechinii (buluh semantan atau buluh kapal) memiliki nilai tegakan sebesar RM 1,75 juta atau setara dengan Rp 6.29 milyar. Sedangkan S. zollingeri (buluh telor atau bambu lampar) dari batang yang potensial dipanen sebanyak 3.84 juta batang memiliki nilai tegakan sebesar RM 882 329 atau setara dengan Rp 3.18 milyar (produk akhir adalah keranjang buah/sayur) atau RM 1.61 juta atau setara dengan Rp 5.80 milyar (produk akhir adalah stik dupa). Jika ditotal maka nilai tegakan bambu Hutan Alam Pahang secara keseluruhan sebesar RM 2.26 juta atau setara dengan Rp 8.15 milyar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai tegakan bambu yang terdapat di Hutan Alam Pahang, Malaysia memiliki nilai ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan bambu yang terdapat di Kecamatan Sajira. Hal ini mungkin disebabkan karena luasan areal tegakan bambu di Hutan Alam Pahang lebih rendah dibandingkan dengan Kecamatan Sajira yang memiliki luas areal tegakan bambu sebesar 140 ha.

Dokumen terkait