Anak dibawah usia 5 tahun (balita) merupakan kelompok yang rentan terhadap adanya perubahan dalam asupan konsumsi makanan. Asupan makanan yang berlebihan atau kekurangan dari yang dibutuhkan akan mempengaruhi status gizinya. Status gizi sejak bayi hingga masa kanak-kanak sangat mempengaruhi kondisi organ-organ seperti otak, jantung dan tulang serta menentukan kualitas manusia. Dengan kondisi yang baik, organ-organ vital akan tumbuh dan berkembang optimal. Sebaliknya gizi yang kurang membuat tumbuh kembang balita terhambat (Permaesih et al. 2000). Usia 12 sampai 18 bulan merupakan usia kritis, perubahan yang terjadi pada masa ini akan mempengaruhi keadaan jangka panjangnya (FNB 2004). Pada otak misalnya, gizi buruk akan menyebabkan jumlah sel otak anak berusia di bawah dua tahun berkurang 15-20% (Permaesih et al. 2000). Berdasarkan survei mortalitas Subdit ISPA Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan pada tahun 2005 (Depkes 2008), gizi buruk menjadi penyebab kematian balita nomor 7 (3.6%) yaitu sesudah pneumonia (23.6%), diare (15.3%), infeksi berat (15.1%), masalah lain (termasuk kecelakaan, 14.7%), neonatal (11.2%), dan tifoid (3.6%).
Anak penderita gizi kurang tingkat ringan dan atau sedang tidak selalu diikuti dengan gejala sakit, tampak seperti anak sehat, masih bermain dan sebagainya, tetapi kurus. Data yang ada di Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2003 terdapat sekitar 27.5% (5 juta) balita menderita malnutrisi, 3.5 juta anak (19.2%) diantaranya dalam tingkat gizi kurang, dan 1.5 juta anak (8.3%) menderita gizi buruk (Depkes 2005a). World Health Organization (1999) yang disitasi oleh Depkes (2005b) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang dalam 4 kelompok, yaitu: rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%), dan sangat tinggi (≥ 30%). Ada 17 propinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang tinggi dan 10 propinsi sangat tinggi, hanya Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang kondisinya lebih baik. Di Jawa Barat 9 kabupaten/kota memiliki prevalensi gizi kurang sedang, 8 kabupaten/kota tinggi dan 5 kabupaten/kota sangat tinggi (Depkes 2005a). Pada tahun 2004, Kabupaten Bogor termasuk yang memiliki prevalensi gizi kurang sedang yaitu sebesar 12.9% dengan rincian 11.6% gizi kurang dan 1.3% gizi buruk (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2005).
Kabupaten Bogor termasuk yang memiliki prevalensi penderita gizi kurang sedang. Pada tahun 2005 dari 480 642 balita, 10.4% (50 043 balita) diantaranya menderita gizi kurang dan 0.9% (4313 balita) menderita gizi buruk (Tabel 1). Gizi buruk adalah keadaan gizi kurang tingkat tinggi pada anak yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari secara terus menerus. Keadaan tersebut secara langsung dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: (1) anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, (2) anak tidak mendapat asupan gizi yang memadai dan (3) anak mungkin menderita penyakit infeksi. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa separuh dari kematian bayi dan balita disebabkan oleh gizi buruk. Risiko meninggal dari anak yang menderita gizi buruk adalah 13 kali lebih besar dibandingkan dengan anak normal (Depkes 2005a).
Tabel 1 Jumlah balita dan balita penderita gizi buruk dari tahun 2001-2007 di Kabupaten Bogor
Tahun Jumlah balita Jumlah balita gizi buruk Persentase
2001 330 538 3292 1.0 2002 379 077 3847 1.0 2003 473 193 4099 1.1 2004 476 462 5226 1.3 2005 2006 2007 480 642 378 613 423 529 4313 5187 5040 0.9 1.4 1.2 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2005, 2006, 2007, 2008
Balita dikategorikan menderita gizi buruk jika berdasarkan antropometri, yaitu rasio berat badan dan tinggi badan/panjang badan (BB/TB) yang dirujuk ke dalam daftar sebaran normal yang terstandar, nilainya ≤–3 SD baku rujukan Z-scores WHO-NCHS (WHO 1986, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2005). Balita penderita gizi buruk dapat disertai dengan kelainan klinis seperti wajah sangat kurus, muka seperti orang tua, perut cekung, kulit keriput disebut marasmus, dan bila ada bengkak terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab disebut kwashiorkor, dan kombinasi keduanya disebut
marasmus-kwashiorkor (Depkes 1999). Berdasarkan pengamatan Latinulu et al. (2000) di 4 kabupaten (Bandung, Cianjur, Karawang, dan Cirebon), kondisi gizi buruk cenderung
7 (72.5%). Namun berdasarkan analisis Waters et al. (2004) pada hasil SUSENAS 1992-1999, anak laki-laki terancam menderita gizi buruk 1.27 kali (p<0.01) daripada anak perempuan.
Masalah gizi muncul pada balita usia sesudah enam bulan, karena pada usia tersebut sebagian bayi mulai disapih tanpa diimbangi dengan pemberian makanan tambahan yang memadai sehingga tanpa disadari berat badan anak tersebut menurun. Pada keadaan demikian daya tahan tubuhnya menurun sehingga mudah terserang penyakit/infeksi (panas, diare, ISPA dan sebagainya) dan ini mempercepat penurunan berat badan dan terjadinya gangguan pertumbuhan. Bila berlangsung dalam waktu yang relatif lama maka akan menyebabkan gizi buruk, yaitu berat badan kurang dari 60% berat idealnya menurut usia atau kurang energi-protein (KEP) berat (Latinulu et al. 2000).
Defisiensi zat gizi terutama energi dan protein akan memberikan gangguan psikologik dan sosial. Secara klinis menyebabkan kelambatan pertumbuhan, berkurangnya kecerdasan serta terganggunya metabolisme gula, lemak, protein bahkan gangguan sistem endokrin yang bersifat kronis. Menurut Scrimshaw (1997), KEP yang terjadi pada bayi dan balita berdampak ganda, tidak saja kehilangan kecerdasan (intellegent quetion/IQ) tetapi juga berdampak pada perkembangan mental (emotion quetion/EQ). Pada jangka pendek, KEP menyebabkan berkurangnya IQ 5-50 poin yang mengganggu proses belajar mengajar karena fungsi kognitif dan kinerja otak tidak optimal. Selain itu, implikasi KEP jangka pendek akan berdampak pada pertumbuhan massa otot dan komposisi tubuh yang menyimpang dari normal karena umumnya pendek dan kurus. Menurut Lutter dan Dewey (2003), anak-anak yang mampu bertahan hidup, pada usia dewasa rentan terhadap penyakit non infeksi (diabetes tipe 2, hipertensi, jantung koroner, kanker, dan penuaan dini) dan umumnya kinerja produktivitas fisik adalah rendah. Menurut Depkes (2005a), kasus gizi buruk yang terjadi pada balita, pada hakekatnya merupakan fenomena gunung es, yang menggambarkan keadaan gizi masyarakat, dan bahkan keadaan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, seperti daya beli, pendidikan dan perilaku, serta lingkungan dan pemeliharaan kesehatan. Müller dan Krawinkel (2005) menyatakan bahwa kemiskinan menjadi penyebab terjadinya kurang gizi pada balita (Gambar 1).
Menurut Bappenas (2002) kemiskinan adalah suatu situasi atau kondisi dari seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Menurut Bank Dunia, orang dikatakan miskin jika penghasilannya dibawah US $ 1 per hari (Sumedi dan Supadi 2004).
Gambar 1 Penyebab langsung dan tidak langsung balita menderita malnutrisi (Müller dan Krawinkel 2005)
Makanan Tambahan Pemulihan
Gizi kurang dapat menimbulkan depresi sistem imun, terutama imunitas seluler, sehingga balita menjadi rentan terhadap infeksi. Kerentanan yang meninggi tersebut sering membaik setelah diberikan diet yang cukup (Baratawidjaja 2002), sehingga perbaikan gizi pada kelompok ini sangat diperlukan untuk menjaga proses tumbuh kembang yang optimal. Perbaikan gizi tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 4-6 bulan (Depkes 2005a).
Pemerintah melalui Program Perbaikan Gizi memberikan bantuan makanan tambahan pemulihan (MT-P) bagi balita yang telah ditetapkan menderita KEP selama 6 bulan. Makanan tambahan pemulihan adalah makanan yang diberikan kepada anak penderita KEP dalam rangka memulihkan kesehatannya, dengan komposisi gizi mencukupi minimal 1/3 dari kebutuhan satu hari, yaitu memberikan sumbangan energi sebesar 350-450 kalori dengan kandungan protein 10-15 g (Depkes 1999). Untuk memperbaiki kondisi anak-anak penderita KEP, Pemerintah memberikan makanan
Malnutrisi
Marasmus, kwashiorkor, defisiensi mikronutrien
Infeksi yang sering atau parah; diare Kurang asupan protein,
energi atau mikronutrien
Sakit, lingkungan tidak sehat Penanganan ibu dan
anak yang tidak memadai Ketahanan pangan
rumah tangga yang tidak memadai
Rendahnya pendidikan dan status perempuan
dalam keluarga
Perang, bencana alam, ketidak pedulian
masyarakat Kemiskinan
9 pendamping air susu ibu (MP-ASI) bagi anak umur 6-23 bulan, dan makanan tambahan pemulihan (MT-P) bagi anak berumur 24-59 bulan (Depkes 2005b).
Cakupan bantuan yang dilakukan oleh Program Perbaikan Gizi pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor terus meningkat jumlahnya. Pada tahun 2005 hanya 1500 anak yang dapat dibantu dengan pemberian MT-P (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2005), namun pada tahun 2006 telah mampu menjangkau 4163 anak (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2006). Bentuk MT-P yang dibagikan pada tahun 2005 berupa biskuit dan susu formula lanjutan, sedangkan pada tahun 2006 berupa makanan suplemen dan susu formula lanjutan. Pemberian MT-P dilakukan selama 180 hari makan anak yang dimulai pada bulan Juli atau Agustus dan berakhir pada bulan Desember atau Januari. Untuk tahun 2006 makanan suplemen diberikan selama 30 hari pertama dan susu formula lanjutan pada 150 hari berikutnya. MT-P dikemas dalam kantong aluminium dengan berat 400 g dan dimasukkan ke dalam dus karton yang mencantumkan komposisi produk dan cara penyajian. Makanan suplemen diharapkan habis dikonsumsi dalam waktu 10 hari setelah kemasan dibuka, sedangkan susu formula lanjutan diharapkan habis dikonsumsi dalam waktu 5-6 hari setelah kemasan dibuka (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2006).
Dari label kemasan, baik pada makanan suplemen maupun susu formula lanjutan mencantumkan susu sebagai bahan utamanya. Komposisi bahan pada makanan suplemen terdiri atas susu bubuk full cream, gula, vitamin dan mineral, dan aroma vanila. Komposisi bahan pada susu formula lanjutan terdiri atas susu bubuk skim, susu bubuk full cream, dekstrin dan maltosa. Dari komposisi bahan terlihat bahwa bahan penyusun makanan tersebut dicampurkan melalui cara pencampuran kering (dry mix). Paket makanan ini dipilih karena kandungan gizinya yang lengkap, mudah didistribusi, relatif mudah disajikan, tidak memerlukan teknologi khusus dalam penyimpanannya dan rasanya cenderung disukai anak-anak. Baik paket makanan suplemen maupun susu formula lanjutan bentuknya bubuk, sehingga hanya diseduh dengan air panas, bubuk MT-P sudah siap dikonsumsi balita.
Risiko Kontaminasi pada Susu Bubuk
Susu yang dikonsumsi manusia adalah susu yang berasal dari sapi, karena sapi perah adalah ternak yang paling produktif dalam menghasilkan susu dibandingkan kambing dan kerbau. Didalam susu sapi dapat dijumpai hampir seluruh komponen gizi
yang dibutuhkan oleh balita. Dengan mengatur komposisi gizinya, susu sapi dapat diramu menjadi susu formula yang sesuai dengan kebutuhan target konsumennya. Namun karena komponen gizinya, maka susu merupakan bahan pangan yang rentan terhadap kontaminasi mikroba. Pettipher (1986) menggolongkan susu dan produknya sebagai pangan yang bersifat sangat mudah rusak (highly perishable). Kerusakan pada susu disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroba yang ada di dalamnya. Bramley dan McKinnon (1990) mengidentifikasi kelompok mikroba yang merupakan mikroflora susu segar (Tabel 2), yang sebagian dapat bersifat patogen. Mikroba patogen dapat berasal dari ternak sakit (patogen akan mendominasi susu jika sapi menderita mastitis) atau mikroba mengkontaminasi susu dari peralatan atau akibat buruknya higiene pemerahan.
Tabel 2 Mikroba utama yang dapat ditemukan dalam susu segar (Bramley dan McKinnon 1990)
Grup Insidensi (%)
Micrococci contoh Micrococcus, dan Staphylococcus 30-99
Streptococci contoh Enterococcus 0-50
Asporogenous batang Gram positif contoh Corynebacterium, dan Microbacterium <10 Batang Gram negatif contoh Klebsiela, Escherichia, Enterobacter,dan Pseudomonas <10
Pembentuk spora, contoh sel vegetatif dan spora Bacillus <10
Mikroba lain contoh Streptomycetes, kamir, dan kapang <10
Untuk memperpanjang masa simpan susu, susu segar diubah bentuknya menjadi susu bubuk yang memiliki daya simpan lebih lama. Pada awal proses pembuatan susu bubuk, susu terlebih dahulu diseparasi, distandardisasi, dipasteurisasi dan dikonsentratkan dengan menggunakan kombinasi waktu dan suhu yang telah ditetapkan. Caric dan Gregurek (2003) menjelaskan bahwa konsentrat susu dapat dikeringkan dengan dua cara, yaitu dengan metode roller drying (130-150ºC) atau spray drying (180-240ºC). Dengan metode spray drying, konsentrat susu terpapar panas selama 30 detik.
Pasteurisasi pada susu segar dengan metoda high temperature short time (HTST) maupun low temperature long time (LTLT) mampu membunuh mikroba sebanyak 103-104 CFU/ml susu (Grant et al. 1996). Pada penelitian Stabel et al. (1997) HTST (72°C selama 15 detik) mampu membunuh mikroba sampai 106 CFU/ml susu. Dengan demikian jika kandungan mikroba didalam susu melebihi nilai tersebut, maka ada mikroba yang bertahan dari pemanasan dan inilah yang menjadi sumber kontaminan.
11 tahan panas seperti Bacillus spp. dan Clostridium spp. hampir 100% mampu bertahan terhadap proses pasteurisasi (Pettipher 1986). Bakteri psikrotropik, koliform, kamir dan kapang jumlahnya menurun sampai level yang paling rendah selama pengolahan dan keberadaannya dalam susu bubuk mengindikasikan adanya kontaminasi dari peralatan atau lingkungan pabrik selama atau setelah pengolahan. Mikroba yang biasa ditemui dalam susu bubuk adalah mikrokokus termodurik, streptokokus termodurik, corynebacterium dan aerob pembentuk spora (Richter et al. 1992). Beberapa bakteri patogen seperti Salmonella, Listeria monocytogenes, B. cereus, C. perfringens,
Staphylococcus aureus dan Enterobacter sakazakii dapat ditemukan dalam susu bubuk (FSANZ 2006). Mikroba tersebut tidak akan tumbuh di dalam susu bubuk, namun tetap dapat bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama dan akan tumbuh jika susu bubuk dilarutkan kembali dan disimpan pada suhu yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri. Dengan demikian, keberadaan bakteri patogen dalam susu bubuk harus dihindari dan keadaan tersebut harus dicapai selama pengolahan.
Susu formula lanjutan bubuk merupakan bagian dari susu bubuk yang diformulasi sesuai dengan kebutuhan. Susu tersebut dapat diproduksi dengan dua cara yaitu: (1) diformulasi dalam bentuk cair kemudian dikeringkan atau (2) diformulasi dalam bentuk kering (dry mix). Dengan demikian mikroba yang harus diperhatikan sama dengan yang ada dalam susu bubuk (FSANZ 2006). Menurut CAC (2007), ada empat jalan masuk mikroba ke dalam susu formula: (1) melalui bahan baku yang dicampurkan pada proses pencampuran kering di pabrik, (2) melalui lingkungan pengolahan yang mengkontaminasi seiring pengeringan, (3) setelah kemasan dibuka, dan (4) selama dan sesudah preparasi oleh pengasuh atau ibu. Di pabrik, mikroba mampu membuat akses ke jalur pengolahan dan produk, sebab belum ada teknologi yang secara lengkap mengeliminasi mikroba ini dari lingkungan pabrik (CAC 2007).
Untuk menjaga kesehatan masyarakat konsumen, Pemerintah membuat berbagai regulasi yang harus dipatuhi oleh produsen, antara lain:
1) SNI 01-4213-1996 tentang Susu Formula Lanjutan, mencantumkan cemaran mikroba negatif.
2) SNI 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan untuk susu bubuk, mencantumkan angka lempeng total 5.0 x 104 CFU/g, koliform 0/g, MPN E. coli
patogen 0/g, Enterokokus 1,0 x 10 CFU/g, S. aureus 1,0 x 10 CFU/g, Clostridium
3) SNI 01-7111-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) bubuk instan (bagian 1), mencantumkan angka lempeng total 1.0 x 104 CFU/g, MPN koliform kurang dari 20/g, E. coli negatif, Salmonella negatif/25g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102 CFU/g dan C. botulinum negatif untuk produk yang menggunakan madu atau sirup gula.
Tabel 3 Standar mikrobiologik dalam peraturan di beberapa negara/lembaga yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi (dalam CFU)
Nama peraturan Standar
n c m M
Codex standard
dalam Code of Hygienic Practice for Powdered Formulae for Infants and Young Children,
CAC/RCP 66-2008, perbaikan CAC/RCP 21-1979 (CAC 2008)
- Bakteri aerob mesofilik/g - Enterobacteriaceae/10 g - E. sakazakii/10 g - Salmonella/25 g 5 10 30 60 2 2 0 0 5.0 x 102 0 0 0 5.0 x 103 0 0 0 n c m M Canadian standard
dalam Health Products and Food Branch
Standards and Guidelines for Microbiological Safety of Food (HPFB 2008) - Mikroba aerob/g - E. coli/g - Salmonella/25 g - S. aureus/g - B. cereus/g - C. perfringens/g 5 10 20 10 10 10 2 1 0 1 1 1 1.0 x 103 <1.8 0 1.0 x 10 1.0 x 102 1.0 x 102 1.0 x 104 1.0 x 10 0 1.0 x 102 1.0 x 104 1.0 x 103
FDAdalam 21 Current Federal Rules (CFR) 106-107 (FDA 1996) - Mikroba aerob/g - Koliform/g - Fekal koliform/g - Salmonella/25 g - L. monocytogenes/g - S. aureus/g - B. cereus/g ≤ 1.0 x 104 ≤ 3.05 MPN ≤ 3.05 MPN n=60, c=0, m=0, M=0 Negative ≤ 3.05 MPN ≤ 1.0 x 102 n c m M Australia-New Zealand dalam Standard 1.6.1 Microbiological Limit for Food (FSANZ 2001)
- B. cereus/g
- Koagulase positif staphylococci/g - Koliform/g - Salmonella/25 g - C. perfringens/g - L. monocytogenes/25 g - SPC*/g 5 5 5 5 5 5 5 1 1 2 0 2 0 2 1.0 x 102 0 < 3 0 < 1 0 1.0 x 104 1.0 x 103 1.0 x 10 1.0 x 102 0 1.0 x 10 0 1.0 x 105 Keterangan: n= jumlah unit sampel minimal yang harus diuji dari sebuah lot makanan, c= jumlah maksimum unit sampel yang diperbolehkan tidak sempurna, m= konsentrasi mikroba yang dapat diterima dalam sebuah unit sampel pada 2-class plan, pada 3-class plan nilai ini memisahkan antara kualitas mikroba yang “dapat diterima” dengan “kualitas marginal yang dapat diterima”, M= hanya digunakan pada
3-class plan, yaitu level mikroba yang mengindikasikan potensi bahaya, yang memisahkan antara kualitas marginal yang dapat diterima dan yang harus ditolak; * standard plate count pada suhu 30ºC, 72 jam
13 Di beberapa negara, peraturan yang berhubungan dengan susu formula bahkan lebih ketat dan lebih terinci (Tabel 3). Menurut HPFB (2008), karakterisasi bahaya mikroba di dalam susu formula instan dikategorikan ke dalam:
- Risiko kesehatan 1 (health risk 1/HR 1), yaitu jika terkonsumsi/terekspos dalam pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan serius, contohnya Salmonella.
- Risiko kesehatan 2 (health risk 2/HR2), yaitu jika terkonsumsi/terekspos dalam pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan sementara, contohnya S. aureus,
B. cereus, C. perfringens dan E. coli. Khusus untuk E. coli dapat berubah menjadi HR1 jika strain penghasil verotoksin ditemukan.
- Risiko kesehatan 3 (health risk 3/HR3), yaitu jika terkonsumsi/terekspos dalam pangan tidak akan menyebabkan gangguan kesehatan, tetapi mengindikasikan kegagalan Good Manufacturing Practices atau Good Farming Practices, contohnya mikroba aerob.
Melihat kenyataan di atas, susu bubuk tidak mungkin bebas dari cemaran bakteri. Perkiraan kualitas mikrobiologiknya dapat diduga dari kualitas bahan mentah, manajemen produksi dan kontaminasi setelah pengolahan (Muir 2000). Dengan demikian keamanan absolut makanan dari kontaminan tidak pernah dapat dijamin, namun dengan tindakan pencegahan yang dilakukan dari peternakan sampai pengolahan, distribusi dan preparasi akhir, risiko mengkonsumsi susu dapat ditekan seminimal mungkin (Finley dan Robinson 1992).
Keterlibatan agen penyebab penyakit akibat susu (milkborne disease) secara dramatis terus berubah sepanjang waktu. Lebih dari 90% kasus yang dilaporkan dihubungkan dengan produk susu disebabkan oleh bakteri, kurang lebih ada 21 milkborne
atau penyakit potensial milkborne telah diketahui (Bean et al. 1996). Patogen yang pernah terlibat dalam kejadian luar biasa yang berkaitan dengan konsumsi susu adalah
L. monocytogenes, Salmonella, Campylobacter, S. aureus, B. cereus dan C. botulinum
(Ryser 1998).
Higiene dalam Menyiapkan Makanan dan Minuman di Rumah
Dari penelitian pada MP-ASI tradisional menunjukkan bahwa sampel yang diuji memiliki angka total bakteri berkisar antara 4.1 x 102 - 1.5 x 105 CFU, koliform antara 0-4.6 x 101 CFU, S. aureus antara 0-4.2 x 101 CFU, dan B. cereus 2.8 x 102 CFU. Ini memperlihatkan bahwa makanan pendamping ASI yang dimasak oleh ibu rumah tangga
kondisinya tidak selalu aman untuk dikonsumsi anak-anaknya (Affandi et al. 2001). Kontaminasi biasanya terjadi secara silang dari air atau peralatan makanan yang digunakan, atau dari tangan orang yang menyiapkan makanan. Keadaan tersebut tercermin dari penelitian Tessi et al. (2002) pada makanan yang disiapkan untuk kantin sekolah di Argentina, ditemukan kandungan bakteri yaitu 1.04-3.50 log CFU/g untuk makanan yang disajikan panas dan 3.64-6.48 log CFU/g untuk makanan yang disajikan dingin. B. cereus ditemukan pada 63.4% sampel (<4 log CFU/g). Kusumaningrum et al. (2002), membuktikan bahwa spon yang digunakan untuk mencuci peralatan makan yang direndam terus menerus dalam larutan pencuci antibakteri, tetap dapat dicemari oleh
E.coli, S. enteritidis, S. aureus dan B. cereus.
Menurut Selwyn (1980), kulit manusia secara normal memiliki koloni bakteri
dengan jumlah bakteri aerob berbeda untuk masing-masing bagian (misal 1.0 x 106 CFU/cm2 pada kulit kepala, 5.0 x 105 CFU/cm2 pada siku, 4.0 x 104 CFU/cm2
pada perut, dan 1.0 x 104 CFU/cm2 pada lengan bawah). Bakteri yang ditemukan di permukaan tangan dibagi kedalam dua kategori, yaitu transien dan residen (Price 1938). Mikroba transien berkolonisasi di lapisan permukaan kulit, mudah dihilangkan dengan cara cuci tangan rutin, didapat karena kontak dengan orang lain atau kontak dengan permukaan lingkungan yang terkontaminasi. Mikroba transien umumnya dihubungkan dengan organisme penyebab infeksi. Mikroba residen menempel di lapisan kulit yang lebih dalam, lebih resisten untuk dihilangkan. Kelompok mikroba residen adalah stafilokokus koagulase-negatif dan dipteroid yang cenderung kurang infeksius. Tangan individu dapat secara persisten memiliki koloni bakteri patogen (misal S. aureus), basilus Gram-negatif atau kamir. Jumlah flora transien dan residen bervariasi dari orang ke orang, namun jumlahnya relatif konstan untuk beberapa individu spesifik (Price 1938; Sprunt 1973).
Sebagian besar sakit karena makanan biasanya terjadi di rumah, yaitu 48% di Irlandia, 42% di Amerika Serikat (Redmond dan Griffith 2003), dan 64% di Indonesia (Dir. Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan 2007). Keadaan ini tercermin pada penelitian Suyatno et al. (2001) pada 4 bulan pertama kehidupan bayi, dimana yang diberi MP-ASI tradisional rata-rata menderita diare 0.143 kali/bulan, yang diberi MP-ASI
formula sebanyak 0.105 kali/bulan, dan yang mendapat ASI eksklusif hanya 0.093 kali/bulan. Pemberian makanan atau minuman melalui botol juga menjadi salah
15 31% pada teh yang diberikan dalam botol, dan hanya 2% pada teh yang disajikan dalam gelas (Black et al. 1989 disitasi oleh Dewey 2003).
Banyaknya bakteri patogen penyebab penyakit akibat makanan, menyebabkan penyelidikan cenderung diarahkan kepada bakteri yang bersifat aerob. Analisa terhadap keberadaan bakteri food-borne anaerob tidak secara rutin dilakukan, dikarenakan sulitnya isolasi dan identifikasi. Di negara maju, hal seperti ini sudah rutin dilakukan, di Amerika Serikat patogen dalam pangan telah dilaporkan menjadi penyebab dari 76 juta kasus dan 5000 kematian setiap tahunnya (Mead et al. 1999).
Kontaminasi B. cereus dan C. perfringens
Spesies Bacillus dan Clostridium memiliki kemampuan membentuk spora yang dorman secara metabolik, yang secara ekstrim resisten terhadap stres lingkungan, seperti panas, radiasi, dan bahan kimia toksik (Setlow 2006; Raju 2007). Kondisi yang resisten menyebabkan spora sejumlah spesies ini secara signifikan berperan sebagai agen pembusuk makanan dan penyebab penyakit gastrointestinal akibat pangan (Setlow 2003). Bagaimanapun juga untuk terjadinya gangguan, mula-mula spora yang dorman harus bergerminasi lalu membesar berubah menjadi sel vegetatif (Paredes-Sabja et al. 2008).
Mengkonsumsi ≥105 sel atau spora B. cereus atau C. perfringens dapat menyebabkan terjadinya diare (FSANZ 2003). B. cereus dan C. perfringens baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus halus (Harmon et al. 1992; Labbe dan Harmon 1992). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa sejumlah kecil bakteri ini ditemukan di dalam saluran pencernaan individu sehat. Pengolahan susu menjadi susu bubuk yang akan digunakan untuk formulasi susu dan produk makanan untuk bayi dan balita tidak dapat mengeliminasi keberadaan sporanya (Ray 2001). Hal ini disebabkan karena susu segar terkontaminasi oleh lingkungan, sehingga banyaknya spora B. cereus dan C. perfringens di dalam susu bubuk juga akan mempengaruhi jumlahnya di dalam susu formula atau produk berbahan susu (Ray 2001).
Menurut ICMSF (1996) sebesar 9-48% sampel susu dan produk susu yang diuji terkontaminasi oleh B. cereus dan pada susu ultra high temperature (UHT) kejadiannya dapat mencapai 50%. Bahkan di Amerika Serikat, 60% susu bubuk yang diimpor positif ditemukan B. cereus (EFSA 2004). Keberadaan B. cereus enterotoksigenik dalam makanan bayi telah dilaporkan oleh Becker et al. (1994), yaitu 54% dari 261 sampel yang diperiksa dan didistribusikan di 17 negara telah terkontaminasi oleh bakteri tersebut,
dengan level 0.3-600 sel/g. Konsentrasi B. cereus dalam makanan secara normal adalah <103 sel/g (Kramer dan Gilbert 1989). Prevalensi cemaran B. cereus dalam susu tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Prevalensi cemaran B. cereus dalam susu dan produknya (Kramer dan Gilbert