• Tidak ada hasil yang ditemukan

Total Economic Value of Bamboo Resources Case Study in Sajira subregency, Lebak Regency, Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Total Economic Value of Bamboo Resources Case Study in Sajira subregency, Lebak Regency, Banten"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

MOHAMAD IQBAL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu (Bambuseae Sp) Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten”, adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Mohamad Iqbal

(4)
(5)

MOHAMAD IQBAL. Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAHRUNI.

Ketersediaan sumberdaya bambu yang berlimpah di Indonesia telah mendorong kemungkinan penggunaan bambu sebagai pengganti bahan baku konvensional (dalam hal ini kayu) yang saat ini cenderung menurun. Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan bambu masih dinilai rendah dari yang semestinya, sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi bambu secara tidak terkendali tanpa diimbangi dengan tindakan pembudidayaan. Belum membudayanya usaha pelestarian bambu disebabkan bambu masih dianggap sebagai tanaman yang kurang berguna. Disamping itu, kurangnya penelitian dan uji coba pengembangan teknologi budidaya, pemanenan, pengawetan, dan pemasaran bambu menjadi permasalahan lain dalam pemanfaatan bambu. Keterbatasan informasi tentang jenis bambu, manfaat bambu, dan teknologi pengolahannya serta banyaknya pihak yang belum memahami konsep nilai dari berbagai manfaat bambu secara komprehensif, khususnya manfaat intangible yang tidak memiliki harga pasar, maka perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan sumberdaya bambu.

Manfaat sumberdaya bambu sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar, sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi sumberdaya bambu dalam satuan moneter. Sebagai contoh manfaat bambu dalam menyerap karbon dan manfaat ekologis serta lingkungan lainnya. Karena sifatnya yang non market tersebut menyebabkan banyak manfaat sumberdaya bambu belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi.

Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung nilai ekonomi total sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira sebagai salah satu sentra utama areal bambu di Kabupaten Lebak. Nilai-nilai sumberdaya bambu yang diestimasi adalah nilai guna langsung (nilai tegakan bambu), nilai guna tidak langsung berupa nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi, serta nilai pilihan bambu surat (G. pseudoarundinacae).

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten. Penelitian dimulai dari Januari sampai dengan Agustus 2013. Penelitian dilakukan terhadap petani maupun masyarakat yang memiliki kebun bambu atau memproduksi bambu selaku responden. Metode penelitian yang digunakan antara lain dengan pendekatan nilai sisa turunan (nilai tegakan bambu), penilaian berdasarkan harga pasar (nilai stok karbon), pendekatan biaya pengganti (nilai pencegahan erosi), serta Contingent Valuation Method (CVM) dan persamaan regresi tobit (nilai pilihan). Proses pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, observasi, wawancara dan diskusi, dan pengambilan sampel tanah pada tiap tipe penutupan lahan. Pengolahan data dan analisis menggunakan program software Excel dan SAS.

(6)

(bambu olahan) masing-masing dengan nilai sebesar Rp 31 972 145/ha dan Rp 250 904 110/ha.

Nilai guna tidak langsung sumberdaya bambu dalam penelitian ini adalah nilai ekologi bambu sebagai stok karbon dan sebagai pencegah erosi. Nilai stok karbon (NSK) bambu merupakan besarnya cadangan karbon yang tersimpan pada sumberdaya bambu. NSK diperoleh dari hasil perkalian antara stok karbon bambu dengan harga karbon (US$/t C) yang diasumsikan saat penelitian sebesar 9.12/t C atau setara dengan Rp 100 320/ton. NSK sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira sebesar Rp 224 840 000. Apabila dikonversikan ke dalam hektar maka NSK yang dihasilkan sebesar Rp 1 605 190/ha. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pande et al. (2012), yaitu sebesar Rp 5 804 500-9 120 000/ha.

Nilai pencegahan erosi (NPE) dipengaruhi oleh laju erosi yang dihasilkan oleh lahan bambu sebagai pengganti ladang dan lahan bambu/kebun campuran sebagai pengganti semak. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa NPE lahan bambu/kebun campuran sebagai ladang sebesar Rp 4 966 728/ha, sedangkan NPE lahan bambu/kebun campuran sebagai semak sebesar Rp 996 129/ha. Konversi kebun campuran menjadi ladang mungkin dilakukan namun konversi kebun campuran menjadi semak sangat kecil kemungkinannya, sehingga NPE sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira didekati dengan NPE pada lahan bambu sebagai ladang. Apabila luasan areal tegakan bambu di Kecamatan Sajira sebesar 140 ha, maka NPE lahan bambu sebesar Rp 695 341 881.

Nilai kesediaan masyarakat untuk membayar pelestarian terhadap jenis bambu surat (G. pseudoarundinacae) yaitu sebesar Rp 82 014 259. Variasi nilai WTP pilihan tersebut dipengaruhi oleh asal daerah, pekerjaan sebagai wiraswasta, pekerjaan sebagai peternak, pekerjaan sebagai PNS, tingkat pendapatan, dan pengetahuan terhadap manfaat sumberdaya bambu.

Dengan demikian, maka nilai ekonomi total sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak sebesar Rp 40 604 871 840. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya bambu memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat disekitarnya. Besarnya NET yang ada tersebut merupakan sebuah pendekatan untuk mengetahui potensi sumberdaya bambu yang terdapat di Kecamatan Sajira. NET yang telah didapatkan merupakan nilai yang ada saat penelitian dilakukan. Nilai tersebut belum termasuk nilai keberadaan sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira.

(7)

MOHAMAD IQBAL. Total Economic Value of Bamboo Resources Case Study in Sajira subregency, Lebak Regency, Banten. Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI and BAHRUNI.

The abundant availability of bamboos in Indonesia has prompted their possible uses as substitute for conventional raw materials (i.e. woods) which nowadays tend to be dwindling. Nowadays a variety of benefits generated bamboo is still considered low than necessary, causing the uncontrolled exploitation of bamboo are being offset by cultivation measures. Bamboo preservation efforts have not been entrenched so that the plant is still regarded as less useful. In addition, research and cultivation technology development trial, harvesting, preservation, and marketing of bamboo is rarely become another problem in the utilization of bamboo. Information about the species, benefits, and processing technology of bamboo is limited. In addition, many people who do not know the concept of value of bamboo in a comprehensive range of benefits, particularly intangible benefits that do not have a market price that needs to be assessed against all the resulting benefits of bamboo resources.

Benefits of bamboo resources themselves do not all have the market price, so it is necessary to use these approaches to quantify the economic value of bamboo resources in monetary terms. As an example of the benefits of bamboo in absorbing carbon and other environmental and ecological benefits. Because of its non-market causes many benefits of bamboo resources have not been satisfactorily assessed in economic calculations.

This research aims of this study was to calculate the total economic value of bamboo resources in Sajira subregency as one of the main centers of bamboo in Lebak regency. The values of bamboo resources is estimated direct use value (stumpage of value), indirect use value in the form of carbon stock value and erosion prevention value, and the option value of surat (Gigantochloa pseudoarundinacae

This research was conducted in Sajira subregency, Lebak regency, Banten. The study starts from January to August 2013. Research conducted on farmers and communities that have a garden of bamboo or bamboo producing as respondents. Research methods used include the derivative residual value approach (stumpage of value), market price (carbon stock value), replacement cost approach (erosion prevention value), and Contingent Valuation Method (CVM) and Tobit Regression (option value). The process of data collection is done through the study of literature, observation, interviews and discussions, and soil sampling on each type of land cover. Data processing and analysis using Excel and SAS software programs.

).

(8)

of bamboo as carbon stocks and as erosion prevention. Carbon stock value (CSV) is the amount of bamboo carbon stocks stored in bamboo resources. CSV is obtained from the multiplication of bamboo carbon stock at a price of carbon (US$/t C) is assumed when the study was 9.12/t C, equivalent to IDR 100 320/ton. CSV bamboo resources in Sajira subregency is IDR 224 840 000. When converted to acres the CSV generated hectare of IDR 1 605 190/ha. This value is lower than the research conducted by Pande et al. (2012), which was IDR 5 804 500-9 120 000/ha.

Erosion prevention value (EPV) is influenced by the rate of soil erosion by bamboo land as a substitute for fields and shrubs. The calculations show that the EPV of bamboo land as a field of IDR 4 966 728/ha, while the EPV of bamboo land as shrubs of IDR 996 129/ha. Conversion of bamboo land into fields may be done but the conversion into shrub is very unlikely, so the EPV of bamboo resources in the Sajira subregency approached with EPV of bamboo land as fields. If the areal extent of bamboo stands in Sajira subregency of 140 ha, the EPV of bamboo land is IDR 695 341 881.

The value of people's willingness to pay (WTP) for preservation of species of surat (G. pseudoarundinacae

Total economic value (TEV) of bamboo resources in the Sajira subregency, Lebak regency is IDR 40 604 871 840. This indicates that the bamboo resources have an important role for the life of the surrounding community. TEV is an approach to determine the potential of bamboo resources in Sajira subregency. TEV is value that is obtained a current value of research conducted. This value does not include the exist value of bamboo resources in Sajira subregency, Lebak regency, Banten.

) is IDR 82 014 259. Variations of option WTP values are influenced by the place of origin, occupation as entrepreneur, farmer, civil servant, income, and knowledge of the benefits bamboo resources.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.

(10)
(11)

MOHAMAD IQBAL

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

NRP : H351100061

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S

Ketua Anggota Dr. Ir. Bahruni, M.S

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rakhmat-Nya penyusunan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul: “Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten”.

Belum membudayanya usaha pelestarian bambu disebabkan karena bambu masih dianggap sebagai tanaman yang kurang berguna. Keterbatasan informasi tentang jenis bambu, manfaat bambu, dan teknologi pengelolaannya serta banyaknya pihak yang belum memahami konsep nilai dari berbagai manfaat bambu secara komprehensif, khususnya manfaat intangible yang tidak memiliki harga pasar, maka perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan sumberdaya bambu.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S (Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr. Ir. Bahruni, M.S (Anggota Komisi Pembimbing), yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penyusunan karya ilmiah ini. Kepada Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc (Ketua PS-ESL, SPs IPB) penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan dorongan motivasi dalam rangka penyelesaian studi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada para staf PS-ESL, Sps IPB atas dukungan dan bantuannya.

Ucapan terima kasih yang setulusnya penulis sampaikan kepada istri tercinta (Meutia Esti Handini, S.Hut) dan anak tersayang (Fida Ismail Hamzi) serta kepada seluruh keluarga atas segala budi baik dan do’anya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah yang disusun masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan masukan, kritik, dan saran dari pembaca untuk memperlancar dan memperoleh hasil penelitian selanjutnya yang lebih baik. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangsih yang nyata bagi dunia pendidikan dan penelitian.

Bogor, Maret 2014

(16)

x

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Bambu 6

2.2 Manfaat Tanaman Bambu 6

2.3 Produk Olahan Bambu 7

2.4 Nilai Ekonomi Hasil Hutan 8

2.5 Penelitian Terdahulu yang Relevan 10

3 KERANGKA PEMIKIRAN 13

4 METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 15

4.2 Jenis dan Sumber Data 15

4.3 Metode Pengambilan Data 16

4.4 Metode Pengambilan Sampel 17

4.5 Identifikasi Data yang diperlukan dan Metode Analisis yang digunakan 18

4.6 Metode Analisis Data 18

5.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah 25

5.1.2 Topografi, Iklim, dan Tataguna Lahan 26

5.1.3 Lahan Kritis 26

5.1.4 Jenis Tanah 26

5.1.5 Kependudukan 26

5.1.6 Mata Pencaharian 26

5.2 Karakteristik Responden 27

5.2.1 Jenis Kelamin Responden 27

5.2.2 Tingkat Usia 28

5.2.3 Tingkat Pendidikan 28

5.2.4 Jenis Pekerjaan 29

5.2.5 Tingkat Pendapatan 30

(17)

xi

5.5.2 Nilai Pencegahan Erosi (NPE) 40

5.6 Nilai Pilihan 46

5.7 Nilai Ekonomi Total 50

5.8 Implementasi Nilai Ekonomi 51

6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan 53

6.2 Saran 54

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 61

DAFTAR TABEL

1.1 Nilai Perdagangan Ekspor Bambu Indonesia Tahun 2007-2010 2

2.1 Matriks Hasil Penelitian Terdahulu 12

4.1 Identifikasi Data yang diperlukan dan Metode Analisis yang

digunakan 18

4.2 Matriks Variabel Regresi 23

5.1 Luas dan Jarak Desa ke Ibukota Kecamatan dan Kabupaten

Terdekat di Kecamatan Sajira Tahun 2011 25 5.2 Distribusi Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Sajira 27 5.3 Persentase Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Kecamatan

Sajira 29

5.4 Tingkat Rata-rata Pendapatan Pekerjaan Utama dan Pekerjaan

Sampingan Responden di Kecamatan Sajira 30 5.5 Rata-rata Kepemilikan Lahan Bambu di Kecamatan Sajira 31 5.6 Rekapitulasi Produksi Bambu Berdasarkan Jenis di Kecamatan

Sajira 32

5.7 Nilai Tegakan Bambu dalam Bentuk Bambu Bulat (gelondongan)

di Kecamatan Sajira 35

5.8 Produk Akhir, Harga Bambu Olahan, dan Frekuensi Pengambilan

Bambu di Kecamatan Sajira 36

5.9 Nilai Tegakan Bambu dalam Bentuk Anyaman di Kecamatan Sajira 37 5.10 Nilai Ekonomi Stok Karbon Lahan Bambu di Kecamatan Sajira 39 5.11 Nilai Faktor Erosivitas (R) Rata-rata Curah Hujan Tahunan

Kabupaten Lebak 41

5.12 Jenis Tanah dan Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) Kecamatan

Sajira 41

5.13 Nilai Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Kecamatan

Sajira 42

5.14 Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Konservasi Tanah (CP)

Pada Tipe Penutupan Lahan Kecamatan Sajira 42 5.15 Laju Erosi Rata-rata Tiap Tipe Penutupan Lahan di Kecamatan

(18)

xii

Disamakan di Kecamatan Sajira 44

5.17 Kandungan Unsur Hara yang Hilang Tiap Tipe Penutupan

Lahan di Kecamatan Sajira pada Kondisi yang Disamakan 45 5.18 Nilai Pencegahan Erosi (NPE) Sumberdaya Bambu di

Kecamatan Sajira 46

5.19 Analisis Regresi Tobit Nilai Pilihan Bambu Surat Kecamatan

Sajira 48

5.20 Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu di Kecamatan Sajira 50

DAFTAR GAMBAR

2.1 Komponen Nilai Ekonomi Total 10

3.1 Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian 14 4.1 Peta Lokasi Penelitian di Kecamatan Sajira 15 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 27 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia 28 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 29

5.4 Rumpun Bambu Mayan 33

5.5 Rumpun Bambu Apus/tali 33

5.6 Bambu Hitam Gelondongan 34

5.7 Rumpun Bambu Ampel 34

5.8 Hasil Kerajinan Bambu (a) Tampah; (b) Sumpit 37 5.9 Diagram Nilai Sumberdaya Bambu Kecamatan Sajira 52

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Karakteristik Responden Beserta Luas Lahan Milik 62

2. Produksi Bambu Non Olahan Responden 67

3. Produksi Bambu Olahan Responden 71

4. Data Curah Hujan Bulanan Tahun 1999-2011 79 5. Peta Topografi Wilayah Kecamatan Sajira 80

6. Hasil Analisis Contoh Tanah 81

(19)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara pemilik hutan terbesar ketiga setelah Brazil dan Zaire yang memiliki luas kawasan hutan sebesar 130 786 014.98 ha (SK Menteri Kehutanan Tahun 2011). Akan tetapi, saat ini kawasan hutan Indonesia mengalami kerusakan yang serius akibat tekanan penduduk, bencana alam maupun konflik kepentingan yang tidak lagi mempertimbangkan kelestarian. Kondisi tersebut memiliki dampak besar terhadap ketersediaan kayu di Indonesia, sehingga perlu dilakukan upaya pengelolaan hutan salah satunya adalah dengan meningkatkan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan HHBK berpeluang untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan kayu.

Menurut Permenhut No. 35 Tahun 2007, HHBK merupakan hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani dan turunannya yang berasal dari hutan kecuali kayu. Umumnya, produk HHBK yang menjadi komoditas penting perdagangan di Indonesia antara lain rotan, terpentin, gondorukem atau getah damar, jelutung, tengkawang, sutera alam, kemiri, sarang burung walet, gaharu dan berbagai jenis tanaman obat dan rempah, serta berbagai jenis komoditas perdagangan, baik di dalam negeri maupun ekspor. Namun, dari komoditas tersebut pemerintah menetapkan lima komoditas HHBK unggulan nasional yang diprioritaskan pengembangannya, yaitu lebah madu, sutera alam, gaharu, rotan, dan bambu (Lampiran Permenhut No. P.21/Menhut-II/2009).

Diantara lima komoditas HHBK unggulan tersebut, bambu menjadi salah satu komoditas yang sangat penting untuk dikembangkan dan berpotensi untuk berbagai penggunaan dan sumber penghasilan masyarakat. Bambu tidak hanya dibutuhkan untuk benda kerajinan, tetapi juga digunakan untuk kebutuhan rumah tangga seperti bahan makanan (rebung atau tunas bambu), bahan industri, sampai kepada bahan konstruksi. Penggunaan bambu diharapkan dapat mengurangi tingkat penggunaan kayu, sehingga kegiatan penebangan hutan dapat diminimalisir.

Menurut Astana (2001), bambu dapat ditanam pada lahan-lahan marginal, sehingga berkembangnya pengusahaan bambu dapat berperan mendorong upaya konservasi tanah dan air. Selain itu, berkembangnya pengusahaan bambu dapat memperkokoh stabilitas nilai ekspor non-migas, hal ini terlihat dari peranannya dalam menurunkan impor bahan baku industri yang disubstitusi seperti pulp-kertas dan dalam menyumbang langsung nilai ekspor dari ekspor produk-produk bambu itu sendiri. Sebagai komoditi ekspor, menurut database INBAR (International Network for Bamboo and Rattan), perdagangan bambu internasional dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2007-2010) masih dikuasai oleh Cina dengan nilai ekspor sebesar US$ 1 140 000 000-1 022 000 000. Sedangkan dalam kurun waktu yang sama, Indonesia berada di peringkat kedua dengan nilai ekspor sebesar US$ 411 000 000-485 000 000. Nilai ekspor bambu Indonesia pada tahun 2007-2010 secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1.1.

(20)

Tabel 1.1 Nilai perdagangan ekspor bambu Indonesia tahun 2007-2010

Tahun Nilai (US$ juta)

2007 411

2008 354

2009 269

2010 485

Sumber:

Data pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa nilai ekspor bambu di Indonesia sempat mengalami penurunan pada tahun 2008 dan 2009. Hal ini disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi di Amerika dan Eropa sebagai pangsa pasar ekspor bambu terbesar di Indonesia. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara yang memperoleh devisa melalui ekspor bambu, dan sekitar kurang lebih 60 000 orang tenaga kerja Indonesia penghidupannya bergantung pada bambu (Suhardi, 1990).

Berdasarkan data Global Forest Resources Assessment Update 2005 Indonesia Country Report On Bamboo Resources, luas tanaman bambu di Provinsi Banten sebesar 64 683 ha atau sekitar 4,6% dari luas tanaman bambu Indonesia (1 414 375 ha). Walaupun bukan merupakan salah satu sentra areal bambu terbesar di Indonesia, namun bambu sudah menjadi budaya yang mengakar di Provinsi Banten. Kabupaten Lebak merupakan daerah yang memiliki prospek pasar yang baik bagi pengembangan usaha bambu di Provinsi Banten, dengan luas tanaman sebesar 2 008 ha atau setara dengan 199 670 rumpun/10 744 900 batang, sedangkan produksinya sebesar 2 314 404 batang/tahun (Dishutbun Kab. Lebak, 2012). Namun demikian, belum ada penilaian menyeluruh mencakup nilai tangible (berwujud) dan nilai intangible (tidak berwujud) dari sumberdaya bambu di Provinsi Banten, khususnya Kabupaten Lebak.

Berdasarkan hal di atas, perlu dilakukan penelitian yang komprehensif terhadap pengembangan usaha bambu di desa-desa penghasil bambu yang terdapat di kecamatan yang menjadi salah satu sentra utama areal bambu Kabupaten Lebak yakni Kecamatan Sajira. Penelitian ini dilakukan dengan mencari data kuantitatif mengenai nilai ekonomi total (total economic value) bambu yang dimanfaatkan masyarakat pedesaan yang nantinya dapat memberikan gambaran mengenai kontribusi manfaat bambu bagi perekonomian masyarakat desa.

1.2 Perumusan Masalah

(21)

Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak, luas areal lahan bambu di Kabupaten lebak pada periode tahun 2008-2012 sekitar 2 046-2 008 ha. Sedangkan produksi bambu pada periode tahun 2011-2012 sekitar 2 183 400-2 314 404 batang/tahun (Dishutbun Kab. Lebak, 2012). Data tersebut menunjukkan bahwa luas areal bambu mengalami penurunan yang diakibatkan oleh perubahan fungsi (misalnya: perumahan dan industri) atau dikonversikan menjadi tanaman lain. Disisi lain, produksi bambu yang semakin meningkat tiap tahunnya, sedangkan populasi bambu semakin terbatas dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian bambu di Kabupaten Lebak.

Belum membudayanya usaha pelestarian bambu disebabkan karena bambu masih dianggap sebagai tanaman yang kurang berguna. Disamping itu, kurangnya penelitian dan uji coba pengembangan teknologi budidaya, pemanenan, pengawetan, dan pemasaran bambu menjadi permasalahan lain dalam pemanfaatan bambu. Keterbatasan informasi tentang jenis bambu, manfaat bambu, dan teknologi pengelolaannya serta banyaknya pihak yang belum memahami konsep nilai dari berbagai manfaat bambu secara komprehensif, khususnya manfaat intangible yang tidak memiliki harga pasar, maka perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan sumberdaya bambu.

Pengetahuan mengenai manfaat sumberdaya bambu dapat menjadi rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk mengalokasikan sumberdaya bambu yang semakin langka dan melakukan distribusi manfaat bambu yang adil. Terlebih dengan meningkatnya pertambahan penduduk saat ini yang menyebabkan timbulnya tekanan yang cukup serius terhadap sumberdaya bambu, menyebabkan perlunya penyempurnaan pengelolaan bambu melalui penilaian akurat terhadap nilai ekonomi sumberdaya bambu yang sesungguhnya.

Manfaat sumberdaya bambu sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar, sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi sumberdaya bambu dalam satuan moneter. Sebagai contoh manfaat bambu dalam menyerap karbon dan manfaat ekologis serta lingkungan lainnya. Karena sifatnya yang non market tersebut menyebabkan banyak manfaat sumberdaya bambu belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi.

(22)

Berdasarkan hal tersebut, maka perumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Berapa besar nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak?

2. Berapa besar nilai guna tidak langsung (indirect use value) sumberdaya bambu untuk nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak?

3. Berapa besar nilai pilihan (option value) sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak?

4. Berapa besar nilai ekonomi total (total economic value) sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah menghitung nilai ekonomi total (total economic value) dari sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menghitung nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak.

2. Menghitung nilai guna tidak langsung (indirect use value) sumberdaya bambu untuk nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak.

3. Menghitung nilai pilihan (option value) sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Sebagai referensi dan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dan Pemerintah Provinsi Banten dalam pengambilan keputusan untuk menyusun kebijakan dalam pengembangan komoditas bambu.

2. Sebagai data dan informasi bagi pemerintah pusat khususnya Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah.

3. Sebagai bahan kajian dan studi pustaka bagi pihak-pihak yang berminat dalam bidang ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan.

4. Sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan peneliti dalam melakukan analisis masalah, khususnya dalam bidang ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan serta menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.

(23)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini antara lain:

1. Lokasi penelitian hanya dilakukan di lahan milik masyarakat baik dalam bentuk kebun campuran maupun hutan bambu di beberapa desa yang terdapat di Kecamatan Sajira sebagai salah satu sentra utama areal bambu Kabupaten Lebak (Dishutbun Kab. Lebak, 2008).

2. Nilai guna langsung (direct use value) yang diestimasi dalam penelitian ini adalah nilai tegakan sumberdaya bambu.

3. Nilai guna tidak langsung (indirect use value) yang diestimasi dalam penelitian ini adalah nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi.

4. Nilai pilihan (option value) yang diestimasi dalam penelitian ini adalah kesediaan membayar masyarakat sebagai perwujudan keinginan terhadap kelestarian sumberdaya bambu lesser known species di Kecamatan Sajira pada masa yang akan datang.

(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Bambu

Bambu merupakan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang telah dikenal bahkan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat umum karena pertumbuhannya ada di sekeliling kehidupan masyarakat. Bambu termasuk tanaman Bamboidae anggota sub familia rumput, memiliki keanekaragam jenis bambu di dunia sekitar 1 250-1 500 jenis. Sekitar 1 250 jenis bambu di dunia, 140 jenis bambu atau 11% nya adalah asli Indonesia (Handayani, 2009). Adapun jenis bambu yang biasa digunakan di Indonesia adalah bambu tali, bambu petung, bambu andong, dan bambu hitam (Krisdianto et al., 2000). Dari keempat jenis ini, bambu hitam dipakai sebagai unsur dekorasi, sedangkan bambu tali dipakai sebagai bahan anyaman dinding dan langit-langit, reng, dan lis.

Bambu memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi bahan bakar alternatif atau biofuel yang ramah lingkungan. Pohon bambu juga berfungsi sebagai penjernih air. Oleh karena itu, daerah bantaran sungai yang banyak pohon bambu, air sungai tersebut terlihat jernih. Bambu yang dimanfaatkan umumnya yang sudah masak tebang, kurang lebih berumur empat tahun dan pemanenannya dengan sistem tebang pilih. Setelah ditebang biasanya direndam dalam air mengalir, air tergenang, lumpur, air laut atau diasapkan. Kadang-kadang diawetkan juga dengan bahan kimia. Kegiatan selanjutnya adalah pengeringan (Batubara, 2002).

Tanaman bambu juga berpotensi menjadi solusi alternatif bagi sejumlah permasalahan lingkungan terutama dalam mengatasi pemanasan global. Menurut Widjaja (2004), cepatnya pertumbuhan bambu dibanding dengan pohon kayu, membuat bambu dapat diunggulkan untuk deforestasi. Selain itu, bambu juga merupakan penghasil oksigen paling besar dibanding pohon lainnya. Bambu juga memiliki daya serap karbon yang cukup tinggi untuk mengatasi persoalan CO2 di

udara, selain juga merupakan tanaman yang cukup baik untuk memperbaiki lahan kritis. Selain itu, Indonesia memiliki bambu sebagai sumberdaya lokal terbarukan dengan potensi yang luar biasa dari aspek lingkungan alam dan sosial ekonomi.

2.2 Manfaat Tanaman Bambu

(25)

1. Manfaat sosial, ekonomi, dan budaya

Tanaman bambu baik dalam skala kecil maupun besar mempunyai nilai ekonomi yang meyakinkan. Budaya masyarakat menggunakan bambu dalam berbagai aktivitas kehidupan sehingga bambu dapat dikategorikan sebagai Multipurpose Tree Species (MPTS = jenis pohon yang serbaguna). Menurut Bapedal (2010), pemanfaatan bambu secara tradisional masih terbatas sebagai bahan bangunan dan kebutuhan keluarga lainnya, misalnya bahan pembuatan rumah, jembatan, alat penangkapan ikan; bahan dasar kerajinan rakyat untuk pembuatan alat-alat rumah tangga seperti mebel, hiasan, dan alat-alat dapur; kebutuhan konsumen domestik dan mancanegara seperti alat bantu makan (sumpit dan pencukil gigi) dan sebagai bahan makanan seperti rebung, makanan ternak seperti pucuk muda, dan lain-lain.

Pada umumnya jenis-jenis bambu yang diperdagangkan adalah jenis bambu berdiameter besar dan berdinding tebal. Jenis-jenis tersebut diwakili oleh warga Bambusa (tiga jenis), Dendrocalamus (dua jenis), dan Gigantochloa (delapan jenis). Berdasarkan jenis-jenis tersebut dapat dibudidayakan secara massal untuk menunjang industri kertas, chopstick, flowerstick, plybamboo, particle board, dan papan semen serat bambu serta kemungkinan dikembangkan bangunan dari bahan bambu yang tahan gempa, dan lain-lain.

Kehidupan sosial budaya masyarakat bambu menjadi salah satu kelengkapan yang tidak bisa ditinggalkan, misalnya dalam upacara adat, upacara perkawinan, hajatan keluarga bahkan bahan baku bambu menjadi alat musik khas komunitas tertentu. Lebih dari itu, perkembangan sosial budaya masyarakat ditandai dengan perkembangan aksesori bambu dalam pembuatan perabot rumah tangga dan cinderamata yang bernilai seni tinggi. Di beberapa tempat spesies bambu tertentu menjadi bagian mitos dan kelengkapan ritual masyarakat yang bernilai magis.

2. Manfaat ekologi bambu

Tanaman bambu memiliki sistem perakaran serabut yang sangat kuat, sehingga memungkinkan tanaman ini menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat tanah dan air. Peranan ini memungkinkan bambu untuk dijadikan sebagai tanaman penghijauan pada lahan kritis yang selama ini masih didominasi oleh jenis tanaman kayu-kayuan.

Penghijauan dengan memanfaatkan bambu lokal, bukan hanya penting demi kelestarian sumber mata air, tetapi juga dapat berdampak positif terhadap peningkatan perekonomian masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang memanfaatkan batang bambu untuk dijadikan sebagai bahan kerajinan tangan (anyaman) yang memiliki nilai ekspor bernilai tinggi. Selain itu, bambu ternyata juga dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana rebung bambu digunakan sebagai pelengkap makan sehari-hari.

2.3 Produk Olahan Bambu

(26)

kebutuhan rumah tangga dengan teknologi sederhana, sedangkan di tingkat industri biasanya ditujukan untuk orientasi ekspor. Menurut Batubara (2002), bambu dapat menghasilkan beberapa produk olahan dari bambu antara lain bambu lapis, bambu lamina, papan semen, arang bambu, pulp, kerajinan tangan (pulpen, gantungan kunci, cup lampu, keranjang, tas, dan topi), sumpit, furniture (kursi, meja, lemari pakaian, dan tempat tidur), komponen bangunan rumah, dan alat musik tradisional (angklung).

2.4 Nilai Ekonomi Hasil Hutan

Nilai merupakan persepsi terhadap suatu objek (sumberdaya hutan) tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Sedangkan persepsi merupakan pandangan, ungkapan, perspektif seseorang (individu) tentang atau terhadap suatu benda dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan disini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut. Nilai sumber daya hutan sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi positif terhadap nilai sumber daya hutan tersebut. Hal ini akan berbeda dengan persepsi masyarakat yang tinggal jauh dari hutan dan tidak menerima manfaat secara langsung (Bahruni, 1999).

Manfaat sumberdaya hutan sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar, sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi sumberdaya hutan dalam satuan moneter, sebagai contoh manfaat hutan dalam menyerap karbon dan manfaat ekologisnya. Sifatnya yang non market tersebut menyebabkan banyak manfaat sumberdaya hutan belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Tetapi saat ini, kepedulian akan pentingnya manfaat lingkungan semakin meningkat dengan melihat kondisi sumberdaya alam yang semakin terdegradasi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan berbagai metode dan teknik penilaian manfaat sumberdaya hutan, baik untuk manfaat sumberdaya hutan yang memiliki harga pasar ataupun tidak dalam satuan moneter. Nilai sumberdaya hutan yang dinyatakan oleh suatu masyarakat di tempat tertentu akan beragam, tergantung persepsi setiap anggota masyarakat tersebut, demikian juga keragaman nilai akan terjadi antar masyarakat yang berbeda. Nilai yang dimiliki oleh sumberdaya hutan tidak saja nilai ekonomi, tetapi juga nilai ekologis dan nilai sosial (Suparmoko dan Ratnaningsih, 2006).

Menurut Fauzi (2010), penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan dalam menentukan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan karena konsep biaya dan manfaat tersebut sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Oleh karena itu, lahirlah konsep analisis valuasi ekonomi, khususnya valuasi non-pasar (non market valuation).

(27)

Terminologi “total” dalam total economic value bukan menunjukkan nilai keseluruhan dari SDAL, tetapi lebih menunjukkan penjumlahan dua komponen utama yaitu nilai guna dan nilai bukan guna (Fauzi, 2014).

Masih menurut Fauzi (2014), pengukuran nilai guna sering dilakukan melalui proksi dari komoditas atau jasa yang dipasarkan yang menjadi komplemen SDAL, dan penilaiannya didasarkan pada jumlah pembelian terhadap barang komplemen tersebut. Sebagai contoh, jika layanan dari sumber daya alam seperti hasil hutan yang dikonsumsi langsung maka proksi harga pasar dari komoditas tersebut juga dapat dijadikan instrumen pengukuran nilai ekonomi pemanfaatan langsung tersebut. Menurut Pearce dan Moran (1994), nilai guna (use value) merupakan nilai yang timbul dari penggunaan secara aktual terhadap sumber daya, seperti penggunaan kayu dari hutan, atau lahan basah untuk rekreasi atau memancing, dan sebagainya. Nilai guna (use value) itu sendiri terbagi atas nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use value), dan nilai pilihan (option value) (Pearce dan Warford, 1993). Nilai guna langsung (direct use value) secara konseptual cukup sederhana, tetapi tidak selalu mudah diukur dalam istilah ekonomi, misalnya output hasil hutan seperti kacang-kacangan, rotan, karet, dan lain sebagainya harus dapat diukur dari data survei dan pasar, tetapi nilai tumbuhan obat lebih sulit dalam pengukurannya (Pearce, 1992). Menurut Munasinghe (1993), nilai guna tidak langsung (indirect use value) ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa lingkungan dalam mendukung aliran produksi dan konsumsi, sedangkan nilai pilihan (option value) pada dasarnya bersifat bonus dimana konsumen mau membayar untuk aset yang tidak digunakan dengan alasan untuk menghindari resiko karena tidak memilikinya di masa mendatang. Dengan demikian nilai guna pilihan (option value) meliputi manfaat SDAL yang tidak dieksploitasi saat ini, tetapi disimpan untuk kepentingan yang akan datang. Menurut Pagiola et al. (2004), nilai pilihan (option value) berasal dari keinginan untuk melestarikan barang dan jasa ekosistem dimasa mendatang yang mungkin tidak digunakan pada saat ini, baik oleh diri sendiri (nilai pilihan) atau oleh orang lain/ahli waris (nilai warisan).

Nilai bukan guna (non-use value) adalah nilai-nilai ekonomi yang tidak diperdagangkan di pasar, sehingga sulit mengungkapkannya dari segi harga, misalnya banyak kualitas digambarkan sebagai nilai-nilai sosial budaya adalah nilai bukan guna juga. Nilai bukan guna (non-use value) dapat digolongkan sebagai nilai-nilai ekonomi karena seseorang akan bersedia untuk mengalokasikan (menghabiskan uang) untuk mendapatkan dan/atau melindungi sumber daya (Mason, 2002). Menurut Pearce et al. (2002), nilai keberadaan (existence value) adalah bagian dari nilai bukan guna (non-use value) yang timbul dalam konteks dimana seorang individu bersedia membayar untuk sebuah barang/sumber daya alam meskipun dia tidak menggunakannya secara langsung, bahkan mungkin tidak bermanfaat secara tidak langsung, dan mungkin tidak berencana menggunakannya di masa yang akan datang, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

(28)

Sumber : Pearce et al. (2002)

Gambar 2.1 Komponen nilai ekonomi total (total economic value)

2.5 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian terdahulu yang relevan mengenai pemanfaatan dan pengembangan komoditas bambu cukup banyak dilakukan, namun khusus mengenai valuasi ekonomi terhadap sumberdaya bambu belum pernah dilakukan. Penelitian ini merujuk dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya secara umum tentang pemanfaatan bambu dan penilaian ekonomi hasil hutan non kayu di beberapa daerah. Hal ini bertujuan untuk memberikan pedoman dalam melakukan penelitian mengenai: “Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten”.

Berikut adalah hasil penelitian terdahulu secara umum tentang pemanfaatan dan pengembangan komoditas bambu yang menjadi salah satu bahan rujukan dalam penelitian ini:

1. Analisis Sosial Ekonomi Pemanfaatan dan Potensi Tanaman Bambu (Studi Kasus: Kelurahan Berngam, Kec. Binjai Kota, Kotamadya Binjai, 2011). Adapun hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

• Potensi bambu yang terdapat di Kelurahan Berngam, Kecamatan Binjai Kota, Kotamadya Binjai sebesar 50.5 ha, dimana luas wilayah Kelurahan Berngam adalah seluas 179.5 ha. Jenis tanaman bambu yang terdapat di Kelurahan Berngam ada tujuh yaitu Bambu Hitam, Bambu Apus, Bambu

Nilai ekonomi total

Nilai guna Nilai bukan guna

Penggunaan aktual (langsung dan tidak langsung)

Nilai pilihan

Nilai keberadaan

Untuk diri sendiri/pribadi

Untuk orang lain (altruisme)

Nilai warisan (untuk generasi

(29)

Kuning, Bambu Betung, Bambu Rengen, Bambu Pagar, dan Bambu Tamiang.

• Peningkatan ekonomi petani bambu lebih besar diperoleh dari hasil pertanian atau perkebunan dibandingkan dengan hasil tanaman bambu. Hal ini dikarenakan nilai jual bambu yang rendah. Pendapatan petani bambu dari tanaman bambu adalah sebesar Rp 13 168 000,- sedangkan pendapatan dari hasil selain bambu yaitu Rp 21 288 000,-

• Distribusi pemasaran bambu di Kelurahan Berngam terdiri dari enam tingkat yaitu produsen (petani bambu), pengumpul I, pengumpul II, pengrajin, pedagang panglong, dan yang terakhir konsumen. Margin Keuntungan (Profit Margin) yang terbesar pada pengrajin bambu yakni sebesar Rp 122 400 000,- sedangkan Margin Keuntungan (Profit Margin) yang terkecil pada pengumpul I dan pengumpul II yaitu Rp 4 900 000,- 2. Potensi Ekonomi dan Pengusahaan Hutan Rakyat Bambu di Desa Pondok

Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, 2011. Adapun hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

• Sistem pengelolaan hutan rakyat bambu di Desa Pondok Buluh yaitu tidak melakukan persiapan lahan pada penanaman, penanaman dilakukan pada tahun 80-an dengan tunas dan jarak tanam 3x3 m, pembersihan dilakukan dari tumbuhan pengganggu tanaman bambu seperti rumput dan tumbuhan yang melilit pada batang bambu, pemanenan bambu pertama kali dilakukan pada saat umur bambu tiga tahun dan pemanenan selanjutnya dilakukan jika umur bambu 3-5 bulan.

• Potensi bambu yang terdapat di Desa Pondok Buluh sebesar 117 rumpun/ha, dimana terdapat 5 449 batang/ha, banyaknya tanaman non bambu yaitu 34 batang/ha dan untuk bambu permudaan ada 19 batang/ha. Jumlah batang tiap rumpun (KR) pada hutan rakyat bambu di Desa Pondok Buluh sebesar 46 batang/ha dengan produksi bambu 115 030 batang/tahun.

• Produk utama yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Pondok Buluh yaitu bambu belah. Saluran pemasaran produk Hutan rakyat bambu yang berupa bambu belah terdiri dari lima pola distribusi. Dimana lembaga pemasarannya terdiri dari petani, pengumpul 1 (petani sekaligus agen lokal), pengumpul II (agen yang datang dari luar desa), pengumpul III (pengusaha/panglong), dan konsumen akhir (masyarakat). Pola distribusi yang paling efisien adalah pola distribusi 5.

(30)

12

Judul penelitian Hasil penelitian Alat analisis Peneliti

Analisis Sosial Ekonomi Pemanfaatan dan Potensi Tanaman Bambu (Studi Kasus: Kelurahan Berngam, Kec. Binjai Kota, Kotamadya Binjai)

Peningkatan ekonomi petani bambu lebih besar diperoleh dari hasil pertanian atau perkebunan dibandingkan dengan hasil tanaman bambu. Hal ini dikarenakan nilai jual bambu yang rendah. Distribusi pemasaran bambu di Kelurahan Berngam terdiri dari enam tingkat yaitu produsen (petani bambu),

pengumpul I, pengumpul II, pengrajin, pedagang panglong, dan yang terakhir konsumen.

Analisis deskriptif, Bambu di Desa Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun

Sistem pengelolaan Hutan Rakyat Bambu di Desa Pondok Buluh yaitu tidak melakukan persiapan lahan pada penanaman. Produk utama yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Pondok Buluh yaitu bambu belah. Saluran pemasaran produk Hutan rakyat bambu yang berupa bambu belah terdiri dari lima pola distribusi. Dimana lembaga pemasarannya terdiri dari petani, pengumpul 1 (petani sekaligus agen lokal), pengumpul II (agen yang datang dari luar desa), pengumpul III

(pengusaha/panglong), dan konsumen akhir (masyarakat). Pola distribusi yang paling efisien adalah pola distribusi 5.

(31)

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kabupaten Lebak merupakan daerah yang memiliki prospek pasar yang baik bagi pengembangan usaha bambu di Provinsi Banten, dengan luas tanaman sebesar 2 008 ha atau setara dengan 199 670 rumpun/10 744 900 batang. Sedangkan produksinya sebesar 2 314 404 batang/tahun (Dishutbun Kab. Lebak, 2012). Bambu sudah sejak lama dikenal masyarakat Kabupaten Lebak sebagai tanaman yang bernilai ekonomis. Namun hingga kini pola pemanfaatan bambu yang ada di desa penelitian masih sangat minim, dimana masyarakat sekitar masih belum optimal dalam memanfaatkan bambu yang ada. Selain itu, masyarakat desa memanfaatkan bambu dengan mengambilnya di kawasan hutan. Hal ini perlu perhatian secara serius supaya tidak terjadi kepunahan pada tanaman bambu di desa penelitian. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya penyelamatan hutan khususnya untuk tanaman bambu yang diambil masyarakat di kawasan hutan dengan mengembangkan tanaman bambu di lahan sendiri serta memberikan informasi mengenai nilai manfaat bambu secara keseluruhan.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sajira sebagai salah satu sentra utama areal bambu di Kabupaten Lebak (Dishutbun Kab. Lebak, 2008). Nilai guna langsung yang dievaluasi dalam penelitian ini berupa nilai tegakan sumberdaya bambu, sedangkan nilai guna tidak langsung berupa nilai ekologi bambu sebagai stok karbon dan pencegah erosi. Selain itu, dilakukan juga evaluasi terhadap nilai pilihan berupa nilai pelestarian bambu lesser known species. Metode analisis yang digunakan dalam melakukan valuasi ekonomi sumberdaya bambu yaitu pendekatan nilai sisa turunan (nilai tegakan sumberdaya bambu), penilaian berdasarkan harga pasar (nilai stok karbon), pendekatan biaya pengganti (nilai pencegahan erosi), serta Contingent Valuation Method (CVM) dan persamaan regresi tobit (nilai pilihan).

(32)

Keterangan:

: Metode Analisis

Gambar 3.1 Diagram alir kerangka pikir penelitian Sumberdaya bambu di Kec.

Sajira, Kab. Lebak, Banten

Nilai guna langsung

Nilai ekonomi total sumberdaya bambu di Kec. Sajira, Kab. Lebak,

Banten Nilai tegakan

bambu

Perumusan Masalah :

1. Berapa besar nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya bambu di Kec. Sajira, Kab. Lebak?

2. Berapa besar nilai guna tidak langsung (indirect use value) sumberdaya bambu untuk nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi di Kec. Sajira, Kab. Lebak? 3. Berapa besar nilai pilihan (option value) sumberdaya bambu di Kec. Sajira, Kab.

Lebak?

4. Berapa besar nilai ekonomi total (total economic value) sumberdaya bambu di Kec. Sajira, Kab. Lebak?

Rekomendasi kepada Pemerintah Daerah dan Pusat di Kec. Sajira, Kab.

Lebak, Banten Pendekatan nilai

sisa turunan regresi tobit CVM dan

Penilaian harga pasar dan biaya pengganti

Nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi

Nilai pelestarian bambu lesser known

species Nilai guna tidak

langsung

(33)

4 METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan di 15 desa Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Penelitan dimulai dari Januari sampai dengan Agustus 2013. Peta lokasi penelitian terdapat pada Gambar 4.1. Berdasarkan data rekapitulasi potensi dan produksi bambu dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak tahun 2012, luasan areal tegakan bambu secara keseluruhan di Kecamatan Sajira sebesar 140 ha.

Gambar 4.1 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Sajira

4.2 Jenis dan Sumber Data

(34)

1. Data sosial ekonomi masyarakat, meliputi: umur, mata pencaharian, jumlah anggota keluarga, tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan masyarakat. 2. Data nilai ekonomi sumberdaya bambu, meliputi:

1) Nilai guna langsung (nilai sisa turunan)

a. Data umum kebun bambu: luas pemilikan lahan, status lahan, jenis tanaman bambu, jumlah rumpun bambu, dan jumlah batang per rumpun. b. Data pemungutan produksi hasil kebun bambu: usia panen, frekuensi

panen, jumlah/banyaknya produksi (dikonsumsi atau dijual).

c. Data kegiatan pemungutan produksi hasil kebun bambu dan biayanya: biaya pemanenan, biaya bahan, biaya penyusutan peralatan, biaya transportasi (biaya pengangkutan), dan biaya lainnya.

2) Nilai guna tidak langsung (nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi) a. Nilai stok karbon: pendugaan stok karbon (jumlah bambu per rumpun,

jumlah bambu per rumpun yang dipanen), dan harga karbon.

b. Nilai pencegahan erosi: pendugaan laju erosi kebun bambu dan lahan non bambu (sawah, ladang, dan semak), kandungan unsur hara tanah daerah penelitian pada kebun bambu dan harga pupuk.

Data sekunder diperoleh melalui penelusuran pustaka melalui buku, jurnal ilmiah, dokumen, internet, dan tulisan-tulisan yang relevan dengan topik penelitian ini. Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari:

1. Kondisi wilayah: letak dan luas, ketinggian, keadaan iklim, penggunaan lahan, keadaan topografi, jenis tanah, luas tanah, curah hujan, kelerengan lahan. 2. Keadaan penduduk: jumlah penduduk dan keluarga, luas desa, komposisi umur

penduduk, jenis kelamin, pendidikan, dan mata pencaharian.

3. Rekapitulasi potensi dan produksi bambu: luas lahan, jenis bambu, jumlah rumpun dan batang bambu, produksi bambu per tahun.

4.3. Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian sebagai berikut:

1. Studi literatur, dilakukan untuk mendapatkan data mengenai keadaan umum lokasi penelitian, iklim, keadaan tanah, curah hujan, jenis penutupan tanah, topografi, kelerengan lahan serta jumlah penduduk dan keluarga secara keseluruhan.

2. Melakukan observasi dan analisis pengelolaan bambu yang ada di lapangan. 3. Wawancara dan diskusi dilakukan secara terstruktur dan bebas. Secara

terstruktur dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan, sedangkan bebas dilakukan tanpa menggunakan kuesioner mengenai hal-hal terkait dengan penelitian.

4. Pengambilan sampel tanah pada penutupan lahan kebun bambu untuk memperoleh data mengenai kandungan unsur hara tanah sebagai data pendukung nilai guna tidak langsung (nilai pencegahan erosi).

(35)

4.4 Metode Pengambilan Sampel

Penentuan sampel responden menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria memiliki kebun bambu atau memproduksi bambu. Identifikasi responden dengan kriteria tersebut menggunakan snowball technique, pertama-tama dipilih satu atau dua orang petani yang memiliki kebun bambu sebagai responden, kemudian dari informasi responden tersebut dipilih responden lain yang juga memiliki kebun bambu dan informasi terkait penelitian ini. Hal ini dilakukan sampai jumlah responden setiap desa terpenuhi. Besarnya sampel responden dihitung menggunakan formula Slovin (Cochran, 1977), pada jumlah penduduk Kecamatan Sajira:

z2

n = = ……….(1) N

z2 + Ne2 1 + Ne

= proporsi populasi diasumsikan 0,5 e = presisi relatif (10%)

N = jumlah populasi

Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Lebak Tahun 2012, menunjukkan jumlah kepala keluarga (KK) di Kecamatan Sajira sebanyak 13 120 KK. Berdasarkan formula di atas maka sampel responden yang diambil sebanyak 99 KK dari 15 desa. Jumlah responden tiap desa ditentukan secara proporsional terhadap jumlah penduduk desa dengan rincian sebagai berikut.

2

(36)

sanggup dibayarkan (Willingness to Pay/WTP) responden untuk melindungi jenis bambu lesser known species tersebut.

Menurut Tresnadi (2000), keuntungan metode ini adalah tidak adanya petunjuk pemberian harga tawaran awal terhadap barang lingkungan yang diberikan dalam kuesioner, yang mungkin dapat menyatakan nilai barang lingkungan. Selain itu, metode ini dapat dipergunakan dalam survei surat, telepon dan wawancara.

4.5 Identifikasi Data yang diperlukan dan Metode Analisis yang digunakan

Tabel 4.1 menunjukkan identifikasi data yang diperlukan dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian “Nilai ekonomi total sumberdaya bambu studi kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten”.

Tabel 4.1 Identifikasi data yang diperlukan dan metode analisis yang digunakan

Penilaian Data Metode analisis Sumber data

- NT Produksi bambu, jumlah barang, biaya pengeluaran dan harga pasar produk akhir

Nilai sisa turunan Data primer dan data sekunder - NPE Laju erosi tanah,

kandungan unsur hara tanah erosi, dan harga pupuk

Biaya pengganti Data primer dan data sekunder - NSK Luas areal bambu, tinggi

bambu, jumlah rumpun & batang, dan harga karbon

Harga pasar Data primer dan data sekunder - NP Kelestarian sumberdaya

bambu lesser known species di masa yang akan datang

Metode kontingensi (CVM) dan analisis regresi tobit

Data primer

Keterangan: NET: Nilai ekonomi total, NT: Nilai tegakan, NPE: Nilai pencegahan erosi, NSK: Nilai stok karbon, NP: Nilai pilihan

4.6 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan nilai sisa turunan, pendekatan biaya pengganti, penilaian harga pasar, CVM, dan regresi tobit. Sedangkan proses pengolahan data menggunakan program SAS.

4.6.1 Nilai Tegakan Sumberdaya Bambu

Nilai tegakan bambu merupakan nilai potensial batang bambu yang dipanen dari rumpun bambu (sering disebut nilai tegakan bambu). Metode analisis sangat sering digunakan untuk menentukan nilai tegakan melalui pendekatan nilai sisa turunan atau investasi (Noor et al., 2007b).

(37)

untuk biaya pengolahan pasar (termasuk batas keuntungan dan resiko). Parameter-parameter ini mengharuskan untuk menghitung nilai termasuk harga jual, jumlah rumpun bambu yang potensial dipanen, harga perubahan, dan batas keuntungan.

Menurut Davis dan Johnson (1987), untuk memperkirakan nilai tegakan bambu (stumpage value) adalah:

NT = HP - (Bp + Bo + S) - BKR ...(2)

BKR = Batas keuntungan dan resiko usaha (Rp/tahun) dengan rumus sebagai berikut:

BKR = ...(3) Rk = Rasio keuntungan (%)

4.6.2 Nilai Pencegahan Erosi (NPE)

Menurut penelitian yang telah dilakukan Sutono et al. (2003), Rasyid (2005), Supriatna (2006), dan Irawan (2007), metode biaya pengganti (replacement cost method) dapat digunakan untuk menilai sumberdaya atau lahan sebagai pencegah erosi. Tahapan dalam menentukan NPE sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira adalah sebagai berikut.

1. ∆ erosi = Kemampuan lahan bambu menahan laju erosi (ton/ha/thn) = Laju erosi lahan non bambu - laju erosi areal bambu

2. Kandungan unsur hara yang hilang = ∆ erosi x kandungan unsur hara awal 3. Menghitung jumlah pupuk yang ekivalen dengan kandungan unsur hara yang

hilang

4. Nilai pencegahan erosi didekati dengan biaya pengganti yaitu harga pupuk yang dibutuhkan untuk mengembalikan kandungan unsur hara yang hilang 5. Nilai pencegahan erosi total (NPET) = NPE x luas areal bambu

Menurut Wischmeier dan Smith (1978), pendugaan laju erosi dapat dihitung dengan model USLE (Universal Soil Loss Equation sebagai berikut: A = R x K x L x S x C x P...(4) Keterangan:

A = Banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun);

R = Faktor curah hujan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30);

K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per unit indeks erosi untuk suatu tanah yang diperoleh dari petak homogen percobaan standar, dengan panjang 72.6 kaki (22 m) terletak pada lereng 9% tanpa tanaman;

(38)

S = Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik;

C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman;

P = Faktor tindakan konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi tanah seperti pengelolaan menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik.

4.6.3 Nilai Stok Karbon (NSK)

Penentuan nilai stok karbon menggunakan pendekatan harga karbon yang berlaku di pasar internasional, menggunakan formula sebagai berikut:

NSK = Skb x Hk ...(5) Keterangan:

NSK = Nilai stok karbon (Rp) Hk = Harga karbon (Rp/t C)

Skb = Stok karbon bambu (g C/batang)

Harga karbon diasumsikan sebesar US$ 9.12/t C (Asmani et al., 2010) atau apabila nilai US$ 1 setara dengan Rp 11 000, maka harga karbon sekitar Rp 100 320/ton.

Menurut Suprihatno et al. (2012), pendugaan stok karbon bambu (Skb) didapat dari model alometrik berbentuk polinomial pada persamaan sebagai berikut: 0.87% yang artinya dengan peningkatan tinggi tanaman maka akan semakin meningkatkan stok karbon bambu (Skb). Persamaan ini menghasilkan besaran Skb yang kemudian dikalikan dengan jumlah bambu keseluruhan (Skbt) dan jumlah bambu masak tebang (Skbmt). Besarnya stok karbon bambu sisa (Skbs) diperoleh dari selisih antara Skbt dengan Skbmt.

4.6.4 Contingent Valuation Method (CVM)

(39)

Menurut Hanley dan Spash (1993), tahapan-tahapan dalam penggunaan CVM, yaitu:

a. Membuat pasar hipotetik

Pasar hipotetik yang dibentuk adalah suatu pasar untuk mengetahui nilai pilihan sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, dengan mengidentifikasi jenis bambu yang kurang dikenal (lesser known species) atau tidak memiliki harga pasar. Identifikasi dilakukan dengan mewawancarai responden mengenai keberadaan jenis bambu lesser known species. Apabila terdapat jenis bambu yang dimaksud, selanjutnya responden diminta mendengarkan atau membaca pernyataan tentang potensi dan kondisi sumberdaya bambu serta dampak yang ditimbulkan apabila bambu dieksplorasi besar-besaran tanpa disertai dengan tindakan budidaya. Kemudian, pasar hipotetik CVM yang ditawarkan dibentuk dalam sebuah skenario sebagai berikut:

b. Mendapatkan penawaran besarnya nilai WTP Nilai Pilihan

“Apabila ada jenis bambu yang anda miliki, yang saat ini belum memiliki harga pasar, namun anda berkeyakinan atau berharap bahwa suatu saat nanti bambu tersebut akan bernilai jual sehingga anda tetap memeliharanya sampai sekarang. Apabila ada jenis bambu tersebut, apa jenis bambu itu? dan berapakah jumlah yang bersedia anda bayarkan untuk melestarikan jenis bambu tersebut?”

Berdasarkan pernyataan tersebut akan diperoleh ukuran perilaku konsumen dalam situasi hipotesis bukan dalam situasi riil. Pasar hipotesis yang dibentuk dalam penelitian ini menggambarkan potensi dan kondisi pemanfaatan jenis bambu lesser known species di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak.

Responden diberikan nilai tawaran kesediaan membayar dan meminta responden untuk memilih nilai tertinggi yang bersedia dibayarkan untuk melindungi jenis bambu lesser known species secara optimal. Besarnya nilai WTP yang diajukan kepada responden dalam penelitian ini ditetapkan acuan nilai/harga dari jenis bambu lain.

c. Penentuan nilai pilihan

Nilai pilihan ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut: TWTP = EWTP x Kb...(7) Keterangan:

TWTP : Total WTP

EWTP : Dugaan rataan WTP

Kb : Kepadatan bambu (batang/ha) d. Mengevaluasi penggunaan CVM

(40)

4.6.5 Regresi Tobit

Regresi tersensor atau model Tobit merupakan analisis regresi yang digunakan untuk variabel tak bebas yang akibat sifat terbatasnya menjadi bernilai nol untuk beberapa pengamatan dan bernilai positif untuk selainnya. Menurut Greene (1997), variabel respon yang bersifat mixture (campuran) memiliki struktur data dengan skala diskrit untuk yang bernilai nol dan berskala kontinyu untuk tidak bernilai nol, maka dikategorikan data tersensor. Disebut data tersensor jika pada variabel respon terdapat nilai yang dibatasi (Suhardi dan Llewelyn, 2001).

Pendugaan parameter regresi tobit menggunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) yang memaksimalkan nilai dari likelihood function dengan mencari parameter-parameter regresi yang memberikan nilai tertinggi untuk likelihood function tersebut. Menurut Hosmer dan Lemeshow (2000), dengan metode ini diperoleh penduga yang konsisten dan efisien untuk sampel yang berukuran besar.

Penelitian ini terdiri dari delapan variabel independen dan satu variabel dependen dalam bentuk model matematis sebagai berikut:

WTP = β0 + β1U + β2AD + β3JP + β4TP + β5P + β6AK + β7JK + β8PB + ei

…..(8) Keterangan :

WTP : Nilai WTP responden (Rp/orang)

β0 : Intersep

β1,.., βn : Koefisien regresi

U : Usia responden (tahun)

AD : Asal daerah/lokasi responden (dummy) JP : Jenis pekerjaan responden (dummy) TP : Tingkat pendidikan responden P : Pendapatan responden (Rp/bulan) AK : Anggota keluarga responden JK : Jenis kelamin responden (dummy)

PB : Pengetahuan manfaat sumberdaya bambu (dummy) e : Error

i : Responden ke-i (i = 1, 2, 3,..., n)

(41)

Tabel 4.2 Matriks variabel regresi

Variabel Keterangan Kriteria penyusunan

WTP

Nilai yang didapat dari kesediaan membayar (Willingness to usia dalam karir pekerjaan

Skala Nominal

AD

Asal daerah/lokasi responden yang diklasifikasikan berdasarkan penduduk asli atau pendatang dari luar daerah (dummy)

a. Asli = 1, b. Pendatang = 0

TP

Tingkat pendidikan responden yang diklasifikasikan berdasarkan lamanya jenjang pendidikan

a.SD = 1 b.SMP = 2 c.SMA = 3 d.S1/Diploma = 4

JP Jenis pekerjaan utama responden sehari-hari (dummy)

a.Petani = 1, Lainnya = 0 b.Wiraswasta = 1, Lainnya

= 0 pendapatan rata-rata per bulan

a. (< 1 juta) = 1 b. (1.1-3 juta) = 2 c. (> 3 juta) = 3

AK

Jumlah anggota keluarga responden yang diklasifikasikan berdasarkan banyaknya tanggungan dalam keluarga

Skala Nominal

JK Jenis kelamin responden (dummy) a. Laki-laki = 1 b. Perempuan = 0

PS

Pengetahuan masyarakat tentang manfaat sumberdaya bambu (dummy)

a.Ya = 1 b.Tidak = 0

(42)

4.6.6 Nilai Ekonomi Total Bambu

Nilai total dari sumberdaya bambu merupakan penjumlahan seluruh nilai ekonomi dari manfaat sumberdaya bambu yang telah diidentifikasi dan dikuantifikasi ke dalam nilai uang. Nilai manfaat total tersebut dirumuskan sebagai berikut:

NET = NGL + NGTL + NP ...(9) Keterangan

(43)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Keadaan Umum Daerah

5.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah

Menurut data Bappeda Kabupaten Lebak (2012), Kecamatan Sajira merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten yang memiliki luas wilayah sebesar 11 098 ha atau setara 110.98 km2

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Curugbitung,

. Secara administrasi Kecamatan Sajira meliputi 15 desa yaitu Desa Maraya, Desa Margaluyu, Desa Sukamarga, Desa Sindangsari, Desa Sajira Mekar, Desa Sajira, Desa Sukarame, Desa Calungbungur, Desa Sukajaya, Desa Paja, Desa Mekarsari, Desa Pajagan, Desa Parungsari, Desa Bungur Mekar, dan Desa Ciuyah.

Jarak tempuh rata-rata dari desa ke ibukota kecamatan 6.7 km dan dari desa ke ibukota kabupaten 22.8 km. Secara geografis Kecamatan Sajira terletak antara 105° 25’-106° 30’ BT dan 6° 18’-7° 00’ LS dengan ketinggian 165 m di atas permukaan laut. Adapun batas wilayah administratif Kecamatan Sajira sebagai berikut:

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Muncang, 3. Sebelah Timur dengan Cipanas,

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cimarga.

Luas desa beserta jarak ke ibukota kecamatan dan kabupaten di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.1 (Kantor Kecamatan Sajira, 2011). Tabel 5.1 Luas dan jarak desa ke ibukota kecamatan dan kabupaten terdekat di

Kecamatan Sajira tahun 2011

No. Desa Luas desa (ha) Jarak ke ibukota

(44)

5.1.2 Topografi, Iklim, dan Tataguna Lahan

Menurut data Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Lebak Tahun 2013, topografi wilayah Kecamatan Sajira berupa dataran rendah dengan topografi rata-rata 10% dan pegunungan dengan topografi rata-rata 90%. Keadaan iklim di Kecamatan Sajira memiliki tipe iklim D2 yaitu bulan basah tiga bulan berturut-turut dan bulan kering dua bulan berturut-turut dengan ketentuan agroklimat tipe D2 dapat digunakan untuk menanam padi satu kali dan palawija satu kali, tanam padi dua kali apabila persediaan air irigasi mencukupi dalam satu tahun. Curah hujan tahunan di Kecamatan Sajira rata-rata 2 275.5 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 164 hari.

Penggunaan lahan di Kecamatan Sajira dikelompokkan menjadi penggunaan untuk lahan bukan sawah, lahan sawah, dan lahan non pertanian. Alokasi penggunaan lahan secara berurutan dari yang terbesar adalah untuk lahan bukan sawah dengan luas 8.354 ha (74.02%), lahan sawah seluas 2 045 ha (18.12%), dan lahan non pertanian seluas 887 ha (7.86%).

5.1.3 Lahan Kritis

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak (Dishutbun Kab. Lebak) pada tahun 2011, keadaan lahan hutan di Kecamatan Sajira seluas 1 139.62 ha dengan tingkat kekritisan lahan sebesar 440.45 ha. Data tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan rehabilitasi lahan kritis di Kecamatan Sajira sebesar 179.11 ha (40.67%).

5.1.4 Jenis Tanah

Berdasarkan hasil pengukuran planimetris Dishutbun Kab. Lebak tahun 2011, Kecamatan Sajira memiliki jenis tanah yang terdiri tanah aluvial seluas 19 101 ha, latosol seluas 141 489 ha, dan podsolik merah kuning seluas 114 719 ha (Data BP4K Kab. Lebak, 2013). Banyaknya jenis tanah latosol di Kecamatan Sajira menunjukkan bahwa sumberdaya bambu dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah tersebut, hal ini sesuai dengan pernyataan Sutiyono et al. (1996), yang mengatakan bahwa jenis-jenis tanah yang ditumbuhi oleh pusat bambu adalah jenis tanah asosiasi latosol merah, latosol merah kecoklatan, dan laterit.

5.1.5 Kependudukan

Berdasarkan data kependudukan dari instansi terkait, diketahui bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Sajira pada tahun 2012 tercatat 47 739 jiwa (13 120 kepala keluarga) yang terdiri atas 24 470 laki-laki dan 23 269 perempuan. Kepadatan penduduk sebesar 430 jiwa/km2 dengan luas wilayah kecamatan 11 098 ha. Secara khusus, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Maraya dengan kepadatan 829 jiwa per km2 dan kepadatan penduduk terendah terdapat di Desa Sajira dengan kepadatan 174 jiwa/km2

5.1.6 Mata Pencaharian

.

(45)

jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi mata pencaharian penduduk Kecamatan Sajira

No. Jenis mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

1. PNS Sipil dan TNI/POLRI 571 1.93

2. Home industri 265 0.89

3. Pedagang 983 3.32

4. Petani 8 655 29.23

5. Buruh tani 13 930 47.05

6. Lainnya 5 203 17.57

Total 29 607 100

Sumber: BPS Kabupaten Lebak, 2011

5.2 Karakteristik Responden

Karakteristik responden di Kecamatan Sajira diperoleh berdasarkan survei terhadap 99 responden. Karakteristik umum responden ini dijelaskan dari beberapa kriteria seperti yang dijelaskan sebagai berikut.

5.2.1 Jenis Kelamin Responden

Responden dalam penelitian ini sebagian besar adalah laki-laki dengan jumlah 78 orang (78.79%) dan perempuan berjumlah 21 orang (21.21%). Banyaknya responden laki-laki disebabkan karena laki-laki sebagai kepala keluarga yang mengambil keputusan dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Perbandingan persentase jenis kelamin responden disajikan pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

78.79% 21.21%

Laki-laki

(46)

5.2.2 Tingkat Usia

Tingkat usia responden di Kecamatan Sajira cukup bervariasi dengan distribusi usia antara 22-79 tahun. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa usia responden yang paling dominan berada pada kisaran usia antara 28-35 tahun (32.32%). Sedangkan usia responden paling sedikit berada pada kisaran usia 76-83 tahun (2.02%). Menurut Tjiptoherijanto (2001), kelompok umur produktif berada pada kisaran usia 15-64 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar umur responden di Kecamatan Sajira masih termasuk kelompok umur produktif. Berikut adalah diagram persentase tingkat usia responden pada 15 desa di Kecamatan Sajira (Gambar 5.2).

Gambar 5.2 Karakteristik responden berdasarkan tingkat usia

5.2.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan tertinggi responden di Kecamatan Sajira adalah perguruan tinggi (Sarjana dan Diploma), namun pada umumnya tingkat pendidikan di kecamatan tersebut masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase lulusan tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) sebesar 83.84% dan hanya 4.04% yang mencapai tingkat pendidikan perguruan tinggi (Sarjana dan Diploma). Rendahnya tingkat pendidikan di Kecamatan Sajira disebabkan karena masih langkanya sarana pendidikan, pertimbangan biaya, dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Latar belakang pendidikan yang sangat minim tersebut, akan menyulitkan seseorang untuk meningkatkan potensi ekonominya sehingga pendapatan yang diperoleh hanya sedikit. Perbandingan persentase tingkat pendidikan terakhir responden dapat dilihat pada Gambar 5.3.

12.12%

32.32%

15.15% 18.19%

4.04% 13.13%

3.03% 2.02% 20-27

28-35

36-43

44-51

52-59

60-67

68-75

(47)

Gambar 5.3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

5.2.4 Jenis Pekerjaan

Pekerjaan utama. Secara umum jenis pekerjaan utama kepala keluarga responden dalam penelitian ini adalah dari sektor pertanian (Tabel 5.3). Bentuk kegiatan yang dilakukan antara lain mengolah kebun, mengolah sawah, buruh tani, dan pekerja pada perkebunan swasta. Sedangkan pada sektor non-pertanian, kepala keluarga bekerja sebagai pegawai negeri sipil (guru atau penyuluh kehutanan), pedagang/wiraswasta, supir, peternak, dan satpam.

Tabel 5.3 Persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Sajira

Jenis pekerjaan Utama Persentase

(%) Sampingan

Gambar

Tabel 2.1 Matriks hasil penelitian terdahulu
Gambar 3.1 Diagram alir kerangka pikir penelitian
Gambar 4.1 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Sajira
Tabel 4.1 menunjukkan identifikasi data yang diperlukan dan metode
+7

Referensi

Dokumen terkait

melakukan pengembangan dari penelitian sebelumnya dengan menguji pengaruh family control, ukuran perusahaan, profitabilitas dan rasio kas terhadap dividen dan leverage serta

Aspek-aspek aktivitas guru (peneliti) yang diamati selama kegiatan pembelajaran berlangsung menggunakan lembar observasi yaitu: (1) membuka pelajaran

Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui kajian pola strategi pengembangan yang digunakan UMKM batik Laweyan melalui media sosial dan

Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing Mustahik yang dapat memenuhi indikator pertama dalam tingkat keluarga sejahtera

Penelitian tahan III yaitu pengujian sampel yang dilakukan setelah mendapatkan perlakuan peredaman rebusan kayu secang selama 10 menit dan dibiarkan terbuka pada

Kebutuhan untuk memenuhi kriteria ini menjadikan arah teori akuntansi bergeser dari menghasilkan prinsip dan praktik akuntansi baru yang lebih baik menuju ke

Jl. Soedharto, SH, Tembalang Semarang Telp. rubellus), dan untuk mengetahui sumber bahan organik dalam media budidaya yang memberikan produksi biomassa dan nilai

Hal selanjutnya yang perlu dilakukan pada pemodelan kali ini adalah menghitung matriks ko- varians dari masing-masing fungsi tujuan ke- menggunakan persamaan 2.10, dengan