• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1.Kondisi Geografis dan Administrasi 4.1.Kondisi Geografis dan Administrasi 4.1.Kondisi Geografis dan Administrasi

4.6. Potensi Kelautan dan Perikanan

5.2.1. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Terumbu Karang Terumbu Karang

5.2.2.2. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi

Hasil analisis ordinasi Rap-Insus COREMAG terhadap 8 atribut yang berpengaruh terhadap dimensi ekonomi menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi adalah 57,48. Nilai tersebut berada pada selang 50,01- 75,00 skala keberlanjutan dengan status cukup berkelanjutan, ditunjukkan oleh Gambar 17.

Rap Insus COREMAG Ordination

57,48 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Economy Sustainability O th er D is ti n g is h in g F ea tu re s

Real Fisheries References Anchors

Analisis leverage terhadap 8 atribut dimensi ekonomi diperoleh empat atribut yang sensitif, yaitu kunjungan wisatawan, jumlah obyek wisata, penyerapan tenaga kerja pariwisata, dan ketersediaan modal nelayan. Perubahan terhadap ke-4 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi. Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar 18.

Leverage of Attributes 0,37 5,49 7,68 11,54 11,25 9,17 2,51 1,82 0 2 4 6 8 10 12 14

Ketergantungan pada sektor perikanan sebagai sumber nafkah

Usaha penangkapan Keterediaan modal nelayan Kunjungan wisatawan Jumlah obyek wisata Penyerapan tenaga kerja pariwisata Tingkat pendapatan masyarakat

nelayan

Pasar utama hasil perikanan

Attr

ib

ute

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 18. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100

Berdasarkan hasil analisis laverage diatas terlihat bahwa atribut kunjungan wisatawan mempunyai nilai RMS yang paling tinggi, yaitu 11,54. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa atribut “kunjungan wisatawan” berpengaruh paling besar terhadap sustainability pengelolaan ekosistem terumbu karang dari sisi ekonomi. Kunjungan wisatawan manacanegara ke Kabupaten Bintan pada tahun 2009 tercatat 296.229 orang, sedangkan kunjungan wisatawan nusantara sebanyak 100.294 orang (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, 2009). Hampir 70% wisman yang berkunjung ke Kabupaten Bintan melakukan kegiatan wisata bahari, seperti snorkeling, diving, memancing di terumbu karang dan lain sebagainya. Pemanfaatan ekosistem terumbu karang ini untuk wisata bahari hendaknya memperhitungkan daya dukung lingkungan, sehingga kelestarian terumbu karang dapat dipertahankan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian daya

dukung lingkungan untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan di lokasi penelitian. Sebagai perbandingan hasil penelitian Manafi et al. (2009) bahwa daya dukung wilayah perairan Gugus Pulau Kaledupa Wakatobi yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut, pariwisata pantai, dan pariwisata bahari seluas sekitar 70% dari luas perairan, sedangkan sisanya sekitar 30% luas perairan direkomendasikan sebagai daerah perlindungan laut (kawasan lindung perairan).

Berkaitan dengan kontribusi wilayah pesisir dan laut Kabupaten Bintan oleh pengguna terhadap PAD, sektor pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar. Berdasarkan nilai PDRB tahun 2008 atas dasar harga yang berlaku tahun 2000 menurut lapangan usaha, kontribusi sektor pariwisata yang diperoleh dari sektor-sektor perdagangan, hotel dan restoran saja telah mencapai Rp. 540,08 milyar atau sebesar 19,76% dengan laju pertumbuhan 6,67% (BPS Kabupaten Bintan, 2009). Selanjutnya LIPI dan PPSPL UMRAH (2010) melaporkan bahwa potensi nilai ekonomi ekowisata dari wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kabupaten Bintan pada tahun 2009 lebih dari Rp. 109,741 milyar.

Kegiatan wisata bahari yang dilakukan oleh wisman didukung oleh tersedianya fasilitas diving, seperti alat scuba yang dipandu oleh pemandu wisata yang telah berlisensi. Setiap resort penyelenggara wisata bahari telah melengkapi peralatan selam dengan pemandu wisata yang telah mempunyai lisensi diving. Disamping itu wisman yang berkunjung ke Bintan tidak hanya melakukan wisata bahari, tetapi juga berkunjung ke obyek wisata lainnya yang ada di Kabupaten Bintan.

Banyaknya kunjungan wisatawan ke Kabupaten Bintan tidak terlepas dari banyaknya obyek wisata yang menarik, baik wisata alam, wisata budaya dan minat khusus terutama terdapat di Bintan Timur. Secara keseluruhan terdapat 12 lokasi potensial sebagai obyek wisata baik yang sudah dikembangkan maupun yang sedang dikembangkan. Kunjungan wisman ke obyek wisata di wilayah pesisir Bintan akan dapat membuka peluang kerja dan usaha sektor informal bagi masyarakat pesisir, sehingga akan mengurangi waktu pemanfaatan terumbu karang untuk menangkap ikan. Namun sampai saat serapan tenaga kerja pariwisata masih tergolong rendah.

Ketersediaan modal bagi nelayan, baik armada penangkapan maupun alat tangkap merupakan suatu yang penting dalam keberlanjutan sosial ekonomi mereka dan untuk mengurangi kerusakan terumbu karang. Ketersediaan armada

penangkapan dan alat tangkap yang memadai, para nelayan dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih luas dan tidak terkonsentrasi di sekitar terumbu karang. Dengan demikian pendapatan nelayan bisa meningkat dan potensi kerusakan terumbu karang akibat penangkapan, baik oleh penempatan alat tangkap atau oleh labuh jangkar perahu atau kapal nelayan dapat diminimalkan. 5.2.2.3 Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Sosial

Hasil analisis ordinasi Rap-Insus COREMAG terhadap 9 atribut yang berpengaruh terhadap dimensi sosial budaya menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya adalah 52,03. Nilai tersebut berada pada selang 50,01- 75,00 skala keberlanjutan dengan status cukup berkelanjutan, ditunjukkan oleh Gambar 19.

Rap Insus COREMAG Ordination

52,03 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Social Sustainability O th e r D is ti n g is h in g F e a tu re s

Real Fisheries References Anchors

Gambar 19. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial budaya

Analisis leverage terhadap 9 atribut dimensi sosial budaya diperoleh empat atribut yang sensitif, yaitu nilai estetika, pertumbuhan jumlah nelayan, mata pencaharian alternatif non perikanan, dan potensi konflik pemanfaatan. Perubahan terhadap ke-4 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya. Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar 20.

Berdasarkan hasil analisis laverage terlihat bahwa atribut nilai estetika mempunyai nilai RMS yang paling tinggi, yaitu 7,79. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa atribut “nilai estetika” berpengaruh paling besar terhadap sustainability pengelolaan ekosistem terumbu karang dari sisi sosial budaya. Perubahan terhadap atribut nilai estetika ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya.

Leverage of Attributes 0,54 1,08 5,49 0,91 7,79 7,11 5,58 1,22 0,66 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tingkat pendidikan penduduk Pengetahuan lingkungan Potensi konflik pemanfaatan Pemberdayaan masyarakat Nilai estetika Pertumbuhan jumlah nelayan Mata percaharian non

perikanan Kekompakan nelayan (social networking) Jumlah RTP di masyarakat A ttr ib u te

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 20. Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial budaya yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100

Kabupaten Bintan, terutama pesisir Bintan Timur mempunyai obyek atau tempat yang bernilai estetika tinggi, seperti pantai pasir putih, ekosistem terumbu karang serta panorama laut lainnya. Dalam RTRW Kabupaten Bintan 2007 -2017 kawasan Pesisir Bintan Timur telah dialokasi sebagai daerah pengembangan pariwisata bahari. Disamping itu Kabupaten Bintan juga mempunyai tempat-tempat bernilai sejarah, seperti situs para sejarah “Bukit Kerang” di Desa Kawal. Obyek atau tempat-tempat ini telah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan sebagai obyek wisata. Bila masyarakat tempatan diberdayakan untuk ikut berpartsipasi dalam pengelolaan, maka akan menjadi mata pencaharian alternatif yang sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Mata pencaharian sebagai nelayan merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian besar masyarakat pesisir Kabupaten Bintan, khusus masyarakat pesisir Bintan Timur. Walaupun tingkat pertumbuhan jumlah nelayan secara keseluruhan di Kabupaten Bintan tergolong rendah (8,8%), namun lebih dari 30% masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Mata pencaharian sebagai nelayan merupakan mata pencaharian secara turun temurun diwariskan antar generasi, sehingga secara sosial sangat sulit untuk dikurangi. Kondisi ini diperburuk oleh tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, sehingga kemampuan mereka untuk mencari mata pencaharian selain sektor perikanan sangat terbatas. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat dengan berbagai program perlu diwujudkan.

Pemberdayaan masyarakat adalah proses pengembangan kesempatan, kemauan/ motivasi, dan kemampuan masyarakat untuk lebih mempunyai akses terhadap sumberdaya, sehingga meningkatkan kapasitasnya untuk menentukan masa depan sendiri dengan berpartisipasi dalamm mempengaruhi dan mewujudkan kualitas kehidupan diri dan komunitasnya. Tujuan jangka pendek pemberdayaan sebaiknya jelas (specific), terukur (measurable), sederhana (realistic), sehingga merupakan kondisi yang mendorong minat masyarakat untuk

mewujudkannya (achievable) dalam waktu tertentu. Adanya program

pemberdayaan masyarakat pesisir secara baik dan merata di setiap desa akan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Ketergantungan terhadap hasil penangkapan ikan di laut dapat dikurangi, sehingga tekanan terhadap ekosistem terumbu karang juga dapat dikurangi.

Mengingat pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Bintan melibatkan

berbagai stakeholders (pemerintah berbagai level, dunia usaha, masyarakat, perguruan tinggi, LSM) maka potensi konflik cukup tinggi. Potensi konflik tersebut dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu (1) potensi konflik antara masyarakat dengan pemerintah (biasanya menyangkut ketidak adilan dalam distribusi bantuan, kebijakan yang lebih berpihak pada investor dibanding berpihak kepada masyarakat bila terjadi konflik), (2) potensi konflik antara masyarakat dengan pengusaha (biasanya konflik lahan, terganggu dan tertutup akses masyarakat melewati pantai, gangguan wisata bahari terhadap aktivitas

penangkapan nelayan), dan (3) potensi konflik antara masyarakat dengan masyarakat (biasanya konflik daerah penangkapan, kecemburuan sosial penerimaan tenaga kerja lokal di perusahaan, dan masih adanya nelayan luar daerah melakukan penangkapan dengan alat destruktif pada waktu-waktu tertentu).

5.2.2.4. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi dan