• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keamanan Makanan Tambahan Pemulihan bagi Balita Penderita Gizi Buruk Berdasarkan Analisis Mikrobiologik Bacillus cereus dan Clostridium perfringens di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keamanan Makanan Tambahan Pemulihan bagi Balita Penderita Gizi Buruk Berdasarkan Analisis Mikrobiologik Bacillus cereus dan Clostridium perfringens di Kabupaten Bogor"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

BERDASARKAN ANALISIS MIKROBIOLOGIK

Bacillus cereus

DAN

Clostridium perfringens

DI KABUPATEN BOGOR

MAYA PURWANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keamanan Makanan Tambahan Pemulihan bagi Balita Penderita Gizi Buruk Berdasarkan Analisis Mikrobiologik Bacillus cereus dan Clostridium perfringens di Kabupaten Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian disertasi ini.

Bogor, Januari 2009

(3)

MAYA PURWANTI. The Safety of Recovery Food for Children Below Five Years According to Microbiological Analysis of Bacillus cereus and Clostridium perfringens

in Bogor District. Under the direction of MIRNAWATI SUDARWANTO, WINIATI PUJI RAHAYU, and AGATHA WINNY SANJAYA.

Through a nutritional improvement project, Bogor District had donated powdered milk formula (PMF) for severe malnutrition children below five years. Powdered milk formula was assumed as an unsterilized product, because it might contain microbes. To evaluate the bacterial contaminant, forty eight samples of donated PMF were taken proportional from ten Puskesmas in Kabupaten Bogor. To evaluate the home prepared milk formula, 50 samples of PMF, reconstitution formula, drinking water, drinking equipment, and hand swabs, was taken from the mothers. To evaluate the knowledge,

attitude and behavior of the safety of reconstituted and home storage of PMF, 50 questioners were given to the mothers. Microbe samples were analyzed for total

aerobic plate counts, Bacillus cereus and Clostridium perfringens. The median counts for total aerobic count were 4.7 x 102 CFU/g. The value of total aerobic count less than 1 x 104 CFU/g is used as a basic standard for baby food (SNI 01-7111.1-2005). Approximately 30.6% products were contaminated by B. cereus with a median count 1.4 x 102 CFU/g. The presences of C. perfringens in all samples were not detected. Australian and New Zealand Food Standard (Standard 1.6.1-Microbiological Limit for Food 2001) for follow-on milk formula were used as a basic standard for of B. cereus and

C. perfringens and the acceptance number of B. cereus were 102 CFU/g and

C. perfringens <1 CFU/g. All of the follow-on milk formulas were safe to be distributed and consumed. Attention must be taken, because 4 samples (26.7%) contained B. cereus

was able to produce enterotoxin. Improper home storage could promote the growth of aerobic microbe and B. cereus. Improper preparation would promote the growth of

B. cereus which present initially at low level (mean 7.8 x 10 CFU/g) and became 1.6 x 103 CFU/ml after the reconstitution had done. C. perfringens emerge at 4 samples (mean 1.5 x 10 CFU/ml) after the reconstitution. Several isolate of B. cereus (4 from PMF, 13 from opened PMF, and 2 from reconstitution formula) showed a possibility to produce diarrheagenic enterotoxin while the isolate of C. perfringens did not show it. The spore of B. cereus and C. perfringens could survive in different preparation temperature (25, 35 and 70ºC for B. cereus and 25, 47, 70ºC for C. perfringens) and storage abuse (with <50 and >70% humidity; opened, closed and opened twice a day in observation). Bacteria population increased ≥1 log within 3 hours at room temperature (28-29ºC). The microorganism could survive from dry condition, especially when aw of the formulas increased cause of storage abuse. The result from questioners and microbe samples shown, that mothers knowledge of milk safety were correlated to the number of their children (r=-0.34). The carefullness attitude of mothers were correlated to the knowledge of milk safety (r=0.51), the family income (r=0.28) and the number of their children (r=-0.40). The healthy behaviour of mothers were correlated to knowledge of milk safety (r=0.31), the family income (r=0.37), and carefulness attitude (r=0.30). It is suggested, that changing mothers knowledge of milk safety are necessary.

(4)

RINGKASAN

MAYA PURWANTI. Keamanan Makanan Tambahan Pemulihan bagi Balita Penderita Gizi Buruk Berdasarkan Analisis Mikrobiologik Bacillus cereus dan

Clostridium perfringens di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh MIRNAWATI

SUDARWANTO, WINIATI PUJI RAHAYU, dan AGATHA WINNY SANJAYA.

Tingginya prevalensi balita yang menderita gizi buruk, menyebabkan Pemerintah melakukan program pemberian makanan tambahan pemulihan (MT-P) yang dilakukan selama 6 bulan. Pada tahun 2006, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui Program Perbaikan Gizi bagi Balita memberikan MT-P bagi 4163 balita penderita gizi buruk. MT-P yang dibagikan berupa susu formula lanjutan bubuk, seberat 400 gram yang dikemas dalam kantong aluminium dan dikemas dalam karton. Satu kemasan susu formula lanjutan harus dikonsumsi dalam waktu 5 hari. Susu formula bubuk sebenarnya bukan bahan pangan yang steril, perlakuan dalam pengolahannya belum mampu mengeliminasi seluruh mikroba yang ada di dalam susu mentahnya. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus cereus dan Clostridium perfringens yang ditemukan dalam susu mentah masih mampu bertahan selama proses pengolahan karena sporanya tahan terhadap pemanasan. Bentuk bubuk dan bersifat mudah larut, kadang membuat ibu kurang waspada dalam menjaga tatacara penyimpanan dan pelarutan, sehingga tanpa disadari menyebabkan bakteri tumbuh atau bertambah jumlah dan jenisnya. B. cereus

enterotoksigenik dan C. perfringens tipe A terdistribusi luas di lingkungan, apabila balita meminum susu formula tercemar akan berisiko terserang gastroenteritis. Namun diare kategori sedang yang melibatkan kedua bakteri tersebut oleh masyarakat cenderung dianggap biasa, sebab dengan tanpa pengobatan diare tersebut dapat sembuh sehingga tidak dilaporkan. Bagi balita penderita gizi buruk, diare tersebut akan berpengaruh nyata pada berat badan dan status kesehatan umumnya, sehingga pencapaian status gizi baik dan sehat menjadi lebih lama. Secara umum budaya minum susu di kalangan masyarakat Indonesia masih rendah (9.35 liter/kapita/tahun), selain itu masyarakat di pedesaan cenderung lebih menyukai mengkonsumsi susu kental manis dibandingkan susu bubuk. Melihat kondisi ini, pemberian bantuan dengan bahan dasar susu bubuk kepada masyarakat yang tidak terbiasa mengkonsumsinya perlu dicermati.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk: (1) mendeteksi dan mengevaluasi keberadaan B. cereus dan C. perfringens dalam MT-P yang dibagikan dan dikonsumsi balita penderita gizi buruk dan kemampuannya dalam membentuk enterotoksin, (2) mengkaji potensi pertumbuhan spora B. cereus dan C. perfringens dalam susu formula bubuk dan siap konsumsi (3) mengevaluasi kesadaran ibu dalam mencegah masuknya kontaminan dalam MT-P yang disimpan di rumah dan siap konsumsi bagi balitanya, dan (4) menganalisis pengaruh berbagai faktor yang berpengaruh dalam penyimpanan dan penyajian MT-P, khususnya terhadap keberadaan B. cereus dan

C. perfringens.

(5)

mengisi kuesioner. Penelitian lapangan dan pengambilan sampel dilakukan mulai bulan Juli 2006 sampai Januari 2007. Isolasi, identifikasi mikrobiologik serta pengkajian preparasi dan penyimpanan dilakukan di Laboratorium Bakteriologi dan Laboratorium Terpadu FKH IPB dari Juli 2006 sampai Januari 2008. Sampel mikrobiologik dianalisis terhadap keberadaan mikroba aerob, B. cereus dan C. perfringens serta kemampuan isolat dalam memproduksi enterotoksin (RPLA kit).

Median mikroba aerob untuk MT-P yang dibagikan adalah 4.7 x 102 CFU/g, merupakan nilai dibawah standar SNI 01-7111.1-2005 yang mencantumkan jumlah total mikroba aerob harus kurang dari 1.0 x 104 CFU/g. 30.6% MT-P terkontaminasi oleh

B. cereus dengan median 1.4 x 102 CFU/g. Tidak ditemukan C. perfringens dalam sampel yang diuji. Berdasarkan Australian and New Zealand Food Standard (Standard 1.6.1-Microbiological Limit for Food 2001) untuk susu formula lanjutan jumlah B. cereus

yang dapat diterima adalah 102 CFU/g dengan maksimal 103 CFU/g dalam 40% sampel yang diuji dan C. perfringens <1 CFU/g. Dengan demikian MT-P yang dibagikan tersebut aman untuk dikonsumsi. Kewaspadaan tetap harus dijaga karena 4 sampel (26.7%) mengandung B. cereus yang mampu memproduksi enterotoksin.

Penyimpanan yang kurang baik di rumah menyebabkan pertumbuhan mikroba aerob, Bacillus spp. dan B. cereus. Berdasarkan analisis one-way anova pada jumlah mikroba aerob, waktu penyimpanan berpengaruh pada total jumlah mikroba. Dengan uji

Wilcoxon Signed Rank jumlah bakteri secara signifikan berubah setelah hari ke-2 (p<0.01), dengan penyebab rekontaminasi adalah dari tangan responden (r=0.45, p<0.01) dan cara penyimpanan produk yang sudah dibuka (r=-0.50, p<0.05). Jumlah mikroba aerob dalam MT-P yang sudah dibuka, 100% dibawah standar (104 CFU/g) dan jumlah

B. cereus masih di dalam rentang standar (103 CFU/g). Kewaspadaan tetap harus ditingkatkan karena dari 30 isolat B. cereus yang diuji, 43% mempunyai potensi untuk memproduksi enterotoksin.

Preparasi MT-P yang tidak semestinya menyebabkan pertumbuhan B. cereus yang pada awalnya rendah (rata-rata 7.8 x 10 CFU/g) menjadi 1.6 x 103 CFU/ml, dan munculnya 4 sampel yang mengandung C. perfringens (rata-rata 1.5 x 10 CFU/ml). Berdasarkan analisis, 96% sampel memiliki jumlah mikroba aerob diatas standar (102 CFU/ml), 10% sampel mengandung B. cereus yang melebihi standar (102 CFU/ml) dan 8% sampel mengandung C. perfringens yang melebihi standar (< 1 CFU/ml). Bertambahnya jumlah mikroba di dalam MT-P siap konsumsi disebabkan karena responden tidak melarutkan MT-P pada suhu yang disarankan (minimal 70°C) tetapi dibawahnya (98% responden). Suhu preparasi berhubungan negatif terhadap pertumbuhan bakteri (r=-0.25). Dengan demikian semakin tinggi suhu yang digunakan (≥70°C) untuk preparasi, maka jumlah mikroba yang ada didalam MT-P akan menurun jumlahnya. Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan bertambahnya jumlah bakteri di dalam MT-P siap konsumsi adalah: MT-P bubuk (r=0.32), tempat minum (r=0.30), dan tangan kanan ibu (r=0.24). Dengan demikian ada 3 faktor yang dapat dikendalikan oleh responden, dan satu faktor (MT-P bubuk) yang harus dikendalikan oleh pabrikan. Kewaspadaan harus ditingkatkan karena 15 isolat B. cereus (2 dari MT-P bubuk, 2 dari MT-P siap konsumsi, 1 dari air matang, 4 dari tempat minum, dan 6 dari tangan

responden) memiliki kemampuan menghasilkan enterotoksin, sementara isolat

C. perfringens tidak.

Spora B. cereus dan C. perfringens dapat bertahan dan tumbuh dalam berbagai

suhu awal preparasi (25, 35 and 70ºC untuk B. cereus dan 25, 45, 70ºC untuk

(6)

dalam wadah terbuka, tertutup dan yang dibuka 2 kali dalam sehari). Populasi bakteri dalam MT-P terlarut meningkat sebanyak ≥1 log dalam 3 jam penyimpanan di suhu ruang (28-29ºC). Spora kedua bakteri dapat bertahan dari kondisi kering, khususnya jika aw MT-P meningkat akibat penyimpanan yang menyimpang.

Dari analisis kuesioner dan mikrobiologik sampel diketahui bahwa pengetahuan responden tentang tatacara menjaga keamanan MT-P berhubungan dengan beban anak yang dimiliki (r=-0.34). Sikap peduli responden terhadap keamanan MT-P berhubungan dengan pengetahuan tentang tatacara preparasi dan penyimpanan MT-P (r=0.51), jumlah uang yang dikelola responden setiap bulannya (r=0.28) dan beban anak yang dimiliki (r=-0.40). Perilaku responden dalam menjaga keamanan MT-P berhubungan dengan pengetahuan tentang tatacara preparasi dan penyimpanan MT-P (r=0.31), jumlah uang yang dikelola responden setiap bulannya (r=0.37), dan sikap peduli (r=30).

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Mengutip tidak merugikan kepentingan yang wajar

Institut Pertanian Bogor

(8)

KEAMANAN MAKANAN TAMBAHAN PEMULIHAN

BAGI BALITA PENDERITA GIZI BURUK

BERDASARKAN ANALISIS MIKROBIOLOGIK

Bacillus cereus

DAN

Clostridium perfringens

DI KABUPATEN BOGOR

MAYA PURWANTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji luar komisi :

Ujian Tertutup : Dr. Drh. Denny W. Lukman, M.Si

(10)

Judul Disertasi : KEAMANAN MAKANAN TAMBAHAN PEMULIHAN BAGI BALITA PENDERITA GIZI BURUK BERDASARKAN ANALISIS MIKROBIOLOGIK Bacillus cereus DAN Clostridium perfringens DI KABUPATEN BOGOR

Nama : Maya Purwanti

NRP. : B 063040081 Program Studi : Sains Veteriner

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Drh. Mirnawati Sudarwanto Prof. Dr. Ir. Winiati Puji Rahayu, MS --- ---

Ketua Anggota

Dr. Drh. Agatha Winny Sanjaya, MS ---

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana

Drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, PhD Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini mengambil judul Keamanan Makanan Tambahan Pemulihan bagi Balita Penderita Gizi Buruk Berdasarkan Analisis Mikrobiologik Bacillus cereus dan Clostridium perfringens Di Kabupaten Bogor, sebuah penelitian yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengayaan materi dan metode penyuluhan, khususnya penyuluhan di bidang kesehatan.

Terima kasih saya sampaikan kepada Prof. Dr. Drh. Mirnawati Sudarwanto, Prof. Dr. Ir. Winiati Puji Rahayu, MS dan Dr. Drh. Agatha Winny Sanjaya, MS yang selalu menyempatkan waktu memberikan bimbingan, mengarahkan dan memberikan masukan mulai dari awal penelitian sampai selesainya disertasi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, MSi, Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc, Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MSi yang bertindak sebagai penguji luar komisi pada Sidang Ujian Tertutup dan Sidang Ujian Terbuka. Merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan bagi saya, bahwa ditengah kesibukan bapak dan ibu, masih menyempatkan diri untuk memberi suntikan pengetahuan dan masukan bagi kesempurnaan disertasi ini.

Kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor beserta Kepala Puskesmas Caringin, Cijeruk, Sukamulya, Klapanunggal, Parung, Nanggung, Sukajaya, Tenjolaya, Lebakwangi, dan Jasinga yang telah memberikan ijin kepada saya untuk melakukan penelitian, juga kepada 50 orang ibu yang telah berpartisipasi sebagai responden, kepada para bidan, petugas gizi dan kader posyandu yang mendampingi selama penelitian di lapangan, saya ucapkan banyak terima kasih.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Drh. Widagdo Sri Nugroho, MP yang telah memberikan banyak masukan khususnya dalam teknik pengambilan sampel dan analisis data, serta sumbangan data tentang kondisi B. cereus dalam makanan bayi, biskuit dan susu formula yang beliau teliti. Terima kasih saya ucapkan kepada Laboratorium Bakteriologi, Laboratorium Terpadu, dan Laboratorium Bagian Kesmavet Departemen IPHK FKH IPB, Laboratorium Industri Makanan Ternak Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, Balai Besar Pelatihan Kesehatan Hewan Cinagara Bogor, Dr. Drh. Sri Murtini, MSi atas penggunaan fasilitas laboratorium dan penggunaan peralatan selama penelitian, juga kepada pak Agus Sumantri, pak Agus Effendy, mbak Shelyn, mbak Okti, mbak Ika, Nurul, Rani, Fajar, pak Ganda Permana (alm.), pak Rofiq, Abeng, dan bu Anis yang dengan sabar selalu melayani, menemani dan membantu selama penelitian. Juga kepada teman-teman pascasarjana, khususnya Program Studi Sains Veteriner angkatan 2004, yang selalu memberi semangat mulai dari penyusunan proposal sampai selesainya disertasi.

(13)

telah memberikan rekomendasi, Drh. Rochman Naim, PhD dan Dedy Kusnadi, SP, MSi yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan penelitian ini. Juga kepada seluruh teman-teman di Jurusan Penyuluhan Peternakan dan Pertanian, atas doa, dorongan dan perhatiannya, juga teman-teman lainnya yang tak dapat saya sebutkan satu per satu.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada Drh. Lily Natalia, M.App.Sc, Dr. Ir. Anya Meryandini, pak Safrudin dan pak Andi yang telah membantu saya memahami karakter C. perfringens. Juga kepada ibu Sri Purnomo, BA atas koleksi B. cereus dan Laboratorium Mikrobiologi FKH UGM atas koleksi C. perfringens.

Semoga karya ilmiah ini benar-benar bisa memberikan kontribusi di dalam menciptakan Indonesia Sehat 2015.

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 27 Juni 1959 sebagai anak pertama dari pasangan Martopo Surono (alm.) dan Siti Suwarni. Pendidikan dasar sampai sekolah menengah atas diselesaikan di Madiun. Pendidikan Kedokteran Hewan ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1987, penulis diterima di Program Studi Sains Veteriner Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian Fakultas Pasca Sarjana UGM dan menamatkannya pada tahun 1989. Pada tahun 2004, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sains Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Sumberdaya Manusia Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai dosen pada Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor Jurusan Penyuluhan Peternakan sejak tahun 1983, yaitu sejak lembaga pendidikan ini masih bernama Sekolah Pertanian Pembangunan-Sekolah Peternakan Menengah Atas (SPP-SNAMA) Cinagara-Bogor. Mata kuliah yang diasuh selama ini adalah mata kuliah yang membahas tentang Kesehatan Hewan dan Reproduksi Ternak.

Penulis menikah dengan Ir. Mohammad Yamin Baso dan dikaruniai 4 orang anak, yaitu Farrah Kartika Maharani, SPt., Nadia Putri Paramitha, Mohammad Iqbal Maulana dan Natasha Kartini Puspitasari.

Sebagian disertasi telah diterbitkan pada Forum Pascasarjana Vol. 31 No. 4 tahun 2008 dengan judul Pertumbuhan Bacillus cereus dan Clostridium perfringens

pada Makanan Tambahan Pemulihan bagi Balita Penderita Gizi Buruk yang merupakan bagian dari Bab “Deteksi Keberadaan Bakteri Pembentuk Spora dalam Makanan Tambahan Pemulihan bagi Balita Penderita Gizi Buruk” dan Bab “Pertumbuhan

Bacillus cereus dan Clostridium perfringensPada Makanan Tambahan Pemulihan yang Dikonsumsi Balita Penderita Gizi Buruk”, dan pada Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 3 No. 1 tahun 2008 dengan judul Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu terhadap Keamanan Makanan Tambahan Pemulihan yang Dikonsumsi Balita Penderita Gizi Buruk yang merupakan bagian dari Bab “Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu Terhadap Keamanan Makanan Tambahan Pemulihan yang Dikonsumsi Balita Penderita Gizi Buruk”.

(15)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 4

Manfaat ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Balita dan Gizi Buruk ... 5

Makanan Tambahan Pemulihan ... 8

Risiko Kontaminasi pada Susu Bubuk ... 9

Higiene dalam Menyiapkan Makanan dan Minuman di Rumah ... 13

Kontaminasi B. cereus dan C. perfringens ... 15

Deteksi Keberadaan B. cereus dan C. perfringens dalam Makanan... 19

Deteksi Kemampuan B. cereus dan C. perfringens dalam Memproduksi Enterotoksin ... 21

Daftar Pustaka ... 22

BAHAN DAN METODA Waktu dan Tempat ... 29

Bahan dan Alat ... 29

Metoda ... 30

Daftar Pustaka ... 47

DETEKSI KEBERADAAN BAKTERI PEMBENTUK SPORA DALAM MAKANAN TAMBAHAN PEMULIHAN BAGI BALITA PENDERITA GIZI BURUK Abstract ... 49

Pendahuluan ... 49

Bahan dan Metoda ... 51

Hasil dan Pembahasan ... 52

Simpulan dan Saran ... 56

Daftar Pustaka ... 57

PERTUMBUHAN Bacillus cereus DAN Clostridium perfringens PADA MAKANAN TAMBAHAN PEMULIHAN YANG DIKONSUMSI BALITA PENDERITA GIZI BURUK Abstract ... 60

(16)

Bahan dan Metoda ... 62

Hasil dan Pembahasan ... 65

Simpulan dan Saran ... 76

Daftar Pustaka ... 77

PENGARUH BERBAGAI KONDISI PREPARASI DAN PENYIMPANAN SUSU FORMULA PADA PERTUMBUHAN SPORA Bacillus cereus DAN Clostridium perfringens Abstract ... 79

Pendahuluan ... 79

Bahan dan Metoda ... 81

Hasil dan Pembahasan ... 83

Simpulan dan Saran ... 91

Daftar Pustaka ... 91

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU IBU TERHADAP KEAMANAN MAKANAN TAMBAHAN PEMULIHAN YANG DIKONSUMSI BALITA PENDERITA GIZI BURUK Abstract ... 94

Pendahuluan ... 94

Bahan dan Metoda ... 96

Hasil dan Pembahasan ... 98

Simpulan dan Saran ... 107

Daftar Pustaka ... 108

PEMBAHASAN UMUM Mikroba Aerob dalam Makanan Tambahan Pemulihan ... 112

Keberadaan B. cereus dalam Makanan Tambahan Pemulihan ... 114

Keberadaan C. perfringens dalam Makanan Tambahan Pemulihan ... 117

Potensi Produksi Enterotoksin dari Isolat B. cereus dan C. perfringens .. 118

Daftar Pustaka ... 119

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 124

Saran ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 127

(17)

Halaman 1 Jumlah balita dan balita penderita gizi buruk dari tahun 2001-2007 di

Kabupaten Bogor ... 6

2 Mikroorganisme utama yang dapat ditemukan dalam susu segar ... 10

3 Standar mikrobiologik dalam peraturan di beberapa negara/lembaga yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi ... 12

4 Prevalensi cemaran B. cereus dalam susu dan produknya ... 16

5 Karakteristik penyakit akibat B. cereus ... 17

6 Tipe C. perfringens dan toksin yang dihasilkannya ... 19

7 Hasil uji validitas dan realibilitas kuesioner penelitian ... 33

8 Nilai total mikroba aerob, Bacillus spp. dan Clostridium spp. dalam MT-P bantuan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2006 ... 53

9 Nilai B. cereus dan C. perfringens dalam MT-P bantuan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2006 ... 54

10 Tinjauan hasil pengujian berdasarkan SNI 01-7111.1-2005 dan Standard 1.6.1- Microbiological Limit for Food 2001 ... 56

11 Nilai median jumlah bakteri dalam MT-P yang sudah dibuka selama 6 hari penyimpanan di rumah responden ... 65

12 Kesesuaian hasil penyimpanan MT-P di rumah dengan SNI 01-7111.1-2005 dan Standard 1.6.1- Microbiological Limit for Food 2001 ... 68

13 Rata-rata jumlah mikroba aerob, Bacillus spp., B. cereus, Clostridium spp., dan C. perfringens dalam MT-P sebelum dan sesudah preparasi dan kontrol serta kemampuannya dalam membentuk enterotoksin ... 71

14 Kesesuaian hasil pemeriksaan MT-P siap konsumsi dengan SNI 01-7111.1- 2005 dan Standar 1.6.1-Microbiological Limit for Food 2001 ... 72

15 Pengaruh suhu pelarutan MT-P pada pertumbuhan mikroba aerob, Bacillus spp., B. cereus, Clostridium spp., dan C. perfringens dalam MT-P siap konsumsi ... 73

16 Rata-rata jumlah mikroba aerob, Bacillus spp., B. cereus, Clostridium spp., dan C. perfringens dalam air minum, tempat minum dan tangan responden 74

17 Korelasi jumlah mikroba aerob dalam MT-P siap konsumsi dengan MT-P bubuk, air minum matang, tempat minum, tangan kanan, tangan kiri dan suhu awal preparasi ... 75

18 Alternatif model regresi untuk jumlah mikroba aerob dalam MT-P siap konsumsi ... 76

19 Rata-rata waktu generasi B. cereus dan C. perfringens dalam susu formula yang dipreparasi dalam berbagai suhu ... 85

(18)

21 Persentase pengetahuan responden tentang tatacara pelarutan dan

penyimpanan MT-P ... 102 22 Persentase jawaban responden terhadap unsur sikap menjaga keamanan

MT-P ... 103 23 Observasi perilaku responden dalam melarutkan MT-P ditinjau dari jumlah

(19)

Halaman

1 Penyebab langsung dan tidak langsung balita menderita malnutrisi... 8

2 Perubahan warna dan pertumbuhan pada agar MYP setelah diinokulasi dengan B. subtilis dan B. cereus... 20

3 Pertumbuhan koloni C. perfringens pada agar TSC ... 20

4 Reaksi yang terjadi pada RPLA ... 21

5 Desain penelitian keamanan MT-P bagi balita penderita gizi buruk ... 31

6 Lokasi pengambilan sampel dan domisili responden di wilayah 10 Puskesmas di Kabupaten Bogor ... 32

7 Pertumbuhan mikroba aerob dalam berbagai sampel yang diperiksa ... 35

8 Skema pengujian sampel terhadap B. cereus ... 36

9 Bacillus cereus dalam pewarnaan Gram ... 37

10 Perubahan warna broth glukosa merah phenol setelah diinokulasi B. cereus dan diinkubasi secara anaerob ... 37

11 Perubahan warna broth nitrat setelah direduksi menjadi nitrit oleh isolat B. cereus ... 38

12 Perubahan warna medium VP setelah diproduksinya asetilmetilkarbinol oleh isolat B. cereus ... 38

13 Tipe pertumbuhan pada medium motilitas setelah diinokulasi dengan isolat B. cereus ... 39

14 Skema pengujian sampel terhadap C. perfringens ... 40

15 Clostridium perfringens dalam pewarnaan Gram ... 40

16 Reaksi pencairan gelatin pada medium laktose gelatin yang diinokulasi dengan isolat C. perfringens ... 41

17 Reaksi reduksi nitrat menjadi nitrit pada medium yang diinokulasi dengan isolat C. perfringens ... 42

18 Reaksi yang terjadi pada uji RPLA ... 43

19 Aw-meter yang digunakan ... 46

20 Kurva pertumbuhan bakteri dan rumus waktu generasi ... 47

21 Gambaran jumlah mikroba aerob pada MT-P yang diambil dari rumah responden pada hari ke-0 sampai hari ke-6 ... 66

22 Gambaran jumlah Bacillus spp. pada hari ke-0, 2 dan 4 pada MT-P yang disimpan di rumah responden ... 67

(20)

24 Gambaran jumlah mikroba aerob dalam berbagai cara penyimpanan MT-P

di rumah responden ... 69 25 Gambaran jumlah Bacillus spp. dalam berbagai cara penyimpanan MT-P

di rumah responden ... 70 26 Penurunan suhu larutan susu formula yang disimpan selama 4 jam pada

suhu ruangan ... 83 27 Pertumbuhan spora dan sel vegetatif B. cereus pada susu formula yang

dipreparasi pada berbagai suhu yang disimpan selama 4 jam pada suhu

ruangan ... 84 28 Pertumbuhan spora dan sel vegetatif C. prefringens pada susu formula

yang dipreparasi pada berbagai suhu yang disimpan selama 4 jam pada

suhu ruangan ... 84 29 Perubahan aw susu formula pada berbagai cara penyimpanan di ruang

berkelembaban <50% selama 5 hari ... 87 30 Perubahan aw susu formula pada berbagai cara penyimpanan di ruang

berkelembaban >70% selama 5 hari ... 87 31 Perubahan partikel susu formula bubuk setelah 5 hari penyimpanan ... 88 32 Pertumbuhan spora dan sel vegetatif B. cereus dalam susu formula bubuk

yang ditempatkan dalam berbagai tipe wadah dan disimpan pada ruang

berkelembaban <50% selama 5 hari ... 89 33 Pertumbuhan spora dan sel vegetatif B. cereus dalam susu formula bubuk

yang ditempatkan dalam berbagai tipe wadah dan disimpan pada ruang

berkelembaban >70% selama 5 hari ... 89 34 Pertumbuhan spora dan sel vegetatif C. perfringens dalam susu formula

bubuk yang ditempatkan dalam berbagai tipe wadah dan disimpan pada

ruang berkelembaban <50% selama 5 hari ... 90 35 Pertumbuhan spora dan sel vegetatif C. perfringens dalam susu formula

bubuk yang ditempatkan dalam berbagai tipe wadah dan disimpan pada

ruang berkelembaban >70% selama 5 hari ... 90 36 Tempat penyimpanan air minum skala rumah tangga yang

(21)

Halaman 1 Penentuan jumlah dan sasaran penelitian berdasarkan alokasi pemberian

MT-P bagi balita penderita gizi buruk di Kabupaten Bogor tahun 2006 ... 142 2 Kuesioner Penelitian dan Kunci Penilaian ... 145 3 Analisis data mikrobiologik MT-P yang dibagikan ... 150 4 Analisis data mikrobiologik MT-P yang disimpan di rumah responden .... 152 5 Analisis data mikrobiologik MT-P yang dikonsumsi balita penderita

gizi buruk ... 164 6 Analisis data kajian pertumbuhan B. cereus dan C. perfringens dalam

susu formula ... 167 7 Tabel hasil analisis korelasi Spearman pada data kuesioner pengetahuan,

(22)

DAFTAR SINGKATAN

°C derajat Celcius

% persen

Σ jumlah

aw water activity, aktivitas air

BB berat badan

BCET enterotoksin yang diproduksi oleh Bacillus cereus

c jumlah maksimum unit sampel yang secara marginal dapat diterima. CAC Codex Allimentarius Commission

CFR Current Federal Rule CFU colony forming unit cm2 senti meter persegi

cpe gen enterotoksin

CPE enterotoksin yang diproduksi oleh C. perfringens

Depkes Departemen Kesehatan FDA Food and Drug Administration

FSANZ Food Standard Australia New Zealand g gram

G generation time, waktu generasi

HBL Hemolisin BL

HPFB Health Products and Food Branch

ICMSF International Commission of Microbiological Spesification for Foods Kab. Kabupaten

kDa kilo Dalton

KEP kurang energi protein

Lot suatu batch atau unit produksi yang diidentifikasi dengan kode yang sama. Jika tidak ada kode, maka pertimbangan dapat diberikan sebagai (a) sejumlah produk yang diproduksi pada kondisi dan cara pembuatan yang sama dan diproduksi dalam satu hari yang sama, atau (b) sejumlah produk yang sama berasal dari satu atau lebih produsen yang dapat disampling pada satu lokasi tertentu

(23)

M (hanya untuk 3-class plan) suatu jumlah mikroba yang jika dicapai mengindikasikan adanya potensi bahaya kesehatan, mendekati busuk atau ketidakbersihan; merupakan jumlah yang memisahkan antara kualitas marginal yang dapat diterima dengan kualitas yang tidak sempurna. Jika persyaratannya dilampaui, maka lot menjadi tidak dapat diterima.

m2 meter persegi

ml mili liter

MP-ASI makanan pendamping air susu ibu MPN most probable number

MT-P makanan tambahan pemulihan MYP mannitol yolk polymicin

n jumlah unit sampel yang dipilih dari sebuah lot produk dan diuji untuk memenuhi persyaratan diterimanya produk.

NCHS National Centre for Health Statistics

ng nano gram

NHE enterotoksin non hemolitik

PBB Persatuan Bangsa-Bangsa

PET Perfringens enterotoxsin

Posyandu Pos Pelayanan Terpadu Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat

r koefisien korelasi

RCP Recommended International of Code Practice RPLA reverse passive latex agglutination

SD standar deviasi

SNI standar nasional Indonesia

spp. banyak spesies

t time, waktu

UHT Ultra High Temperature

(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 menjadi pencetus terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang telah menyebabkan jumlah penduduk miskin bertambah. Krisis ini diperburuk oleh bencana kekeringan panjang selama tahun 1997 dan berbagai transisi politik. Faktor-faktor ekonomi seperti lonjakan harga kebutuhan pokok, penurunan produksi pertanian dan tingkat pendapatan di daerah pedesaan, kontraksi sektor riil perkotaan dan tekanan pada keseluruhan pasar kerja secara bersamaam berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan penduduk berpenghasilan rendah (Irawan dan Romdiati 2000).

Kondisi sosial-ekonomi sebagian besar penduduk yang menurun menyebabkan konsumsi pangan juga terpengaruh. Konsumsi zat gizi penduduk, terutama kelompok berpenghasilan rendah, akan berkurang akibat melonjaknya harga-harga bahan kebutuhan pokok. Ditambah dengan rendahnya rata-rata tingkat pendidikan, penyakit infeksi serta perilaku dan budaya masyarakat yang kurang mendukung gizi serta kesehatan ibu dan anak, akan semakin mengabaikan pemenuhan kebutuhan gizi untuk tumbuh kembang balita.

Undang-Undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang merupakan salah satu bentuk peduli negara atas hak azasi anak, diratifikasi dari hasil Konvensi Internasional Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) pada sidang umum bulan November 1989 dan diberlakukan mandatory oleh PBB bulan September 1990. UU RI nomor 23 tahun 2002 berisikan hak anak untuk mendapat perlindungan terhadap kekerasan fisik, diskriminasi, hak untuk mendapat kecukupan gizi dan kesehatan serta hak untuk mendapatkan kemudahan pelayanan kesehatan dan sosial. Orang tua, keluarga, pemerintah dan negara wajib mengusahakan agar anak-anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan atau menimbulkan cacat tubuh.

(25)

dengan risiko gizi buruk (Koban 2008). Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena anak-anak merupakan generasi penerus bangsa yang kualitasnya perlu dijaga.

Untuk memperbaiki kondisi balita tersebut, Pemerintah telah melakukan campur tangan dengan memberikan makanan tambahan pemulihan (MT-P) (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1997). Pemerintah Kabupaten Bogor pada tahun 2006 melalui Program Perbaikan Gizi bagi Balita (umur 24-59 bulan) Penderita Gizi Buruk, mengadakan MT-P dalam dua bentuk yaitu makanan suplemen yang diberikan pada 30 hari pertama dan susu formula lanjutan yang diberikan selama 150 hari berikutnya (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2006). Baik paket makanan suplemen maupun susu formula bentuknya bubuk instan, sehingga hanya diseduh dengan air hangat, sudah siap dikonsumsi oleh balita. Amanat UU RI nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan menekankan bahwa produk yang dibagikan harus terjamin kualitas gizinya dan aman untuk dikonsumsi.

Susu formula bubuk dibuat dengan mengolah susu sapi menjadi susu bubuk, dengan menambahkan bahan-bahan lain (vitamin, mineral) disesuaikan dengan kebutuhan gizi bayi atau balita. Susu formula bubuk sebenarnya bukan bahan pangan yang steril (Dadhicd 2006), perlakuan dalam pengolahannya (pasteurisasi, konsentrasi dan pengeringan) belum mampu mengeliminasi seluruh mikroba yang ada didalam susu mentahnya. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus spp. dan Clostridium spp. yang ditemukan dalam susu mentah masih mampu bertahan selama proses pengolahan karena sporanya tahan terhadap pemanasan (Muir 2000). Melihat keadaan tersebut, susu formula bubuk bagi bayi dan balita dikategorikan ke dalam pangan berisiko tinggi, sehingga membutuhkan persyaratan yang lebih ketat dalam penyajian dan penyimpanannya.

Bentuk bubuk dan bersifat mudah larut, kadang membuat ibu kurang waspada dalam tatacara penyimpanan dan pelarutannya, sehingga tanpa disadari menyebabkan

bakteri tumbuh atau bertambah jumlah dan jenisnya. B. cereus enterotoksigenik dan

C. perfringens tipe A terdistribusi luas di lingkungan (Labbe 1989), apabila balita meminum susu formula tercemar akan berisiko terserang gastroenteritis. Sebuah kejadian luar biasa di Chile yang melibatkan 35 neonatus diduga berhubungan dengan keracunan makanan akibat B. cereus dalam susu bubuk (Cohen et al. 1984). Level spora B. cereus

yang terdeteksi dalam susu berkisar antara 50-200 spora/g. Keberadaan B. cereus

enterotoksigenik dalam makanan bayi yang didistribusikan di 17 negara telah dilaporkan oleh Becker et al. (1994). Efuntoye dan Adetosoye (2004) melaporkan bahwa 3% kasus diare sporadik pada balita di Nigeria disebabkan oleh Clostridium sp., dimana 72% adalah

(26)

3

(food-borne disease) yang disebabkan C. perfringens diperkirakan mencapai 10% per tahun (Blaschek 1999).

B. cereus adalah bakteri aerob Gram positif yang mampu membentuk spora dan

menyebabkan gastroenteritis karena mampu membentuk kompleks enterotoksin.

C. perfringens adalah bakteri anaerob Gram positif yang mampu membentuk spora. Strain yang menjadi penyebab keracunan makanan adalah tipe A dengan enterotoksin yang dapat menyebabkan sakit perut akut dan diare. Gejala penyakit dari kedua bakteri tersebut biasanya muncul 8-16 jam setelah memakan makanan yang terkontaminasi, dan sembuh dengan sendirinya dalam 12-24 jam (McClung 1945; Jay 2000; Ray 2001).

Diare kategori sedang yang melibatkan B. cereus dan C. perfringens oleh masyarakat cenderung dianggap biasa, sebab dengan atau tanpa pengobatan diare tersebut dapat sembuh sehingga tidak dilaporkan. Bagi balita penderita gizi buruk, diare tersebut akan berpengaruh nyata pada berat badan dan status kesehatan umumnya, sehingga pencapaian status gizi baik dan sehat menjadi lebih lama.

Secara umum, budaya minum susu di kalangan masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut Menteri Pertanian (2008) rata-rata tingkat konsumsi susu pada tahun

2008 baru sekitar 9.4 liter/kapita/tahun, sedikit di atas Vietnam yaitu 8.5 liter/kapita/tahun, dan masih jauh di bawah Malaysia yaitu 25 liter/kapita/tahun. Dari

penelitian Supriyati (2005) masyarakat di pedesaan Jawa Barat lebih menyukai mengkonsumsi susu kental manis daripada susu bubuk, dan konsumsi susu masyarakat di pedesaan 3 kali lebih rendah dari konsumsi masyarakat di perkotaan (Badan Ketahanan Pangan 2007). Melihat kondisi ini, pemberian bantuan dengan bahan dasar susu bubuk kepada masyarakat yang tidak terbiasa mengkonsumsinya perlu dicermati. Dengan demikian dirasa perlu melakukan evaluasi terhadap keberadaan dan kualitas mikrobiologik B. cereus dan C. perfringens pada MT-P yang dikonsumsi balita penderita gizi buruk serta melihat kemampuannya dalam membentuk enterotoksin.

Tujuan

1. Mendeteksi dan mengevaluasi keberadaan B. cereus dan C. perfringens dalam MT-P yang dibagikan dan dikonsumsi balita penderita gizi buruk dan kemampuannya dalam membentuk enterotoksin.

(27)

3. Mengevaluasi kesadaran ibu dalam mencegah masuknya kontaminan dalam MT-P yang disimpan di rumah dan siap konsumsi bagi balitanya.

4. Menganalisis pengaruh berbagai faktor dalam penyimpanan dan penyajian MT-P, khususnya terhadap keberadaan B. cereus dan C. perfringens.

Hipotesis

1. MT-P yang dibagikan pada program bantuan perbaikan gizi balita dan yang dikonsumsi mengandung B. cereus dan C. prefringens serta memiliki potensi membentuk enterotoksin.

2. Spora B. cereus dan C. perfringens mampu tumbuh dan berkembang di dalam susu formula bubuk dan siap konsumsi.

3. Cara penyimpanan, tempat minum, tangan ibu, air minum serta suhu yang digunakan untuk melarutkan MT-P merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah B. cereus dan

C. perfringens dalam MT-P bubuk dan siap konsumsi.

4. Pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dalam menyiapkan dan menyimpan MT-P memiliki peran dalam mencegah masuknya kontaminan dalam MT-P yang disimpan di rumah dan siap konsumsi.

5. Ada asosiasi diantara faktor-faktor yang berpengaruh dalam penyimpanan dan penyajian MT-P.

Manfaat

1. Sebagai penyedia data bagi penentu kebijakan di bidang kesehatan masyarakat dan industri pengolahan pangan.

2. Membantu industri pangan untuk menyikapi dan mengambil langkah pencegahan yang diperlukan.

3. Sebagai landasan untuk memperbaiki tatacara preparasi produk berbahan dasar susu dan penyimpanannya di rumah tangga.

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Balita dan Gizi Buruk

Anak dibawah usia 5 tahun (balita) merupakan kelompok yang rentan terhadap adanya perubahan dalam asupan konsumsi makanan. Asupan makanan yang berlebihan atau kekurangan dari yang dibutuhkan akan mempengaruhi status gizinya. Status gizi sejak bayi hingga masa kanak-kanak sangat mempengaruhi kondisi organ-organ seperti otak, jantung dan tulang serta menentukan kualitas manusia. Dengan kondisi yang baik, organ-organ vital akan tumbuh dan berkembang optimal. Sebaliknya gizi yang kurang membuat tumbuh kembang balita terhambat (Permaesih et al. 2000). Usia 12 sampai 18 bulan merupakan usia kritis, perubahan yang terjadi pada masa ini akan mempengaruhi keadaan jangka panjangnya (FNB 2004). Pada otak misalnya, gizi buruk akan menyebabkan jumlah sel otak anak berusia di bawah dua tahun berkurang 15-20% (Permaesih et al. 2000). Berdasarkan survei mortalitas Subdit ISPA Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan pada tahun 2005 (Depkes 2008), gizi buruk menjadi penyebab kematian balita nomor 7 (3.6%) yaitu sesudah pneumonia (23.6%), diare (15.3%), infeksi berat (15.1%), masalah lain (termasuk kecelakaan, 14.7%), neonatal (11.2%), dan tifoid (3.6%).

(29)

Kabupaten Bogor termasuk yang memiliki prevalensi penderita gizi kurang sedang. Pada tahun 2005 dari 480 642 balita, 10.4% (50 043 balita) diantaranya menderita gizi kurang dan 0.9% (4313 balita) menderita gizi buruk (Tabel 1). Gizi buruk adalah keadaan gizi kurang tingkat tinggi pada anak yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari secara terus menerus. Keadaan tersebut secara langsung dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: (1) anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, (2) anak tidak mendapat asupan gizi yang memadai dan (3) anak mungkin menderita penyakit infeksi. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa separuh dari kematian bayi dan balita disebabkan oleh gizi buruk. Risiko meninggal dari anak yang menderita gizi buruk adalah 13 kali lebih besar dibandingkan dengan anak normal (Depkes 2005a).

Tabel 1 Jumlah balita dan balita penderita gizi buruk dari tahun 2001-2007 di Kabupaten Bogor

Tahun Jumlah balita Jumlah balita gizi buruk Persentase

2001 330 538 3292 1.0

2002 379 077 3847 1.0

2003 473 193 4099 1.1

2004 476 462 5226 1.3

2005 2006 2007

480 642 378 613 423 529

4313 5187 5040

0.9 1.4 1.2 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2005, 2006, 2007, 2008

Balita dikategorikan menderita gizi buruk jika berdasarkan antropometri, yaitu rasio berat badan dan tinggi badan/panjang badan (BB/TB) yang dirujuk ke dalam daftar sebaran normal yang terstandar, nilainya ≤–3 SD baku rujukan Z-scores WHO-NCHS (WHO 1986, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2005). Balita penderita gizi buruk dapat disertai dengan kelainan klinis seperti wajah sangat kurus, muka seperti orang tua, perut cekung, kulit keriput disebut marasmus, dan bila ada bengkak terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab disebut kwashiorkor, dan kombinasi keduanya disebut

marasmus-kwashiorkor (Depkes 1999). Berdasarkan pengamatan Latinulu et al. (2000) di 4 kabupaten (Bandung, Cianjur, Karawang, dan Cirebon), kondisi gizi buruk cenderung

(30)

7

(72.5%). Namun berdasarkan analisis Waters et al. (2004) pada hasil SUSENAS 1992-1999, anak laki-laki terancam menderita gizi buruk 1.27 kali (p<0.01) daripada anak perempuan.

Masalah gizi muncul pada balita usia sesudah enam bulan, karena pada usia tersebut sebagian bayi mulai disapih tanpa diimbangi dengan pemberian makanan tambahan yang memadai sehingga tanpa disadari berat badan anak tersebut menurun. Pada keadaan demikian daya tahan tubuhnya menurun sehingga mudah terserang penyakit/infeksi (panas, diare, ISPA dan sebagainya) dan ini mempercepat penurunan berat badan dan terjadinya gangguan pertumbuhan. Bila berlangsung dalam waktu yang relatif lama maka akan menyebabkan gizi buruk, yaitu berat badan kurang dari 60% berat idealnya menurut usia atau kurang energi-protein (KEP) berat (Latinulu et al. 2000).

Defisiensi zat gizi terutama energi dan protein akan memberikan gangguan psikologik dan sosial. Secara klinis menyebabkan kelambatan pertumbuhan, berkurangnya kecerdasan serta terganggunya metabolisme gula, lemak, protein bahkan gangguan sistem endokrin yang bersifat kronis. Menurut Scrimshaw (1997), KEP yang terjadi pada bayi dan balita berdampak ganda, tidak saja kehilangan kecerdasan (intellegent quetion/IQ) tetapi juga berdampak pada perkembangan mental (emotion quetion/EQ). Pada jangka pendek, KEP menyebabkan berkurangnya IQ 5-50 poin yang mengganggu proses belajar mengajar karena fungsi kognitif dan kinerja otak tidak optimal. Selain itu, implikasi KEP jangka pendek akan berdampak pada pertumbuhan massa otot dan komposisi tubuh yang menyimpang dari normal karena umumnya pendek dan kurus. Menurut Lutter dan Dewey (2003), anak-anak yang mampu bertahan hidup, pada usia dewasa rentan terhadap penyakit non infeksi (diabetes tipe 2, hipertensi, jantung koroner, kanker, dan penuaan dini) dan umumnya kinerja produktivitas fisik adalah rendah. Menurut Depkes (2005a), kasus gizi buruk yang terjadi pada balita, pada hakekatnya merupakan fenomena gunung es, yang menggambarkan keadaan gizi masyarakat, dan bahkan keadaan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, seperti daya beli, pendidikan dan perilaku, serta lingkungan dan pemeliharaan kesehatan. Müller dan Krawinkel (2005) menyatakan bahwa kemiskinan menjadi penyebab terjadinya kurang gizi pada balita (Gambar 1).

(31)
[image:31.595.103.511.86.360.2]

Gambar 1 Penyebab langsung dan tidak langsung balita menderita malnutrisi (Müller dan Krawinkel 2005)

Makanan Tambahan Pemulihan

Gizi kurang dapat menimbulkan depresi sistem imun, terutama imunitas seluler, sehingga balita menjadi rentan terhadap infeksi. Kerentanan yang meninggi tersebut sering membaik setelah diberikan diet yang cukup (Baratawidjaja 2002), sehingga perbaikan gizi pada kelompok ini sangat diperlukan untuk menjaga proses tumbuh kembang yang optimal. Perbaikan gizi tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 4-6 bulan (Depkes 2005a).

Pemerintah melalui Program Perbaikan Gizi memberikan bantuan makanan tambahan pemulihan (MT-P) bagi balita yang telah ditetapkan menderita KEP selama 6 bulan. Makanan tambahan pemulihan adalah makanan yang diberikan kepada anak penderita KEP dalam rangka memulihkan kesehatannya, dengan komposisi gizi mencukupi minimal 1/3 dari kebutuhan satu hari, yaitu memberikan sumbangan energi sebesar 350-450 kalori dengan kandungan protein 10-15 g (Depkes 1999). Untuk memperbaiki kondisi anak-anak penderita KEP, Pemerintah memberikan makanan

Malnutrisi

Marasmus, kwashiorkor, defisiensi mikronutrien

Infeksi yang sering atau parah; diare Kurang asupan protein,

energi atau mikronutrien

Sakit, lingkungan tidak sehat Penanganan ibu dan

anak yang tidak memadai Ketahanan pangan

rumah tangga yang tidak memadai

Rendahnya pendidikan dan status perempuan

dalam keluarga

Perang, bencana alam, ketidak pedulian

(32)

9

pendamping air susu ibu (MP-ASI) bagi anak umur 6-23 bulan, dan makanan tambahan pemulihan (MT-P) bagi anak berumur 24-59 bulan (Depkes 2005b).

Cakupan bantuan yang dilakukan oleh Program Perbaikan Gizi pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor terus meningkat jumlahnya. Pada tahun 2005 hanya 1500 anak yang dapat dibantu dengan pemberian MT-P (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2005), namun pada tahun 2006 telah mampu menjangkau 4163 anak (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2006). Bentuk MT-P yang dibagikan pada tahun 2005 berupa biskuit dan susu formula lanjutan, sedangkan pada tahun 2006 berupa makanan suplemen dan susu formula lanjutan. Pemberian MT-P dilakukan selama 180 hari makan anak yang dimulai pada bulan Juli atau Agustus dan berakhir pada bulan Desember atau Januari. Untuk tahun 2006 makanan suplemen diberikan selama 30 hari pertama dan susu formula lanjutan pada 150 hari berikutnya. MT-P dikemas dalam kantong aluminium dengan berat 400 g dan dimasukkan ke dalam dus karton yang mencantumkan komposisi produk dan cara penyajian. Makanan suplemen diharapkan habis dikonsumsi dalam waktu 10 hari setelah kemasan dibuka, sedangkan susu formula lanjutan diharapkan habis dikonsumsi dalam waktu 5-6 hari setelah kemasan dibuka (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2006).

Dari label kemasan, baik pada makanan suplemen maupun susu formula lanjutan mencantumkan susu sebagai bahan utamanya. Komposisi bahan pada makanan suplemen terdiri atas susu bubuk full cream, gula, vitamin dan mineral, dan aroma vanila. Komposisi bahan pada susu formula lanjutan terdiri atas susu bubuk skim, susu bubuk full cream, dekstrin dan maltosa. Dari komposisi bahan terlihat bahwa bahan penyusun makanan tersebut dicampurkan melalui cara pencampuran kering (dry mix). Paket makanan ini dipilih karena kandungan gizinya yang lengkap, mudah didistribusi, relatif mudah disajikan, tidak memerlukan teknologi khusus dalam penyimpanannya dan rasanya cenderung disukai anak-anak. Baik paket makanan suplemen maupun susu formula lanjutan bentuknya bubuk, sehingga hanya diseduh dengan air panas, bubuk MT-P sudah siap dikonsumsi balita.

Risiko Kontaminasi pada Susu Bubuk

(33)

yang dibutuhkan oleh balita. Dengan mengatur komposisi gizinya, susu sapi dapat diramu menjadi susu formula yang sesuai dengan kebutuhan target konsumennya. Namun karena komponen gizinya, maka susu merupakan bahan pangan yang rentan terhadap kontaminasi mikroba. Pettipher (1986) menggolongkan susu dan produknya sebagai pangan yang bersifat sangat mudah rusak (highly perishable). Kerusakan pada susu disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroba yang ada di dalamnya. Bramley dan McKinnon (1990) mengidentifikasi kelompok mikroba yang merupakan mikroflora susu segar (Tabel 2), yang sebagian dapat bersifat patogen. Mikroba patogen dapat berasal dari ternak sakit (patogen akan mendominasi susu jika sapi menderita mastitis) atau mikroba mengkontaminasi susu dari peralatan atau akibat buruknya higiene pemerahan.

Tabel 2 Mikroba utama yang dapat ditemukan dalam susu segar (Bramley dan McKinnon 1990)

Grup Insidensi (%)

Micrococci contoh Micrococcus, dan Staphylococcus 30-99

Streptococci contoh Enterococcus 0-50

Asporogenous batang Gram positif contoh Corynebacterium, dan Microbacterium <10

Batang Gram negatif contoh Klebsiela, Escherichia, Enterobacter,dan Pseudomonas <10

Pembentuk spora, contoh sel vegetatif dan spora Bacillus <10

Mikroba lain contoh Streptomycetes, kamir, dan kapang <10

Untuk memperpanjang masa simpan susu, susu segar diubah bentuknya menjadi susu bubuk yang memiliki daya simpan lebih lama. Pada awal proses pembuatan susu bubuk, susu terlebih dahulu diseparasi, distandardisasi, dipasteurisasi dan dikonsentratkan dengan menggunakan kombinasi waktu dan suhu yang telah ditetapkan. Caric dan Gregurek (2003) menjelaskan bahwa konsentrat susu dapat dikeringkan dengan dua cara, yaitu dengan metode roller drying (130-150ºC) atau spray drying (180-240ºC). Dengan metode spray drying, konsentrat susu terpapar panas selama 30 detik.

Pasteurisasi pada susu segar dengan metoda high temperature short time (HTST) maupun low temperature long time (LTLT) mampu membunuh mikroba sebanyak 103-104 CFU/ml susu (Grant et al. 1996). Pada penelitian Stabel et al. (1997) HTST (72°C selama 15 detik) mampu membunuh mikroba sampai 106 CFU/ml susu. Dengan demikian jika kandungan mikroba didalam susu melebihi nilai tersebut, maka ada mikroba yang bertahan dari pemanasan dan inilah yang menjadi sumber kontaminan.

[image:33.595.118.522.337.464.2]
(34)

11

tahan panas seperti Bacillus spp. dan Clostridium spp. hampir 100% mampu bertahan terhadap proses pasteurisasi (Pettipher 1986). Bakteri psikrotropik, koliform, kamir dan kapang jumlahnya menurun sampai level yang paling rendah selama pengolahan dan keberadaannya dalam susu bubuk mengindikasikan adanya kontaminasi dari peralatan atau lingkungan pabrik selama atau setelah pengolahan. Mikroba yang biasa ditemui dalam susu bubuk adalah mikrokokus termodurik, streptokokus termodurik, corynebacterium dan aerob pembentuk spora (Richter et al. 1992). Beberapa bakteri patogen seperti Salmonella, Listeria monocytogenes, B. cereus, C. perfringens,

Staphylococcus aureus dan Enterobacter sakazakii dapat ditemukan dalam susu bubuk (FSANZ 2006). Mikroba tersebut tidak akan tumbuh di dalam susu bubuk, namun tetap dapat bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama dan akan tumbuh jika susu bubuk dilarutkan kembali dan disimpan pada suhu yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri. Dengan demikian, keberadaan bakteri patogen dalam susu bubuk harus dihindari dan keadaan tersebut harus dicapai selama pengolahan.

Susu formula lanjutan bubuk merupakan bagian dari susu bubuk yang diformulasi sesuai dengan kebutuhan. Susu tersebut dapat diproduksi dengan dua cara yaitu: (1) diformulasi dalam bentuk cair kemudian dikeringkan atau (2) diformulasi dalam bentuk kering (dry mix). Dengan demikian mikroba yang harus diperhatikan sama dengan yang ada dalam susu bubuk (FSANZ 2006). Menurut CAC (2007), ada empat jalan masuk mikroba ke dalam susu formula: (1) melalui bahan baku yang dicampurkan pada proses pencampuran kering di pabrik, (2) melalui lingkungan pengolahan yang mengkontaminasi seiring pengeringan, (3) setelah kemasan dibuka, dan (4) selama dan sesudah preparasi oleh pengasuh atau ibu. Di pabrik, mikroba mampu membuat akses ke jalur pengolahan dan produk, sebab belum ada teknologi yang secara lengkap mengeliminasi mikroba ini dari lingkungan pabrik (CAC 2007).

Untuk menjaga kesehatan masyarakat konsumen, Pemerintah membuat berbagai regulasi yang harus dipatuhi oleh produsen, antara lain:

1) SNI 01-4213-1996 tentang Susu Formula Lanjutan, mencantumkan cemaran mikroba negatif.

2) SNI 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan untuk susu bubuk, mencantumkan angka lempeng total 5.0 x 104 CFU/g, koliform 0/g, MPN E. coli

patogen 0/g, Enterokokus 1,0 x 10 CFU/g, S. aureus 1,0 x 10 CFU/g, Clostridium

(35)

3) SNI 01-7111-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) bubuk instan (bagian 1), mencantumkan angka lempeng total 1.0 x 104 CFU/g, MPN koliform kurang dari 20/g, E. coli negatif, Salmonella negatif/25g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102 CFU/g dan C. botulinum negatif untuk produk yang menggunakan madu atau sirup gula.

Tabel 3 Standar mikrobiologik dalam peraturan di beberapa negara/lembaga yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi (dalam CFU)

Nama peraturan Standar

n c m M

Codex standard

dalam Code of Hygienic Practice for Powdered Formulae for Infants and Young Children,

CAC/RCP 66-2008, perbaikan CAC/RCP 21-1979 (CAC 2008)

- Bakteri aerob mesofilik/g - Enterobacteriaceae/10 g

- E. sakazakii/10 g

- Salmonella/25 g

5 10 30 60 2 2 0 0

5.0 x 102 0 0 0

5.0 x 103 0 0 0

n c m M

Canadian standard

dalam Health Products and Food Branch

Standards and Guidelines for Microbiological Safety of Food (HPFB 2008)

- Mikroba aerob/g

- E. coli/g

- Salmonella/25 g

- S. aureus/g

- B. cereus/g

- C. perfringens/g

5 10 20 10 10 10 2 1 0 1 1 1

1.0 x 103 <1.8

0 1.0 x 10 1.0 x 102 1.0 x 102

1.0 x 104 1.0 x 10

0 1.0 x 102 1.0 x 104 1.0 x 103

FDAdalam 21 Current Federal Rules (CFR) 106-107 (FDA 1996)

- Mikroba aerob/g - Koliform/g - Fekal koliform/g

- Salmonella/25 g

- L. monocytogenes/g

- S. aureus/g

- B. cereus/g

≤ 1.0 x 104 ≤ 3.05 MPN ≤ 3.05 MPN

n=60, c=0, m=0, M=0 Negative

≤ 3.05 MPN ≤ 1.0 x 102

n c m M

Australia-New Zealand

dalam Standard 1.6.1 Microbiological Limit for Food (FSANZ 2001)

- B. cereus/g

- Koagulase positif staphylococci/g - Koliform/g

- Salmonella/25 g

- C. perfringens/g

- L. monocytogenes/25 g

- SPC*/g 5 5 5 5 5 5 5 1 1 2 0 2 0 2

1.0 x 102 0 < 3

0 < 1

0 1.0 x 104

1.0 x 103 1.0 x 10 1.0 x 102

0 1.0 x 10

0 1.0 x 105 Keterangan: n= jumlah unit sampel minimal yang harus diuji dari sebuah lot makanan, c= jumlah maksimum unit sampel yang diperbolehkan tidak sempurna, m= konsentrasi mikroba yang dapat diterima dalam sebuah unit sampel pada 2-class plan, pada 3-class plan nilai ini memisahkan antara kualitas mikroba yang “dapat diterima” dengan “kualitas marginal yang dapat diterima”, M= hanya digunakan pada

(36)

13

Di beberapa negara, peraturan yang berhubungan dengan susu formula bahkan lebih ketat dan lebih terinci (Tabel 3). Menurut HPFB (2008), karakterisasi bahaya mikroba di dalam susu formula instan dikategorikan ke dalam:

- Risiko kesehatan 1 (health risk 1/HR 1), yaitu jika terkonsumsi/terekspos dalam pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan serius, contohnya Salmonella.

- Risiko kesehatan 2 (health risk 2/HR2), yaitu jika terkonsumsi/terekspos dalam pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan sementara, contohnya S. aureus,

B. cereus, C. perfringens dan E. coli. Khusus untuk E. coli dapat berubah menjadi HR1 jika strain penghasil verotoksin ditemukan.

- Risiko kesehatan 3 (health risk 3/HR3), yaitu jika terkonsumsi/terekspos dalam pangan tidak akan menyebabkan gangguan kesehatan, tetapi mengindikasikan kegagalan Good Manufacturing Practices atau Good Farming Practices, contohnya mikroba aerob.

Melihat kenyataan di atas, susu bubuk tidak mungkin bebas dari cemaran bakteri. Perkiraan kualitas mikrobiologiknya dapat diduga dari kualitas bahan mentah, manajemen produksi dan kontaminasi setelah pengolahan (Muir 2000). Dengan demikian keamanan absolut makanan dari kontaminan tidak pernah dapat dijamin, namun dengan tindakan pencegahan yang dilakukan dari peternakan sampai pengolahan, distribusi dan preparasi akhir, risiko mengkonsumsi susu dapat ditekan seminimal mungkin (Finley dan Robinson 1992).

Keterlibatan agen penyebab penyakit akibat susu (milkborne disease) secara dramatis terus berubah sepanjang waktu. Lebih dari 90% kasus yang dilaporkan dihubungkan dengan produk susu disebabkan oleh bakteri, kurang lebih ada 21 milkborne

atau penyakit potensial milkborne telah diketahui (Bean et al. 1996). Patogen yang pernah terlibat dalam kejadian luar biasa yang berkaitan dengan konsumsi susu adalah

L. monocytogenes, Salmonella, Campylobacter, S. aureus, B. cereus dan C. botulinum

(Ryser 1998).

Higiene dalam Menyiapkan Makanan dan Minuman di Rumah

(37)

kondisinya tidak selalu aman untuk dikonsumsi anak-anaknya (Affandi et al. 2001). Kontaminasi biasanya terjadi secara silang dari air atau peralatan makanan yang digunakan, atau dari tangan orang yang menyiapkan makanan. Keadaan tersebut tercermin dari penelitian Tessi et al. (2002) pada makanan yang disiapkan untuk kantin sekolah di Argentina, ditemukan kandungan bakteri yaitu 1.04-3.50 log CFU/g untuk makanan yang disajikan panas dan 3.64-6.48 log CFU/g untuk makanan yang disajikan dingin. B. cereus ditemukan pada 63.4% sampel (<4 log CFU/g). Kusumaningrum et al. (2002), membuktikan bahwa spon yang digunakan untuk mencuci peralatan makan yang direndam terus menerus dalam larutan pencuci antibakteri, tetap dapat dicemari oleh

E.coli, S. enteritidis, S. aureus dan B. cereus.

Menurut Selwyn (1980), kulit manusia secara normal memiliki koloni bakteri

dengan jumlah bakteri aerob berbeda untuk masing-masing bagian (misal 1.0 x 106 CFU/cm2 pada kulit kepala, 5.0 x 105 CFU/cm2 pada siku, 4.0 x 104 CFU/cm2

pada perut, dan 1.0 x 104 CFU/cm2 pada lengan bawah). Bakteri yang ditemukan di permukaan tangan dibagi kedalam dua kategori, yaitu transien dan residen (Price 1938). Mikroba transien berkolonisasi di lapisan permukaan kulit, mudah dihilangkan dengan cara cuci tangan rutin, didapat karena kontak dengan orang lain atau kontak dengan permukaan lingkungan yang terkontaminasi. Mikroba transien umumnya dihubungkan dengan organisme penyebab infeksi. Mikroba residen menempel di lapisan kulit yang lebih dalam, lebih resisten untuk dihilangkan. Kelompok mikroba residen adalah stafilokokus koagulase-negatif dan dipteroid yang cenderung kurang infeksius. Tangan individu dapat secara persisten memiliki koloni bakteri patogen (misal S. aureus), basilus Gram-negatif atau kamir. Jumlah flora transien dan residen bervariasi dari orang ke orang, namun jumlahnya relatif konstan untuk beberapa individu spesifik (Price 1938; Sprunt 1973).

Sebagian besar sakit karena makanan biasanya terjadi di rumah, yaitu 48% di Irlandia, 42% di Amerika Serikat (Redmond dan Griffith 2003), dan 64% di Indonesia (Dir. Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan 2007). Keadaan ini tercermin pada penelitian Suyatno et al. (2001) pada 4 bulan pertama kehidupan bayi, dimana yang diberi MP-ASI tradisional rata-rata menderita diare 0.143 kali/bulan, yang diberi MP-ASI

formula sebanyak 0.105 kali/bulan, dan yang mendapat ASI eksklusif hanya 0.093 kali/bulan. Pemberian makanan atau minuman melalui botol juga menjadi salah

(38)

15

31% pada teh yang diberikan dalam botol, dan hanya 2% pada teh yang disajikan dalam gelas (Black et al. 1989 disitasi oleh Dewey 2003).

Banyaknya bakteri patogen penyebab penyakit akibat makanan, menyebabkan penyelidikan cenderung diarahkan kepada bakteri yang bersifat aerob. Analisa terhadap keberadaan bakteri food-borne anaerob tidak secara rutin dilakukan, dikarenakan sulitnya isolasi dan identifikasi. Di negara maju, hal seperti ini sudah rutin dilakukan, di Amerika Serikat patogen dalam pangan telah dilaporkan menjadi penyebab dari 76 juta kasus dan 5000 kematian setiap tahunnya (Mead et al. 1999).

Kontaminasi B. cereus dan C. perfringens

Spesies Bacillus dan Clostridium memiliki kemampuan membentuk spora yang dorman secara metabolik, yang secara ekstrim resisten terhadap stres lingkungan, seperti panas, radiasi, dan bahan kimia toksik (Setlow 2006; Raju 2007). Kondisi yang resisten menyebabkan spora sejumlah spesies ini secara signifikan berperan sebagai agen pembusuk makanan dan penyebab penyakit gastrointestinal akibat pangan (Setlow 2003). Bagaimanapun juga untuk terjadinya gangguan, mula-mula spora yang dorman harus bergerminasi lalu membesar berubah menjadi sel vegetatif (Paredes-Sabja et al. 2008).

Mengkonsumsi ≥105 sel atau spora B. cereus atau C. perfringens dapat menyebabkan terjadinya diare (FSANZ 2003). B. cereus dan C. perfringens baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus halus (Harmon et al. 1992; Labbe dan Harmon 1992). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa sejumlah kecil bakteri ini ditemukan di dalam saluran pencernaan individu sehat. Pengolahan susu menjadi susu bubuk yang akan digunakan untuk formulasi susu dan produk makanan untuk bayi dan balita tidak dapat mengeliminasi keberadaan sporanya (Ray 2001). Hal ini disebabkan karena susu segar terkontaminasi oleh lingkungan, sehingga banyaknya spora B. cereus dan C. perfringens di dalam susu bubuk juga akan mempengaruhi jumlahnya di dalam susu formula atau produk berbahan susu (Ray 2001).

(39)
[image:39.595.91.525.188.397.2]

dengan level 0.3-600 sel/g. Konsentrasi B. cereus dalam makanan secara normal adalah <103 sel/g (Kramer dan Gilbert 1989). Prevalensi cemaran B. cereus dalam susu tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Prevalensi cemaran B. cereus dalam susu dan produknya (Kramer dan Gilbert 1989)

Susu dan produk susu

Sampel diuji (buah)

B. cereus

positif (%)

Jumlah B. cereus

(CFU/g atau /ml)

Pustaka Susu segar 100 9 101 – 102 Ahmed et al. (1983)

Susu pasteurisasi 100 35 101 – 103

Susu strerilisasi 148 40 “terdeteksi Mostert et al. (1979)

Susu UHT 169 48 “terdeteksi

Susu bubuk 120 27 101 – 102 Waltew dan Luck (1987)

8 38 102 – 103 Kim dan Goepfert (1971)

Keju cheddar 50 14 101 – 102 Ahmed et al. (1983)

Es krim 100 48 101 – 103

Kelompok klostridia sering dilaporkan mengkontaminasi makanan yang

menggunakan daging, namun keberadaan spora C. welchii (sekarang disebut

C. perfringens) dalam produk berbahan susu seperti es krim pernah dilaporkan oleh Rawlison (1926) dengan jumlah sekitar 1-105 spora/ml, dan Bhadsavle et. al (1972) menemukan C. hastiforme dalam susu segar.

Kontaminasi makanan oleh B. cereus dan C. perfringens biasanya menyebabkan derajat kesakitan tingkat sedang, tetapi mengkonsumsi ≥105 sel atau spora dapat menyebabkan terjadinya diare. Pada bayi dan balita dosis infeksiusnya dapat lebih rendah karena belum sempurnanya sistem imun, sehingga menjadi lebih peka dibandingkan orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua (FSANZ 2003).

Bacillus cereus

(40)

17

1-5 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi toksin dan sembuh dalam 12-24 jam. Diare terjadi karena kompleks enterotoksin diproduksi selama masa vegetatif di usus halus. Masa inkubasinya 10-13 jam setelah termakan. Gejala yang muncul adalah kram perut, diare encer yang profus, spamus rektal dan mual, biasanya tanpa muntah dan kesembuhan terjadi dalam 24 jam (FSANZ 2003). Karakteristik dari kedua gejala penyakit tersaji pada Tabel 5. B. cereus juga berhubungan dengan berbagai infeksi

non-food borne non-gastrointestinal seperti infeksi okuler dan luka, bakterimia dan septikemia, infeksi susunan syaraf pusat, infeksi saluran pernafasan dan endokarditis. Individu yang immunocompromised baik karena sakit atau dalam pengobatan lebih peka terhadap penyakit yang disebabkan mikroba ini (Hui et al. 2001).

Tabel 5 Karakteristik penyakit akibat B. cereus (Granum dan Lund 1997)

Sindrom diare Sindrom emetik Dosis infektif 105-107 sel /g 105-108 sel/g

Produksi toksin Di usus halus penderita Terbentuk dalam makanan

Tipe toksin Protein Peptida siklik

Masa inkubasi 8-16 jam (bisa > 24 jam) 0,5-5 jam Lama penyakit 12-24 jam (bisa beberapa hari) 6-24 jam Gejala Sakit perut, diare encer dan ada

mual

Mual, muntah dan lesu Makanan yang sering

terlibat

Produk daging, sup, sayuran, susu dan produk susu, puding/sausnya

Nasi, nasi goreng, pasta, pastri, dan mi

Bacillus cereus mampu tumbuh pada suhu 4-50°C, dengan suhu optimum 30-40°C (ICMSF 1996). Waktu generasi pada suhu 30°C adalah 26-57 menit, pada suhu 35°C adalah 18-27 menit (Kramer dan Gilbert 1989). Rentang minimum aktivitas air (aw) untuk pertumbuhan sel vegetatif adalah 0.91-0.95 (Jenson dan Moir 1997). Spora

B. cereus lebih tahan terhadap panas kering dibandingkan panas lembab. Spora B. cereus

dapat bertahan untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ 2003).

Enterotoksin B. cereus adalah protein dengan berat molekul antara 35-50 kDa (Harmon et al. 1998), diproduksi selama fase pertumbuhan logaritmik (Jay 2000).

(41)

dan Horwood 2006). Beecher dan MacMillan (1990) mengidentifikasi bahwa HBL kompleks terdiri atas tiga protein, yaitu B, L1, dan L2, dimana menurut Beecher dan

Wong (1997) protein B berperanan sebagai komponen pelekat dan protein L1 (36 kDa)

dan L2 (45 kDa) sebagai pelisis sel. Toksin ini memiliki aktivitas haemolitik dan

dermonekrotik, serta menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan menyebabkan akumulasi cairan di gelung ileum kelinci (Beecher et al. 1995).

Clostridium perfringens

Clostridium perfringens adalah bakteri patogen pembentuk spora yang terdistribusi paling luas di lingkungan (Labbe 1989). C. perfringens adalah salah satu anggota dari genus Clostridium yang membutuhkan kondisi anaerob untuk pertumbuhannya. Namun berbeda dengan clostridia lain, C. perfringens bersikap moderat terhadap keberadaan udara dan membutuhkan reduksi sedang pada potensial oksidasi-reduksi (Eh) (Cato et al. 1986).

Clostridium perfringens penyebab penyakit karena pangan adalah C. perfringens

tipe A dan menghasilkan enterotoksin alfa (Tabel 6) yang menyebabkan gejala tipikal seperti sakit perut dan diare. Gejala mual, muntah dan demam jarang terjadi. Gejala biasanya muncul 8-12 (rentang 6-24) jam setelah ingesti makanan terkontaminasi (McClane 2001). Selain menyebabkan penyakit karena pangan, C. pefringens dapat juga menjadi penyebab enterokolitis nekrotik pada bayi dan anak-anak (Pedersen et al. 1976) dan diare yang berhubungan dengan antibiotik (antibiotic-associated diarrhoea) (Borriello et al. 1984), diare infeksius (Larson dan Borriello 1988) dan diare sporadik (Brett et al 1992; Luzzi et al. 1998). Sampai saat ini telah dikenal 5 tipe C. peringens

yaitu tipe A, B, C, D dan E (McClane 2001) berdasarkan produksi lethal toksin utama yaitu alpha, beta, epsilon, dan iota (Brooks et al. 1957; Sterne dan Warrack 1964).

(42)

19

Tabel 6 Tipe C. perfringens dan toksin yang dihasilkannya (McClane 2001) Produksi toksin

Tipe C. perfringens

Alfa Beta Epsilon Iota

A B C D E

+ + + + +

- + + - -

- + - + -

- - - - +

Clostridium perfringens enterotoksin (CPE) diproduksi pada tahap sporulasi (Czeczulin et al. 1993). CPE adalah rantai tunggal polipeptida dengan berat molekul 35 kDa yang berikatan dengan reseptor pada sel epitel target, CPE melalui aksi yang unik menyebabkan kerusakan pada permeabilitas membran epitel usus dan menyebabkan diare (Brynestad dan Granum 2002). Dari beberapa survei (Daube et al. 1996; Kokai-Kun

et al. 1994; Songer dan Meer 1996) diketahui bahwa kurang dari 5% populasi global

C. perfringens memiliki gen enterotoksin (cpe).

Deteksi Keberadaan B. cereus dan C. perfringens dalam Makanan

Deteksi keberadaan B. cereus dalam bahan makanan tidak mudah dilakukan,

penyebabnya adalah dekatnya anggota kelompok B. cereus seperti B. anthracis, B. thuringensis dan B. mycoides. Untuk itu media yang cukup selektif, yaitu agar

(43)
[image:43.595.223.409.521.666.2]

Gambar 2 Perubahan warna dan pertumbuhan pada MYP Agar setelah diinokulasi denga

Gambar

Gambar 1  Penyebab langsung dan tidak langsung balita menderita malnutrisi (Müller dan Krawinkel 2005)
Tabel 2  Mikroba utama yang dapat ditemukan dalam susu segar (Bramley dan McKinnon 1990)
Tabel 4  Prevalensi cemaran B. cereus dalam susu dan produknya (Kramer dan Gilbert 1989)
Gambar 2   Perubahan  warna  dan  pertumbuhan  pada  MYP Agar setelah diinokulasi dengan B
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan di siklus 1 mengenai proses kegiatan pembelajaran menggunakan metode bermain kartu kata bergambar, untuk meningkatkan kemampuan

Quraish Shihab tentang mukjizat, ia mengatakan bahwa mukjizat sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, ialah peristiwa “luar biasa” yang terjadi dari

BELANJA MODAL PENGADAAN KONSTRUKSI / PEMBELIAN BANGUNAN GEDUNG SEKOLAH ( PENAMBAHAN RUANG KELAS BARU SMP DAN MTs NEGERI TAHUN ANGGARAN 2012 MTsN RAJAGALUH ). HASIL

Oleh karena itu penulis membuat website Perumahan Nuansa Permai Kelapa Dua yang ditujukan untuk masyarakat yang ingin membeli rumah diharapkan bisa mendapatkan informasi melalui

Faktor pengungkit ( leverage factor ) yang dominan dari masing-masing dimensi adalah sebagai berikut: dimensi ekologi yaitu pembuangan limbah pertanian; dimensi ekonomi

Oleh sebab itu, penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana membumikan budaya lokal dalam tradisi-tradisi yang ada di Indonesia khususnya tradisi “nyumpet”

Penelitian dengan judul “ Perbandingan Kinerja Naive Bayes dan Support Vector Machine untuk Prediksi Herregistrasi “ bertujuan untuk mengetahui perbandingan kinerja naive bayes

kasih, Hutan Mangrove, atas berbagai jenis pohon yang buahnya bisa kita jadikan untuk makanan lezat, atas hewan-hewan menakjubkan yang hidup di kawasan hutan mangrove, atas