• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mikroba Aerob dalam Makanan Tambahan Pemulihan

Makanan tambahan pemulihan yang dipilih oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor untuk mengatasi balita yang menderita gizi buruk adalah susu formula bubuk. Dari berbagai penelitian ternyata susu bubuk bukanlah bahan pangan yang steril, karena masih dapat ditemukan mikroba aerob didalamnya. Pada penelitian ini diketahui bahwa jumlah mikroba aerob di dalam MT-P berkisar antara 2.0 x 10 sampai 5.5 x 103 CFU/g, jumlah tersebut mirip dengan hasil penelitian Nugroho (2007) pada susu formula yang diperdagangkan di supermarket di kota Bogor yaitu dari 2.0 x 10 sampai 1.6 x 103 CFU/g, dan penelitian Schwab et al. (1982) pada susu formula bubuk yaitu dari <1.0 x 10 sampai 1.4 x 105 CFU/g. Namun demikian jumlah tersebut masih dalam batas-batas yang diperkenankan oleh SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) bubuk instan yaitu 1.0 x 104 CFU/g.

Dari label kemasan MT-P, diketahui bahwa salah satu bahan penyusun MT-P adalah susu skim. Penelitian Herdiana (2007) menemukan bahwa jumlah mikroba aerob dalam susu skim yang diimpor dari Australia, Denmark, New Zealand dan Jerman memiliki jumlah total mikroba aerob masing-masing 3.1 x 10, 6.2 x 10, 7.9 x 10, dan 6.2 x 10 CFU/g, suatu jumlah yang lebih rendah dari jumlah mikroba aerob dalam sampel MT-P. Jika jumlah mikroba aerob di dalam MT-P lebih tinggi dari jumlah mikroba aerob di dalam salah satu bahan penyusunnya, maka penambahan jumlah tersebut kemungkinan terjadi karena: (1) digunakannya bahan-bahan pencampur lain yang tidak steril, dan atau (2) rekontaminasi selama pencampuran kering dan pengemasan. Dengan demikian, produsen MT-P atau susu formula harus berusaha meminimalisir kontaminasi mokroba ke produk yang diproduksi. Sedangkan di rumah, sebaiknya MT-P atau susu formula bubuk dilarutkan menjelang akan dikonsumsi, dan MT-Patau susu terlarut yang tersisa harus di buang. Makanan untuk bayi dan balita tidak boleh disimpan dalam botol yang hangat atau termos. Jika susu ingin disiapkan lebih awal, sebaiknya disimpan dalam suhu 4°C atau di bawahnya (Agostoni et al. 2004).

Susu juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri patogen, khususnya jika pelarutannya menggunakan suhu antara 25-45°C. Pada suhu tersebut bakteri dapat tumbuh. Suhu lebih dari 60°C dapat menginaktivasi bakteri yang tahan terhadap panas (White dan Farber 1997). Merebus susu terlarut sampai suhu 80-90°C

113 untuk membunuh mikroba tidak dianjurkan karena dapat menurunkan mutu nutrisi susu, karena protein dalam susu akan menggumpal dan menyebabkan tidak dapat dicerna oleh bayi atau balita yang mengkonsumsinya (Kindle et al. 1996). Sebagai gantinya dapat menyimpan air panas di dalam termos, dan digunakan untuk melarutkan MT-P atau susu formula menjelang akan dikonsumsi (Agostoni et al. 2004).

Merebus air minum sebenarnya dapat mematikan virus, parasit dan bakteri pathogen. Namun dari penelitian ini, diketahui bahwa merebus air minum tetap masih menyisakan mikroba di dalamnya. Imong et al. (1989) melihat bahwa air minum matang masih memiliki rata-rata jumlah mikroba aerob 3.5 x 102 CFU/ml dan MPN koliform faekal 47/ml. Kemungkinan karena: (1) kualitas mikrobiologik air mentah yang digunakan dan (2) rekontaminasi dari peralatan masak dan penyimpan yang digunakan. Menurut Imong et al. (1989) peralatan yang digunakan berulang dan jarang dicuci menjadi sumber kontaminan bagi air yang direbus atau disimpan didalamnya.

Tingginya rata-rata jumlah mikroba aerob, dan adanya bakteri patogen di dalam sampel air mentah yang diuji menandakan bahwa air tersebut tidak layak untuk dikonsumsi manusia secara mentah. Air yang baik harus dapat diminum (potable) dan tidak membahayakan kesehatan manusia. Kualitas air yang digunakan untuk air minum harus selalu dikontrol untuk meminimalisasi masalah yang mungkin muncul berkaitan dengan penyakit akibat air (waterborne diseases) yang endemis terhadap kesehatan manusia. Dengan demikian pendidikan keamanan pangan diperlukan untuk meminimalisir risiko terhadap paparan foodborne/waterborne patogen.

Merebus air minum pada masyarakat miskin merupakan kegiatan yang cukup membebani, karena bahan bakar harus dibeli dan jika tidak mampu membeli digunakan kayu bakar yang diambil dari lingkungan sekitar atau jika perlu mencarinya ke dalam hutan. Jadi menurut Gilman dan Skillicorn (1985) dan deKoning et al. (1985), merebus air minum tanpa disadari merupakan kegiatan yang secara ekonomi dan lingkungan dapat menyebabkan gangguan. Kepada masyarakat, perlu diperkenalkan teknologi pengolahan air sederhana seperti penggunaan larutan natrium hipoklorit atau pemanasan dengan sinar matahari. Kedua teknologi ini sudah berhasil di Bolivia, Madagaskar, Zambia dan Ekuador (Mintz et al. 2001). Selain itu, ibu juga harus sesedikit mungkin melakukan kontak dengan air minum yang disimpan di rumah, dengan menggunakan tempat penyimpanan yang bermulut kecil dan memiliki kran dibawahnya (Mintz et al. 2001, Sobel et al. 1998). Berikut ini berbagai alternatif model tempat penyimpanan air di rumah tangga (Gambar 36).

Gambar 36 Tempat penyimpanan air minum skala rumah tangga yang disarankan oleh WHO dan USAID

Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan bagi keluarga merupakan suatu keharusan, namun di negara berkembang tantangan terbesar adalah ketiadaan air atau jika ada mutunya tidak memenuhi persyaratan (Ehiri et al. 2001). Nampaknya penyaluran air sampai ke rumah harus menjadi agenda pembangunan desa, karena pada musim kemarau sebagian wilayah Bogor Barat dan Utara mengalami kesulitan mendapat air bersih. Pada kondisi ini, higiene personal ibu sebagai penyedia makanan bagi keluarganya dipastikan buruk.

KeberadaanB. cereus dalam Makanan Tambahan Pemulihan

B. cereus saat ini menjadi mikroba penting penyebab keracunan makanan karena di alam terdistribusi secara kosmopolitan. Keberadaannya di produk susu dapat ditelusuri sampai ke sumbernya, misal selama periode merumput (Slaghuis et al. 1997), puting terkontaminasi tanah (Christiansson et al. 1999) atau pakan dan alas kandang (Magnusson

et al. 2007). Dari penelitian Vissers et al (2007) jika puting sapi terkontaminasi dengan tanah, 33% tangki pengumpul susu akan mengandung 3 log spora B. cereus/l susu, sedangkan jika pakan yang menjadi sumbernya, kontaminasi spora B. cereus hanya terjadi pada 2% sampel.

115 Melihat kenyataan tersebut di atas, menjadi wajar jika di dalam susu bubuk masih dapat ditemukan spora B. cereus. Pada penelitian ini ternyata 31.3% sampel MT-P mengandung spora B. cereus dengan jumlah antara 1.0 x 10 – 1.0 x 103 CFU/g. Kondisi tersebut mirip dengan penelitian Wong et al. (1988) yaitu 29% pada susu bubuk dengan jumlah antara 5.0 - 4.5 x 102 CFU/g. Namun penelitian Nugroho (2007) pada susu formula, bubur dan biskuit bayi komersial yang diperdagangkan di Bogor, dari 50 sampel,

hanya menemukan 10% produk mengandung spora B. cereus dengan jumlah antara 1.0 – 2.0 x 10 CFU/g. Perbedaan pada persentase temuan terjadi karena produk yang

diteliti berasal dari produsen yang berbeda dan jumlah sampel yang diuji hanya sedikit. Dengan demikian produsen dan distributor MT-P atau susu formula, harus memiliki fasilitas yang didisain, dibangun dan dipelihara di bawah kondisi yang aman, bersih, saniter dan mampu mencegah terjadinya kontaminasi dengan bahan berbahaya (HPFB 2006). Namun spora B. cereus kemungkinan akan selalu ada di dalam susu, tetapi tidak semua peminumnya menderita keracunan. Granum dan Lund (1997) memperkirakan bahwa peminum susu rutin mungkin terlindung dari keracunan makanan akibat B. cereus melalui peningkatan sistem imun akibat secara terus menerus mengkonsumsi mikroba ini.

Setelah kemasan MT-P dibuka, kondisi berubah. Ketidakhati-hatian responden dalam menyimpan MT-P ternyata mempengaruhi keberadaan B .cereus di dalamnya, dimana jumlahnya bertambah dari hari ke hari. Keadaan ini kemungkinan terjadi karena: (1) MT-P disimpan tidak tertutup rapat sehingga aw berubah, dan menyebabkan spora

B. cereus yang ada mengalami germinasi, berbiak dan berspora kembali, dan (2) adanya kontaminasi yang berasal dari peralatan lain yang digunakan untuk mengambil MT-P atau dari tangan ibu.

Penyebab pertama terbukti melalui kajian dengan menyimpan susu formula yang telah dikontaminasi dengan spora B. cereus (104 spora/g) dan disimpan pada kelembaban yang berbeda (<50 dan >70%), ternyata spora B. cereus mampu bertahan dan tumbuh karena perubahan aw dalam susu formula bubuk. Mcdonough dan Hargrove (1968) melembabkan susu skim bubuk yang dikontaminasi dengan Salmonella (104 CFU/g), maka dalam kelembaban rendah (< 30%) Salmonella akan turun jumlahnya dalam 3 hari, tetapi akan bertambah jumlahnya jika kelembaban susu skim bubuk ≥ 40%. Jaquette dan Beuchat (1998) menyatakan bahwa sel vegetatif maupun spora B. cereus mampu bertahan dalam aw sereal bubur bayi bubuk yang rendah (aw 0.27-0.55) selama 36 minggu, tetapi akan mati pada minggu ke-48 jika aw mencapai 0.78. Gurtier dan Beuchat (2007) melihat

bahwa E. sakazakii yang diinokulasikan ke dalam susu formula bubuk, ternyata mampu bertahan pada rentang awantara 0.43-0.86.

Penyebab kedua, yaitu tangan ibu ternyata berperanan sebagai sumber kontaminan dengan ditemukannya B. cereus dari 20% swab tangan responden dengan rata-rata jumlah 5.4 x 102 CFU/ml. Adanya kejadian luar biasa akibat B. cereus pernah dilaporkan terjadi pada unit ICU neonatal, dimana 37% sidik jari perawat ternyata positif Bacillus spp. (van der Zwet et al. 2000). Di tangan, B. cereus sebenarnya merupakan bakteri transien, yaitu bakteri yang berkoloni dilapis permukaan tangan. Bakteri ini sebenarnya mudah dihilangkan melalui cuci tangan dengan sabun dan dibilas menggunakan air mengalir.

Didalam preparasi MT-P ternyata jumlah B. cereus juga tidak berkurang. Penelitian Afifi et al. (1998) pada makanan sapihan yang disiapkan oleh ibu di pedesaan Mesir mendapatkan 21.4% sampel mengandung B. cereus dan 43.7% mengandung

E. coli. Kontaminasi terjadi karena kotoran hewan yang menumpuk di dalam rumah, kakus yang tidak memiliki pintu, makanan disiapkan jauh sebelum waktu makan dan tidak terlindung, serta ada yang menderita diare di rumah. Kondisi tersebut bisa saja terjadi di Indonesia, karena beragamnya kondisi rumah tangga keluarga miskin.

Selain hal tersebut, tempat minum walaupun telah dicuci ternyata masih menyisakan sejumlah B. cereus. Ini terbukti dari hasil penelitian ini, dimana 7% botol susu, 31.5% gelas kaca dan 17.6% gelas plastik mengandung B. cereus dalam jumlah masing-masing 2.5 x 103; 3.2 x 103; dan 6.3 x 102 CFU/ml. Jumlah B. cereus yang tersisa dalam tempat minum, akan meningkat jumlahnya jika tempat minum tidak segera dicuci. Menurut Rowan dan Anderson (1998) pencucian dan desinfeksi botol susu efektif menurunkan jumlah B. cereus jika sesegera mungkin dilakukan, dibandingkan dengan botol susu yang tidak segera dibersihkan.

Selain kebersihan tempat minum, ternyata suhu pelarutan memicu pertumbuhan

B. cereus yang sudah ada di dalam MT-P bubuk atau yang masih tertinggal pada tempat minum. Pengukuran suhu preparasi di lapangan memperlihatkan 98% responden lebih

senang menggunakan suhu <70°C, dimana 12% sampel ditemukan mengandung

B. cereus dengan jumlah antara 1.0 x 102 sampai 5.7 x 103 CFU/ml. Responden yang menggunakan suhu preparasi MT-P 70°C tidak ditemukan pertumbuhan Bacillus spp., karena MT-P bubuk, tangan responden, air matang dan tempat minum yang digunakan

juga tidak ditemukan Bacillus spp. Seandainya di dalam MT-P ditemukan spora

B. cereus, berdasarkan hasil kajian pada preparasi susu formula, ternyata suhu 70°C mampu memacu pertumbuhan spora B. cereus tidak berbeda dengan yang dipreparasi

117 pada suhu 25°C. Suhu preparasi 35°C merupakan suhu potensial untuk memicu pertumbuhan spora B. cereus.

Menyimpan makanan pada suhu ruang ternyata meningkatkan jumlah bakteri di dalam makanan. Susu formula terlarut yang ditambahkan 103 spora/ml B. cereus dan disimpan pada suhu ruang (±30°C) selama 4 jam, ternyata spora B. cereus melakukan germinasi menjadi sel vegetatif dan multiplikasi sebesar 1 log dalam 3 jam. Korelasi waktu penyimpanan pada suhu ruang dengan pertumbuhan B. cereus sangat kuat (r=0.74, p<0.01). Penelitian Rowan et al. (1997) pada 100 merek susu bayi yang dipreparasi pada berbagai suhu juga menemukan kondisi yang sama.

Keberadaan C. perfringens dalam Makanan Tambahan Pemulihan

Rendahnya jumlah C. perfringens yang dapat diisolasi pada penelitian ini

kemungkinan tidak mencerminkan jumlah sel hidup yang sebenarnya. Spora

C. perfringens kemungkinan tidak melakukan germinasi, sehingga sebenarnya hidup tetapi tidak dapat dikultur (viable but not culturable/VNC). Selain itu Proteus spp. menjadi kendala dalam isolasi, khususnya jika sampel berasal dari air. Untuk memurnikannya, isolat harus direndam dalam alkohol 50% selama 1 jam (Koransky et al.

1978).

Ditemukannya C. perfringens di tangan menandakan kemungkinan kontaminasi lingkungan atau faekal. Dari penelitian McFarland et al. (1989) diketahui bahwa

C. difficile berkoloni 43% di area antar jari, 37% di ujung jari, 37% di telapak tangan, dan 20% di bawah cincin. Ditemukannya C. difficile di tangan menandakan kepadatan kontaminan di lingkungan (Samore et al. 1996). Heikinheimo et al. (2006) menemukan bahwa prevalensi gen pembawa enterotoksin (cpe positif) C. perfringens pada feses manusia sehat adalah 18%. Manusia yang sehat ternyata bertindak sebagai reservoir

yang kaya C. perfringens tipe A cpe positif dan berperan sebagai penyebab penyakit gastroenteritis. Sejumlah kecil strain C. perfringens tipe A cpe positifjika termakan dan bertemu dengan C. perfringens penghuni normal intestinal akan memindahkan plasmid

cpe ke strain C. perfringens cpe negatif (Sparks et al. 2001). Adanya C. perfringens tipe A cpe positif didalam feses kemungkinan di dapat dari lingkungan (Heikinheimo et al. 2006).

Ditemukannya C. perfringens dalam air minum mentah, menandakan bahwa air minum tersebut kemungkinan terkontaminasi faekal. Menurur Edberg et al. (1997) dan

Hörman et al. (2004) C. perfringens digunakan sebagai indikator kontaminasi fekal jangka panjang (long-term fecal contamination) untuk air minum yang langsung dapat diminum (potable).

Endospora yang dibentuk oleh C. perfringens tipe A yang memproduksi enterotoksin diketahui lebih resisten terhadap panas dan dingin dibandingkan strain yang tidak memproduksi toksin. Resistensi spora terhadap panas tinggi memungkinkan spora untuk tetap bertahan terhadap proses pemasakan. Dari hasil berbagai penelitian diketahui bahwa ketahanan spora terhadap panas dipengaruhi oleh konsentrasi asam dipikolinik dan ion metal, ukuran spora, dan rasio protoplas-sporoplas. Selain itu jumlah relatif korteks dan peptidoglikan dinding sel induk juga mengambil peranan terhadap ketahanan panas (Orsburn et al. 2008; Novak et al. 2008).

Potensi Produksi Enterotoksin dari Isolat B. cereus dan C. perfringens

Penelitian ini membuktikan bahwa 21 isolat B. cereus yang berasal dari MT-P bubuk maupun MT-P yang terlarut mempunyai potensi untuk memproduksi enterotoksin. Granum et al. (1993) menemukan bahwa 59% strain B. cereus yang diisolasi dari produk susu bersifat enterotoksigenik, Ombui et al. (1997) menemukan 50% pada produk susu namun pada tahun 2001 hanya 16%. Cooper dan McKillip (2006) melihat bahwa

B. cereus yang ditemukan dalam susu skim bubuk, susu formula, coffee creamer dan lesitin memiliki kemampuan memproduksi enterotoksin HBL dan NHE. Rowan et al. (2001) menduga bahwa 24% isolat B. cereus yang memiliki potensi membentuk kompleks enterotoksin bersifat invasif, namun tidak semua isolat mengekspresikan gen diaregenik setelah ditumbuhkan di susu formula terlarut.

Pada penelitian ini, isolat B. cereus yang diuji memiliki titer enterotoksin HBL kompleks cukup tinggi yaitu minimal 8 pada uji RPLA, nilai yang sama juga dilaporkan oleh in’t Veld et al. (2001), sedangkan Moravek et al. (2006) melihat bahwa isolat

B. cereus dari sampel keracunan pangan mampu memproduksi HBL enterotoksin kompleks sebanyak 2-56 ng/ml. Jaquette dan Beuchat (1998) menyatakan bahwa jika bubur sereal direkonstitusi (jumlah awal 1.3 x 102 spora B. cereus), maka enterotoksin akan terdeteksi dengan jumlah minimal 16 ng/g jika disimpan selama > 24 jam pada suhu 30°C dan populasi B. cereus telah mencapai >7 log CFU/g. Jika dalam 24 jam jumlah

B. cereus telah mencapai >7-8 log CFU/g maka makanan akan berbau tidak enak dan membusuk, sebelum mampu memproduksi toksin yang cukup (Lee et al. 2006).

119 Pencemaran bahan pangan oleh mikroba tidak selalu menyebabkan perubahan secara organoleptik/sensorik, tetapi kenyataannya dapat bersifat fatal (Jekti 1990).

Pada penelitian ini tidak ditemukan isolat C. perfringens yang secara nyata bereaksi positif terhadap uji RPLA. Hasil negatif pada uji enterotoksin C. perfringens

kemungkinan karena strain menghasilkan jumlah toksin yang sangat rendah (≤1 ng/ml) sehingga tidak terdeteksi (Granum et al. 1984). Menurut brosur yang dikeluarkan oleh produsen kit, jumlah minimal enterotoksin yang dapat dideteksi oleh uji RPLA adalah 2 ng/ml supernatan (Oxoid 1998). Menurut Lukinmaa et al. (2002) strain positif-cpe C. perfringens dapat bereaksi negatif karena pertumbuhan strain melemah setelah perlakuan pemanasan, sehingga tidak dapat bersporulasi dan tidak cukup memproduksi enterotoksin atau gen cpe tidak berekspresi. Apabila isolat C. perfringens di kultur berulang-ulang, maka ukuran koloni yang tumbuh cenderung lebih kecil dari kultur induknya. Kondisi ini diduga juga menjadi penyebab tidak cukupnya produksi enterotoksin sehingga bereaksi negatif terhadap uji RPLA.

Wen dan McClane (2004) mendeteksi hanya 1.4% dari 900 isolat makanan retail non outbreak adalah C. perfringens tipe A cpe positif. Joshy et al (2006) menemukan bahwa dari 81% isolat C. perfringens yang menghasilkan spora, hanya 2% yang menghasilkan enterotoksin secara in vitro. Berdasarkan penelitian Kokai-Kun et al.

(1994) dan Daube et al. (1996) hanya sedikit fraksi (1-5%) C. perfringens tipe A yang membawa gen cpe. Gen cpe bisa berlokasi di kromosom atau plasmid. Sampel asal keracunan pangan biasanya memiliki gen cpe berlokasi di kromosom (Collie dan McClane 1998; Cornillot et al. 1995; Miyamoto et al. 2002; Sparks et al. 2001; Wen et al. 2003).

Daftar Pustaka

Afifi ZEM, Nasser SS, Shalaby S, Atlam SAE. 1998. Contamination of weaning foods: Organisms, channels, and sequelae. J. Trop. Pediatr. 44:335-337

Agostoni C et al. 2004. Preparation and handling of powdered infant formula: A commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 39:320–322.

Christiansson A, Bertilsson J, Svensson B. 1999. Bacillus cereus in raw milk: Factors affecting the contamination of milk during the grazing period. J. Dairy Sci. 82:305– 314.

Collie RE, McClane BA. 1998. Evidence that the enterotoxin gene can be episomal in

Clostridium perfringens isolates associated with non-foodborne human gastrointestinal diseases. J. Clin. Microbiol. 36:30–36.

Cornillot E et al. 1995. The enterotoxin gene (cpe) of Clostridium perfringens can be chromosomal or plasmid-borne. Mol. Microbiol. 15:639–647.

Cooper RM, McKillip JL. 2006. Enterotoxigenic Bacillus spp. DNA fingerprinting revealed in naturally contaminated nonfat dry powder using rep-PCR. J. Basic Microbiol. 46:350-364.

Daube G et al. 1996. Hybridization of 2,659 Clostridium perfringens isolates with gene probes for seven toxins (α, β, ε, , , μ and enterotoxin) and for sialidase. Am. J. Vet. Res. 57:496–501.

deKonig HW, Smith KR, Last JM. 1985. Biomass fuel consumption and health. Bull. World Health Organ. 63:11–26.

Edberg SC, LeClerc H, Robertson J. 1997. Natural protection of spring and well drinking water against surface microbial contamination. II. Indicators and monitoring parameters for parasites. Crit. Rev. Microbiol. 23: 179-206.

Ehiri JE et al. 2001. Critical control points of complementary food preparation and handling in eastern Nigeria. Bull. World Health Organ. 79: 423–433.

Gilman RH, Skillicorn P. 1985. Boiling of drinking water: can a fuel-scarce community afford it? Bull. World Health Organ. 63:157–163.

Granum PE, Telle W, Olsvik Ø, Stavn A. 1984. Enterotoxin formation by Clostridium perfringens during sporulation and vegetatif growth. Int. J. Food Microbiol. 1:43-49. Granum PE, Brynestad S, Kramer JM. 1993. Analysis of entrotoxin production by

Bacillus cereus from dairy products, food poisoning incidents and non-gastroenteritis infections. Int. J. Food Microbiol. 17:269-279.

Granum PE, Lund T. 1997. Bacillus cereus and its food poisoning toxins. FEMS Microbiol Lett. 157:223-228.

Gurtier JB, Beuchat LR. 2007. Survival of Enterobacter sakazakii in powdered infant formula as affected by composition, water activity, and temperature. J. Food Prot. 70:1579-1586.

Heikinheimo A, Lindström M, Granum PE, Korkeala H. 2006. Humans as reservoir for enterotoxin gene–carrying Clostridium perfringens type A. Emerg. Infect. Dis.

12:1724-1729.

Herdiana UR. 2007. Tingkat Keamanan Susu Bubuk Skim Impor Ditinjau dari Kualitas Mikrobiologiknya [thesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[HPFB] Health Products and Food Branch. 2008. Health Products and Food Branch Standards and Guidelines for Microbiological Safety of Food. Bureau of Microbial Hazards, Food Directorate, Health Products and Food Branch, Ottawa-Ontario.

Hörman A et al. 2004. Campylobacter spp., Giardia spp., Cryptosporidium, noroviruses and indicator organisms in surface water in southwestern Finland, 2000-2001. Appl. Environ. Microbiol. 70: 87-95.

Imong SM et al. 1989. The bacterial content of infant weaning foods and water in rural northern Thailand. J. Trop. Pediatr. 35:14-18.

Imong SM et al. 1995. Maternal behaviour and socio-economic influences on the bacterial content of infant weaning foods in rural northern Thailand. J. Trop. Pediatr.

41:234-240.

in't Veld PH et al. 2001. Detection of genes encoding for enterotoxins and determination of the production of enterotoxin by HBL blood plates and immunoassays of psychrotrophic strains of Bacillus cereus isolated from pasteurized milk. Int. J. Food Microbiol. 64:63-70.

121 Jaquete CB, Beuchat LR. 1998. Survival and growth of psychrotrophic Bacillus cereus

in dry and reconstituted infant rice cereal. J. Food. Prot. 61:1629-1635.

Jekti RP. 1990. Pencemaran bahan makanan oleh mikroba. Cermin Dunia Kedok. 62:33-35.

Joshy at al. 2006. Enterotoxigenic Clostridium perfringens and sporadic diarrhoea: a study from an Indian tertiary care hospital. J. Med. Microbiol. 55:1757-1758.

Kindle G, Busse A, Kampa D, Konig UM, Daschner FD. 1996. Killing activity of microwaves in milk. J. Hosp. Infect. 33:273–278.

Kokai-Kun JF, Songer JG, Czeczulin JR, Chen F, McClane BA. 1994. Comparison of Western immunoblots and gene detection assays for identification of potentially enterotoxigenic isolates of Clostridium perfringens. J. Clin. Microbiol. 32:2533– 2539.

Koransky JR, Allen SD, Dowell Jr VR. 1978. Use ethanol for selective isolation of sporeforming microorganism. Appl. Environ. Microbiol. 35:762-765.

Lee SY, Chung HJ, Shin JH, Dougherty RH, Kangi DH. 2006. Survival and growth of foodborne pathogens during cooking and storage of oriental-style rice cakes. J. Food Prot. 69:3037-3042.

Lukinmaa S, Takkunen E, Siitonen A. 2002. Molecular epidemiology of Clostridium perfringens related to food-borne outbreaks of disease in Finland from 1984 to 1999.

Appl. Environ. Microbiol. 68:3744–3749.

Magnusson M, Christiansson A, Svensson B. 2007. Bacillus cereus spores during housing of dairy cows: Factors affecting contamination of raw milk. J. Dairy Sci. 90:2745–2754.

McFarland LV, Mulligan ME, Kwok RYY, Stamm WE. 1989. Nosocomial acquisition of Clostridium difficile infection. N. Engl. J. Med. 320:204–210.

Mintz E, Bartram J, Lochery P, Wegelin M. 2001. Not just a drop in the bucket: Expanding access to point-of-use water treatment systems. Am. J. Public Health

91:1565-1570.

Miyamoto K, Chakrabarti G, Morino Y, McClane BA. 2002. Organization the plasmid

cpe locus of Clostridium perfringens type A isolates. Infect. Immun. 70:4261–4272. Moravek M et al. 2006. Determination of the toxic potential of Bacillus cereus isolates

by quantitative enterotoxin analyses. FEMS Microbiol. Lett. 257:293-298.

Novak JS, Juneja VK, McClane BA. 2008. An ultrastructural comparison of spores from

Dokumen terkait